KAJIAN TEORITIS
A. Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1) peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa tertentu; dan keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh
hakim (di pengadilan) atau vonis.30 Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai
peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.31
Hukum Islam atau syariat Islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan
pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi
semua pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul
untuk melaksanakannya secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum
yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan
amaliyah.32
Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan
isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin,
memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata al-hukm berarti
putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan.33 Dalam ujudnya, hukum ada
yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan
30
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembagan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 410
31
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 38
32
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017, hlm. 24.
33
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif,
1997, hlm. 286
14
15
ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan
sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua
manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.34 Dengan pengertian yang
sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. lalu
disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah hukum
Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam
ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau
peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw. untuk
mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat
yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari
ajaran Islam.
Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah,
tidak dikenal istilah hukum Islam dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara
terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literatur Arab, termasuk juga dalam
al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan
untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah (Indonesia: syariah
Islam) dan al-fiqh al-Islami (Indonesia: fikih Islam). Istilah hukum Islam yang
menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di Indonesia berasal dari istilah
Barat. Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-
aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui
permasalahan-permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali
membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada perbedaan.
Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang berbahasa Inggris,
yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama
para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi
hingga sekarang. Sebagai contoh dari buku-buku mereka yang terkenal adalah
Islamic Law in Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to
Islamic Law (1965) karya Joseph Schacht, A History of Islamic Law (1964) karya
34
Mahmud Syaltout, Al – Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Kuwait: Daar al-Qalam, 1966, hlm. 9
16
N.J. Coulson, Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the
Sixteenth to the Twenty-first Centuri (2005) karya Rudolph Peters, An Introduction to
Islamic Law (2009) kayra Wael B. Hallaq, dan Introduction in Islamic Law (2010)
karya Ahmed Akgunduz. Para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa
Inggris juga menggunakan istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata Islamic law
sering digunakan untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam. Ahmad Hasan
menggunakan istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-karyanya seperti dalam
buku The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of
Islamic Jurisprudence (1994). Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi hukum Islam. Istilah ini kemudian banyak digunakan untuk
istilah-istilah resmi seperti dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah,
jurusan, dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat,
ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga digunakan Islamic
law, di samping juga digunakan istilah lain seperti the revealed law atau devine
law.35
Istilah lain terkait dengan hukum Islam yang juga digunakan dalam literatur
Barat adalah Islamic Jurisprudence. Istilah ini digunakan untuk padanan ushul fikih.
Ada beberapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di
antaranya adalah dua buku tulisan Ahmad Hasan seperti di atas, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of
Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua karya Ahmad
Hasan seperti di atas, yakni The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970)
dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994), serta karya Norman Calder,
Islamic Jurisprudence in the Classical Era yang diedit oleh Colin Imber (2010).
Dari penjelasan di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan makna
dari Islamic law (hukum Islam) antara syariah dan fikih. Jadi, kata hukum Islam yang
sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum
mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh
karena itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih
Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah hukum Islam untuk padanan
dari kedua istilah tersebut.
35
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. oleh Agah Garnadi. Bandung: Pustaka. Cet. I,
1984, hlm. 396
17
36
Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-‘Ilm li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-
Tauzi’. Cet. XII, 1978, hlm 32
18
37
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 886
38
Al-Jarjaniy, Ali Ibn Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. III,
1988, hlm. 189
39
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VI, 1985,
hlm. 4
40
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 8
19
11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (Q.S. al-Kahfi
[18]: 110).
Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambah-tambah atau
dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena
ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas
umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan
kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian,
tidak mungkin dalam ibadah dilakukan modernisasi, atau melakukan perubahan
dan perombakan yang mendasar mengenai hukum, susunan, dan tata caranya.
Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan ibadah yang sudah
modern.41
Ibadah memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik
sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada
dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang
dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai
material berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa imbalan yang
akan diterima di akhirat.
Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah
(ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum).42 Ibadah khusus
adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur
dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu,
pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul.
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati
dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau
pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bid’ah dan
berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku
prinsip:
ْ ْاﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ ْاﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة ْاﻟﺒ
ُﻄ َﻼ ُن َﺣﺘﱠﻰ ﯾَﻘً ْﻮ َم َدﻟِ ْﯿ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ
"Pada prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang
41
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, hlm. 49
42
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 5
20
memerintahkannya."43
Contoh ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah),
zakat, puasa, dan haji. Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Adapun ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum
ini tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justeru berupa
hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai
ibadah. Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim
(baik perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari
dengan niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu
berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari
rido Allah.
Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1) ibadah badaniyah, seperti shalat, 2) ibadah maliyah, seperti zakat, 3) ibadah
ijtima’iyah, seperti haji, 4) ibadah ijabiyah, seperti thawaf, dan 5) ibadah salbiyah,
seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash
Shiddieqy, 1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain
berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan
ruhnya, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada
Tuhannya dengan didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati.
b Muamalah
Secara etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah
yang berpangkal pada kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang berarti membuat,
berbuat, bekerja, atau bertindak.44 Dari kata ‘amila muncul kata ‘amala-yu’amilu–
mu’amalah yang artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb).45
Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain
ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan
lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat.46
43
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 91
44
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 972
45
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 974
46
‘Abdul Wahhab Khallaf,, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 32
21
47
‘Abdul Wahhab Khallaf,, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 32-33
22
a. Wajib
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang
memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, memakai hijab bagi
perempuan, puasa, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, menghormati
orang non muslim dan banyak lagi.
b. Sunnah
Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan
tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan
yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan
mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki
hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu,
membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan sebagainya.
c. Haram
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan
mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh
perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina, minum alkohol,
bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.
d. Makruh
Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu
lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah
makan bawang, merokok dan sebagainya.
e. Mubah
Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara
mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga,
menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya.
48
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, hlm. 25-26.
24
50
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah. Cei. V. 2001, hlm. 19
26
51
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, Terj. A. Malik Madany dan Hamim
Ilyas. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. I, 1988, hlm. 161
27
52
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 163
53
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 19
28
54
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 167
29
55
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 168
30
e. Hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat.
Setiap hukum menghendaki adanya kedinamisan untuk dapat bertahan
terus di tengah-tengah perbedaan waktu dan tempat. Jika tidak demikian,
hukum tersebut akan mati dan tidak dapat bertahan. Hukum Islam mempunyai
sifat dinamis yang membuatnya tetap bertahan dan berkembang seiring
perkembangan zaman.56
Kaidah-kaidah hukum Islam tidak terbatas pemberlakuannya pada kaum
tertentu dan masa tertentu. Kaidah-kaidah hukum Islam merupakan kaidah
umum yang berlaku untuk semua masa, tempat, dan golongan. Dalam sejarah
terbukti hukum Islam telah berlaku selama empat belas abad. Di saat terjadi
berbagai perubahan masyarakat, ratusan kanun dan aturan-aturannya, serta
perubahan dasar-dasar hukum seiring dengan sanksi yang ada, hukum Islam
tetap eksis dan berlaku untuk semua zaman dan tempat yang didukung dengan
teks-teks (nushush) yang meliputi seluruh elemen pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi.57
Hukum Islam bersifat elastis (lentur, luwes) yang meliputi segala bidang
dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan
jasmani dan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama
makhluk, serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajaran
hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik
bidang ibadah, muamalah, maupun bidang-bidang yang lain.58 Hukum Islam
juga bersifat universal yang meliputi seluruh manusia tanpa dibatasi oleh
golongan dan daerah tertentu seperti hukum-hukum para Nabi sebelum
Muhammad. Hukum Islam berlaku bagi orang Arab dan non-Arab, bagi kulit
putih dan kulit hitam. Semua ini didasarkan pada kekuasaan Allah (sebagai
sumber utama hukum Islam) yang tidak terbatas.59
Kedinamisan hukum Islam dapat dilihat pada dalil-dalil nash (al-Quran
dan Sunnah) yang umum (universal) yang tidak terbatas pada waktu dan
tempat tertentu. Dalam Q.S. Saba’ (24): 28 dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 107,
misalnya, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa
56
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 172
57
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 21
58
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 21
59
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama). Jakarta: Logos. Cet. I, 1997, hlm.
49
31
risalah Islam diutus untuk semua manusia di muka bumi ini. Di samping itu,
dalam hukum Islam terdapat sumber hukum yang menjamin adanya
kedinamisan tersebut, yaitu ijtihad dengan berbagai metodenya, seperti ijma’,
qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, dan lain-lain. Metode-metode inilah
yang membuat hukum Islam tetap eksis di tengah-tengah perkembangan zaman
yang begitu pesat. Tidak ada satu masalah pun di dunia ini yang tidak dapat
ditemukan aturannya dalam hukum Islam.
Yang perlu dicatat, bahwa dinamika hukum Islam seperti di atas sarat
dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang masalah perbedaan ini justeru
menjadi pemicu adanya pertentangan dan permusuhan di kalangan umat Islam
sendiri, sehingga sangat melemahkan Islam dan hukum Islam. Sejarah
membuktikan, hancurnya umat Islam disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Namun, faktor internal lebih dominan jika dibandingkan dengan
faktor eksternal. Faktor internal yang terbesar adalah permusuhan antara umat
Islam yang dipicu oleh perbedaan pendapat di antara mereka. Kalau umat Islam
menyadari bahwa perbedaan pendapat itu suatu keniscayaan, maka hal ini tidak
seharusnya terjadi. Adanya perbedaan seperti ini justeru dapat memudahkan
umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam di tengah perbedaan waktu dan
tempat.
f. Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan
privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.
Tujuan hukum positif terlihat pragmatis dan terbatas, yakni menegakkan
ketertiban dalam masyarakat dengan satu cara tertentu. Tujuan ini sangat
diidam-idamkan oleh pembuat UU, meskipun terkadang memaksanya untuk
menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan agama. Misalnya, UU memutuskan
gugurnya hak dari pemilik barang lantaran dalu warsa. Ini memberi peluang
kepada orang lain dapat memiliki barang yang dalu warsa tersebut, meskipun
dengan cara yang tidak benar. Hukum Islam mempunyai tujuan yang berbeda
dengan hukum positif. Hukum Islam mempunyai bidang yang sama sekali
tidak disentuh oleh hukum positif, yaitu mengatur hubungan seorang individu
dengan Tuhannya. Ketentuan hukum Islam dalam bidang ibadah bertujuan
untuk mensucikan ruh dan menghubungkannya dengan Allah, sekaligus
mensejahterakan individu dan masyarakat secara bersama dalam berbagai
32
bidang baik di dunia maupun di akhirat. Dalam bidang muamalah hukum Islam
juga mempunyai tujuan yang menyeluruh dan memberikan bentuk ideal untuk
menyantuni individu, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.60
Prinsip hukum Islam seperti di atas kemudian banyak dituangkan dalam
rumusan-rumusan yang kemudian disebut kaidah-kaidah hukum Islam (al-
qawaid al-fiqhiyyah). Kaidah-kaidah ini dapat diterapkan di setiap situasi dan
kondisi, di manapun dan kapanpun. Dari sini juga dapat diketahui bahwa
hukum Islam mempunyai tujuan yang menyeluruh yang melibatkan individu,
masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.
g. Hukum Islam bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.
Karakteristik ini terkait dengan dua bidang kajian hukum Islam, yaitu
ibadah dan muamalah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi,
atau ghairu ma’qulat al-ma’na (irrasional), yakni ketentuan ibadah itu harus
sesuai dengan yang disyariatkan, meskipun akal tidak mampu menjangkaunya.
Tidak dapat diterapkan ijtihad dalam masalah ibadah ini. Sebagai contoh,
bagian-bagian yang harus dikenai air ketika seorang berwudlu adalah seperti
yang sudah ditentukan oleh al-Quran, yakni muka, dua tangan sampai siku-
siku, sebagian kepala, dan dua kaki sampai mata kaki. Bagian-bagian itu tidak
bisa diganti dan ditambah dengan yang lain, meskipun terkadang tidak bisa
ditemukan alasan rasionalnya. Sedang dalam bidang muamalah terkandung
nilai-nilai ta’aqquli atau ma’qulat al-ma’na (rasional), yakni ketentuan
muamalah itu dapat diterima dan dijangkau oleh akal. Pada bidang muamalah
ini dapat diterapkan ijtihad.61 Sebagai contoh, transaksi jual beli yang dulu
harus disertai dengan ijab kabul antara penjual dan pembeli secara tegas
dengan pernyataan menjual dan membeli barang tertentu dengan harga tertentu,
sekarang karena perkembangan teknologi bisa diganti dengan memasang label
harga tertentu pada barang yang diperjualbelikan yang dipajang di tempatnya
(etalase atau yang lain). Setiap pembeli yang memilih barang yang akan dibeli
cukup membawa barang pilihannya dan diserahkan kepada kasir untuk
penyelesaian pembayarannya. Di kasir inilah terjadi ijab kabul antara penjual
dan pembeli, meskipun tidak diucapkan jenis barang-barang dan harga-
60
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 175
61
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), hlm. 51
33
harganya, sebab antar penjual dan pembeli sudah saling suka sama suka.
Itulah beberapa karakteristik hukum Islam yang membedakannya dengan
hukum-hukum lain buatan manusia. Dengan karakteristik seperti itu,
sebenarnya tidak ada kekhawatiran bagi siapapun untuk menerapkan hukum
Islam di manapun dan kapanpun. Tujuan umum yang ingin dicapai oleh hukum
Islam bukan untuk kesejahteraan individu dan kelompok, tetapi untuk
kemaslahatan umat manusia seluruhnya, tanpa dibatasi agama, bahasa, dan
suku bangsa tertentu.
Untuk melengkapi uraian di sini, perlu ditambahkan dasar-dasar atau
prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam hal ini Muhammad Yusuf Musa
mengemukakan tiga prinsip dasar hukum Islam, yaitu: (1) tidak mempersulit
dan memberatkan; (2) memperhatikan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan; dan (3) mewujudkan keadilan secara menyeluruh.62 Sedang
Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar hukum Islam, yaitu:
(1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan; (2) menyedikitkan beban;
(3) ditetapkan secara bertahap; (4) memperhatikan kemaslahatan manusia; dan
(5) mewujudkan keadilan yang merata.63
Dari dua pendapat di atas dapat diketahui bahwa prinsip dasar hukum
Islam ada empat, yaitu:
1. Hukum Islam meminimalkan beban sehingga tidak mempersulit dan
memberatkan.
Prinsip ini banyak ditemukan dalam al-Quran, seperti dalam Q.S. al-
Maidah (5): 6; Q.S. al-Hajj (22): 78; Q.S. al-Fath (48): 17; Q.S. al-Baqarah
(2): 185; dan Q.S. al-Nisa’ (4): 28. Dari ayat-ayat ini terlihat Allah
mengetahui tingkat kesehatan dan kesakitan, kekuatan dan kelemahan
manusia, serta mengangkat kesulitan dari seluruh manusia pada umumnya
dan dari orang-orang yang sakit dan terkena musibah pada khususnya.
Banyak bukti yang menunjukkan pengangkatan kesulitan tersebut, ada
yang di bidang ibadah dan ada yang di bidang muamalah. Dalam bidang
ibadah dapat dilihat pembebanan al-Quran sehingga mudah dilaksanakan
tanpa ada kesulitan dan kepayahan. Misalnya, ketentuan boleh menjama’
62
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 180-190)
63
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), hlm. 66-75
34
64
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 186
35
65
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 19
36
keras. Dalam hal ini hukum Islam (al-Quran) dengan jelas memberikan
tahapan-tahapan dalam penetapan hukumnya, dimulai dari aturan yang
sederhana sampai pada penetapan keharamannya.
Urutan penetapan haramnya minuman keras dapat dilihat pada tiga ayat
al-Quran, yaitu surat al-Baqarah (2): 29 yang menjelaskan bahwa minuman
keras dan judi mempunyai manfaat dan mafsadat, tetapi mafsadatnya lebih
besar dari manfaatnya; surat al-Nisa’ (4): 43 yang melarang orang yang
meminum minuman keras untuk melakukan shalat; dan penegasan hukum
haramnya terdapat pada surat al-Maidah (5): 90. Masih banyak contoh lain
dalam al-Quran yang menetapkan hukum secara bertahap.
B. Utang-Piutang (al-Qardh)
1. Pengertian Utang-Piutang (al-Qardh)
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah
yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa
mengharapkan imbalan atau bunga (riba). Secara tidak langsung berniat untuk tolong
menolong bukan komersial.66 Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara
etimologi, qard bermakna ( اﻟﻘﻄﻊmemotong)67. Dinamakan tersebut karena uang
yang diambil oleh orang yang meminjamkan memotong sebagian hartanya.68 Harta
yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad, sebab
merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang).69 Qiradh merupakan kata
benda (masdar). Kata qiradh memiliki arti bahasa yang sama dengan qardh. Qiradh
juga berarti kebaikan dan atau keburukan yang kita pinjamkan.70 Al-Qardh adalah
pinjaman yang diberikan kepada muqtaridh yang membutuhkan dana dan/atau
uang.71
Pengertian al-qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.” Sementara definisi qardh
menurut ulama Malikiyah adalah “suatu penyerahan harta kepada orang lain yang
66
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Perbankan Syariah,”http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan
syariah#Produk_perbankan_syariah
67
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) Cet. 1, hlm.149
68
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Jilid 4, hlm. 181
69
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.1, hlm. 150
70
Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba, (Jakarta: Senayan Publishing), 2011, hlm. 323
71
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4
37
72
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1976), hlm.293
73
Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah, (Jakarta: Mediakita, 2011), hlm. 47.
74
Atang Abd. Hakim, Fiqh Perbankan Syariah Transformasi Fiqh Muamalah ke dalam Peraturan
Perundang-undangan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm.267
38
75
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Pustaka Umum Grafiti, Jakarta, 2007, hlm. 75
76
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 222
77
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 274
39
“dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh
sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan
terjerumus dalam kesulitan bila membayar utangnya, tannguhkan penagihan
sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit,
apalagi memaksanya dengan sesuatu yang amat dia butuhkan. Yang
menangguhkan itu pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman
yang baik. Setiap detik ia mengangguhkan dan menahan diri untuk tidak
menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran sehingga berlipat
ganda ganjaran itu. Yang lebih baik dari yang meminjamkan adalah
40
menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu. Kalau demikian, jika kamu
mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik, bergegaslah meringankan yang
berutang atau membebaskannya dari utang.78
4) Firman Allah Q.S Al-Hadid : 11
“siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak”.
Ayat ini menjelaskan hakikat infak yang dilakukan demi karena Allah. Ia
adalah bagaikan memberi pinjaman kepada Allah yang pasti dibayar dengan
berlipat ganda. Siapa yang menafkahkan secara ikhlas walau sebagian harta
yang berada dalam genggaman tangannya, lalu sebagai imbalannya Allah akan
melipatgandakan pembayaran dan balasannya dengan pelipatgandaan yang
banyak mencapai tujuh ratus kali bahkan lebih untuknya di akhirat dan juga
bisa jadi di dunia ini, dan baginya, di samping pelipatgandaan itu, pahala yang
mulia, yakni menyenangkan dan memuaskannya.79
5) Firman Allah QS. At-Taghabun : 17
“ jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah
Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun”.
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan
qardh (memberikan utang) kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan
dilipatgandakan oleh Allah.
Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan
78
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.1: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 727-728.
79
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.13: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, hlm. 420.
41
(ﺼ َﺪﻗَ ٍﺔ َﻣ ﱠﺮةً )روه اﺑﻦ ﻣﺠﮫ َ َﻣﺎ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ ﯾُﻘَﺮﱠضُ ُﻣ ْﺴﻠِﻤﺎ ً ﻗَﺮْ ﺿًﺎ َﻣ ﱠﺮﺗَ ْﯿ ِﻦ إِﻻﱠ َﻛ
َ ﺎن َﻛ
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali
kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (HR Ibnu Majah).82
ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ِﺳﻨًّﺎ ﻓَﺄَ ْﻋﻄَﻰ ِﺳﻨﱠﺎ َﺧ ْﯿﺮًا ِﻣ ْﻦ ِ ض َرﺳ ُْﻮ ُل َ اِ ْﺳﺘَ ْﻘ َﺮ
(ﻀﺎ ًء )رواه أﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤﺤﮫ ِ ﺎل ِﺧﯿَﺎ ُر ُﻛ ْﻢ أَ َﺣ
َ َﺎﺳﻨُ ُﻜ ْﻢ ﻗ َ َِﺳﻨﱢ ِﮫ َوﻗ
“Rasulullah SAW pernah meminjam seekor unta muda lalu beliau
mengembalikan unta yang lebih baik usianya dari yang dipinjamnya, dan beliau
bersabda, „sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan
(hutangnya).” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, ia menilainya shahih)83
Dari Abu Rafi‟ ia menuturkan: “Rasulullah SAW pernah berhutang onta
yang masih kecil, lalu datanglah onta shadaqah. Rasulullah menyuruhku untuk
membayar hutang onta kecil tersebut. Kemudian aku berkata, “Aku tidak
menemukan (kekurangan) pada onta itu kecuali itu onta yang bagus dan dewasa.
80
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, hlm 274-275
81
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 181
82
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2012), hlm. 118
83
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, hlm. 118
42
88
A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 1992), hlm.
252
89
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah, (Yogyakarta: P3EI Press, 2010), hlm.360-361
44
tidak lain adalah sesuatu yang bisa dimiliki dan dibatasi dengan karakteristik
tertentu seperti akad pemesanan, bukan barang yang tidak dibatasi dengan sifat
tertentu seperti batu mulia dan lain sebagainya. Qardh juga hanya boleh dilakukan
di dalam harta yang telah diketahui kadarnya. Apabila seseorang mengutangkan
makanan yang tidak diketahui takarannya, itu tidak boleh, karena qardh menuntut
pengembalian barang yang sepadan. Jika kadar barang tidak diketahui, tentu tidak
mungkin melunasinya.93
4. Syarat-Syarat Utang-Piutang (al-Qardh)
Sebelum melakukan transaksi qiradh dilakukan ada beberapa hal yang harus
dipenuhi agar qardh menjadi sah. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka qardh
dianggap tidak sah dalam pelaksanaannya. Ada empat syarat sahnya qardh.
Pertama. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab qabul atau bentuk lain yang
bisa menggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad tanpa ijab qabul)
dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu’athah tidaklah
cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya.
Kedua. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi
maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa,
berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’ (berderma).
Karena qardh adalah bentuk akad tabarru. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan
oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam
membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat
terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang yang
dibolehkan melakukan akad tabarru’ (berderma).
Ketiga. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli.
Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang
bisa dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang,
biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.
Keempat. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran,
timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari
jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur
dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.
Akad qardh dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegas
93
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, hlm. 20-21
47
hak milik, seperti pensyaratan adanya barang jaminan, penanggung pinjaman (kafil),
saksi, bukti tertulis, atau pengakuan di hadapan hakim. Mengenai batas waktu,
jumhur ulama menyatakan syarat itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah. Tidak
sah syarat yang tidak sesuai dengan akad qardh, seperti syarat tambahan dalam
pengembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai ganti yang cacat atau syarat
jual rumahnya.
Adapun syarat yang fasid (rusak) diantaranya adalah syarat tambahan atau
hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak
akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Seperti syarat pengembalian
barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus
atau syarat memberikan pinjaman kepada orang lain.
a. Harta yang Harus Dikembalikan
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk
mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan
mengembalikan harta semisal dalam bentuknya (dalam pandangan ulama selain
Hanafiyah) bilan pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan
kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.
b. Waktu Pengembalian
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti
adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam
menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal
batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah
ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal.
Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.94
94
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 378-379
48
b. Jika penambahan diberikan ketika membayar utang tanpa syarat, maka yang
demikian ini boleh dan termasuk pembayaran yang baik berdasarkan hadits yang
telah dikemukakan di pasal dasar al-qardh (utang-piutang).95
Tatkala pengembalian barang pinjaman, yang diwajibkan adalah seimbang
kadarnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak disyaratkan harus mengetahui kadar
dan sifat barang yang dipinjamkan. Tujuannya adalah agar keseimbangannya benar-
benar bisa diwujudkan. Dengan demikian, pengembalian barang pinjaman, baik yang
berpotensi riba ataupun bukan, kadarnya harus sama, tidak boleh lebih sedikit, juga
tidak boleh lebih berkualitas atau lebih jelek. Demikianlah hukum dasarnya. Namun
demikian, kelebihan kadar dan sifat, asalkan tidak disyaratkan, masih dibolehkan.
Pelunasan/pembayaran kembali hutang wajib dilakukan sesuai isi perjanjian
yang telah menjadi kata sepakat kedua belah pihak. Pada saat pelunasan yang wajib
dikembalikan hanya sebesar hutang yang diterima. Dan karena tidak dibenarkan
dalam perjanjian berisikan tambahan melebihkan dari jumlah yang diterima, maka
pengembaliannyapun dilarang memberikan penambahan. Tetapi kalau yang
berhutang atas kemauannya melebihkan jumlah pembayaran itu boleh diterima dan
merupakan kebaikan bagi yang berhutang.96
Jika yang dipinjamkan berupa barang yang bernilai maka pengembalian yang
benar menurut kebanyakan penganut madzhab syafi‟i, termasuk salah satu pendapat
Zhahiriyah, adalah barang yang serupa bentuknya. Dalilnya adalah hadits Abi Rafi‟,
“Bahwasannya Nabi saw. meminjam seekor unta kecil (masih bayi) - binatang ini
adalah binatang yang bernilai - kemudian beliau menyuruhku (Abu Rafi‟) untuk
mengembalikan pinjamannya dengan unta ruba’iy (unta yang berumur tujuh tahun).
Sedangkan unta kecil itu masih berusia remaja.” Jika tidak memungkinkan untuk
mengembalikan barang yang sama persis maka menurut Zhahiriyah, kembalikanlah
dengan nilai yang sama dan berusahalah untuk mengembalikan tepat pada hari yang
telah dijanjikan.
Pendapat kedua menurut Syafi‟i, termasuk juga pendapat Zhahiriyah yang lain,
adalah pengembaliannya disamakan nilainya. Sebab tidak mungkin untuk
mengembalikan barang yang sama persis dari semua aspeknya. Nilai itu dihitung saat
95
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq dan Muhammad bin
Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif,
2009), Cet-1, hlm. 168-169
96
R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum,
(Bandung: CV. Mandar Maju), 1997, hlm. 165
49
penyerahan kepada pemberi pinjaman. Sebab pinjaman juga memiliki nilai pinjaman
setelah diserahkan kepadanya, seperti yang dikemukakan oleh Zhahiriyah, demikian
juga Syafi‟i. Pendapat lainnya dari kalangan Syafi‟i adalah nilainya dihitung saat
penyerahan pinjaman. Ada yang mengatakan nilainya lebih banyak daripada nilai
saat penyerahan pinjaman. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa pengembaliannya
harus sama, baik pinjaman berupa barang bernilai ataupun bukan. Tampaknya
masalah yang mereka katakan tersebut adalah jika memungkinkan bisa
mengembalikannya dengan nilai yang sama.
Permasalahan ini sangat erat korelasinya dengan masalah riba. Seperti yang
telah diketahui bersama, menurut ahli fiqh, memberikan pinjaman bisa saja berupa
barang yang berpotensi riba ataupun yang bukan. Dalam transaksi pemberian
pinjaman, tidak ada bedanya antara harta yang berpotensi riba dan yang bukan
berpotensi riba, seperti yang dikatakan oleh Nawawi. Ibnu Hazm berkata, “Riba
dalam memberikan pinjaman bisa terjadi dalam bentuk apa pun maka tidak boleh
meminjamkan sesuatu agar mendapat pengembalian yang lebih banyak atau lebih
sedikit, tidak juga dengan pengembalian barang lain, tetapi harus sama bentuk dan
kadar dengan barang yang dipinjamkannya.”
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa uang tambahan yang disyaratkan oleh
pemberi pinjaman kepada peminjam adalah dilarang, baik uang tambahan itu sejenis
dengan uang yang dipinjamkannya ataupun tidak. Sebab hal ini telah menyeleweng
dari tujuan utama memberikan pinjaman, yaitu kasih sayang. Berkaitan dengan
syarat seperti itu, Hanafi berpendapat bahwa hukum memberikan tetap sah tetapi
syarat tersebut tidak sah. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa akad bersyarat
tersebut tidak sah.97
6. Khiyar dan Batas Waktu Utang-Piutang (al-Qardh)
Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah yang berpendapat adanya khiyar
majlis, dalam akad qardh tidak ada khiyar majlis dan tidak pula khiyar syarat, karena
maksud dari khiyar adalah pembatalan akad (al-faskh). Padahal dalam akad qardh,
siapa saja dari kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan akad bila ia
berkehendak, sehingga hak khiyar ini menjadi tidak bermakna.
Mengenai batas waktu, jumhur fuqaha tidak membolehkannya dijadikan
sebagai syarat dalam akad qardh. Oleh karenanya, apabila akad qardh ditangguhkan
97
Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba, hlm. 326-332
50
sampai batas waktu tertentu, maka ia tetap dianggap jatuh tempo. Pasalnya, secara
esensial ia sama dengan bentuk jual beli dirham dengan dirham, sehingga bila ada
penangguhan waktu maka ia akan terjebak dalam riba nasi’ah.98 Lain daripada itu
akad qardh tidak boleh menyertakan batasan jatuh tempo, sebab syarat ini menuntut
penambahan kompensasi, sementara kompensasi qardh tidak mengalami fluktuasi
(bertambah atau berkurang). Apabila syarat tersebut telah disertakan dalam
perjanjian qardh, ia tidak berlaku.99 Akan tetapi menurut Imam Malik bahwasannya
“boleh ada syarat waktu dalam qiradh, dan syarat tersebut harus dilaksanakan.
Apabila qiradh ditentukan hingga waktu tertentu, pemberi qiradh tidak berhak
menuntut sebelum masanya tiba.”100
Al-Qardh merupakan salah satu bentuk kegiatan sosial, maka pemberi
pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo. Hal itu karena akad
qardh adalah akad yang menuntut pengembalian harta sejenis pada barang mitsliyat,
sehingga mengharuskan pengembalian gantinya jika telah jatuh tempo, seperti
keharusan mengganti barang yang rusak. Maka demikian pula utang yang sudah
jatuh tempo tidak dapat ditangguhkan meski ada penangguhan. Hal ini berbeda
dengan masalah barang pengganti dalam akad jual beli atau akad ijarah, dimana jika
terjadi penangguhan dalam akad itu hingga waktu tertentu maka tidak dibolehkan
menuntut penyerahan barang pengganti sebelum datang tempo yang demikian itu.
Meskipun demikian, para ulama Hanafiah berpendapat bahwa
penangguhan dalam akad qardh menjadi bersifat mengikat dalam empat hal.
a. Wasiat, yaitu apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan hartanya pada
orang lain sampai waktu tertentu, satu tahun misalnya. Maka dalam kondisi ini,
ahli waris tidak boleh menagih peminjam sebelum jatuh tempo.
b. Adanya penyangsian, yaitu tatkala akad qardh ini disangsikan, kemudian pemberi
pinjaman menangguhkannya. Maka pada kondisi seperti ini, batas waktu menjadi
mengikat.
c. Keputusan pengadilan, yaitu bila hakim memutuskan bahwa akad qardh (dengan
batas waktu) sebagai sesuatu yang mengikat dengan didasarkan pada pendapat
Malik dan Ibnu Abi Laila, maka pada kategori ketiga ini batas waktu menjadi
sesuatu yang mengikat.
98
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 375
99
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 23
100
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm.. 182
51
101
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 375-376
102
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 182
52
Dalam Islam hukum adat dikenal dengan istilah ‘urf. Dalam buku karangan
Prof. Muhamad Abu Zahrah dikatakan bahwa ‘urf (tradisi) adalah “bentuk-bentuk
mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah
berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat.” Dan ini tergolong salah satu
sumber hukum (ashl) dari ushul fiqh yang diambil dari intisari sabda Nabi
Muhammad SAW:
103
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm.416-417
104
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm.150
53
memberatkan salah satu pihak. Dengan demikian perlu adanya pemahaman ‘urf
dalam pelaksanaan akad qardh di masyarakat. Karena tidak semua tradisi yang biasa
dilakukan masyarakat merupakan tradisi yang benar.
Sebagaimana yang telah diketahui, ‘urf menempati posisi penting dalam
bangunan hukum Islam. Masalah yang terkait dan diatur berdasarkan ‘urf atau harus
diselesaikan dengan mempertimbangkan ‘urf yang berlaku di tempat dan masa
terjadinya masalah tersebut, cukup besar jumlahnya.32 Abu Al-Husain Al-Bashri
membagi adat kepada dua bentuk; perbuatan dan perkataan. Menurutnya, adat
berupa perbuatan tidak dapat membatasi (takhshish) ungkapan umum. Ia
menegaskan bahwa adat bukan hujjah sebab adat perbuatan itu ada yang baik dan
ada yang buruk, sedangkan pertimbangan akal hanya berlaku selama syara’ tidak
memberikan ketentuan lain.
Dilihat dari proses pelaksanaan akad qardh yang kini sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, terdapat syarat-syarat yang diajukan oleh pihak pemberi
pinjaman pada saat akad berlangsung yang tidak dibenarkan oleh syara’.
Diantaranya adalah syarat waktu pengembalian, syarat jenis barang yang harus
dikembalikan, dan syarat penambahan jumlah barang yang dipinjam. Maka
menurut pemahaman ‘urf akan tersebut termasuk kedalam ‘urf fasid (rusak).
Dimana ‘urf yang rusak tidak diperbolehkan untuk dipelihara, karena
memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’. Maka apabila manusia telah
saling mengerti akad di antara akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad
gharar dan khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf, ini tidak
mempunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini. Karena itu dalam Undang-
Undang Positif manusia tidak diakui ‘urf yang bertentangan dengan undang-
105
undang umum. Akan tetapi tidak semua akad qardh merupakan ‘urf yang fasid.
Jika akad qardh itu dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang telah diatur oleh
syara’ maka akad tersebut masuk kedalam ‘urf shahih. Jadi relevansi antara akad
qardh dengan ‘urf itu dilihat dari ketetentuan akad yang digunakan pada saat
akad qardh berlangsung. Apakah dalam akad tersebut terdapat hal-hal yang
dilarang oleh syara’ atau tidak, itulah yang akan menentukan akad tersebut termasuk
kedalam jenis ‘urf yang shahih atau yang fasid.
105
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 133
54
‘Urf (adat kebiasaan) yang benar, yaitu yang tidak menyalahi syara’,
hendaknya menjadi bahan pertimbangan seseorang ahli Ijtihad dalam melakukan
ijtihadnya dan bagi seseorang hakim dalam mengeluarkan keputusannya.
Alasan pengambilan ‘urf tersebut ialah:
a. Syari‟at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (‘Urf)
yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat seimbang (kafa’ah) dalam
perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka
atas dasar ‘asabah (pertalian dan susunan keluarga).
b. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman
hidup mereka yang dibutuhkan.
‘Urf yang salah, yaitu yang berlawanan dengan syara’ atau berlawanan dengan
hukum yang sudah jelas karena ada nasnya, maka tidak menjadi bahan pertimbangan
seseorang mujtahid atau seseorang hakim.106‘Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya,‘urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa
nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak.
Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan
kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah
menurut qiyas, karena kintrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum
(tiada).107
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para Ulama berhujjah dengan
‘urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu :
a. Firman Allah QS. AL-A‟raaf : 199
106
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Wijaya, 1959), hlm.146
107
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hlm. 131
55
“Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang baik.”
Maksud hadits ini adalah yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah
berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di
sisi Allah.
c. Dilakukanya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa dengan
melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat adalah dalil syar’iy sebagaimana menghilangkan
kesusahan merupakan tujuan syara’. Ketika agama Islam datang, maka ia
mengakui ‘urf orang Arab yang baik (menimbulkan maslahat), seperti diakuinya
sekupu dalam perkawinan, garis ‘ushbah dalam urutan wali dan waris, kewajiban
diyat terhadap pembunuh yang tak sengaja.
Jumhur Fuqaha berhujjah dengan ‘urf. Tetapi yang sangat terkenal adalah
Malikiyah dan Hanafiyah. Disebutkan bahwa Imam Syafi‟i pun berpegang pada
‘urf dalam membina sebagian hukum madzhabnya yang baru menurut ‘urf orang
Irak. Sehingga Al Qarafy mengatakan bahwa “‘urf itu sama-sama dipegang oleh
seluruh mazhab dan siapa yang meneliti mazhab niscayalah ia menemui ketegasan
mereka terhadap ‘urf itu.”108
Penggunaan ‘urf oleh Al-Syafi‟i cukup luas, walaupun ia hanya
menggunakannya pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan di dalam nash.
Namun, Al-Syafi‟i tidak memasukkan ‘urf sebagai salah satu dalil atau sumber
hukum karena pada hakikatnya ‘urf tidak berperan sebagai sumber hukum: halal,
haram, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan tindakan dan pernyataan-
pernyataan para subjek hukum, ‘urf berfungsi sebagai rujukan dalam penetapan
atauran atau batasan yang mengikat dan menentukan keabsahannya. Dalam
pandangan Al-Syafi‟i, tampaknya kedudukan ‘urf sejajar dengan kaidah-kaidah
keabsahan yang harus diindahkan dalam memahami ungkapan dan pernyataan
manusia dalam tindakan hukum mereka. Jadi, seperti halnya kaidah kebahasaan,
walaupun tidak merupakan sumber hukum, ‘urf dapat mempengaruhi berlaku atau
tidaknya suatu hukum terhadap kasus-kasus.109
108
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), hlm. 78-80
109
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, hlm158-159
56
110
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 2000), hlm.81.
111
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm.81.81-82.
112
PINBUK, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah: Petjalanan dan Gerakan BMT di
Indonesia (Baitul Maal wat Tamwil) (Jakarta: PINBUK, 2000), hlm. 211-213.
57
d. Prinsip kemandirian. Prinsip percaya diri dikembangkan baik dari segi ajaran
maupun pelaksanaan.
e. Prinsip berbuat yang terbaik sesuai dengan penciptaan manusia sebagai makhluk
yang terbaik dibandingkan makhluk lain. Dalam pelaksanaan prinsip ini maka
setiap manusia yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan akan mendapat
balas jasa yang setimpal, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, di dunia
maupun di akhirat.
3. Kegiatan
Secara umum, kegiatan BMT dapat dikelompokkan menjadi beberapa sektor,
yaitu:113
a. Jasa Keuangan
Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa
penghimpunan dana dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan
untuk anggota atau non-anggota. Kegiatan ini dapat disamakan secara operasional
dengan kegiatan simpan pinjam dalam koperasi atau kegiatan perbankan secara
umum.
1) Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana
yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke sektor
produktif dalam bentuk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk tabungan
wadi’ah, simpanan mudharabah jangka pendek dan jangka panjang.
2) Penyaluran Dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis: pertama,
pembiayaan dengan sistem bagi hasil, dan kedua, jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan.
b. Sektor Riil114
Pada dasarnya, kegiatan sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana
BMT. Namun, berbeda dengan kegiatan sektor jasa keuangan yang penyalurannya
berjangka waktu tertentu, penyaluran dana pada sektor riil bersifat permanen atau
jangka panjang dan terdapat unsur kepemilikan di dalamnya. Penyaluran dana ini
113
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT), hlm.82-83.
114
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm 83.
58
115
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm. 84.
116
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm.191.
117
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), hlm
191.
59
a. Pembiayaan Mudharabah
b. Pembiayaan Musyarakah
c. Pembiayaan Murabahah
d. Pembiayaan Al-Bai’ Bithaman Ajil
e. Al-Qardhul Hasan
Pada awal perkembangannya, BMT memang tidak memiliki badan hukum
resmi. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang memungkinkan
penerapan sistem operasi bagi hasil adalah perbankan dan koperasi. Saat ini, oleh
lembaga-lembaga Pembina BMT yang ada, BMT diarahkan untuk berbadan
hukum koperasi mengingat BMT berkembang dari kelompok swadaya
masyarakat. Selain itu, dengan berbentuk koperasi, BMT dapat berkembang ke
berbagai sektor usaha seperti keuangan dan sektor riil. Bentuk ini juga diharapkan
dapat memenuhi tujuan memberdayakan masyarakat luas, sehingga kepemilikan
kolektif BMT sebagaimana konsep koperasi akan lebih mengenai sasaran.118
Untuk sumber permodalan tidak ada bedanya dengan koperasi konvensional
terutama dari partisipasi anggota. Adapun jika bersumber dari bank atau lembaga
keuangan nonbank lainnya tidak dapat digunakan pola konvensional tetapi harus
dengan akad syariah. Pengaturan yang berbeda juga dalam hal besarnya modal
yang disetor pada koperasi syariah ada pembatasan sedangkan dalam Undang-
undang Perkoperasian tidak dijelaskan dan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
(ART) koperasi, artinya sesuai kesepakatan anggota. Besarnya modal ditetapkan
sekurang-kurangnya sebagai berikut:119
a. Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Primer.
b. Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Sekunder.
c. Modal yang disetor pada awal pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah
dapat berupa simpanan pokok, simpanan wajib, dan dapat ditambah dengan
hibah, modal penyertaan, dan simpanan pokok khusus.
118
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 2000), hlm.85.
119
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 256.
60
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi kantor
BMT, yaitu:120
a. Lokasinya strategis, yakni lokasi berdekatan dengan pusat perdagangan, usaha-
usaha industri kecil dan rumah tangga, dan usaha ekonomi lainnya.
b. Berdekatan dengan masjid atau mushala karena BMT mengadakan pengajian
rutin dan pertemuan bisnis.
4. Ciri-ciri
Secara umum, ciri-ciri BMT dapat dijelaskan sebagai berikut:121
a. Usahanya dimaksud untuk mendorong sikap dan perilaku menabung dari
masyarakat banyak dengan menerima simpanan atas dasar balas jasa berdasarkan
bagi hasil.
b. Pengelolaannya secara profesional persis mengikuti administrasi pembukuan dan
prosedur perbankan (namun bukan lembaga perbankan) dengan kekecualian tidak
mengharuskan pakai jaminan uang atau harta benda untuk jumlah pinjaman yang
kecil.
c. Modal awal untuk mendirikan BMT, lebih kurang Rp 5.000.000 sampai dengan
Rp 10.000.000 (lebih besar tentu lebih baik) ditambah dengan fasilitas sarana
sekitar Rp 1.000.000 sampai dengan Rp 1.500.000.
d. Pendiri sebagai anggota inti. Terdapat sekelompok orang (20 sampai 40 orang) di
sekitar lokasi tempat didirikan BMT yang menjadi anggota inti yang diharapkan
bersedia urunan modal awal yang diangsur dalam satu atau beberapa kali.
e. Biaya operasional sangat rendah, antara lain karena kecilnya jumlah staf dan dapat
beroperasi pada kondisi yang tidak mewah.
f. Jaminannya adalah dengan mengutamakan kepercayaan, tokoh setempat dan/atau
tanggung renteng, saling kenal karena daerah operasinya tidak terlalu luas.
g. Mitra operasi, terintegrasi dengan lembaga lokal.
Selain ciri utama di atas, BMT juga memiliki ciri khas sebagai berikut:122
a. Staff dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif, tidak
menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun sebagai
120
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm.187-188.
121
PINBUK, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah: Petjalanan dan Gerakan BMT di
Indonesia (Baitul Maal wat Tamwil) (Jakarta: PINBUK, 2000), hlm.182-183.
122
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.184-185.
61
123
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.254.
124
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.276-279.
62