Anda di halaman 1dari 49

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1) peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa tertentu; dan keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh
hakim (di pengadilan) atau vonis.30 Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai
peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.31
Hukum Islam atau syariat Islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan
pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi
semua pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul
untuk melaksanakannya secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum
yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan
amaliyah.32
Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan
isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin,
memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata al-hukm berarti
putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan.33 Dalam ujudnya, hukum ada
yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan

30
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembagan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 410
31
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 38
32
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017, hlm. 24.
33
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif,
1997, hlm. 286

14
15

ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan
sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua
manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.34 Dengan pengertian yang
sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. lalu
disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah hukum
Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam
ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau
peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw. untuk
mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat
yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari
ajaran Islam.
Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah,
tidak dikenal istilah hukum Islam dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara
terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literatur Arab, termasuk juga dalam
al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan
untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah (Indonesia: syariah
Islam) dan al-fiqh al-Islami (Indonesia: fikih Islam). Istilah hukum Islam yang
menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di Indonesia berasal dari istilah
Barat. Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-
aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui
permasalahan-permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali
membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada perbedaan.
Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang berbahasa Inggris,
yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama
para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi
hingga sekarang. Sebagai contoh dari buku-buku mereka yang terkenal adalah
Islamic Law in Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to
Islamic Law (1965) karya Joseph Schacht, A History of Islamic Law (1964) karya

34
Mahmud Syaltout, Al – Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Kuwait: Daar al-Qalam, 1966, hlm. 9
16

N.J. Coulson, Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the
Sixteenth to the Twenty-first Centuri (2005) karya Rudolph Peters, An Introduction to
Islamic Law (2009) kayra Wael B. Hallaq, dan Introduction in Islamic Law (2010)
karya Ahmed Akgunduz. Para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa
Inggris juga menggunakan istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata Islamic law
sering digunakan untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam. Ahmad Hasan
menggunakan istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-karyanya seperti dalam
buku The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of
Islamic Jurisprudence (1994). Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi hukum Islam. Istilah ini kemudian banyak digunakan untuk
istilah-istilah resmi seperti dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah,
jurusan, dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat,
ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga digunakan Islamic
law, di samping juga digunakan istilah lain seperti the revealed law atau devine
law.35
Istilah lain terkait dengan hukum Islam yang juga digunakan dalam literatur
Barat adalah Islamic Jurisprudence. Istilah ini digunakan untuk padanan ushul fikih.
Ada beberapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di
antaranya adalah dua buku tulisan Ahmad Hasan seperti di atas, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of
Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua karya Ahmad
Hasan seperti di atas, yakni The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970)
dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994), serta karya Norman Calder,
Islamic Jurisprudence in the Classical Era yang diedit oleh Colin Imber (2010).
Dari penjelasan di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan makna
dari Islamic law (hukum Islam) antara syariah dan fikih. Jadi, kata hukum Islam yang
sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum
mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh
karena itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih
Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah hukum Islam untuk padanan
dari kedua istilah tersebut.

35
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. oleh Agah Garnadi. Bandung: Pustaka. Cet. I,
1984, hlm. 396
17

2. Ruang Lingkup Hukum Islam


Pembahasan mengenai ruang lingkup hukum Islam di sini berkisar pada tiga
masalah pokok, yaitu: (1) pengertian ruang lingkup hukum Islam;ibadah, sebagai
ruang lingkup hukum Islam yang pertama; dan (3) muamalah, sebagai ruang lingkup
hukum Islam yang kedua.
Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian
hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam.
Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan
hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan
hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak
membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian
hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan
hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang
lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun
minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk
hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut
muamalah.
Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran,
Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum
i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum
‘amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah
inilah yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Abdul Wahhab
Khallaf membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum
ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum
muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.36
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidang-
bidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah.
Kedua bidang hukum ini akan diuraikan lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.
a Ibadah
Secara etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah, yang
merupakan mashdar dari kata kerja ‘abada - ya’budu yang berarti menyembah

36
Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-‘Ilm li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-
Tauzi’. Cet. XII, 1978, hlm 32
18

atau mengabdi.37 Sedang secara terminologis ibadah diartikan dengan perbuatan


orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka
mengagunkan Tuhannya.38 Sementara itu, Hasbi ash Shiddieqy mendefinisikan
ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridoan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ulama
fikih. Dari makna ini, jelaslah bahwa ibadah mencakup semua aktivitas manusia
baik perkataan maupun perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk
mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala di akhirat kelak.39
Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul
karena hati merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan
keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang
hakikatnya tidak diketahui oleh akal. Pendapat lain menyatakan, hakikat ibadah
adalah memperhambakan jiwa dan menundukkannya kepada kekuasaan yang
ghaib yang tidak dijangkau ilmu dan tidak diketahui hakikatnya. Sedang menurut
Ibnu Katsir, hakikat ibadah adalah suatu ungkapan yang menghimpun
kesempurnaan cerita, tunduk, dan takut.40
Dari beberapa pengertian tentang ibadah di atas dapat dipahami bahwa
ibadah hanya tertuju kepada Allah dan tidak boleh ibadah ditujukan kepada selain
Allah. Hal ini karena memang hanya Allah yang berhak menerima ibadah hamba-
Nya dan Allahlah yang telah memberikan segala kenikmatan, pertolongan, dan
petunjuk kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam al-Quran
dengan tegas disebutkan bahwa Allah memerintahkan jin dan manusia untuk
beribadah kepada-Nya (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56). Di ayat lain Allah
memerintahkan ibadah kepada manusia sebagai sarana untuk mencapai derajat
takwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 21). Dengan demikian, jelaslah bahwa ibadah
merupakan hak Allah yang wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah. Karena
ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang
dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah.
Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (Q.S. al-Zumar [39]:

37
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 886
38
Al-Jarjaniy, Ali Ibn Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. III,
1988, hlm. 189
39
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VI, 1985,
hlm. 4
40
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 8
19

11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (Q.S. al-Kahfi
[18]: 110).
Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambah-tambah atau
dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena
ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas
umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan
kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian,
tidak mungkin dalam ibadah dilakukan modernisasi, atau melakukan perubahan
dan perombakan yang mendasar mengenai hukum, susunan, dan tata caranya.
Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan ibadah yang sudah
modern.41
Ibadah memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik
sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada
dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang
dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai
material berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa imbalan yang
akan diterima di akhirat.

Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah
(ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum).42 Ibadah khusus
adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur
dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu,
pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul.
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati
dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau
pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bid’ah dan
berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku
prinsip:
ْ ‫ْاﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ ْاﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة ْاﻟﺒ‬
‫ُﻄ َﻼ ُن َﺣﺘﱠﻰ ﯾَﻘً ْﻮ َم َدﻟِ ْﯿ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ‬
"Pada prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang

41
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, hlm. 49
42
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 5
20

memerintahkannya."43
Contoh ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah),
zakat, puasa, dan haji. Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Adapun ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum
ini tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justeru berupa
hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai
ibadah. Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim
(baik perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari
dengan niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu
berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari
rido Allah.

Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1) ibadah badaniyah, seperti shalat, 2) ibadah maliyah, seperti zakat, 3) ibadah
ijtima’iyah, seperti haji, 4) ibadah ijabiyah, seperti thawaf, dan 5) ibadah salbiyah,
seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash
Shiddieqy, 1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain
berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan
ruhnya, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada
Tuhannya dengan didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati.
b Muamalah
Secara etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah
yang berpangkal pada kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang berarti membuat,
berbuat, bekerja, atau bertindak.44 Dari kata ‘amila muncul kata ‘amala-yu’amilu–
mu’amalah yang artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb).45
Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain
ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan
lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat.46

43
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 91
44
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 972
45
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 974
46
‘Abdul Wahhab Khallaf,, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 32
21

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah


muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada,
tidak terperinci seperti halnya dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang
muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam
bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang
muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi. Dengan
pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu
mengakomodasi kemajuan tersebut.
Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas
umum, yakni pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali
ada dalil yang membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91). Dari
prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam
kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash
yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat
saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh
Islam.
Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam
bidang muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf, meliputi47
(1) ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah/(hukum-hukum masalah personal/keluarga);
(2) al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata);
(3) al-ahkam al-jinaiyyah (hukum-hukum pidana);
(4) ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan);
(5) al-ahkam al-dusturiyyah (hukum-hukum perundang-undangan);
(6) al-ahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan); dan
(7) al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah (hukum-hukum ekonomi dan harta).
Jika dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum
privat dengan hukum publik, hukum Islam dalam bidang muamalah tidak
membedakan antara keduanya, karena kedua istilah hukum itu dalam hukum Islam
saling mengisi dan saling terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah
yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam
hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut:

47
‘Abdul Wahhab Khallaf,, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 32-33
22

a. Hukum perdata (Islam), yang meliputi:


1) Ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah, yang mengatur masalah keluarga, yaitu
hubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. Jika dibandingkan
dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum
perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam.
2) Al-ahkam al-madaniyyah, yang mengatur hubungan antar individu
dalam bidang jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan
sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum
benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.
b. Hukum publik (Islam), yang meliputi:
1) Al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di
Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum pidana.
2) Ahkam al-murafa’at, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah
untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan
hukum acara.
3) Al-ahkam al-dusturiyyah, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasar-
dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi,
menentukan hak-hak individu dan sosial.
4) Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berhubungan dengan hubungan keuangan
antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-
Muslim dengan negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan
hukum internasional.
5) Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang berkaitan dengan hak
orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan
dan sumber pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan
hubungan keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara
negara dengan individu.
Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang
objek kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja berbeda
antara ahli hukum yang satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum Islam tidak
dapat dipisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat. Hampir
semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan masalah umum (publik) dan
23

juga terkait dengan masalah individu (privat).


Berikut merupakan hukum-hukum dalam Islam:48

a. Wajib
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang
memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, memakai hijab bagi
perempuan, puasa, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, menghormati
orang non muslim dan banyak lagi.

b. Sunnah
Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan
tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan
yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan
mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki
hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu,
membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan sebagainya.

c. Haram
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan
mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh
perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina, minum alkohol,
bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.

d. Makruh
Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu
lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah
makan bawang, merokok dan sebagainya.

e. Mubah
Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara
mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga,
menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya.

Sumber hukum syariat Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai


hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah swt, syariat Islam telah menetapkan

48
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, hlm. 25-26.
24

tujuan-tujuan luhur yang akan menjaga kehormatan manusia, yaitu sebagai


berikut:49

a. Pemeliharaan atas keturunan.


Hukum syariat Islam mengharamkan seks bebas dan mengharuskan
dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini untuk menjaga kelestarian dan
terjaganya garis keturunan. Dengan demikian, seorang anak yang lahir melalui
jalan resmi pernikahan akan mendapatkan haknya sesuai garis keturunan dari
ayahnya.

b. Pemeliharaan atas akal.


Hukum Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat memabukkan
dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau beralkohol dan narkoba.
Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena pesta miras oplosan,
akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya akan terganggu.
c. Pemeliharaan atas kemuliaan.
Hukum Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat memabukkan
dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau beralkohol dan narkoba.
Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena pesta miras oplosan,
akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya akan terganggu.

d. Pemeliharaan atas harta.


Syariat Islam telah menetapkan sanksi atas kasus pencurian dengan
potong tangan bagi pelakunya. Hal ini merupakan sanksi yang sangat keras
untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran terhadap harta
orang lain.

e. Pemeliharaan atas agama.


Hukum Islam memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk
menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Islam tidak pernah memaksakan
seseorang untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Islam mempunyai sanksi bagi
setiap muslim yang murtad agar manusia lain tidak mempermainkan
agamanya.
49
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, hlm. 26-27.
25

3. Karakteristik Hukum Islam


Sebagai suatu sistem hukum tersendiri, hukum Islam memiliki beberapa
karakteristik dan watak tersendiri yang membedakannya dari berbagai sistem hukum
yang ada di dunia. Di antara karaktersitik hukum Islam ini ada yang merupakan
produk dari watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya
dalam mencapai tujuan yang diridoi Allah.
Para ulama berbeda-beda dalam menguraikan karakteristik hukum Islam. Dari
berbagai pendapat para ulama dapat dikemukakan beberapa karakteristik dasar dari
hukum Islam seperti berikut:
a. Asal mula hukum Islam berbeda dengan asal mula hukum umum.
Perbedaan pokok hukum Islam (syariah) dengan hukum Barat adalah
bahwa hasil konsep hukum Islam merupakan ekspresi dari wahyu Allah.
Dengan kata lain bahwa hukum Islam secara mendasar bersumber pada wahyu
Allah. Sumber-sumber hukum Islam kemudian berupa wahyu Allah (al-Quran),
Sunnah Rasulullah dan sumber-sumber lain yang didasarkan pada dua sumber
pokok ini. Jadi, hukum-hukum buatan manusia sangat berbeda dengan hukum-
hukum yang datang dari Allah yang tidak layak dibandingkan, karena
perbedaan yang sangat mencolok antara Allah sebagai Pencipta dan manusia
sebagai yang diciptakan, sehingga tidak akan pernah diterima akal secara sama
membandingkan apa yang dibuat oleh manusia dengan apa yang dibuat oleh
Tuhan manusia.50
Islam mengajarkan suatu prinsip aqidah yang benar setelah prinsip-
prinsip aqidah dalam agama Yahudi dan Nasrani mengalami perubahan yang
mendasar akibat ulah para penganutnya. Islam juga menetapkan peraturan
perundang-undangan yang sesuai untuk kehidupan individu dan masyarakat,
terutama karena agama-agama wahyu (samawi) sebelumnya belum
memberikan aturan-aturan yang memadai. Di antara peraturan-peraturan itu
adalah yang termuat dalam hukum Islam. Dasar-dasar hukum Islam bersumber
pada wahyu Allah yang dapat dijumpai dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam
kedua sumber ini terdapat keseluruhan bagian hukum modern yang bermacam-
macam, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum tata

50
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah. Cei. V. 2001, hlm. 19
26

negara, hukum internasional, dan cabang-cabang hukum yang lain.51


Para fuqaha (ahli fikih) terikat dengan dua sumber pokok (al-Quran dan
Sunnah) selama ditemukan nash-nash di dalamnya. Jika dalam kedua sumber
ini tidak ditemukan dasar-dasar tersebut, maka harus dicari dasar-dasarnya
dengan mendasarkan pada inspirasi jiwa dan prinsip serta tujuan hukum Islam.
Di sinilah ijtihad memainkan peran yang sangat penting dalam menemukan
dasar-dasar yang belum ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah. Para ahli
hukum positif terus menerus mengkaji undang-undang dan menafsirkan teks-
teksnya pasal demi pasal, seperti yang dilakukan para penafsir kitab suci,
semisal al-Quran, dengan berasumsi bahwa undang-undang itu memuat segala
sesuatu yang menyangkut bidang isinya. Karena itulah ketika para ahli hukum
sepakat mengatakan bahwa teks-teks hukum memuat semua kaidah hukum
tanpa ada yang terlewat, tidak ada pilihan lain bagi seorang ahli hukum kecuali
membahas dan menafsirkan teks-teks itu pasal demi pasal. Bisa jadi seorang
ahli fikih (hukum Islam) tidak mampu menyimpulkan satu kaidah dari teks
hukum (nash) yang dipelajari. Hal ini bukan berarti dalam nash terdapat
kesalahan, tetapi karena keterbatasan yang ada pada ahli fikih tersebut.
Inilah karakteristik yang membedakan sistem hukum Islam dengan
sistem hukum yang lain buatan manusia. Sistem hukum Barat dan hukum
modern yang lain tidak satu pun yang bersumber pada wahyu Tuhan, termasuk
hukum-hukum adat yang berkembang di beberapa daerah di tanah air kita
(Indonesia). Itulah sebabnya, hukum Islam memiliki supremasi yang sangat
tinggi bagi umat Islam. Tidak ada sistem hukum di dunia ini yang memiliki
tingkat kepercayaan dan kepatuhan seperti hukum Islam. Namun demikian,
dalam kenyatannya penghargaan terhadap hukum Islam di dunia modern ini
tidak setinggi kualitasnya sendiri. Manusia modern lebih taat dan patuh pada
aturan-aturan hukum positif yang mempunyai kekuatan yang mengikat bagi
setiap orang yang masuk dalam lingkup pemberlakuan hukum positif tersebut
dibandingkan dengan ketaatannya pada hukum Tuhan (hukum Islam).
b. Aturan-aturan hukum Islam dibuat dengan dorongan agama dan moral.
Aturan-aturan hukum Islam pernah dilaksanakan secara sempurna oleh

51
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, Terj. A. Malik Madany dan Hamim
Ilyas. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. I, 1988, hlm. 161
27

pemeluknya. Hal ini karena semua peraturannya menggunakan pertimbangan


agama dan moral yang membuatnya benar-benar diterima dan diyakini oleh
segenap orang beriman, tanpa ada perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.
Sebagai bukti dapat dilihat dalam hal bertetangga. Dalam al-Quran dan Sunnah
banyak anjuran kepada umat Islam untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa
dibatasi oleh agama dan kepentingan apapun. Seorang mukmin yang baik akan
patuh terhadap anjuran al-Quran dan Sunnah dalam aturan bertetangga ini
tanpa harus diikat oleh aturan-aturan atau undang-undang. Ketika seorang
mukmin tidak menaati aturan itu, akan terlihat bahwa imannya tidak lagi
bernilai baik.52 Ilustrasi seperti ini dapat juga dilihat dalam perintah- perintah
agama yang lain, seperti bersedekah (berzakat) dan berjihad. Kenyataan seperti
di atas tidak didapati dalam undang-undang (UU) buatan manusia. Semua UU
buatan manusia selalu didahului oleh konsideran sebagai acuannya. Dalam
konsideran ini dijelaskan sebab-sebab ditetapkan UU itu, tujuan pembuatannya,
dan pertimbangan-pertimbangan lain. Namun, konsideran dalam UU tidak
dapat disamakan dengan hukum Islam yang acuannya dari al-Quran dan
Sunnah. Dengan acuan seperti ini orang yang menaati hukum Islam akan
merasa mendapatkan rido dari Allah dan mendapatkan pahala baik di dunia
maupun di akhirat. Inilah yang tidak ditemukan dalam hukum-hukum selain
hukum Islam.
Jika hukum Islam ditetapkan atas dasar dorongan agama dan moral,
hukum umum buatan manusia ditetapkan atas dasar ketundukan pada hawa
nafsu dan kecenderungan tertentu serta mengikuti faktor-faktor kemanusiaan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian menyebabkan hukum manusia
menyimpang dari ketetapan yang benar dan penyelesaian urusan kehidupan
secara adil. Karena itulah, hukum buatan manusia sering mengalami perubahan
dan perbaikan serta tidak memiliki ketetapan hukum yang pasti. Hukum halal
pada saat ini bisa saja berubah menjadi hukum haram pada esok hari, dan
karenanya pertimbangan hidup serta ukuran baik dan tidak baik juga berbeda-
beda.53 Hukum Islam (syariah) sangat berbeda dengan hukum ini, karena
hukum Islam didasarkan pada wahyu Ilahi yang sangat tahu tentang persoalan

52
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 163
53
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 19
28

manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.


c. Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat.
Ciri ini terkait dengan ciri sebelumnya, sehingga hampir tidak dapat
dipisahkan. Hukum buatan manusia (UU) tidak akan memiliki ciri seperti ini.
Pemberian sanksi atau hukuman terhadap para pelanggar UU hanya akan
didapatkan ketika di dunia. Tidak ada aturan atau ketentuan dalam UU tersebut
yang akan memberikan sanksi atau balasan di akhirat. Hukum Islam
menjanjikan pahala dan siksa di dunia dan akhirat. Sanksi di akhirat tentunya
jauh lebih besar dari sanksi di dunia. Karena itu, orang yang beriman merasa
mendapatkan dorongan jiwa yang kuat untuk melaksanakan hukum Islam
dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Hukum yang disandarkan
kepada agama bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan individu dan
masyarakat. Karena itu, hukum tersebut tidak akan menetapkan suatu aturan
yang bertentangan dengan kehendak keduanya. Hukum ini tidak hanya
bertujuan untuk membangun masyarakat yang baik saja, tetapi juga bertujuan
untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan seluruh umat manusia di
dunia dan akhirat.54
Sanksi yang diterima orang yang melanggar hukum Islam di samping
berupa hukuman dunia dan sanksi material lainnya juga berupa sanksi spiritual
atas dasar hati, pikiran, dan kesadaran manusia. Banyak contoh yang
disebutkan dalam buku-buku fikih terkait dengan hal ini, misalnya
perdagangan yang dieksekusi setelah terdengar suara azan untuk orang yang
melaksanakan shalat Jum’at adalah qadla’an (menurut keputusan hukum
positif), yakni sah menurut hukum sipil. Bagaimanapun, hal ini merupakan
diyanatan yang diizinkan (menurut hukum agama dan hukum ideal). Pada saat
yang sama, seseorang yang melakukan tindakan kriminal dengna merusak
barang milik orang lain harus membayar kepada pemiliknya, bahkan ia juga
harus memikul tanggung jawab lain atas penyerangan terhadap barang milik
orang lain tersebut.
d. Kecenderungan hukum Islam bersifat komunal.
Di atas sudah dijelaskan bahwa hukum Islam bertujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan umat manusia seluruhnya, baik individu maupun

54
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 167
29

masyarakat. Karena itu, kecenderungan yang dominan dari hukum Islam


adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik. Komunal memiliki
pengertian yang lebih luas yang mencakup segi materi dan segi-segi lain yang
meliputi seluruh hak dan kewajiban, sedang sosialistik mempunyai pengertian
khusus yang terbatas pada materi. Kecenderungan hukum Islam yang komunal
ini dapat terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah.
Semua aturan hukum Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik
individu untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kewajiban
shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang ibadah, penghalalan jual beli dan
pengharaman riba, perintah jual beli dan larangan riba, serta menegakkan
hukuman hudud untuk melindungi masyarakat dalam bidang muamalah.55
Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa hukum Islam di dalam
mewajibkan perintah dan mengharamkan larangan tidak hanya bertujuan untuk
keselamatan dan kebahagiaan individu saja, tetapi juga untuk mewujudkan
kemaslahatan masyarakat secara umum. Inilah watak dan kecenderungan
hukum Islam yang hakiki sebagaimana yang kita jumpai dalam al-Quran,
Sunnah, dan putusan-putusan para ulama melalui ijtihad. Hal ini sangat
berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia yang pada umumnya memiliki
kecenderungan individual. Karena itu, aturan-aturan hukum positif banyak
yang mengakibatkan benturan antar individu ketika kepentingan masing-
masing individu itu berbeda. Hal inilah yang kemudian menjadi titik tolak
hukum positif membenahi aturan-aturannya sehingga pada akhirnya juga
mempunyai watak komunal. Sebagai contoh, tidak ada hukum positif yang
melarang praktek riba yang pada prinsipnya menguntungkan pemilik modal
dan merugikan peminjam.
Cakupan hukum Islam jauh lebih luas dari cakupan hukum buatan
manusia. Aturan-aturan dalam hukum Islam meliputi berbagai persoalan hidup
manusia tanpa ada pembatasan-pembatasan tertentu. Adapun hukum buatan
manusia aturan-aturannya dibatasi pada permasalahan tertentu, misalnya hanya
mengatur masalah hukum privat, hukum keluarga, hukum pidana, hukum
internasional, atau masalah-masalah tertentu yang lain.

55
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 168
30

e. Hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat.
Setiap hukum menghendaki adanya kedinamisan untuk dapat bertahan
terus di tengah-tengah perbedaan waktu dan tempat. Jika tidak demikian,
hukum tersebut akan mati dan tidak dapat bertahan. Hukum Islam mempunyai
sifat dinamis yang membuatnya tetap bertahan dan berkembang seiring
perkembangan zaman.56
Kaidah-kaidah hukum Islam tidak terbatas pemberlakuannya pada kaum
tertentu dan masa tertentu. Kaidah-kaidah hukum Islam merupakan kaidah
umum yang berlaku untuk semua masa, tempat, dan golongan. Dalam sejarah
terbukti hukum Islam telah berlaku selama empat belas abad. Di saat terjadi
berbagai perubahan masyarakat, ratusan kanun dan aturan-aturannya, serta
perubahan dasar-dasar hukum seiring dengan sanksi yang ada, hukum Islam
tetap eksis dan berlaku untuk semua zaman dan tempat yang didukung dengan
teks-teks (nushush) yang meliputi seluruh elemen pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi.57
Hukum Islam bersifat elastis (lentur, luwes) yang meliputi segala bidang
dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan
jasmani dan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama
makhluk, serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajaran
hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik
bidang ibadah, muamalah, maupun bidang-bidang yang lain.58 Hukum Islam
juga bersifat universal yang meliputi seluruh manusia tanpa dibatasi oleh
golongan dan daerah tertentu seperti hukum-hukum para Nabi sebelum
Muhammad. Hukum Islam berlaku bagi orang Arab dan non-Arab, bagi kulit
putih dan kulit hitam. Semua ini didasarkan pada kekuasaan Allah (sebagai
sumber utama hukum Islam) yang tidak terbatas.59
Kedinamisan hukum Islam dapat dilihat pada dalil-dalil nash (al-Quran
dan Sunnah) yang umum (universal) yang tidak terbatas pada waktu dan
tempat tertentu. Dalam Q.S. Saba’ (24): 28 dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 107,
misalnya, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa
56
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 172
57
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 21
58
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 21
59
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama). Jakarta: Logos. Cet. I, 1997, hlm.
49
31

risalah Islam diutus untuk semua manusia di muka bumi ini. Di samping itu,
dalam hukum Islam terdapat sumber hukum yang menjamin adanya
kedinamisan tersebut, yaitu ijtihad dengan berbagai metodenya, seperti ijma’,
qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, dan lain-lain. Metode-metode inilah
yang membuat hukum Islam tetap eksis di tengah-tengah perkembangan zaman
yang begitu pesat. Tidak ada satu masalah pun di dunia ini yang tidak dapat
ditemukan aturannya dalam hukum Islam.
Yang perlu dicatat, bahwa dinamika hukum Islam seperti di atas sarat
dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang masalah perbedaan ini justeru
menjadi pemicu adanya pertentangan dan permusuhan di kalangan umat Islam
sendiri, sehingga sangat melemahkan Islam dan hukum Islam. Sejarah
membuktikan, hancurnya umat Islam disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Namun, faktor internal lebih dominan jika dibandingkan dengan
faktor eksternal. Faktor internal yang terbesar adalah permusuhan antara umat
Islam yang dipicu oleh perbedaan pendapat di antara mereka. Kalau umat Islam
menyadari bahwa perbedaan pendapat itu suatu keniscayaan, maka hal ini tidak
seharusnya terjadi. Adanya perbedaan seperti ini justeru dapat memudahkan
umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam di tengah perbedaan waktu dan
tempat.
f. Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan
privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.
Tujuan hukum positif terlihat pragmatis dan terbatas, yakni menegakkan
ketertiban dalam masyarakat dengan satu cara tertentu. Tujuan ini sangat
diidam-idamkan oleh pembuat UU, meskipun terkadang memaksanya untuk
menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan agama. Misalnya, UU memutuskan
gugurnya hak dari pemilik barang lantaran dalu warsa. Ini memberi peluang
kepada orang lain dapat memiliki barang yang dalu warsa tersebut, meskipun
dengan cara yang tidak benar. Hukum Islam mempunyai tujuan yang berbeda
dengan hukum positif. Hukum Islam mempunyai bidang yang sama sekali
tidak disentuh oleh hukum positif, yaitu mengatur hubungan seorang individu
dengan Tuhannya. Ketentuan hukum Islam dalam bidang ibadah bertujuan
untuk mensucikan ruh dan menghubungkannya dengan Allah, sekaligus
mensejahterakan individu dan masyarakat secara bersama dalam berbagai
32

bidang baik di dunia maupun di akhirat. Dalam bidang muamalah hukum Islam
juga mempunyai tujuan yang menyeluruh dan memberikan bentuk ideal untuk
menyantuni individu, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.60
Prinsip hukum Islam seperti di atas kemudian banyak dituangkan dalam
rumusan-rumusan yang kemudian disebut kaidah-kaidah hukum Islam (al-
qawaid al-fiqhiyyah). Kaidah-kaidah ini dapat diterapkan di setiap situasi dan
kondisi, di manapun dan kapanpun. Dari sini juga dapat diketahui bahwa
hukum Islam mempunyai tujuan yang menyeluruh yang melibatkan individu,
masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.
g. Hukum Islam bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.
Karakteristik ini terkait dengan dua bidang kajian hukum Islam, yaitu
ibadah dan muamalah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi,
atau ghairu ma’qulat al-ma’na (irrasional), yakni ketentuan ibadah itu harus
sesuai dengan yang disyariatkan, meskipun akal tidak mampu menjangkaunya.
Tidak dapat diterapkan ijtihad dalam masalah ibadah ini. Sebagai contoh,
bagian-bagian yang harus dikenai air ketika seorang berwudlu adalah seperti
yang sudah ditentukan oleh al-Quran, yakni muka, dua tangan sampai siku-
siku, sebagian kepala, dan dua kaki sampai mata kaki. Bagian-bagian itu tidak
bisa diganti dan ditambah dengan yang lain, meskipun terkadang tidak bisa
ditemukan alasan rasionalnya. Sedang dalam bidang muamalah terkandung
nilai-nilai ta’aqquli atau ma’qulat al-ma’na (rasional), yakni ketentuan
muamalah itu dapat diterima dan dijangkau oleh akal. Pada bidang muamalah
ini dapat diterapkan ijtihad.61 Sebagai contoh, transaksi jual beli yang dulu
harus disertai dengan ijab kabul antara penjual dan pembeli secara tegas
dengan pernyataan menjual dan membeli barang tertentu dengan harga tertentu,
sekarang karena perkembangan teknologi bisa diganti dengan memasang label
harga tertentu pada barang yang diperjualbelikan yang dipajang di tempatnya
(etalase atau yang lain). Setiap pembeli yang memilih barang yang akan dibeli
cukup membawa barang pilihannya dan diserahkan kepada kasir untuk
penyelesaian pembayarannya. Di kasir inilah terjadi ijab kabul antara penjual
dan pembeli, meskipun tidak diucapkan jenis barang-barang dan harga-

60
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 175
61
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), hlm. 51
33

harganya, sebab antar penjual dan pembeli sudah saling suka sama suka.
Itulah beberapa karakteristik hukum Islam yang membedakannya dengan
hukum-hukum lain buatan manusia. Dengan karakteristik seperti itu,
sebenarnya tidak ada kekhawatiran bagi siapapun untuk menerapkan hukum
Islam di manapun dan kapanpun. Tujuan umum yang ingin dicapai oleh hukum
Islam bukan untuk kesejahteraan individu dan kelompok, tetapi untuk
kemaslahatan umat manusia seluruhnya, tanpa dibatasi agama, bahasa, dan
suku bangsa tertentu.
Untuk melengkapi uraian di sini, perlu ditambahkan dasar-dasar atau
prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam hal ini Muhammad Yusuf Musa
mengemukakan tiga prinsip dasar hukum Islam, yaitu: (1) tidak mempersulit
dan memberatkan; (2) memperhatikan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan; dan (3) mewujudkan keadilan secara menyeluruh.62 Sedang
Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar hukum Islam, yaitu:
(1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan; (2) menyedikitkan beban;
(3) ditetapkan secara bertahap; (4) memperhatikan kemaslahatan manusia; dan
(5) mewujudkan keadilan yang merata.63
Dari dua pendapat di atas dapat diketahui bahwa prinsip dasar hukum
Islam ada empat, yaitu:
1. Hukum Islam meminimalkan beban sehingga tidak mempersulit dan
memberatkan.
Prinsip ini banyak ditemukan dalam al-Quran, seperti dalam Q.S. al-
Maidah (5): 6; Q.S. al-Hajj (22): 78; Q.S. al-Fath (48): 17; Q.S. al-Baqarah
(2): 185; dan Q.S. al-Nisa’ (4): 28. Dari ayat-ayat ini terlihat Allah
mengetahui tingkat kesehatan dan kesakitan, kekuatan dan kelemahan
manusia, serta mengangkat kesulitan dari seluruh manusia pada umumnya
dan dari orang-orang yang sakit dan terkena musibah pada khususnya.
Banyak bukti yang menunjukkan pengangkatan kesulitan tersebut, ada
yang di bidang ibadah dan ada yang di bidang muamalah. Dalam bidang
ibadah dapat dilihat pembebanan al-Quran sehingga mudah dilaksanakan
tanpa ada kesulitan dan kepayahan. Misalnya, ketentuan boleh menjama’

62
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 180-190)
63
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), hlm. 66-75
34

dan mengqashar shalat ketika seseorang sedang bepergian, boleh tidak


berpuasa ketika sakit dan bepergian, dan diwajibkan zakat dan haji dengan
persyaratan tertentu. Dalam bidang muamalah kemudahan banyak dijumpai
secara menyeluruh. Tidak ada aturan-aturan resmi atau formal yang harus
diikuti untuk sahnya suatu akad. Yang terpenting dalam hal ini, ada kerelaan
di antara kedua belah pihak yang melakukan akad. Dalam bidang hukum
juga terlihat jelas kemudahan tersebut. Allah tidak memberikan banyak
beban yang berat dan hukuman-hukuman yang keras yang dahulu pernah
dibebankan kepada kaum Yahudi sebagai balasan atas perbuatan zalim
mereka. Kaum mukmin diberi rahmat yang luas dan diajak untuk menebus
dosa-dosa mereka dengan bertaubat. Dihalalkan bagi mereka makanan-
makanan yang baik dan diharamkan makanan-makanan yang jelek dan
menjijikkan. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang diberikan kepada
kaum Yahudi.
2. Hukum Islam memperhatikan kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Tujuan hukum Islam yang pokok adalah mewujudkan kesejahteraan
yang hakiki bagi seluruh manusia, tanpa ada perbedaan antara ras dan
bangsa, bahkan agama. Dalam hal ini al-Syathibi mengatakan:
Dengan penelitian induktif kita mengetahui bahwa Allah bermaksud
mewujudkan kesejahteraan hamba-hamba-Nya. Hukum-hukum muamalah
dibuat sejalan dengan maksud itu. Satu transaksi suatu saat dilarang karena
tidak ada manfaatnya dan di saat yang lain dibolehkan karena mengandung
manfaat. Seperti satu dirham tidak boleh dijual dengan satu dirham, tetapi
boleh diutang. Begitu pula tidak boleh menjual buah basah dengan buah
yang sudah kering (seperti korma – umpamanya), karena hanya merupakan
penipuan dan riba yang tidak ada gunanya, tetapi jual beli ini dibolehkan
jika ada manfaatnya yang nyata. Dan seterusnya ...”.64
Pertimbangan masyarakat menjadi pijakan dalam penetapan hukum.
Hasbi Ash Shiddieqy mencatat, bahwa penetapan hukum senantiasa
didasarkan pada tiga sendi pokok, yaitu: (1) hukum-hukum ditetapkan
sesudah masyarakat membutuhkannya; (2) hukum-hukum ditetapkan oleh
sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan

64
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, hlm. 186
35

masyarakat ke bawah ketetapannya; dan (3) hukum-hukum ditetapkan


menurut kadar kebutuhannya.65 Kemaslahatan manusia menjadi acuan
penting dalam penetapan hukum Islam. Untuk mewujudkan kemaslahatan
ini ada lima hal yang harus dijaga oleh setiap Muslim, yaitu: 1) menjaga
agama (iman), 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan, dan
5) menjaga harta. Kelima hal ini sekaligus juga menjadi tujuan
disyariatkannya hukum dalam Islam.
3. Hukum Islam mewujudkan keadilan secara merata.
Islam memandang semua manusia sama. Tidak ada perbedaan di antara
manusia di hadapan hukum. Perbedaan derajat, pangkat, harta, etnis, bahasa,
bahkan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berbuat tidak adil. Al-
Quran surat al-Maidah (5): 8 menegaskan larangan berbuat zalim (tidak adil)
terhadap suatu kaum karena didorong oleh kebencian. Masih banyak lagi ayat
al-Quran yang memerintahkan keadilan diiringi dengan pemberian pahala dan
melarang berbuat zalim yang diiringi dengan pemberian hukuman, dan
ketentuan seperti ini juga banyak ditemukan dalam Sunnah.
Dari ayat-ayat di atas terlihat keinginan al-Quran untuk menegakkan
keadilan dan jangan sampai mengabaikannya, walaupun hal itu mengharuskan
memberikan kesaksian yang memberatkan diri atau orang yang dekat dengan
kita, bahkan kebencian kepada suatu kaum jangan sampai mendorong
seseorang untuk berbuat tidak adil kepada mereka. Sedang dalam Sunnah dapat
dilihat, Nabi tidak membedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.
Perbedaan hanya didasarkan pada kadar ketakwaan seseorang.
4. Ditetapkan secara bertahap.
Seperti diketahui, al-Quran turun kepada Nabi Muhammad saw. Secara
berangsur-angsur, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan peristiwa,
situasi, kondisi yang terjadi. Dengan cara ini hukum yang dibawanya lebih
disenangi oleh jiwa penganutnya dan lebih mendorongnya untuk menaati
aturan-aturannya.
Hikmah yang pokok dari penetapan hukum secara bertahap ini adalah
untuk memudahkan umat Islam dalam mengamalkan setiap hukum yang
ditetapkan. Sebagai contoh adalah pemberlakuan hukum haram bagi menuman

65
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I-II., hlm. 19
36

keras. Dalam hal ini hukum Islam (al-Quran) dengan jelas memberikan
tahapan-tahapan dalam penetapan hukumnya, dimulai dari aturan yang
sederhana sampai pada penetapan keharamannya.
Urutan penetapan haramnya minuman keras dapat dilihat pada tiga ayat
al-Quran, yaitu surat al-Baqarah (2): 29 yang menjelaskan bahwa minuman
keras dan judi mempunyai manfaat dan mafsadat, tetapi mafsadatnya lebih
besar dari manfaatnya; surat al-Nisa’ (4): 43 yang melarang orang yang
meminum minuman keras untuk melakukan shalat; dan penegasan hukum
haramnya terdapat pada surat al-Maidah (5): 90. Masih banyak contoh lain
dalam al-Quran yang menetapkan hukum secara bertahap.
B. Utang-Piutang (al-Qardh)
1. Pengertian Utang-Piutang (al-Qardh)
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah
yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa
mengharapkan imbalan atau bunga (riba). Secara tidak langsung berniat untuk tolong
menolong bukan komersial.66 Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara
etimologi, qard bermakna ‫( اﻟﻘﻄﻊ‬memotong)67. Dinamakan tersebut karena uang
yang diambil oleh orang yang meminjamkan memotong sebagian hartanya.68 Harta
yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad, sebab
merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang).69 Qiradh merupakan kata
benda (masdar). Kata qiradh memiliki arti bahasa yang sama dengan qardh. Qiradh
juga berarti kebaikan dan atau keburukan yang kita pinjamkan.70 Al-Qardh adalah
pinjaman yang diberikan kepada muqtaridh yang membutuhkan dana dan/atau
uang.71
Pengertian al-qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.” Sementara definisi qardh
menurut ulama Malikiyah adalah “suatu penyerahan harta kepada orang lain yang

66
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Perbankan Syariah,”http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan
syariah#Produk_perbankan_syariah
67
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) Cet. 1, hlm.149
68
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Jilid 4, hlm. 181
69
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.1, hlm. 150
70
Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba, (Jakarta: Senayan Publishing), 2011, hlm. 323
71
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4
37

tidak disertai iwadh (imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.” Sedangkan


menurut ulama Syafi‟iyah, “qardh mempunyai pengertian yang sama dengan dengan
term as-Salaf, yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis
atau yang sepadan”. Menurut istilah para ahli fikih, al-qardh adalah memberikan
suatu harta kepada orang lain tanpa ada tambahan 30 seperti mengutang uang Rp. 2,-
akan dibayar Rp. 2,- pula.72
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah
satu jenis pendekatan untuk bertaqarrub kepada Allah dan merupakan jenis
muamalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhannya, karena muqtaridh (penghutang/debitur) tidak diwajibkan memberikan
iwadh (tambahan) dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqridh
(yang memberikan pinjaman/kreditur), karena qardh menumbuhkan sifat lemah
lembut kepada manusia, mengasihi dan memberikan kemudahan dalam urusan
mereka serta memberikan jalan keluar dari duka dan kabut yang menyelimuti
mereka.
Sifat qardh yang tidak memberi keuntungan secara finansial (zeroreturn) tetapi
didasari niat untuk membantu pihak yang membutuhkan (muqtaridh) sangat
dianjurkan dalam Islam. Dengan qardh, peminjam hanya memiliki kewajiban
mengembalikan sejumlah pokoknya saja--meski boleh saja memberikan kelebihan
secara ikhlas seb agai tanda terima kasih.73
Menurut fatwa, al-qardh ialah, “Akad pinjaman kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS
pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah.”74
Hakikat al-qardh adalah pertolongan dan kasih sayang bagi yang meminjam. Ia
bukan sarana mencari keuntungan bagi yang meminjamkan, didalamnya tidak ada
imbalan dan kelebihan pengembalian. Ia mengandung nilai kemanusiaan dan sosial
yang penuh kasih sayang untuk memenuhi hajat peminjam. Pengembalian
keuntungan oleh yang meminjamkan (muqtaridh) harta membatalkan kontrak al-
qardh.
Perjanjian qardh adalah perjanjian pinjaman. Dalam perjanjian qardh, pemberi

72
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1976), hlm.293
73
Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah, (Jakarta: Mediakita, 2011), hlm. 47.
74
Atang Abd. Hakim, Fiqh Perbankan Syariah Transformasi Fiqh Muamalah ke dalam Peraturan
Perundang-undangan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm.267
38

pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain denganketentuan


penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah
diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan.75 Definisi
utang-piutang tersebut yang lebih mendekat kepada pengertian yang mudah dipahami
ialah: “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan
nilai yang sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan
pemilikan dari yang punya. Kata “untuk dikembalikan pada waktunya” mengandung
arti bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dalam arti yang
diserahkan itu hanyalah manfaatnya. “Berbentuk uang” disini mengandung arti uang
dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini dia dibedakan dari pinjam-
meminjam karena yang diserahkan disini adalah harta berbentuk barang. Kata “nilai
yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan nilai yang bertambah
tidak disebut utang-piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan itu adalah
“nilai” maksudnya adalah bila yang dikembalikan wujudnya semula, ia termasuk
pada pinjam-meminjam, dan bukan utang-piutang.76
Dengan demikian dapat diambil intisari bahwa al-qardh adalah suatu akad
antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak
kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus
dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. Disamping itu, dapat
dipahami bahwa al-qardh juga bisa diartikan sebagai akad atau transaksi antara dua
pihak. Jadi, dalam hal ini qardh diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu
kepada pihak lain yang nanti harus dikembalikan, bukan sesuatu (mal/harta) yang
diberikan itu.77
Dari berbagai pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa al-qardh
adalah akad tolong menolong dengan tidak memberikan keuntungan finansial untuk
pemberi pinjaman, artinya peminjam mengembalikan pinjamannya sesuai dengan
besarnya pinjaman yang diberikan di awal perjanjian tetapi boleh saja peminjam
memberikan kelebihan dari pinjamannya selama tidak ditentukan di awal.
2. Dasar Hukum Utang-Piutang (al-Qardh)
Ada beberapa dalil atau alasan yang menjadi landasan atau sebagai sumber

75
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Pustaka Umum Grafiti, Jakarta, 2007, hlm. 75
76
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 222
77
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 274
39

dasar hukum qiradh, diantaranya yaitu:


a Dasar Hukum Al-Qur’an
Dasar hukum utang-piutang atau qardh, dalam al-Qur‟an diantaranya
adalah:
1) Firman Allah QS. Al-Baqarah : 245

           

     


“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”. (QS. Al-Baqarah : 245)
2) Firman Allah QS. Al-Baqarah : 282

          

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
3) Firman Allah QS. Al-Baqarah : 280

             

  

“dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh
sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan
terjerumus dalam kesulitan bila membayar utangnya, tannguhkan penagihan
sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit,
apalagi memaksanya dengan sesuatu yang amat dia butuhkan. Yang
menangguhkan itu pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman
yang baik. Setiap detik ia mengangguhkan dan menahan diri untuk tidak
menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran sehingga berlipat
ganda ganjaran itu. Yang lebih baik dari yang meminjamkan adalah
40

menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu. Kalau demikian, jika kamu
mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik, bergegaslah meringankan yang
berutang atau membebaskannya dari utang.78
4) Firman Allah Q.S Al-Hadid : 11

          



“siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak”.
Ayat ini menjelaskan hakikat infak yang dilakukan demi karena Allah. Ia
adalah bagaikan memberi pinjaman kepada Allah yang pasti dibayar dengan
berlipat ganda. Siapa yang menafkahkan secara ikhlas walau sebagian harta
yang berada dalam genggaman tangannya, lalu sebagai imbalannya Allah akan
melipatgandakan pembayaran dan balasannya dengan pelipatgandaan yang
banyak mencapai tujuh ratus kali bahkan lebih untuknya di akhirat dan juga
bisa jadi di dunia ini, dan baginya, di samping pelipatgandaan itu, pahala yang
mulia, yakni menyenangkan dan memuaskannya.79
5) Firman Allah QS. At-Taghabun : 17

           

 

“ jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah
Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun”.
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan
qardh (memberikan utang) kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan
dilipatgandakan oleh Allah.
Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan

78
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.1: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 727-728.
79
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.13: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, hlm. 420.
41

kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang


membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukan
perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang dengan
tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya itu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan mengembalikannya persis seperti
yang diterimanya.80
b Dasar Hukum Hadits
Qiradh merupakan salah satu bentuk taqarrub kepada Allah swt., karena
qiradh berarti berlemah-lembut dan mengasihi sesama manusia, memberikan
kemudahan dan solusi dari duka dan kesulitan yang menimpa orang lain. Islam
menganjurkan dan menyukai orang yang meminjamkan (qiradh), dan
membolehkan bagi orang yang diberikan qiradh, serta tidak menganggapnya
sebagai sesuatu yang makruh, karena dia menerima harta untuk dimanfaatkan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan peminjam tersebut
mengembalikan harta seperti semula.81
Dari Ibnu Mas‟ud, Rasulullah SAW bersabda:

(‫ﺼ َﺪﻗَ ٍﺔ َﻣ ﱠﺮةً )روه اﺑﻦ ﻣﺠﮫ‬ َ ‫َﻣﺎ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ ﯾُﻘَﺮﱠضُ ُﻣ ْﺴﻠِﻤﺎ ً ﻗَﺮْ ﺿًﺎ َﻣ ﱠﺮﺗَ ْﯿ ِﻦ إِﻻﱠ َﻛ‬
َ ‫ﺎن َﻛ‬
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali
kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (HR Ibnu Majah).82
‫ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ِﺳﻨًّﺎ ﻓَﺄَ ْﻋﻄَﻰ ِﺳﻨﱠﺎ َﺧ ْﯿﺮًا ِﻣ ْﻦ‬ ِ ‫ض َرﺳ ُْﻮ ُل‬ َ ‫اِ ْﺳﺘَ ْﻘ َﺮ‬
(‫ﻀﺎ ًء )رواه أﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤﺤﮫ‬ ِ ‫ﺎل ِﺧﯿَﺎ ُر ُﻛ ْﻢ أَ َﺣ‬
َ َ‫ﺎﺳﻨُ ُﻜ ْﻢ ﻗ‬ َ َ‫ِﺳﻨﱢ ِﮫ َوﻗ‬
“Rasulullah SAW pernah meminjam seekor unta muda lalu beliau
mengembalikan unta yang lebih baik usianya dari yang dipinjamnya, dan beliau
bersabda, „sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan
(hutangnya).” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, ia menilainya shahih)83
Dari Abu Rafi‟ ia menuturkan: “Rasulullah SAW pernah berhutang onta
yang masih kecil, lalu datanglah onta shadaqah. Rasulullah menyuruhku untuk
membayar hutang onta kecil tersebut. Kemudian aku berkata, “Aku tidak
menemukan (kekurangan) pada onta itu kecuali itu onta yang bagus dan dewasa.

80
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, hlm 274-275
81
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 181
82
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2012), hlm. 118
83
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, hlm. 118
42

Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik manusia


adalah yang paling baik pembayarannya.” (Shahih: Ibnu Majah)84
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Aku pernah mempunyai hutang pada
Nabi SAW lalu beliau membayar hutang itu dan menambahinya.” (Shahih:
Muttafaq „Alaih).85
Dari hadits-hadits tersebut dapat dipahami bahwa qardh (utang atau
pinjaman) merupakan perbuatan yang dianjurkan, yang akan diberi imbalan oleh
Allah SWT. dan termasuk kebaikan apabila pihak peminjam memberikan
tambahan terhadap harta atau barang yang dipinjamnya atas dasar sukarela bukan
karena memenuhi syarat pinjaman.
c Dasar Hukum Ijma’
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.86
d Dasar Hukum Kaidah Fiqh
Adapun dasar hukum utang-piutang (qardh) dalam kaidah fiqh muamalah
adalah:

ِ ْ ‫اﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ ْاﻟ ُﻤ َﻌﺎ َﻣﻠَ ِﺔ‬


‫اﻹﺑَﺎ َﺣﺔُ اِ ﱠﻻ أَ ْن ﯾَ ُﺪ ﱠل َدﻟِ ْﯿ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ ﺗَﺤْ ِﺮ ْﯾ ِﻤ ِﮫ‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”

‫ض َﺟ ﱠﺮ َﻣ ْﻨﻔَ َﻌﺔً ﻓَﮭ َُﻮ ِرﺑًﺎ‬


ٍ ْ‫ُﻛﻞﱡ ﻗَﺮ‬
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan
riba”.87
Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari
sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,
84
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm.
545
85
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, hlm. 545
86
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hlm.132-133
87
A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fiqh (Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah yang
Praktis), (Jakarta, Kencana, 2007), hlm. 138
43

hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti


mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.88
e Fatwa DSN
Fatwa DSN MUI tentang Qardh (Fatwa Nomor 19/DSNMUI/IV/2001
Tentang Qardh) merupakan satu-satunya fatwa DSN yang mengatur tentang qardh
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:89
Pertama: Ketentuan Umum Qardh
1) Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang
memerlukan.
2) Nasabah qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu
yang telah disepakati bersama.
3) Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4) LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta jaminan kepada nasabah
bilamana dipandang perlu.
5) Nasabah qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela
kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6) Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya
pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat:
a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b) Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua : Sanksi
1) Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat
menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2) Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat
berupa --dan tidak terbatas pada-- penjualan barang jaminan.
3) Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
Ketiga : Sumber Dana
1) Bagian modal LKS.

88
A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 1992), hlm.
252
89
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah, (Yogyakarta: P3EI Press, 2010), hlm.360-361
44

2) Keuntungan LKS yang disisihkan.


3) Lembaga lain atau individu yang memercayakan penyaluran infaqnya kepada
LKS.
f Hukum asal qiradh
Pada dasarnya hukum pinjam-meminjam (qardh) adalah sunnah (mandub) bagi
orang yang meminjamkan dan mubah bagi orang yang meminjam. Ini adalah hukum
al-qardh dalam situasi biasa. Terkadang ada situasi-situasi yang bisa mengubah
hukumnya, bergantung pada sebab seseorang meminjam. Oleh karena itu, hukumnya
bisa berubah sebagai berikut:90
a) Haram, apabila seseorang memberikan pinjaman, padahal dia mengetahui bahwa
pinjaman tersebut akan digunakan untuk perbuatan haram, seperti untuk minum
khamar, judi, dan perbuatan haram lainnya.
b) Makruh, apabila yang memberi pinjaman mengetahui bahwa peminjam akan
menggunakan hartanya bukan untuk kemaslahatan, tetapi untuk berfoya-foya dan
menghambur-hamburkannya. Begitu juga jika peminjam mengetahui bahwa
dirinya tidak akan sanggup mengembalikan pinjaman itu.
c) Wajib, apabila ia mengetahui bahwa peminjam membutuhkan harta untuk
menafkahi diri, keluarga, dan kerabatnya sesuai dengan ukuran yang disyariatkan,
sedangkan peminjam itu tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan nafkah itu
selain dengan meminjam.
3. Rukun Utang-Piutang (al-Qardh)
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad qardh ini. Apabila rukun
tersebut tidak terpenuhi, maka akad qardh akan batal. Rukun qardh tersebut adalah:91
a Pihak peminjam (muqtaridh)
b Pihak pemberi pinjaman (muqridh)
c Dana (qardh) atau barang yang dipinjam (muqtaradh)
d Ijab qabul (sighat)
Menurut pendapat lain yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:92
a. Shighat Qardh
Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku
90
Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah: Menjalin Kerja Sama Bisnis dan
Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, terj. Fakhri Ghafur (Jakarta: Hikmah, 2010),
hlm.55
91
Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah, (Jakarta: Mediakita, 2011), hlm. 47
92
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. 1, hlm. 20-21
45

memberimu pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan


gantibarang yang sejenis,” atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat
kamu mengembalikan gantinya.” Menurut pendapat yang ashah, disyaratkan ada
pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi lainnya.
Redaksi qabul disyaratkan sesuai dengan isi ijab, layaknya jual beli.
Seandainya pemberi pinjaman berkata, “Aku mengutangimu 1000 dirham,” lalu
peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak
sah. Utang-piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh (meminjami) atau
salaf (mengutangi) juga sah digunakan dalam shighat ijab qabul seperti telah
disebutkan diatas. Contohnya, “Aku berikan kepadamu.”
Sebagian ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa jika peminjam berkata
kepada pemberi pinjaman, “Berikanlah saya utang sekian,” lalu dia
meminjamnya; atau peminjam mengirim seorang utusan kepada pemberi
pinjaman, lalu dia mengirim sejumlah harta kepadanya, maka akad qardh tersebut
sah. Menurut al-Adzra‟i, ijma’ ulama sepakat sistem tersebut boleh dilakukan.
b. Para Pihak yang Terlibat Qardh
Pemberi pinjaman hanya disyaratkan satu hal yakni cakap mendermakan
harta, sebab akad utang piutang mengandung unsur kesunahan. Sedangkan
peminjam hanya disyaratkan cakap bermuamalah. Jadi hanya orang yang boleh
bertransaksi saja yang akad utang piutangnya dihukumi sah, seperti halnya jual
beli.
c. Barang yang Dipinjamkan
Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserahterimakan dan
dapat dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang
mempunyai nilai ekonomis (boleh dimanfaatkan menurut syara’) dan
karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai pesanan.
Menurut pendapat shahih, barang yang tidak sah dalam akad pemesanan
tidak boleh dipinjamkan. Jelasnya setiap barang yang tidak terukur atau jarang
ditemukan karena untuk mengembalikan barang sejenis akan kesulitan.
Dengan demikian, qardh boleh dilakukan terhadap setiap harta yang
dimiliki melalui transaksi jual beli dan dibatasi karakteristik tertentu. Alasannya
qardh merupakan akad penyerahan akad penyerahan hak milik yang
kompensasinya diberikan kemudian (dalam tanggungan). Karena itu, objek qardh
46

tidak lain adalah sesuatu yang bisa dimiliki dan dibatasi dengan karakteristik
tertentu seperti akad pemesanan, bukan barang yang tidak dibatasi dengan sifat
tertentu seperti batu mulia dan lain sebagainya. Qardh juga hanya boleh dilakukan
di dalam harta yang telah diketahui kadarnya. Apabila seseorang mengutangkan
makanan yang tidak diketahui takarannya, itu tidak boleh, karena qardh menuntut
pengembalian barang yang sepadan. Jika kadar barang tidak diketahui, tentu tidak
mungkin melunasinya.93
4. Syarat-Syarat Utang-Piutang (al-Qardh)
Sebelum melakukan transaksi qiradh dilakukan ada beberapa hal yang harus
dipenuhi agar qardh menjadi sah. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka qardh
dianggap tidak sah dalam pelaksanaannya. Ada empat syarat sahnya qardh.
Pertama. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab qabul atau bentuk lain yang
bisa menggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad tanpa ijab qabul)
dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu’athah tidaklah
cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya.
Kedua. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi
maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa,
berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’ (berderma).
Karena qardh adalah bentuk akad tabarru. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan
oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam
membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat
terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang yang
dibolehkan melakukan akad tabarru’ (berderma).
Ketiga. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli.
Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang
bisa dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang,
biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.
Keempat. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran,
timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari
jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur
dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.
Akad qardh dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegas

93
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, hlm. 20-21
47

hak milik, seperti pensyaratan adanya barang jaminan, penanggung pinjaman (kafil),
saksi, bukti tertulis, atau pengakuan di hadapan hakim. Mengenai batas waktu,
jumhur ulama menyatakan syarat itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah. Tidak
sah syarat yang tidak sesuai dengan akad qardh, seperti syarat tambahan dalam
pengembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai ganti yang cacat atau syarat
jual rumahnya.
Adapun syarat yang fasid (rusak) diantaranya adalah syarat tambahan atau
hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak
akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Seperti syarat pengembalian
barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus
atau syarat memberikan pinjaman kepada orang lain.
a. Harta yang Harus Dikembalikan
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk
mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan
mengembalikan harta semisal dalam bentuknya (dalam pandangan ulama selain
Hanafiyah) bilan pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan
kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.
b. Waktu Pengembalian
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti
adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam
menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal
batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah
ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal.
Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.94

5. Tambahan dalam Utang-Piutang (al-Qardh)


Ada dua macam penambahan pada qardh (utang-piutang), yaitu sebagaimana
berikut ini:
a. Penambahan yang disyaratkan. Demikian ini dilarang berdasarkan ijma‟. Begitu
juga manfaat yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi utang kepadamu
dengan syarat kamu memberi hak kepadaku untuk menempati rumahmu,” atau
syarat manfaat lainnya. Demikian ini termasuk rekayasa terhadap riba.

94
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 378-379
48

b. Jika penambahan diberikan ketika membayar utang tanpa syarat, maka yang
demikian ini boleh dan termasuk pembayaran yang baik berdasarkan hadits yang
telah dikemukakan di pasal dasar al-qardh (utang-piutang).95
Tatkala pengembalian barang pinjaman, yang diwajibkan adalah seimbang
kadarnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak disyaratkan harus mengetahui kadar
dan sifat barang yang dipinjamkan. Tujuannya adalah agar keseimbangannya benar-
benar bisa diwujudkan. Dengan demikian, pengembalian barang pinjaman, baik yang
berpotensi riba ataupun bukan, kadarnya harus sama, tidak boleh lebih sedikit, juga
tidak boleh lebih berkualitas atau lebih jelek. Demikianlah hukum dasarnya. Namun
demikian, kelebihan kadar dan sifat, asalkan tidak disyaratkan, masih dibolehkan.
Pelunasan/pembayaran kembali hutang wajib dilakukan sesuai isi perjanjian
yang telah menjadi kata sepakat kedua belah pihak. Pada saat pelunasan yang wajib
dikembalikan hanya sebesar hutang yang diterima. Dan karena tidak dibenarkan
dalam perjanjian berisikan tambahan melebihkan dari jumlah yang diterima, maka
pengembaliannyapun dilarang memberikan penambahan. Tetapi kalau yang
berhutang atas kemauannya melebihkan jumlah pembayaran itu boleh diterima dan
merupakan kebaikan bagi yang berhutang.96
Jika yang dipinjamkan berupa barang yang bernilai maka pengembalian yang
benar menurut kebanyakan penganut madzhab syafi‟i, termasuk salah satu pendapat
Zhahiriyah, adalah barang yang serupa bentuknya. Dalilnya adalah hadits Abi Rafi‟,
“Bahwasannya Nabi saw. meminjam seekor unta kecil (masih bayi) - binatang ini
adalah binatang yang bernilai - kemudian beliau menyuruhku (Abu Rafi‟) untuk
mengembalikan pinjamannya dengan unta ruba’iy (unta yang berumur tujuh tahun).
Sedangkan unta kecil itu masih berusia remaja.” Jika tidak memungkinkan untuk
mengembalikan barang yang sama persis maka menurut Zhahiriyah, kembalikanlah
dengan nilai yang sama dan berusahalah untuk mengembalikan tepat pada hari yang
telah dijanjikan.
Pendapat kedua menurut Syafi‟i, termasuk juga pendapat Zhahiriyah yang lain,
adalah pengembaliannya disamakan nilainya. Sebab tidak mungkin untuk
mengembalikan barang yang sama persis dari semua aspeknya. Nilai itu dihitung saat
95
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq dan Muhammad bin
Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif,
2009), Cet-1, hlm. 168-169
96
R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum,
(Bandung: CV. Mandar Maju), 1997, hlm. 165
49

penyerahan kepada pemberi pinjaman. Sebab pinjaman juga memiliki nilai pinjaman
setelah diserahkan kepadanya, seperti yang dikemukakan oleh Zhahiriyah, demikian
juga Syafi‟i. Pendapat lainnya dari kalangan Syafi‟i adalah nilainya dihitung saat
penyerahan pinjaman. Ada yang mengatakan nilainya lebih banyak daripada nilai
saat penyerahan pinjaman. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa pengembaliannya
harus sama, baik pinjaman berupa barang bernilai ataupun bukan. Tampaknya
masalah yang mereka katakan tersebut adalah jika memungkinkan bisa
mengembalikannya dengan nilai yang sama.
Permasalahan ini sangat erat korelasinya dengan masalah riba. Seperti yang
telah diketahui bersama, menurut ahli fiqh, memberikan pinjaman bisa saja berupa
barang yang berpotensi riba ataupun yang bukan. Dalam transaksi pemberian
pinjaman, tidak ada bedanya antara harta yang berpotensi riba dan yang bukan
berpotensi riba, seperti yang dikatakan oleh Nawawi. Ibnu Hazm berkata, “Riba
dalam memberikan pinjaman bisa terjadi dalam bentuk apa pun maka tidak boleh
meminjamkan sesuatu agar mendapat pengembalian yang lebih banyak atau lebih
sedikit, tidak juga dengan pengembalian barang lain, tetapi harus sama bentuk dan
kadar dengan barang yang dipinjamkannya.”
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa uang tambahan yang disyaratkan oleh
pemberi pinjaman kepada peminjam adalah dilarang, baik uang tambahan itu sejenis
dengan uang yang dipinjamkannya ataupun tidak. Sebab hal ini telah menyeleweng
dari tujuan utama memberikan pinjaman, yaitu kasih sayang. Berkaitan dengan
syarat seperti itu, Hanafi berpendapat bahwa hukum memberikan tetap sah tetapi
syarat tersebut tidak sah. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa akad bersyarat
tersebut tidak sah.97
6. Khiyar dan Batas Waktu Utang-Piutang (al-Qardh)
Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah yang berpendapat adanya khiyar
majlis, dalam akad qardh tidak ada khiyar majlis dan tidak pula khiyar syarat, karena
maksud dari khiyar adalah pembatalan akad (al-faskh). Padahal dalam akad qardh,
siapa saja dari kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan akad bila ia
berkehendak, sehingga hak khiyar ini menjadi tidak bermakna.
Mengenai batas waktu, jumhur fuqaha tidak membolehkannya dijadikan
sebagai syarat dalam akad qardh. Oleh karenanya, apabila akad qardh ditangguhkan

97
Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba, hlm. 326-332
50

sampai batas waktu tertentu, maka ia tetap dianggap jatuh tempo. Pasalnya, secara
esensial ia sama dengan bentuk jual beli dirham dengan dirham, sehingga bila ada
penangguhan waktu maka ia akan terjebak dalam riba nasi’ah.98 Lain daripada itu
akad qardh tidak boleh menyertakan batasan jatuh tempo, sebab syarat ini menuntut
penambahan kompensasi, sementara kompensasi qardh tidak mengalami fluktuasi
(bertambah atau berkurang). Apabila syarat tersebut telah disertakan dalam
perjanjian qardh, ia tidak berlaku.99 Akan tetapi menurut Imam Malik bahwasannya
“boleh ada syarat waktu dalam qiradh, dan syarat tersebut harus dilaksanakan.
Apabila qiradh ditentukan hingga waktu tertentu, pemberi qiradh tidak berhak
menuntut sebelum masanya tiba.”100
Al-Qardh merupakan salah satu bentuk kegiatan sosial, maka pemberi
pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo. Hal itu karena akad
qardh adalah akad yang menuntut pengembalian harta sejenis pada barang mitsliyat,
sehingga mengharuskan pengembalian gantinya jika telah jatuh tempo, seperti
keharusan mengganti barang yang rusak. Maka demikian pula utang yang sudah
jatuh tempo tidak dapat ditangguhkan meski ada penangguhan. Hal ini berbeda
dengan masalah barang pengganti dalam akad jual beli atau akad ijarah, dimana jika
terjadi penangguhan dalam akad itu hingga waktu tertentu maka tidak dibolehkan
menuntut penyerahan barang pengganti sebelum datang tempo yang demikian itu.
Meskipun demikian, para ulama Hanafiah berpendapat bahwa
penangguhan dalam akad qardh menjadi bersifat mengikat dalam empat hal.
a. Wasiat, yaitu apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan hartanya pada
orang lain sampai waktu tertentu, satu tahun misalnya. Maka dalam kondisi ini,
ahli waris tidak boleh menagih peminjam sebelum jatuh tempo.
b. Adanya penyangsian, yaitu tatkala akad qardh ini disangsikan, kemudian pemberi
pinjaman menangguhkannya. Maka pada kondisi seperti ini, batas waktu menjadi
mengikat.
c. Keputusan pengadilan, yaitu bila hakim memutuskan bahwa akad qardh (dengan
batas waktu) sebagai sesuatu yang mengikat dengan didasarkan pada pendapat
Malik dan Ibnu Abi Laila, maka pada kategori ketiga ini batas waktu menjadi
sesuatu yang mengikat.

98
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 375
99
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 23
100
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm.. 182
51

Dalam akad hiwalah (pengalihan utang), yaitu jika peminjam mengalihkan


tanggungan utangnya pada pemberi pinjaman kepada pihak ketiga, lalu pemberi
pinjaman menangguhkan utang itu. Atau ia mengalihkan tanggungan utangnya pada
peminjam lain yang utangnya ditangguhkan. Hal itu dikarenakan akad hiwalah
merupakan pengguguran tanggung jawab. Maksudnya dengan akad hiwalah ini
tanggung jawab si muhil (yang mengalihkan utang) menjadi gugur dan si muhal
(yang dialihkan utangnya) – yang merupakan pemberi pinjaman – menjadi memiliki
utang atas muhal alaih (yang menerima pindahan utang). Dengan demikian,
sebenarnya akad hiwalah merupakan akad penangguhan utang bukan akad qardh.
Jadi dalam pandangan ulama Hanafiyah, sah-sah saja mengundurkan akad
qardh meski bukan sebuah keharusan, tetapi dapat menjadi keharusan dalam kondisi
yang empat tadi. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa akad qardh boleh
diundurkan dengan penangguhan dan atas alasan bahwa kedua belah pihak punya
kebebasan dalam akad qardh, baik dalam menghentikan, melangsungkan maupun
meneruskan akad. Dari semua pendapat diatas, pendapat inilah mungkin yang bisa
diterima secara akal dan sesuai dengan tuntutan zaman.101
7. Relevansi Akad Qardh dengan ‘Urf
Akad qiradh adalah akad tamlik (pemilikan), karena qiradh hanya dibolehkan
pada orang yang cakap (layak) menggunakan harta dan tidak sah kecuali dengan ijab
dan qabul, seperti akad jual beli dan hibah. Akad qiradh dinyatakan sah apabila
digunakan dengan lafadz qiradh, salaf dan kata yang memiliki kesamaan makna.
Kalangan pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwa pemilikan terjadi dengan
akad. Walaupun serah terima harta tersebut belum dilakukan. Adapun bagi pihak
yang menerima qiradh dibolehkan mengembalikan harta tersebut dengan yang sama
atau harta atau barang itu sendiri, serupa atau tidak, selagi tidak terdapat perubahan,
penambahan atau pengurangan. Wajib mengembalikan yang sama.102
Akad qiradh yang dilakukan oleh masyarakat saat ini kebanyakan sudah tidak
mengikuti lagi ketentuan sebagaimana yang telah ditentukan dalam fiqih. Akad yang
dilakukan oleh masyarakat pada umumnya mengikuti tradisi yang secara turun-
temurun sudah menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi hukum adat bagi masyarakat
setempat.

101
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, hlm. 375-376
102
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 182
52

Dalam Islam hukum adat dikenal dengan istilah ‘urf. Dalam buku karangan
Prof. Muhamad Abu Zahrah dikatakan bahwa ‘urf (tradisi) adalah “bentuk-bentuk
mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah
berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat.” Dan ini tergolong salah satu
sumber hukum (ashl) dari ushul fiqh yang diambil dari intisari sabda Nabi
Muhammad SAW:

‫َﻣﺎ َراهً ْاﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻤ ْﻮ َن َﺣ َﺴﻨًﺎ ﻓَﮭ َُﻮ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﷲِ اَ ْﻣ ُﺮ َﺣ َﺴ ُﻦ‬


“Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang baik.”
Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukkan bahwa setiap
Perkara yang telah mentradisi di kalangan kaum muslimin dipandang sebagai
perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik di hadapan Allah.
Menentang ‘Urf (tradisi) yang telah dipandang baik oleh masyarakat akan
menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Oleh karena itu, ulama Madzhab Hanafy
dan Maliky mengatakan bahwa “hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang
shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan
berdasarkan dalil syar’iy.”103
Maka ditinjau dari segi ketentuan hukumnya, ‘urf pun terbagi dua:
a. ‘Urf yang fasid (rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘urf yang
bertentangan dengan nash qath’iy.
b. ‘Urf yang shahih (baik/benar). ‘Urf yang kedua ini bisa diterima dan dipandang
sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam.104
Sebenarnya akad qardh merupakan akad yang bercorak tolong-menolong.
Akad ini diperintahkan oleh Allah dengan maksud untuk mengasihi sesama diantara
sesama manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan, dan
memudahkan denyut nadi kehidupan. Akad utang-piutang ini bukan salah satu
sarana untuk memperoleh penghasilan dan bukan pula salah satu cara untuk
mengeksploitasi orang lain. Akan tetapi kenyataan yang terjadi di masyarakat
tidaklah demikian. Alih-alih memberikan pertolongan tetapi malah memberatkan
pihak yang ditolong. Akad qardh yang secara tradisi terjadi di masyarakat justru

103
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm.416-417
104
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm.150
53

memberatkan salah satu pihak. Dengan demikian perlu adanya pemahaman ‘urf
dalam pelaksanaan akad qardh di masyarakat. Karena tidak semua tradisi yang biasa
dilakukan masyarakat merupakan tradisi yang benar.
Sebagaimana yang telah diketahui, ‘urf menempati posisi penting dalam
bangunan hukum Islam. Masalah yang terkait dan diatur berdasarkan ‘urf atau harus
diselesaikan dengan mempertimbangkan ‘urf yang berlaku di tempat dan masa
terjadinya masalah tersebut, cukup besar jumlahnya.32 Abu Al-Husain Al-Bashri
membagi adat kepada dua bentuk; perbuatan dan perkataan. Menurutnya, adat
berupa perbuatan tidak dapat membatasi (takhshish) ungkapan umum. Ia
menegaskan bahwa adat bukan hujjah sebab adat perbuatan itu ada yang baik dan
ada yang buruk, sedangkan pertimbangan akal hanya berlaku selama syara’ tidak
memberikan ketentuan lain.
Dilihat dari proses pelaksanaan akad qardh yang kini sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, terdapat syarat-syarat yang diajukan oleh pihak pemberi
pinjaman pada saat akad berlangsung yang tidak dibenarkan oleh syara’.
Diantaranya adalah syarat waktu pengembalian, syarat jenis barang yang harus
dikembalikan, dan syarat penambahan jumlah barang yang dipinjam. Maka
menurut pemahaman ‘urf akan tersebut termasuk kedalam ‘urf fasid (rusak).
Dimana ‘urf yang rusak tidak diperbolehkan untuk dipelihara, karena
memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’. Maka apabila manusia telah
saling mengerti akad di antara akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad
gharar dan khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf, ini tidak
mempunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini. Karena itu dalam Undang-
Undang Positif manusia tidak diakui ‘urf yang bertentangan dengan undang-
105
undang umum. Akan tetapi tidak semua akad qardh merupakan ‘urf yang fasid.
Jika akad qardh itu dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang telah diatur oleh
syara’ maka akad tersebut masuk kedalam ‘urf shahih. Jadi relevansi antara akad
qardh dengan ‘urf itu dilihat dari ketetentuan akad yang digunakan pada saat
akad qardh berlangsung. Apakah dalam akad tersebut terdapat hal-hal yang
dilarang oleh syara’ atau tidak, itulah yang akan menentukan akad tersebut termasuk
kedalam jenis ‘urf yang shahih atau yang fasid.

105
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 133
54

‘Urf (adat kebiasaan) yang benar, yaitu yang tidak menyalahi syara’,
hendaknya menjadi bahan pertimbangan seseorang ahli Ijtihad dalam melakukan
ijtihadnya dan bagi seseorang hakim dalam mengeluarkan keputusannya.
Alasan pengambilan ‘urf tersebut ialah:
a. Syari‟at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (‘Urf)
yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat seimbang (kafa’ah) dalam
perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka
atas dasar ‘asabah (pertalian dan susunan keluarga).
b. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman
hidup mereka yang dibutuhkan.
‘Urf yang salah, yaitu yang berlawanan dengan syara’ atau berlawanan dengan
hukum yang sudah jelas karena ada nasnya, maka tidak menjadi bahan pertimbangan
seseorang mujtahid atau seseorang hakim.106‘Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya,‘urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa
nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak.
Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan
kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah
menurut qiyas, karena kintrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum
(tiada).107
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para Ulama berhujjah dengan
‘urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu :
a. Firman Allah QS. AL-A‟raaf : 199

       


“ Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodo”.
b. Sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin
Mas’ud :

‫َﻣﺎ َراهً ْاﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻤ ْﻮ َن َﺣ َﺴﻨًﺎ ﻓَﮭ َُﻮ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﷲِ اَ ْﻣ ُﺮ َﺣ َﺴ ُﻦ‬

106
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Wijaya, 1959), hlm.146
107
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hlm. 131
55

“Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang baik.”
Maksud hadits ini adalah yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah
berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di
sisi Allah.
c. Dilakukanya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa dengan
melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat adalah dalil syar’iy sebagaimana menghilangkan
kesusahan merupakan tujuan syara’. Ketika agama Islam datang, maka ia
mengakui ‘urf orang Arab yang baik (menimbulkan maslahat), seperti diakuinya
sekupu dalam perkawinan, garis ‘ushbah dalam urutan wali dan waris, kewajiban
diyat terhadap pembunuh yang tak sengaja.
Jumhur Fuqaha berhujjah dengan ‘urf. Tetapi yang sangat terkenal adalah
Malikiyah dan Hanafiyah. Disebutkan bahwa Imam Syafi‟i pun berpegang pada
‘urf dalam membina sebagian hukum madzhabnya yang baru menurut ‘urf orang
Irak. Sehingga Al Qarafy mengatakan bahwa “‘urf itu sama-sama dipegang oleh
seluruh mazhab dan siapa yang meneliti mazhab niscayalah ia menemui ketegasan
mereka terhadap ‘urf itu.”108
Penggunaan ‘urf oleh Al-Syafi‟i cukup luas, walaupun ia hanya
menggunakannya pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan di dalam nash.
Namun, Al-Syafi‟i tidak memasukkan ‘urf sebagai salah satu dalil atau sumber
hukum karena pada hakikatnya ‘urf tidak berperan sebagai sumber hukum: halal,
haram, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan tindakan dan pernyataan-
pernyataan para subjek hukum, ‘urf berfungsi sebagai rujukan dalam penetapan
atauran atau batasan yang mengikat dan menentukan keabsahannya. Dalam
pandangan Al-Syafi‟i, tampaknya kedudukan ‘urf sejajar dengan kaidah-kaidah
keabsahan yang harus diindahkan dalam memahami ungkapan dan pernyataan
manusia dalam tindakan hukum mereka. Jadi, seperti halnya kaidah kebahasaan,
walaupun tidak merupakan sumber hukum, ‘urf dapat mempengaruhi berlaku atau
tidaknya suatu hukum terhadap kasus-kasus.109

108
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), hlm. 78-80
109
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, hlm158-159
56

C. Baitul Maal wat-Ta wil (BMT)


1. Pengertian
Istilah B MT adalah penggabungan dari baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal
adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba
(sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infak , dan sedekah. Kemudian dana tersebut
disalurkan kepada mustahik, yang berhak, atau untuk kebaikan. Adapu n baitul tamwil
adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat dan bersifat profit motive.110
Dengan demikian, BMT menggabungkan dua kegiatan yang berbeda sifatnya,
laba dan nirbala, dalam satu lembaga. Namun, secara operasional BMT tetap
merupakan entitas (badan) yang terpisah. Dalam perkembangannya, selain bergerak
di bidang keuangan, BMT juga melakukan kegiatan di sektor riil. Sehingga ada tiga
jenis aktivitas yang dijalankan BMT, yaitu jasa keuangan; sosial atau pengelolaan
zakat, infak, dan sedekah (ZIS); serta sektor riil.111
2. Prinsip
Prinsip pembangunan BMT didasarkan pada cara pandang holistik, yaitu cara
pandang yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Prinsip yang lebih terperinci adalah:112
a. Kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia bukan hanya keminsikan ekonomi
atau materi tetapi juag kemiskinan non-materi, khususnya kemiskinan spiritual.
Dengan kata lain, BMT adalah suatu pusat pengajian, pusat untuk belajar,
mengamalkan, dan mendalami ajaran- ajaran agama, selain unit usaha ekonomi
yang mengupayakan materi para anggotanya.
b. Kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia bukanlah utamanya akibat dari
tindakan orang-orang miskin tersebut. Oleh karena itu, dalam mengatasi
kemiskinan, maka orang-orang yang lebih mampu perlu turut serta berpartisipasi,
meyumbangkan apa yang mampu disumbangkan untuk mengatasi kemiskinan.
c. Prinsip organisasi yang terintegrasi. Prinsip terintegrasi ini juga berarti keterkaitan
upaya mengatasi kemiskinan lewat BMT dengan upaya yang lebih atas dan makro
di daerah tingkat dua, daerah tingkat satu, dan pusat.

110
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 2000), hlm.81.
111
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm.81.81-82.
112
PINBUK, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah: Petjalanan dan Gerakan BMT di
Indonesia (Baitul Maal wat Tamwil) (Jakarta: PINBUK, 2000), hlm. 211-213.
57

d. Prinsip kemandirian. Prinsip percaya diri dikembangkan baik dari segi ajaran
maupun pelaksanaan.
e. Prinsip berbuat yang terbaik sesuai dengan penciptaan manusia sebagai makhluk
yang terbaik dibandingkan makhluk lain. Dalam pelaksanaan prinsip ini maka
setiap manusia yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan akan mendapat
balas jasa yang setimpal, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, di dunia
maupun di akhirat.
3. Kegiatan
Secara umum, kegiatan BMT dapat dikelompokkan menjadi beberapa sektor,
yaitu:113
a. Jasa Keuangan
Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa
penghimpunan dana dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan
untuk anggota atau non-anggota. Kegiatan ini dapat disamakan secara operasional
dengan kegiatan simpan pinjam dalam koperasi atau kegiatan perbankan secara
umum.
1) Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana
yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke sektor
produktif dalam bentuk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk tabungan
wadi’ah, simpanan mudharabah jangka pendek dan jangka panjang.
2) Penyaluran Dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis: pertama,
pembiayaan dengan sistem bagi hasil, dan kedua, jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan.
b. Sektor Riil114
Pada dasarnya, kegiatan sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana
BMT. Namun, berbeda dengan kegiatan sektor jasa keuangan yang penyalurannya
berjangka waktu tertentu, penyaluran dana pada sektor riil bersifat permanen atau
jangka panjang dan terdapat unsur kepemilikan di dalamnya. Penyaluran dana ini

113
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT), hlm.82-83.
114
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm 83.
58

selanjutnya disebut investasi atau penyertaan.


c. Sosial (Zakat, Infak, dan Sedekah)115
Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infak, dan sedekah, baik
berasal dari Dompet Dhuafa maupun yang berhasil dihimpun sendiri oleh BMT.
Sektor ini merupakan salah satu kekuatan BMT karena juga berperan dalam
pembinaan agama bagi para nasabah sektor jasa keuangan BMT. Dengan
demikian, pemberdayaan yang dilakukan BMT tidak terbatas pada sisi ekonomi,
tetapi juga dalam hal agama.
Jenis-jenis usaha BMT sebenarnya dimodifikasi dari produk perbankan
Islam. Oleh karena itu, usaha BMT dapat dibagi kepada dua bagian utama, yaitu
memobilisasi simpanan dari anggota dan usaha pembiayaan. Bentuk dari usaha
memobilisasi simpanan dari anggota dan jamaah itu antara lain berupa:116
a. Simpanan Mudharabah Biasa
b. Simpanan Mudharabah Pendidikan
c. Simpanan Mudharabah Haji
d. Simpanan Mudharabah Umrah
e. Simpanan Mudharabah Qurban
f. Simpanan Mudharabah Idul Fitri
g. Simpanan Mudharabah Walimah
h. Simpanan Mudharabah Akikah
i. Simpanan Mudharabah Perumahan
j. Simpanan Mudharabah Kunjungan Wisata
k. Titipan Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)
l. Produk simpanan lainnya yang dikembangkan sesuai dengan lingkungan di
mana BMT itu berada.
Sedangkan jenis usaha pembiayaan BMT lebih diarahkan pada pembiayaan
usaha mikro, kecil bawah, dan bawah. Di antara usaha pembiayaan tersebut
adalah:117

115
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) hlm. 84.
116
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm.191.
117
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), hlm
191.
59

a. Pembiayaan Mudharabah
b. Pembiayaan Musyarakah
c. Pembiayaan Murabahah
d. Pembiayaan Al-Bai’ Bithaman Ajil
e. Al-Qardhul Hasan
Pada awal perkembangannya, BMT memang tidak memiliki badan hukum
resmi. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang memungkinkan
penerapan sistem operasi bagi hasil adalah perbankan dan koperasi. Saat ini, oleh
lembaga-lembaga Pembina BMT yang ada, BMT diarahkan untuk berbadan
hukum koperasi mengingat BMT berkembang dari kelompok swadaya
masyarakat. Selain itu, dengan berbentuk koperasi, BMT dapat berkembang ke
berbagai sektor usaha seperti keuangan dan sektor riil. Bentuk ini juga diharapkan
dapat memenuhi tujuan memberdayakan masyarakat luas, sehingga kepemilikan
kolektif BMT sebagaimana konsep koperasi akan lebih mengenai sasaran.118
Untuk sumber permodalan tidak ada bedanya dengan koperasi konvensional
terutama dari partisipasi anggota. Adapun jika bersumber dari bank atau lembaga
keuangan nonbank lainnya tidak dapat digunakan pola konvensional tetapi harus
dengan akad syariah. Pengaturan yang berbeda juga dalam hal besarnya modal
yang disetor pada koperasi syariah ada pembatasan sedangkan dalam Undang-
undang Perkoperasian tidak dijelaskan dan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
(ART) koperasi, artinya sesuai kesepakatan anggota. Besarnya modal ditetapkan
sekurang-kurangnya sebagai berikut:119
a. Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Primer.
b. Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Sekunder.
c. Modal yang disetor pada awal pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah
dapat berupa simpanan pokok, simpanan wajib, dan dapat ditambah dengan
hibah, modal penyertaan, dan simpanan pokok khusus.

118
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 2000), hlm.85.
119
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 256.
60

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi kantor
BMT, yaitu:120
a. Lokasinya strategis, yakni lokasi berdekatan dengan pusat perdagangan, usaha-
usaha industri kecil dan rumah tangga, dan usaha ekonomi lainnya.
b. Berdekatan dengan masjid atau mushala karena BMT mengadakan pengajian
rutin dan pertemuan bisnis.
4. Ciri-ciri
Secara umum, ciri-ciri BMT dapat dijelaskan sebagai berikut:121
a. Usahanya dimaksud untuk mendorong sikap dan perilaku menabung dari
masyarakat banyak dengan menerima simpanan atas dasar balas jasa berdasarkan
bagi hasil.
b. Pengelolaannya secara profesional persis mengikuti administrasi pembukuan dan
prosedur perbankan (namun bukan lembaga perbankan) dengan kekecualian tidak
mengharuskan pakai jaminan uang atau harta benda untuk jumlah pinjaman yang
kecil.
c. Modal awal untuk mendirikan BMT, lebih kurang Rp 5.000.000 sampai dengan
Rp 10.000.000 (lebih besar tentu lebih baik) ditambah dengan fasilitas sarana
sekitar Rp 1.000.000 sampai dengan Rp 1.500.000.
d. Pendiri sebagai anggota inti. Terdapat sekelompok orang (20 sampai 40 orang) di
sekitar lokasi tempat didirikan BMT yang menjadi anggota inti yang diharapkan
bersedia urunan modal awal yang diangsur dalam satu atau beberapa kali.
e. Biaya operasional sangat rendah, antara lain karena kecilnya jumlah staf dan dapat
beroperasi pada kondisi yang tidak mewah.
f. Jaminannya adalah dengan mengutamakan kepercayaan, tokoh setempat dan/atau
tanggung renteng, saling kenal karena daerah operasinya tidak terlalu luas.
g. Mitra operasi, terintegrasi dengan lembaga lokal.
Selain ciri utama di atas, BMT juga memiliki ciri khas sebagai berikut:122
a. Staff dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif, tidak
menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun sebagai

120
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm.187-188.
121
PINBUK, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah: Petjalanan dan Gerakan BMT di
Indonesia (Baitul Maal wat Tamwil) (Jakarta: PINBUK, 2000), hlm.182-183.
122
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.184-185.
61

penerima pembiayaan usaha.


b. Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang
terbatas, karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk
mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor, dan mensupervisi usaha
nasabah.
c. BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan tempatnya
(biasanya di madrasah, masjid atau mushala) ditentukan sesuai dengan kegiatan
nasabah dan anggota BMT. Setelah pengajian biasanya dilanjutkan dengan
perbincangan bisnis dari para nasabah BMT.
d. Manajemen BMT diselenggarakan secara professional dan Islami.
BMT, dilihat dari fungsinya merupakan lembaga intermediasi keuangan antara
pemilik dana dan peminjam. BMT beroperasi berlandaskan prinsip-prinsip ekonomi
Islam yang pada intinya menerapkan bahwa dana pada dasarnya merupakan salah
satu alat produksi untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan
orang per-orang, BMT tumbuh dari keinginan dan prakarsa masyarakat sendiri,
sehingga BMT merupakan salah satu jenis Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
yang bekerja dari, oleh, dan untuk anggota. Dengan demikian, pada hakekatnya
BMT bekerja dalam lingkup terbatas pada anggota-anggotanya.123
5. Keunggulan
Dalam memberdayakan pengusaha kecil dan kecil-bawah serta kaum dhu’afa,
BMT mempunyai beberapa keunggulan:124
a. Pemilihan sistem syariah sebagai syarat pokok pelasksanaan BMT mempunyai
kekuatan dalam masyarakat Islam.
b. Sistem manajemen dan pembukuan BMT yang mengadopsi manajemen modern.
c. Hubungan pemodal dan pengusaha yang saling asah, asih, dan asuh. Bantuan
BMT tidak hanya terbatas pada permodalan, tetapi juga bimbingan dan
penyuluhan.
d. Pembiayaan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pengarahan dan pendidikan penggunaan pendapatan perlu dilakukan sejak
diniyakni sejak merumuskan kelayakan usaha dan kelayakan pembiayaan. Ketika

123
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.254.
124
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan)
hlm.276-279.
62

pengelola BMT harus mengarahkan agar pengusaha kecil membuat perencanaan


penggunaan keuntungan tersebut secara baik dan benar.
e. Kegiatan menabung sebagai indikator keberhasilan. Ini juga menjadi indikator
kemampuan masyarakat membuat perencanaan hidupnya.
f. Pembinaan keagamaan. Sebagai lembaga perekonomian Islam, BMT tidak hanya
melakukan pengembangan usaha, tapi juga melakukan pembinaan keagamaan
terutama yang menyangkut akhlakul karimah, etika pengusaha muslim, dan
hubungan muamalah secara Islami.
g. Pengembangan usaha kecil bertumpu pada pengetahuan dan keterampilan
masyarakat setempat. BMT secara sistematis telah mendistribusikan pengetahuan
dan keterampilan pada anggota masyarakat.
h. Memperkuat modal dan posisi tawar masyarakat. Dengan pola koperasi di mana
keputusan ditentukan oleh anggota, maka posisi tawar masyarakat makin kuat dan
diharapkan mampu bertahan dalam menghadapi tekanan dari luar.

Anda mungkin juga menyukai