Anda di halaman 1dari 17

Filsafat dan Teori Hukum Islam

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islamic Law

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, MH
Dr. Ilyas Marwal, MA
Dr. JM. Muslimin, MA
Dr. Asmawi, M.Ag
Dr. Imam Sujoko, MA
Mohammad Adnan, Ph.D

Oleh :
Muhammad Farhan
21211200100047

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
Pendahuluan

Perkembangan sosial kehidupan manusia dengan segala permasalahan yang timbul di


dalamnya menuntut terjadinya perubahan-perubahan terhadap segala aspek yang meliputinya.
Terutama tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Di dalam islam
terdapat peraturan yang berlaku bagi setiap umat muslim dan bersifat mengikat di setiap sisi
kehidupan yang dijalaninya. Peraturan tersebut dikenal dengan hukum Islam. dalam sejarah,
hukum Islam telah mengalami perkembangan yang begitu pesat semenjak wafatnya Rasulullah
SAW. hal tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan umat
manusia sejak saat itu.

Hukum Islam pada awalnya hanya bersumber dari Al-qur’an dan Assunnah. namun
semenjak wahyu tidak lagi disampaikan lagi oleh malaikat Jibril dan Rasulullah pun meninggal
dunia, para Sahabat pada saat itu “dipaksa” untuk mengerahkan segala upaya dan dayanya
untuk menjawab segala persoalan umat islam yang terjadi pada saat itu dengan “bermodalkan”
dua pusaka yang ditinggalkan oleh Nabi Saw. yaitu Al-qur’an dan Assunnah. sehingga dengan
begitu diperlukan pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang sebuah kata di dalam Al-quran
dan hadis agar dapat diambil sebuah hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi umat.

Pemaknaan dan pemahaman yang mendalam terhadap kedua sumber Hukum Islam ini
melahirkan sebuah penalaran yang sistematis dan logis sehingga peran akal sangat dibutuhkan
dalam hal ini. dalam berbagai literatur Hukum Islam upaya ini disebut dengan ijtihad. Dalam
arti yang sederhana ijtihad pada hakekatnya merupakan manifestasi pemikiran yang maksimal
terhadap hukum Islam. Oleh karenanya ijtihad sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan
istilah “pemikiran”. Hal ini karena proses ijtihad hampir sepenuhnya bertumpu pada
kemampuan pemikiran dalam menginterpretasikan nash-nash Al-qur`an dan Hadits terhadap
persoalan dan peristiwa hukum yang berkembang di tengah masyarakat.

Selain bertujuan untuk memahami nash-nash Al-qur’an dan Hadits, ijtihad juga
dimaksudkan untuk menggali lebih dalam tentang tujuan yang terkandung dalam sebuah
hukum. baik dari segi nilai maupun semangat yang menunjang hukum tersebut. Kedua hal
tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam Islam. semua itu diupayakan semaksimal
mungkin demi terciptanya ketenangan dan kesejahteraan diantara umat islam. oleh karena itu,
keharmonisan antara akal dan wahyu Allah sangat dibutuhkan dalam masalah ini. dalam
literatur hukum Islam hal ini disebut dengan ilmu Ushul Al-Fiqh atau Filsafat Hukum Islam
dengan objek kajian yang menghubungkan peranan antara wahyu dan akal dalam menetapkan
sebuah hukum Islam.

Pembahasan

A. Pengertian Filsafat Hukum Islam


Secara kalimat, Filsafat Hukum Islam terdiri dari tiga kata yang berbeda, yaitu
Filsafat, Hukum, dan Islam. Secara etimologi kata Filsafat berasal dari bahasa
Yunani, yaitu Philosophia, yang merupakan gabungan dari kata Philein yang
memiliki arti mencintai, dan Sophia yang bermakna kebijaksanaan. Sehingga
Philosphia berarti cinta akan kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat disebut dengan
Filsuf atau Filosof yang memiliki makna pecinta kebijaksanaan.1
Sedangkan dari segi terminologi, sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman
Jamil bahwa filsafat menurut Sutan Takdir Alisyahbana berarti alam berpikir, dan
berfilsafat berarti berpikir. Akan tetapi tidak semua aktifitas berpikir disebut
berfilsafat. Aktifitas berpikir yang disebut berfilsafat adalah berpikir dengan insaf,
yaitu berpikir dengan teliti dan sesuai dengan aturan yang pasti.2 Dalam hal yang
sama Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berpikit mennurut
tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan
dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan. 3 Sedangkan
Hasymsyah Nasution menjelaskan bahwa filsafat secara sederhana adalah hasil
kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan
universal. 4 Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah aktifitas berpikir
bebas dan mendalam tentang substansi sesuatu sampai tak dapat dijangkau lagi
secara sistematis, radikal dan universal.

1
. Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 1. Ada yang menyebutkan
berasal dari kata philos yang berarti cinta (loving) dan sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah).
Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut sebagai philosophos atau failasuf dalam bahasa Arab-nya.
Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, dengan
perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). h. 3.
2
. Fathurrachman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2
3
. Harun Nasution, Filsafat Agama, Cet.IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 3
4
. Hasymsyah, Filsafat Islam, op.cit., h. 4
Kemudian pengertian hukum menurut para ahli yang dikutip dari C.S.T. Kansil,
dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”
adalah sebagai berikut:5
1. E.M. Meyers, dalam bukunya De Aglemene begrippen van het Burgerlijk Reech.
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukkan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi
pedoman bagi Penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.
2. Leon Duguit, hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat
sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
3. Immanuel Kant, Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
4. E. Utrech, memberikan batasan hukum, sebagai berikut: Hukum itu ialah
himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang
mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu.
5. S.M. Amin, dalam bukunya berjudul Bertamasya ke Alam Hukum, hukum
dirumuskan sebagai berikut: Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu
adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara.
6. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, dalam bukunya berjudul
Pelajaran Hukum Indonesia. Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan,
yaitu dengan hukuman tertentu.
7. M.H. Tirtaatmidjaja, dalam bukunya Pokok-pokok Hukum perniagaan.
Ditegaskan bahwa: Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus dituruti

5
. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1989), h. 36
dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman
mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

Kata terakhir dalam Filsafat Hukum Islam adalah Islam yang secara etimologi
memiliki beberapa pengertian, yaitu berasal dari kata salm yang berarti damai,
kemudian ada juga yang mengatakan berasal dari kata aslama yang bermakna
menyerah, ada juga yang berpendapat berasal dari kata istaslama yang berarti
penyerahan total, ada juga yang menyebutkan berasal dari kata saliim yang
bermakna bersih atau suci, serta juga ada yang mengatakan berasal dari kata salaam
yang berarti sejahtera dan selamat.

Sedangkan menurut terminologi, Islam adalah penyerahan atau penundukan diri


secara total stiap makhluk kepada Allah SWT. esensi makna Islam adalah
perdamaian. Seorang muslim adalah manusia yang membuat perdamaian dengan
Tuhan dan manusia.6

Sehingga Filsafat Hukum Islam sendiri berarti sebuah kajian filosofis tentang
hakikat hukum Islam, sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya
serta fungsi dan manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang
7
melaksanakannya. Masih tentang hal yang sama, Beni Ahmad Saebani
menyatakan Filsafat Hukum Islam adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia yang
digali secara filosofis, baik dengan pendekatan ontologis, epistimologis maupun
aksiologis. 8 atau secara sederhana Filsafat Hukum Islam dapat didefinisikan
sebagai Filsafat yang diaplikasikan terhadap hukum Islam yang ditujukan untuk
mencapai tujuan Islam sebagai agama yang relevan dan diterima di berbagai
kalangan umat manusia sepanjang zaman.

6
. Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
(Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002), h. 12.
7
. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Bulan Bintang, 1975), h. 37.
8
. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008), h. 56.
B. Sejarah Filsafat Hukum Islam
Semenjak wafatnya Rasulullah, masalah umat islam terus bertambah dan
semakin kompleks serta tetap harus mendapatkan kepastian hukum yang jelas.
ketika Rasulullah masih hidup semua problematika dapat diselesaikan dengan
wahyu. namun ketika wahyu sudah tidak turun lagi akal dituntut untuk memainkan
perannya sebagai alternatif sumber penetapan hukum Islam. penggunaan akal
dalam hal ini disebut dengan ijtihad yang melahirkan pemikiran-pemikiran
alternatif sebagai benih-benih jawaban atas setiap permasalahan yang timbul di
dalam kehidupan manusia.

Berijtihad dengan menggunakan akal dalam menjawab setiap persoalan hukum


Islam atau dalam istilah lain disebut dengan pemikiran falsafi itu telah disetujui dan
direstui oleh Rasulullah bahkan Allah lebih tegas lagi ketika menyebutkan bahwa
menggunakan akal dan pikiran itu sangat diperlukan dalam memahami berbagai
persoalan.9 Hal tersebut didasari oleh hadits Nabi Saw., ketika beliau mengutus
Mu’adz bin Jabal untuk menjadi hakim di Yaman. terlebih dahulu beliau bertanya
kepada Mu’adz: Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang diajukan
kepadamu?” Mu’adz menjawab: “Saya akan memutus dengan dasar Kitab Allah
(Al- Qur’an)”. Rasul bertanya pula: “Jika dalam kitab Allah tidak dijumpai
ketentuannya, bagaimana?” Mu’adz menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah”.
Rasulpun bertanya lagi: “Jika dalam Sunnah Rasulullah tidak dijumpai
ketentuannya, bagaimana?” Mu’adz menjawab: “Saya berijtihad dengan akalku,
dan saya tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan apapun”. Mendengar
jawaban Mu’adz itu Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: “Alhamdulillah
(segala puji bagi Allah) yang telah memberikan taufiq kepada Rasulullah sesuai
dengan yang melegakan hati Rasulullah.10

Hukum diciptakan oleh Allah Swt, untuk memelihara ketertiban dan


kesejahteraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan.
Olehnya itu pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang

9
. Izomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2018), h. 37-38
10
.Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Fakultas Hukum
UII, 1984), h.5 dikutip dari Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983),
h. 6-7
ada, hal itu berarti bahwa asas dan prinsip hukum harus sesuai dengan keadaan yang
ada, itu artinya asas dan prinsip hukum tidaklah berubah tetapi cara penerapannya
harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana dan
perubahan kebutuhan hidup. pada dasarnya kemaslahatan sebagai asas dan keadilan
sebagai prinsip harus selalu menjadi tujuan dari hukum Islam.

C. Objek Filsafat Hukum Islam


Adapun yang menjadi objek filsafat hukum Islam meliputi objek teoretis
(Falsafah At-Tasyri’) dan objek praktis (Falsafah Asy-Syari’ah). objek teoritis
filsafat hukum Islam adalah filsafat yang memancarkan hukum Islam atau
menguatkannya dan menjaganya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan
penetapan tujuan hukum Islam yang tercermin sebagai teori-teori hukum Islam
yang meliputi :
1. Prinsip-prinsip hukum Islam (Mabadi’ al-Ahkam)
2. Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum Islam (Mashadir al-Ahkam)
3. Tujuan Hukum Islam (Maqashid al-Ahkam)
4. Asas-asas hukum Islam (Ushul al-Ahkam), dan
5. Kaidah-kaidah hukum Islam (Qawa’id al-Ahkam)11
Sementara objek praktis filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diangkat dari
materi-materi hukum Islam, dari ibadah, muamalah, jinayah, dan sebagainya.
Filsafat ini bertugas membahas hakikat dan rahasia hukum Islam yang berupa :
1. Rahasia-rahasia hukum islam (Asrar al-Ahkam)
2. Ciri khas hukum Islam (Khasa’is al-Ahkam)
3. Keutamaan hukum Islam (Mahasin al-Ahkam)
4. Karakteristik hukum Islam (Thawabi’ al-Ahkam)12

Tujuan Filsafat Hukum Islam, agar hukum Islam dapat dikaji secara
mendasar sampai pada hal yang paling dalam pembahasan hukum Islam itu sendiri.
Sekaligus membuka peluang bagi ahli hukum untuk memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang hukum, sehingga membuat ahli hukum atau siapa saja lebih
meyakini kebenaran ajaran Islam yang terkandung dalam hukum Islam. Karena itu

11
.Juhaya, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan LPPM-Universitas Islam, 1995), h. 16.
12
Fathurrachman, Filsafat, op.cit., h. 17
pendekatan filsafat dalam pengkajian hukum Islam sangat penting karena berguna
untuk menetapakan hukum.13

D. Kegunaan Filsafat Hukum Islam

Filsafat Hukum Islam seperti filsafat pada umumnya mempunyai dua tugas:
tugas kritis dan tugas konstruktif. Tugas kritis Filsafat Hukum Islam adalah
mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di dalam hukum
Islam.Sementara tugas konstruktif Filsafat Hukum Islam adalah mempersatukan
cabang-cabang hukum Islam dalam kesatuan sistem hukum Islam sehingga nampak
bahwa antara satu cabang hukum Islam sengan lainnya tidak terpisahkan. Dengan
demikian Filsafat Hukum Islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat
hukum Islam; hakikat keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab
orang harus taat kepada hukum Islam; dan sebagainya. Selain hal tersebut, filsafat
hukum Islam juga memiliki beberapa kegunaan diantaranya :
1. Menjadikan filsafat sebagai metodologi dalam menggali hakikat, sumber
dan tujuan hukum Islam
2. Dapat membedakan kajian ushul fiqh dengan filsafat terhadap hukum Islam.
3. Mendudukan filsafat hukum Islam sebagai salah satu bidang kajian yang
penting dalam memahami sumber hukum Islam yang bersala dari wahyu
maupun hasil ijtihad para ulama
4. Menemukan rahasia-rahasia syariat diluar maksud lahiriahnya.
5. Memahami sebab hukum sebagai bagian dari pendekatan analitis tentang
berbagai hal yang membutuhkan jawaban secara hukum sehingga
pelaksanaan hukum Islam merupakan jawaban dari situasi dan kondisi yang
terus berubah secara dinamis
6. Membantu mengenali unsur-unsur yang harus dipertahankan sebagai
kemapanan dan unsur-unsur yang menerima perubahan sesuai dengan
tuntutan zaman.

E. Teori Hukum Islam

13
. Darmawati, Filsafar Hukum Islam, Cet. I (Makassar: Penerbit Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin,
2019), h. 15
Dalam proses pengkajian hukum islam dengan menggunakan pendekatan
filsafat itulah dinilai dapat melahirkan beberapa kaidah-kaidah atau metodologi-
metodologi yang menjadi dasar rujukan dalam penetapan hukum-hukum dalam
Islam. hal tersebut dikenal dengan istilah Ushul Fiqh.

1. Pengertian Ushul Fiqh

Secara bahasa, kata ushul merupakan bentuk plural dari kata ashl dalam
bahasa Arab yang berarti sesuatu yang dibangun di atasnya.14 Sedangkan
secara istilah kata ushul memiliki arti yang berbeda-beda. Sementara kata
fiqh bermakna fahm atau pemahaman. Dan menurut istilah adalah
pengetahun terhadap serangkaian hukum-hukum syari’at berikut dalil-
dalilnya secara terperinci. Sehingga pengertian Ushul Fiqh sebagai salah
satu disiplin dalam ilmu keislaman adalah sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Al-Ghazali yakni keterangan tentang dalil-dalil hukum
dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukannya terhadap hukum-hukum
secara garis besar tidak secara terperinci. 15 Di sisi lain Az-Zarkasy juga
menyatakan bahwa Ushul Fiqh adalah himpunan jalan pengambilan hukum
fiqh secara garis besar, penggunaan metode istidlal, serta keadaan orang
yang menggunakan metode tersebut.16 Pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa Ushul Fiqh adalah sekumpulan dalil-dalil yang bersifat global.

2. Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Setidaknya ada tiga pokok utama yang menjadi cakupan pembahasan


ilmu ushul fiqh, yaitu :
a. Penjelasan tentang metode atau cara pengambilan hukum dari dalil-
dalilnya atau dengan kata lain proses pengintisarian petunjuk hukum
yang terdapat dalam nash-nash Al-quran atau As-sunnah

14
. Jalaluddin Al-Mahally, Syarh Waraqat, Cet. I (Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2009), h. 9
15
. Al-Ghazaly, Al-Mustashfa Min ‘Ilm Al-Ushul, (Kairo, Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993), h. 15
16
. Az-Zarkasy, al-Bahr al-Muhith Fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Daar Al-Kutub, 1994), j. 1 h. 24
b. Ijtihad dan mujtahid berikut segala hal yang berkaitan dengan kedua hal
tersebut, seperti persyaratan, tingkatan, objek, dan berbagai
permasalahan yang bersifat ijtihadiyah.
c. Dalil-dalil hukum, baik dalil-dalil yang berposisi sebagai sumber hukum
primer, maupun dalil-dalil ijtihadi yang berkedudukan sebagai sumber
hukum sekunder, berikut dengan penetapan tingkatan kekuatan masing-
masing dalil dengan berbagai asumsinya.

3. Sejarah Ushul Fiqh

Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode yaitu:

- Zaman Rasulullah

Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua,


yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi,Nabi SAW
menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.
Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum
kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits
atau sunnah.Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh
permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul.Pada
masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT.
Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum.

Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat,


walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama
keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat
permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama
adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,kemudian
Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan
maka dapat berijtihad. Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat
juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh
dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan


qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika
menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya
puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur -kumur dalam keadaan puasa, apakah
puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa apa” (tidak batal).
Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al
Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).Hadits ini mengidentifikasikan
kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas
dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya
sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.

- Zaman Sahabat

Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besardalam


pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi.Periode ini dimulai
pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50H. Meninggalnya
Rasulullah memunculkan tantangan bagi parasahabat. Munculnya
kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka atau denganfasilitas khalifah. Sebagian sahabat
sudah dikenal memilikikelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin
Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn
Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah
dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini
digunakanbeberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya
ijma sahabat dan maslahat mursalah.

Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan


musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang
persoalanhukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang
ahlidalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut
biasanyadiikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang
dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya olehImam
Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa
diterima.

Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu),yang


berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari
pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-
kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas
dilakukandengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan
hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.

- Zaman Tabi’in

Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan
antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut,bukan saja antara
ulama satu daerah dengan daerah yang lain,tetapi juga antara para ulama
yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni
kaidah - kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’
dalam menetapkan hukum dalam berijtihad

4. Urgensi Ushul Fiqh

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa ushul fiqih merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah
aqidah, ibadah, muamalah, uqubah (hukuman) maupun akhlak. Dengan kata
lain, ushul fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai metode,
sarana atau alat.
Tujuan ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah nya dan
teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum
syara’ yang ditunjukki dalil itu. Jadi berdasarkan kaidah kaidahnya dan
bahasan-bahasanya,maka nash-nash syara’ dapat dipahami dan hukum yang
menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat
menghilangkan kesamaran lafal, yang samar dapat diketahui.

Bahkan tujuan utama dari ushul fiqih adalah untuk mencapai dan
mewujudkan sesuatu yang dimaksud syara’.

F. Substansi Hukum Islam

Setelah diperoleh pengetahuan tentang landasan filosofis dan metotologis dalam


penetapan hukum Islam, maka pengetahuan tentang hakikat hukum islam itu sendiri
merupakan hal yang penting untuk diketahui. Tentunya pembahasan tentang hukum
Islam tidak akan terlepas dari al-hakim atau pembuat hukum yang berarti dalam
konteks ini adalah Allah SWT. kemudian mahkum ‘alaih atau yang terbebani
dengan hukum tersebut.

1. Pengertian Hukum Islam


Kata al-hukm secara etimologis berarti halangan, sedangkan menurut
terminologisnya berarti titah Allah yang berhubungan dengan perilaku-
perilaku mukallaf dari tuntutan atau kebolehan memilih atau berupa
ketetapan.17 Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
tiga pokok utama yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu :
- Tuntutan, baik berupa perintah melakukan sesuatu dengan tekanan yang
merupakan kewajiban, ataupun perintah tanpa tekanan yang menjadi
sebuah anjuran. Bahkan tuntutan atau perintah untuk meninggalkan
sesuatu (larangan), apabila disertai dengan tekanan maka hal tersebut
menjadi haram dan apabila tidak maka menjadi sesuatu yang dibenci
(makruh)

17
. Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh: Daar El-Shami’i, 2003). H. 49
- Pilihan, yaitu sesuatu yang tidak berkaitan dengan syariat apabila
dikerjakan ataupun ditinggalkan. Dengan artian menjadi pilihan yang
mutlak bagi seseorang, hal ini sering disebut dengan istilah mubah
- Titik berat, merupakan titah Allah SWT yang berkaitan tentang
penghubungan sesuatu sebagai sebab, syarat, larangan, sah, rusak,
ataupun rukhsah

Adapun menurut ahli fiqh,hukum itu adalah suatu implikasi dari


khithab, seperti halnya kewajiban melaksanakan shalat, keharaman
melakukan perzinahan. Kemakruhan jual beli pada
waktuadzanberkumandang, pembolehan berburu setelah melakukan ihram.
Perbedaan dalam terminologi ini tidak memiliki implikasi praktis.
Dari definisi tersebut, jelas bahwa hukum terbagi menjadi dua bagian,
yaitu : Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.
- Hukmu Taklifi adalah hukum yang berupa titah Allah yang mengandung
beban bagi orang mukallaf, baik beban itu berupa tuntutan untuk
mengerjakannya, meninggalkannya ataumemilih mengerjakannya atau
tidak mengerjakannya.18 Hukum Taklifi disini menurut mayoritas ulama
dibagi kepada lima bagian yaitu Al-Ijab, An-Nadb, Al-Ibahah, Al-
Karohah, At-Tahrim.
- Hukmu Wadl’i adalah hukum Tuhan yang berhubungan dengan sesuatu
yang menjadi alamat/tanda-tanda yang menentukan ada atau tidak
adanya hukum taklifi, atau dengan kata lain sesuatu yang
mengakibatkan ada tidaknya hukum taklifi. Hukum Wadl’i disini
meliputi :
▪ Sabab, yaitu sifat atau keadaan yang karena eksistensinya menjadi
sebab timbulnya hukum taklifi
▪ Syarat, yaitu sesuatu yang wajib adanya demi munculnya hukum
taklifi
▪ Mani’, yaitu sesuatu yang menjadi penghalang timbulnya hukum
taklifi.
.

18
. Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet. I (Surabaya: eL-Kaf, 2006), h. 25
2. Pengertian Al-Hakim
Pengetahuan tentang Sang Pembuat Hukum menjadi sebuah hal yang
penting dalam kajian hukum Islam, karena dengan mengetahui yang
membuat hukum akan membawa pengetahuan kepada hukum dan hal-hal
yang berkaitan dengan hukum itu sendiri. Yang dimaksud dengan pembuat
hukum disini bukanlah yang menmegang kekuasaan atau pemerintah, akan
tetapi Al-Hakim disini ialah dzat yang berhak mengeluarkan hukum atas
pebuatan manusia dan terhadap benda-benda.
Pegertian hukum menurut ulama ushul adalah firman Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, hal ini mengindikasikan bahwa
pembuat hukum itu sendri berarti Allah SWT. dan ini telah disepakati oleh
para ulama dan seluruh umat Islam dengan mengatakan bahwa tidak ada
syari’at yang sah kecuali dari Allah SWT.
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan
membuat hukum Islam adalah Allah SWT. sedangkan yang
menginformasikan hukum-hukum tersebut ialah para RasulNya. Merekalah
yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.19 Dengan
kata lain ketika rasul sudah diutus dan risalahnya sudah disampaikan maka
tidak ada perselisihan pendapat bahwa yang menjadi Al-Hakim diantara
mereka adalah Allah SWT.
Allah SWT adalah dzat yang menciptakan manusia di atas bumi ini dan
Diapula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik
dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk
kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut
hubunganmanusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan
sesamanya danalam sekitarnya.
3. Mahkum ‘Alaih
Mahkum alaihi adalah orang yang dibebani hukum (subjek hukum),
yakni mukallaf (orang yang sudah mencapai akil balig, sehat rohani, islam
dan sudah sampai da’wah syariat kepadanya).20 Dengan demikian Subjek
hukum atau pelaku hukum (mukallaf) ialah orang-orang yang dituntut oleh

19
. Mu’in Umar, Ushul Fiqh 1, (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama
RI, 1985) hal. 26
20
. Muhammad Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2007). Hlm. 152-153
Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan
berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif bagi pelaku hukum adalah sebagai berikut:
- memahami atau mengetahui tentang titah Allah yang membebankan
sebuah hukum terhadapnya
- menerima beban taklif yang telah diberikan
- memenuhi kriteria penerima beban taklif dan dipandang pantas untuk
menjalankan hukum tersebut
Ketika orang sudah mencapai usia aqil baligh (mukallaf), maka baginya
telah sempurna hak dan keahliannya. Akan tetapi pada fase ini sering timbul
permasalahan-permasalahan (penghalang) yang dapat menghalangihak dan
keahliannya.Penghalang keahlian ini dibagi menjadi dua macam:
- Pertama, Awaridh Samawiyah, yakni penghalang yang datangnya bukan
dari manusia dan bukan pula dari kemauannya. Seperti Al-Junun (gila),
Al-‘Atah (dungu/idiot), An-Nisyan (lupa), An-Naum (tidur), Al-
Ighmaa’ (pingsan), Al-Maradh (sakit), haid/nifas, Al-Maut (mati).
- Kedua, Awaridh Muktasabah, yakni penghalang yang terjadi dengan
kehendak manusia,baik dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya.
Seperti: Al-Sakr (mabuk),Al-Hazl (Bergurau.main-main), As-Safah
(Bodoh), Al-Safar (perjalanan),Al- Khatha’ (kekeliruan), Al -Ikrah
(paksaan)

Penutup
Filsafat dan teori hukum islam akan terus berkembang mengikuti dinamika perubahan
yang terjadi diantara manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan akan lahirnya hukum-
hukum baru yang bisa menjawab setiap permasalahan dalam kehidupan. Karena Islam sebagai
agama yang rahmatan lil ‘alamin akan terus terbuka untuk menerima segala persoalan hidup
umat manusia.
Penetapan-penetapan hukum di masa mendatang tidak terlepas dari landasan-landasan
filosofis dan metodologis yang telah di tanamkan di setiap pondasi ilmu hukum keislaman yang
ada. Sehingga tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum yang lainnya selama tetap
menjadikan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan umat manusia menjadi yang utama.
Daftar Pustaka
Al-Amidi. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Riyadh: Daar El-Shami'i, 2003.
Al-Ghazali. Al-Mustashfa Min 'Ilm al-Ushul. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993.
Al-Mahally, Jalaluddin. Syarh Waraqat. Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2009.
Amiruddin, Zen. Ushul Fiqih. Surabaya: el-Kaf, 2006.
Az-Zarkasy. al-Bahr al-Muhith Fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar Al-Kutub, 1994.
Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit
Fakultas Hukum UII, 1984.
Biek, Muhammad Khudhari. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Darmawati. Filsafat Hukum Islam. Makassar: Penerbit Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Alauddin, 2019.
Djamil, Fathurrachman. FIlsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Izomiddin. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2018.
Juhaya. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan LPPM-Universitas Islam
Bandung, 1995.
Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Nasution, Hasymsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Shiddiqy, Hasbi Ash. Falsafah Hukum Islam. Bandung: Bulan Bintang, 1975.
Umar, Mu'in. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, 1985.
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Anda mungkin juga menyukai