Anda di halaman 1dari 18

FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN MORAL

MAKALAH REVISI
Unruk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam yang diampu oleh:
Dr. Noer Yasin

Oleh:
Arif Masdukhin
NIM. 16781027

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK


IBRAHIM MALANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara hukum Islam dan moral dalam tinjauan falsafi tidak menjadi
perhatian yang demikian serius dalam literatur Islam selama ini, kecuali
barangkali oleh para pemikir Islam belakangan, Arkoun misalnya. Hal ini sangat
berbeda dengan apa yang berlangsung dalam filsafat hukum Barat. Dalam tradisi
Barat, dikenal beberapa macam gagasan tentang hubungan antara hukum dan
moral. Hubungan-hubungan tersebut pada pokoknya terbagi ke dalam dua
golongan yaitu gagasan yang mendukung dan menentang adanya hubungan antara
hukum dengan moral. Di Dunia Barat, semenjak zaman Plato soal ini telah
diperbincangkan dan mungkin hingga saat ini orang belum bisa sepakat tentang
satu kesimpulan mengenai hubungan tersebut. Para filosof terlibat dalam diskusi
yang intens, berkepanjangan dan melelahkan mengenai topik tersebut selama
berabad-abad.

Mereka berdebat tentang apakah moral menjadi unsur penting dari hukum dan
apakah ajaran-ajaran moral harus diindahkan oleh norma hukum. Dengan
demikian, sebenarnya, pembahasan soal tersebut dalam tradisi Barat adalah dalam
rangka mencari landasan yang kokoh bagi berlakunya suatu hukum. Sedangkan di
dalam Islam, pikiran para pemikir terfokus pada keyakinan bersama bahwa
hakekat hukum adalah hukum Tuhan. Dia sendirilah yang menjadi sumber
hukum. Wahyu yang diturunkanNya menjadi landasan utama dalam Islam. Ketika
mereka merasa bahwa apa yang dipikirkannya adalah hukum Tuhan, maka soal-
soal filosofis yang pelik seperti itu tidak lagi merisaukan mereka. Secara efektif,
posisi yuristik seperti ini telah menghilangkan atau setidaknya menurunkan
tingkat keperluan akan banyak pembahasan falsafi tentang hukum di dalam Islam.
Maka pembahasan tentang hubungan antara hukum dan moral tampak tidak amat
mendesak untuk dibicarakan dalam Filsafat Hukum Islam. Inilah tampaknya
posisi yang merupakan arus utama dalam pemikiran hukum Islam.
N.J. Coulson telah menunjuk contoh yang baik tentang kasus problem
hubungan antara hukum dengan moral di dalam tradisi pemikiran hukum (Barat),
yaitu sebuah keputusan yang telah dibuat oleh House of Lords tahun 1962 dalam
perkara antara Mr. Shaw dan Direktur Public Prosecutions. Mr. Shaw telah
menerbitkan buku kecil dengan judul Ladies Directory yang mencantumkan
daftar nama dan alamat para pelacur disertai dengan foto telanjang mereka dan
penjelasan singkat tentang perilaku seksual khusus mereka. Di samping dinilai
telah tidak merasa berdosa karena menerbitkan artikel yang tidak sopan, Mr.
Shaw juga dipandang telah merusak moral masyarakat.1 Kasus ini menimbulkan
pertanyaan mendasar yaitu apakah menjadi tugas hukum untuk menegakkan
standar dari moralitas konvensional dengan cara menghukum setiap
penyimpangan, khususnya dalam kasus ketidak sopanan seksual yang dilakukan
secara pribadi-pribadi di mana umumnya tidak membahayakan atau merugikan
orang lain?

Di dalam Islam, kasus seperti itu akan mendapatkan tanggapan jelas yang
mudah menjadi kesepakatan bersama. Bahwa Islam melarang perzinaan dan
pelanggaran-pelanggaran seksual lainnya merupakan bukti bahwa ajaran moralitas
diterima sebagai anasir hukum. Membahas hubungan antara hukum dan moral
menjadi semakin terlihat penting akhir-akhir ini, karena di satu pihak ada unsur
dalam kaum muslimin yang mendesakkan syariat Islam agar segera diterapkan,
sementara ada pihak lain yang menolaknya, antara lain dengan alasan bahwa
banyak di antara produk hukum Islam masa lalu yang telah kedaluwarsa sehingga
perlu dilakukan pembaharuan terlebih dahulu. Artinya tampak adanya kebutuhan
akan landasan bersama dalam memandang warisan masa lalu yang masih utuh
tersimpan itu. Hal itu bisa berarti pula kebutuhan untuk mengeksplorasi watak
dari hukum Islam yang sebenarnya dalam sajian falsafi.

1
Abdul Munim Saleh. Hukum Dan Moral, E- Journal. 2009 Hal 2.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian filsafat hukum Islam?

2. Apa pengertia Moral ?

3. Bagaimana hubungan hukum dan moralitas menurut ahli hukum?

4. Apa hubungan moralitas dengan hukum Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui filsafat hokum Islam
2. Mengetahui pengertian Moral
3. Mengetahui hubungan Moralitas dan hukum
4. Mengetahui hubungan Moralitas dan hukum Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum Islam

a. Pengertian Filsafat

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam filsafat hukum islam terdapat tiga
kata : yaitu filsafat, hukum , dan Islam. setiap kata tersebut memiliki definisi
masing- masing, oleh karenannya alangkah baiknya mengetahui definisi
tersebut sebelum melangkah pada ranah filsafat hukum Islam.

Filsafat berasal dari yunani yaitu philoshopis dari kata philo atau philein
berarti cinta, dan shopia berarti kebijaksanaan, gabungan dari kata tersebut
membentu suatu pengertian cinta akan kebijaksanaan.2 namun dalam dunia
timur para failasuf memberikan makna filsafat dengan makna al-itsar yang
berarti mengutamakan atau lebih suka dan hikmah berarti kebijaksanaan. maka
philosophia atau itsar al-hikmah berarti orang yang lebih suka terhadap hikmah
atau kebijaksanaan.3

Secara terminologi telah banyak disebutkan oleh ahli filsafat baik dari yang
non muslim maupun muslim yaitu :

1. Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk


mencapai pengetahuan tentang kbenaran yag asli.

2. Aistoteles menyatakan, filsafat adalah ilmu yang meliputi kebearan yang


didalamnya terkandung ilmu- ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik dan estetika.4

3. Ibnu Sina failasuf muslim berpendapat, filsafat atau hikmah adalah mencari
kesepurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan, dan

2
Zainudin Ali. Filsafat Hukum, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia.(Jakarta: Sinar
Grafika. 2011). Hal 1
3
Fathurrahman Jamil. Filsafat Hukum Islam.( Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997). Hal 2
4
Surajiyo. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar. (Akarta: Bumi Aksara. 2005) Hal 1- 2
membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teorri maupun praktik
menurut kadar kemampuan manusia.5

4. Alfarabi menandaskan tentang filsafat dalm bukunya yang dikuti oleh


Teungku Hasbi bahwasanya falsafah adalah orang yang mengutamakan
hikmah, yang mana orang tersebut menggunakan seluruh hidupnya dari
seluruh hidupnya untuk memperoleh hikmah.6

5. Harun Nasution berpendapat intisari dari filsafat adalah berfikir menurut


tata tertib dengan bebas dan sedalam dalamnya sehingga sampai ke dasar
asar persoalan7

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan filsafat aalah sutau ilmu
yang didapat dengan suatu berfikir dengan sedalam- dalamnya dan diperkuat
teori teori yang mana dapat menghasilkan suatu pengatahuan atau
kebenaran.

b. Syariah

Syariah secara etimologi berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum.
namun kata ini diharmonisasikan oleh bangsa arab dengan kata jalan yang
lurus yang harus dituruti.8 secara terminologi syariah menurut muhammad
syaltut, mengandung arti hukum- hukum dan tata aturan yang allah syariatkan
untuk diikuti.9

Dari definisi di atas apat disimpulkan bahwa syariat itu pada awalnya idetik
dengan persoalan agama. namun perkembangan terakhir ini dikhususkan untuk
hukum amaliyah. karena dengan pengkhususan ini membedakan antara agama
dan syariah.

5
Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam.( Bandung: Lppm Universitas Bandung.1995). 6
6
Teungku Muhammad Hasby Ash Sidieqiy. Falsafah Hukum Islam.(Semarang: Pustaka Rizki
Putra. 2001). Hal 3
7
Harun Nasution. Filsafat Agama, Cet. Vi.(Jakarta: Bulan Binntang, 1987). Hal 3
8
Muhammad Faruq Nabhan. Al Madkhal Li Al Tasryi Al Islam..( Beirut : Dar Al Shadir, T. Th)
Jilid Iii. Hal 10
9
Fathurrahman Ddjamil. Filsafat Hukum Islam .Hal 7
Dalam perkembangan selanjutnya kata ini dipergunakan hanya tertuju pada
hukum- hukum Islam baik yang ditetapkan oleh langsung oleh al-Quran dan
sunnah. maupun dengan ijtihad. dan adapu kata syariah ini ada kaitanya erat
dengan tasri, yang mana syariah tertuju pada materi hukum sedangkan tasri
adalan penetapan materi syriah terebut.10

c. Hukum Islam

Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam al quran maupu
sunah. yang ada melainkan hanya kata syariah, hukum allah, dan yang seakar
dengannya. kata hukum islam merupakan terjemahan dari term islamic law
dari literatur barat.11

Dalam rangka untuk lebih memahami hukum Islam. perlu diketahu arti
tentang hukum terlebih dahulu yaitu menurut Fathurrahman Djamil yang
mengutip definisi Muhammad Muslehudin berpendapat hukum merupakan
sekumpulan aturan, baik yang berasal aturan formal maupun adat yang diakui
oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya.12

Bila hukum tersebut digabungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti
seperangkat peraturang yang berhubungan dengan wahyu allah dan sunnah
rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku
dan mengikat untuk semua umat yang beragaa islam.13 ada juga yang
mendifinisikan hukum Islam yaitu khitab Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang berifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan
dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan atatu
perintah maupun larangan.14

10
Fathurrahman Ddjamil. Filsafat Hukum Islam. Hal 8
11
Josep Schach. An Introduction To Islamic Law,( e-book: thesis) hal 1
12
Fathurrahman Ddjamil. Filsafat Hukum Islam. Hal 12
13
Amir Syarifudin. Pengertian Dan Sumber Hukum Islam.( Jakarta: Bumi Aksara.1992). Hal 15
14
Zainudin Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia. Hal 2
Dari dua definisi tentang hukum Islam tadi dapat dipahami bahwa hukum
Islam mencakup hukum syariah dan hukum fiqih. karna arti syara dan fiqih
terkandung dalam hukum Islam terebut.

d. Filsafat Hukum Islam

Filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam,
sumber hukum Islam, dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum Islam
bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.15 dengan demikian dapat
dipahami filsafat hukum adalah setiap kaidah yang mencakup asas, atau
mabda, aturan- aturan pengendaian agama Islam. kaidah kaidah ini dapat
berupa al quran, hadis, ijma dan lembaga fatwa keagamaan. filsafat hukum
Islam juga dapat diartika sebagai hikmah al tasri. atau bisa juga kita sebut ruh
suatu hukum tersebut.16

Dalam sejarah pembinaan hukum Islam dapat ditemukan bahwa para ahli
ushul telah mewujudkan falsafah al tasri, sehingga hukum bisa terus terbina
dengan baik. oleh karena falsafah hukum Islam dibagi menjadi tiga macam17 :

1. falsafah al syariah , yang mengungkapkan masalah ibadah, muamalah,


jinayah, dan uqabah dari materi hukum islam, filsafat syariah ini mencakup
asrar al ahkam, dan tawabi al ahkam.

2. falsafah tasri, falsafah yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan


memeliharanya. falsafah tasri meliputi ushul al ahkam, maqasid al ahkam,
dan qawaid al ahkam.

3. hikmah al tasri wa falsafahatuh yaitu kajian mendalam dan radikal tentang


prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum islamsebagai undang- undang
dan jalan kehidupan yang lurus.

15
Muhammad Sukri Albani Nasution. Filsafat Hukum Islam.(Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada.2013). Hal 4
16
Teungku Hasbi Ash Sidiqiy. Falsafah Hukum Islam. Hal 23
17
Muhammad Sukri Albani Nasution. Filsafat Hukum Islam. Hal. 4
berdsarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum Islam
merupakan pengetahuan tentang rahasia hukum yang digali secara filosofis,
baik dengan pendekatan antologis dan epistemologis. filsafat hukum Islam juga
dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hukum islam dan asal
muasalnya, proses pencarian rahasia dan illat hukum serta tujuanya yang
diberlakukan sebagai prnsip- prinsip dasar untuk berprilaku. adapun usaha
yang dilakukan dalam pemikiran tentang hakikat, sumber, dan tujuan hukum
Islam tidak sebatas menggunakan semata- mata rasio, tetapi memasukkan
pendekatan kewahyuan dengan rasio, sehingga ada keseimbangan metodologis
untuk mencapai kebenaran tertinggi.

B. Pengertian Moral

Secara etimologi moral berasal bahasa latin yaitu mores yang berarti adat atau
cara hidup.18 ada juga yang berpendapat dari bahasa belanda moural, yang berarti
kesusilaan, budi pekerti. sedangkan menurut W.J.S Poerwadarminta moral berarti
ajaran tentang baik dan buruk perbuatan atau kelakuan.19 sedangkan dalam
Islam moral dinamakan dengan akhlak, sebagai mana Fathurrahman Djamil
mengutip dari Al Ghazali dari karyanya Ihya Ulumddin mendifinisikan sebagai
berikut.

akhlaq adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan


perbuatan- perbuatan, tanpa memerluan pemikiran dan perrtimbangan.20

lebih lanjut Al Ghazali menguraikan21 :

induk atau prinsip dari budi pekerti adalah empat :

18
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Hal. 88
19
Abdul Munim Saleh. Hukum Dan Moral. hal 5
20
Abdul Munim Saleh. Hukum Dan Moral, Hal 6
21
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. .Hal 146
1. kebijaksanaan
adalah perilaku jiwa yang dapat menemukan kebenaran daari yang salah
dalam perbuatan yang dikerjakan
2. keberanian
adalah kekuatan sifat amarah yang tunduk pada akal dalam menjalakannya
3. menjaga diri
adalah mendidik kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara
4. keadilan
peilaku jiwa yang dapat mengatur sifat amarah dan syahwat dan dapat
mengarahkannya kepada yang dikehendaki hikmah dan dapat meggunakannya
menurut kebutuhan
Adapun ukuran perseorangan dapat dikatakan baik atau buruk, bagus atau jelek
berbeda pandangan karena perbedaan persepsi sesorang, perbedaan masa, dan
perubahan keadaan dan tempat.22 namun demikian dalam tatanan masyarakat
dalam suatu masa aada ukuran umum yag diakui oleh seluruh atau oleh sebagaian
terbesar anggotanya. ukura umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat
dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok- pokok tertentu yang ada
persamaannya pada manusia dalam penilaian baik dan buruk. bagi umat Islam
pendasaran baik dan buruk tersebut dilandaskan pada al-Quran dan sunah. apa
yang dinyatakan dalam pedoman tersebut baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi
umat manusia, demikian sebaliknya.23

C. Hubungan Hukum dan Moralitas

Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moralitas adalah salah


satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara
hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama
dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi
moralitas hanya mengikat orang sebagai individu. oleh karenanya dalam hal ini
terdapat dua pendapat seputar tentang hubungan antara hukum dan moral :

22
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. Hal 146
23
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam. Hal 148
pertama, hukum bersatu dengan moral, Prof.Dr Hazairin dalam buku Demokrasi
Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman, moral tanpa
hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus pada kebinatangan. Hanya hukum
yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan
kemanusiaan.24 Menurut Muslehuddin, hukum tanpa keadilan dan moralitas
bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama.25 Sistem hukum yang tidak
memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan
terpental. Sedangkan menurut Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan,
karena moral adalah pokok dari hukum.

Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan hukum dan
moralitas. Dalam suatu masyarakat ada hubungan erat antara moralitas sosial dan
perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya
tergantung pada karakter masyarakat. Masyarakat yang plural dan liberal akan
lebih mudah merefleksikan berbagai nilai etika daripada masyarakat otoriter.
dalamyang terikat dengan kebiyasaan, ada transformasi yang berangsur- angsur
tingkah laku sosial menjadi kebiasaan hukum dan dari kebiasaan terebut menjadi
rumusan legislatif.26

kedua, teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu
hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: hukum dan moralitas
tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama. Ini tidak berarti bahwa hakim
atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan
perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas
yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula.27

Penganut faham positivisme menolak pengetahuan normatif tentang etika dan


menganggap etika tidak termasuk dalam kategori ilmiah. Aliran ini menganggap
bahwa antara hukum dan etike mempunyai bidang sendiri-sendiri yang tidak
berhubungan antara satu dengan lainnya. Pendapat ini didukung oleh Coulson dan
24
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam. Hal 151
25
Abdul Munim Saleh. Hukum Dan Moral, Hal 6
26
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 151
27
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 152
Kerr. Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial jauh dari hukum.
Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni,
meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi
dari ilmu-ilmu sosial.

Sedangkan aliran imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah


penguasa. Menurutnya, hukum positif adalah suatu aturan umum tentang tingkah
laku yang ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah.
Tujuan Austin adalah untuk memisahkan secara tajam hukum positif dari aturan-
aturan sosial semisal kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada
perintah mencapai tujuan tertentu. Konsep perintah secara tidak langsung
menyatakan ancaman bagi pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.28

Oleh karenanya Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau
moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah
laku masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan
memberikan peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna.
Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu
berdasarkan pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menentukan
apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan Sedangkan pada masyarakat yang
sudah maju adat tersebut tidak lagi mencukupi. Ini karena moral adalah kebebasan
pribadi dan cara berfikir setiap orang tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun
berbeda, sehingga banyak sekali usaha baik yang mendapat tantangan dan
hambatan. Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan lain yang tidak
didasarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi
dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut hukum.

28
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 152
D. Hubungan Moralitas Dengan Hukum Islam

Seringkali agama dipahami hanya menyangkut masalah spiritual, sehingga


muncul anggapan bahwa agama dan hukum tidak sejalan. Adanya hukum adalah
untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat,
sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar
tidak menyimpang dari norma-norma etika yang ditentukannya. Agama
menekankan moralitas, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk,
sedangkan hukum duniawi menfokuskan diri pada kesejahteraan material dan
kurang jelas hubungannya dengan moralitas.

Di dalam Islam, moralitas yang berasal dari agama adalah bagian integral dari
manusia. Manusia mungkin dapat menetapkan moralitasnya sendiri tanpa agama,
tetapi dengan mudah ia akan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri
sehingga ukuran moral dapat berubah-ubah. Moralitas agama tidak demikian, ia
berasal dari Tuhan, berhubungan dengan akal sehat, hati nurani dan keyakinan
kepada Allah. Karena itu, integritas yang baik tidak mungkin diharapkan di luar
agama.

Ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada
Tuhan maupun kepada manusia. Karena sumber, sifat dan tujuannya, hukum
Islam secara ketat diikat oleh etika agama. Berdasarkan fungsi utama, hukum
Islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik
dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Tuhan sendirilah
yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.29 Dalam masyarakat
Islam, hukum bukan hanya faktor utama, tetapi juga faktor pokok yang
memberikannya bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab
hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau
menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh
Islam.

29
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 153
Syariat Islam merupakan kode hukum dan sekaligus kode moral. Ia
merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas
kehendak Allah, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali
tidak bisa ditarik secara jelas.30

Di dalam al-Quran pada umumnya tidak ada perbedaan tegas antara moral dan
peraturan hukum. Al-Quran membicarakan hal-hal fundamental untuk
membedakan yang hak dan yang batil, baik dan buruk, yang pantas dan yang tidak
pantas. Ajaran al-Quran semata-mata menunjukkan standar tingkah laku yang
dapat diterima dan tidak dapat diterima. Islam melarang perzinaan seraya
melukiskannya sebagai perbuatan yang amat tidak pantas serta seburuk-buruknya
jalan dan pelakunya diancam dengan hukuman cambuk seratus kali di depan
umum. Hukuman biasanya terkait dengan pelanggaran yang merugikan orang
lain, tetapi di sini jelas terlihat bahwa Islam menganggap jahat terhadap perbuatan
tidak jelas siapa korbannya. Islam juga melarang praktek membungakan uang
(riba) dan secara ekplisit mengaitkan ketaatan untuk meninggalkannya dengan
taruhan keimanan serta menegaskan bahwa Allah dan RasulNya
memproklamirkan perang kepada mereka yang tetap memungut riba. Islam peduli
pada regulasi keuntungan ekonomi yang bermoral. Sebaliknya, kreditur supaya
memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut bunga) kepada debitur yang
mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah
dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi
hutangnya, bahkan kreditur dianjurkan supaya menyedekahkannya. Demikian
pula, Hukum Islam melarang pedagang mengurangi hak pembeli, baik dalam
takaran, timbangan maupun ukuran. Sementara itu, Nabi mengajarkan bahwa
mampu melunasi hutang tetapi menunda pelunasan itu adalah kezaliman.31

Semua ketentuan dari al-Quran maupun hadis tersebut secara serta merta
masuk menjadi materi dalam fiqh, yang juga sering disebut sebagai hukum Islam.
Proses masuk itu berjalan dengan tanpa pertentangan di kalangan kaum muslimin,

30
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 154
31
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 154
bahwa materi-materi moralitas memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
hukum Islam. Materi-materi moralitas yang berasal dari al-Quran dan hadis itu
diperlakukan sama dengan perlakuan atas materi-materi lain. Sebagaimana
diketahui, para ahli usul al-fiqh telah mengembangkan metode inferensi terhadap
sumber-sumber wahyu. Metode ini dimaksudkan untuk diberlakukan secara
konsisten dan universal, untuk menafsirkan semua hal yang disebut sumber
wahyu. Secara substantif, tidak ada perbedaan metode untuk menghadapi ayat-
ayat maupun hadis tentang hukum atau tentang materi yang lain.

Hukum tak lain adalah produk dari sumber dan metodenya, dan hukum Islam
bukanlah perkecualian dalam hal ini. Teori ini tampaknya cocok untuk melihat
realitas dari fiqh yang jelas-jelas menjadikan materi moralitas sebagai bahan
hukum. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber wahyu yang menjadi
sumber utamanya memang dengan jelas menegakkan moralitas lewat norma
hukum. Sementara itu, sumber-sumber wahyu ini ditafsirkan dengan berbagai
metode yang semuanya memiliki paradigma yang sama dengan ilmu-ilmu Islam
metodologis lainnya, yaitu paradigma keunggulan wahyu di atas akal. Dengan
demikian, maka secara epistemologis, metode ini hanyalah mengabdi kepada
wahyu yang dipercayai sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi, puncak segala
kebenaran.

Tradisi pemikiran hukum dalam Islam selalu memandang hukum dalam cara
pandang religius, yaitu bahwa hukum dipandang sebagai aspek integral dari
agama. Bagi Muslim, agama adalah hukum Tuhan yang mengandung prinsip-
prinsip moral yang universal. Agama ini juga mengandung detail tentang cara
hidup manusia, bagaimana ia berhubungan dengan tetangga, bagaimana ia
berhubungan dengan Tuhan, bagaimana ia makan, mengembangkan keturunan
dan tidur. Juga bagaimana ia melakukan jual beli di pasar dan bagaimana pula ia
melakukan peribadatan kepada Tuhannya. Hukum ini mengandung semua aspek
kehidupan manusia dan terkandung di dalamnya bimbingan bagi Muslim untuk
hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dengan menunjukkan dari sudut pandang
religius tindakan dan barang mana yang harus dilakukan, mana yang dianjurkan
mana yang terlarang, mana yang kurang baik dan mana yang tidak terlarang dan
tidak dianjurkan.

Dengan meletakkan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah meletakkan


aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karena ada ukuran yang asli pada
moral Islam itulah, maka pergeseran dalam moral masyarakat Islam mempunyai
lapangan yang sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang dari alur-alur
yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit
sekali kemungkinannya. H.A.R. Gibb menulis bahwa hukum Islam memiliki
jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan
kehidupan masyarakat Islam.32 Otoritas moral hukum (Islam) membentuk struktur
sosial Islam yang rapi dan aman melalui semua fluktuasi keberuntungan politis.
Hukum Islam memiliki norma-norma baik dan buruk, kejahatan dan kebajikan,
yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengannya. Oleh karena
itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan
semua aspek sosial lainnya.

32
Fathurrahman Djamil. Filafat Hukum Islam, Hal 156
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Fisafat hukum Islam merupakan suaatu kajian filosofis tentang hakikat hukum
Islam, sumber hukum Islam, dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum
Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.

2. Akhlaq adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-
perbuatan, tanpa memerluan pemikiran dan perrtimbangan.

3. Hubungan hukum dan moralitas menurut para ahli itu terdapat dua pendapat:
yang pertama berpendapat bahwa hukum dan moral itu tidak bisa dipisahkan.
kedua, hukum dan moral harus dipisahkan.

4. Moralitas adalah bagian integral dari manusia. Manusia mungkin dapat


menetapkan moralitasnya sendiri tanpa agama, tetapi dengan mudah ia akan
menggunakannya untuk kepentingannya sendiri sehingga ukuran moral dapat
berubah-ubah. Moralitas agama tidak demikian, ia berasal dari Tuhan,
berhubungan dengan akal sehat, hati nurani dan keyakinan kepada Allah.
Karena itu, integritas yang baik tidak mungkin diharapkan di luar agama.
DAFTAR PUSTAKA

Ali. Zainudin. Filsafat Hukum, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di


Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Ash Sidieqiy. Teungku Muhammad Hasby. Falsafah Hukum Islam.(Semarang:
Pustaka Rizki Putra. 2001.
Fathurrahman Jamil. Filsafat Hukum Islam.Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Nabhan. Muhammad Faruq. Al Madkhal Li Al Tasryi Al Islam.Beirut : Dar Al
Shadir, T. Th.
Nasution. Harun. Filsafat Agama, Cet. Vi.Jakarta: Bulan Binntang, 1987.

Nasution. Muhammad Sukri Albani. Filsafat Hukum Islam.Jakarta: Pt Raja


Grafindo Persada.2013.

Praja. Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Lppm Universitas


Bandung.1995.
Saleh .Abdul Munim. Hukum Dan Moral, E- Journal. 2009.

Schach .Josep. An Introduction To Islamic Law,( e-book: thesis)

Surajiyo. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar. Akarta: Bumi Aksara. 2005.

Syarifudin. Amir. Pengertian Dan Sumber Hukum Islam.Jakarta: Bumi


Aksara.1992.

Anda mungkin juga menyukai