Anda di halaman 1dari 17

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam
pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam program studi Hukum Keluarga Islam
(HKI)

OLEH

WARDISLAM

Nim : 742302021075

AAN GUNAWAN

Nim : 742302021074

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2023
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah melimpahkan

karunia-Nya kepada kita , sehingga makalah ini dapat di selesaikan. Sholawat dan

salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw Makalah ini

dibuat bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Hukum

Islam.

Mudah–mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang

membacanya, sejauh apapun penelusuran penulis dalam proses pembuatan

makalah ini, pasti terdapat berbagai kekurangan dan kehilafan di dalamnya. Oleh

karena itu, permintaan yang sebesar –besarnya penulis sampaikan atas berbagai

kekurangan dan kehilafan tersebut. Terakhir, penulis juga sangat mengharapkan

berbagai koreksi dan saran - saran yang membangun dari semua pihak sebagai

bahan pembelajaran dan pembekalan bagi penulis dalam pembuatan makalah

berikutnya.

Bone,12 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar i

Daftar isi ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang iii

B. Rumusan masalah iv

C. Tujuan iv

BAB II PEMBAHASAN

A. Penegertian Filsafat Hukum Islam 3


B. Sumber-sumber Filsafat Hukum Islam 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 10

B. Penutup 10

DAFTAR RUJUKAN 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Semua ilmu merupakan hasil kajian filosofis terhadap suatu objek


tertentu, baik itu objek abstrak, konkret maupun objek yang konkret di satu sisi
tapi abstrak di sisi lain.Oleh karena itu ilmu tidak lepas dari filsafat, bahkan ada
saja aspek ilmu yang menuntut keterlibatan filsafat. Hal serupa juga terjadi pada
ilmu hukum, sehingga mahasiswa hukum dituntut untuk mempelajari filsafat
hukum karena dua alasan , Agar mahasiswa mampu menghayati karakteristik
ilmu hukum yang cukup spesifik di antara ilmu-ilmu lain dan Agar mahasiswa
memiliki kemampuan kritis dan kreatif dalam menghadapi masalah keilmuan
hukum.
Dua alasan ini merupakan manfaat (outcome) yang hendak dicapai
melalui mata kuliah Filsafat Hukum, baik hukum konvensional maupun hukum
Islam. Pencapaian manfaat tersebut lebih efektif jika ilmu hukum Islam dan ilmu
hukum konvensional diajarkan secara terintegrasi. Ini tidak mustahil, sebab ilmu
hukum konvensional dan hukum Islam berpotongan pada ranah siyāsah
syar‘īyyah. 1Dalam hal ini, hukum Islam kontemporer telah mengenal istilah fiqh
qanuni yang semakna dengan hukum dalam artian konvensional, yaitu ketentuan
atau aturan mengikat yang dibuat oleh pemerintah (al-tasyrī‘ al-waḍ‘ī).
Filsafat Hukum Islam dapat dibatasi pada kajian terhadap aspek-aspek
yang tidak terjawab oleh keilmuan hukum Islam, baik itu ilmu Fikih, Usul Fikih,
Siyāsah Syar‘īyyah, Fiqh Qanuni maupun ilmu Maqāṣid al-Syarī‘ah. Alasannya
jelas, sebab sifat ilmu yang berupa pengetahuan sistematis menuntut muatan
subjek materi ilmu yang sudah teruji validitasnya. Sedangkan masalah yang
dikemukakan dalam batasan di atas bersifat spekulatif.

Perlu diingatkan bahwa sifat spekulatif di sini bukan berarti invalidnya


kajian filsafat hukum Islam, sebab sifat spekulatif adalah ciri kajian filosofis
yang berupa abstraksi terhadap realitas. Perhatikan, ilmu hukum berhenti setelah
usai mengungkap keberadaan hukum sebagai realitas, sementara masalah hukum

iii
dan juga ilmu hukum tidak berhenti. Lalu muncul spekulasi-spekulasi sebagai
tawaran solusi terhadap suatu masalah hukum. Pada saat seperti ini, diperlukan
filsafat hukum, sebab metode filsafat adalah sarana mendekati kebenaran. Maka
tawaran yang bermunculan itu dapat ditimbang melalui filsafat hukum Islam.
.Rumusan Masalah

1. Apa itu Filsafat Hukum Islam?


2. Darimana sumber Filsafat Hukum Islam?

B. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui penegertian Filsafat Hukum Islam


2. Untuk mengetahui sumber-sumber Filsafat Hukum Islam

iv
iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum Islam

Kata filsafat Hukum Islam terdiri dari tiga suku kata, yaitu, filsafat, hukum
dan Islam. Pertama Filsafat, filsafat berasal dari bahasa Yunani adalah philein
(suka cinta) dan Sophia (kebijaksanaan)2. Istilah lain dari bahasa Yunani adalah
philein (mencintai) dan Sophos (bijaksana). Ada dua arti secara etimologi dari
filsafat yang sedikit berbeda, yaitu:
1. Apabila filsafat mengacu pada asal kata philein dan sophos, maka
artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana yang
dimaksudkan adalah kata sifat).
2. Apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan Sophia maka
artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan
sebagai kata benda).3
Secara terminologi penegertian filsafat sangat beragam. Para filosuf
merumuskan penegertian filsafat sesuai dngan kecenderungan pemikiran
kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan yang berminat menjapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Sedangkan
menurut Al Farabi Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya.
Kedua Hukum, Pengertian hukum menurut para ahli, Menurut E. M. Meyers,
hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditunjukkan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi
2
Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat, Alih Bahasa M. Rasjidi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 11
3
Tim Dosen UGM Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Penerbit Liberty bekerjasama dengan YP
Fakultas UGM, 1996), h. 2

1
2

pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.


Menurut leon Duguit, hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,
aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersamadan jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melaakukan pelanggaran
itu.Menurut E. utrech, memberikanbatasan hukum, sebagai berikut: hukum itu
ialah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan laragan-larangan) yang
mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karna itu harus ditaati .

Ketiga Islam, Islam secara etimologi masyarakat.berasal dari kata salm yang
berarti damai, asalama yang berarti menyerah, istaslama- mustaslimun yang
berarti menyerah total kepada Allah, saliim yang berearti bersih dan suci, serta
salam yang berarti selamat dan sejahtera.

Secara terminologi (Istilah ) Islam adalah penyerahan atau penundukan diri


secara total setiap makhluk kepada Allah Swt. Eksensi makna islam adalah
perdamaian. Seorang muslim (orang yang masuk islam) adalah orang yang
membuat perdamaian dengan Tuhan dan manusia. Islam secara terminology
dimuatkan dalam dua penegertian yaitu ;

1. Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengankata iman, maka


pengertian islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun
furu (cabang), juga seluruh masalah aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan,
dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa islam adalah
mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada
Allah swt atau semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan Allah swt.
2. Apabila disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud
dengan islam adalahperkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya
terjaga diri dan hartanya .

Jadi yag dimaksud dengan filsafat hukum islam adalah filsafat yang
menganalisis hukum islam secara metodologis dan sistematis sehingga
3

mendapatkan keteragan-keterangan yang mendasar atau menganalisishukum islam


secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.4

B. Sumber-sumber filsafat hukum islam

Secara etimologi “sumber” (mata air, perigi, asal; dalam berbagai arti;
sumber dari kabar yang boleh dipercaya).5 Dalam bahasa arab kata: Sumber
hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh (mashadir al-ahkam). Secara
terminologi sumber adalah berangkat dari asalnya (pokok) yang dimaksud
sumber hukum Islam yaitu al- Qur’an dan al-Hadits. Jadi kata sumber berlaku
pada al-Qur’an dan al-Hadits, karena dari keduanyalah bisa digali norma-norma
hukum. Sedangkan ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, istidlal, dan
mashalih al-mursalah tidak termasuk kepada kategori sumber hukum Islam.
Kesemuanya itu termasuk dalil hukum. Dengan menggunakan istilah- istilah
tersebut tentunya dapat ditemukan hukum-hukum Islam. Istilah-istilah itu
merupakan alat dalam menggali hukum-hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah.6
1. AL-QUR`AN

Secara etimologi, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan”
atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian
kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an (QS. 75: 17 dan 18).
Sedangkan secara terminologi al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir melalui malaikat
Jibril dari mulai surat Al-Fatihah diakhiri surat An-Nas dan membacanya
merupakan ibadah. Muhammad Ali ash-Shabuni mendefi nisikan Al-Qur’an

sebagai berikut:7
Al-Qur'an berkedudukan sebagai sumber pertama dan utama dalam
4
Suparman Utsman, Intan, Filsafat Hukum Islam, (Jakarata; Perpustakaan Nasional, 2015) h. 2-
14.
5
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta: PT. Pustaka Amani,
t.t.), h. 469 .
6
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1977),
h.82.
4

hukum Islam. Kedudukan ini mengharuskan umat Islam memahami pesan-pesan


yang dikandungnya untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Hal tersebut juga
diperlukan sebagai upaya mengatur perilaku manusia, baik yang berhubungan
dengan manusia ataupun makhluk yang lainnya secara horizontal. Demikian pula
seluruh persoalan yang berkaitan dengan hukum, meski dicari jawabannya
terlebih dahulu dari petunjuk yang terkandung di dalam Al-Qur'an.
Kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat diyakini dapat diperoleh
jika manusia melandaskan pada perilaku hidup mereka pada petunjuk Al-
Qur'an.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan
surat An-Nas. Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim,
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak
dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian
pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak
termasuk al- Qur’an.
Argumentasi yang menyatakan Al-Qur'an sebagai sumber dan dalil
pertama dan utama ditemukan dalam penjelasan Al-Qur'an sendiri pada sejumlah
ayatnya. Lebih dari tiga puluh kali ditemukan perintah mematuhi Allah dalam
Al-Qur'an. Bahkan meninggalkan aturan yang disebutkan Al-Qur'an akan
membawa akibat meningkatnya kejahatan yang dilakukan manusia.

Al-Qur'an secara redaksional dan makna yang dikandungnya bersifat

7
Muhammad Aly ash-Shabuny, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saiful
Islam Jamaluddien (Surabaya: Penerbit al-Ikhlas, 1983), h. 17.
5

qath'i al- wurud, maksudnya adalah lafaz Al-Qur'an dan pesan yang
dikandungnya terjamin keautentikan dan otoritas kebenarannya. Keauntetikan
itu terjamin karena transformasi periwayatannya secara keseluruhan mencapai
tingkat mutawwatir. Selain itu, jaminan keaslian Al-Qur'an mendapat intervensi
langsung dari pemiliknya, Allah Swt.
Berbeda dengan keautentikan Al-Qur'an, pada aspek al- ahkam, tunjukan
hukum- hukum ayat Al-Qur'an sebagian bersifat pasti dan tegas (qath'i al-
dalalah) dan sebagian lainnya bersifat tidak pasti dan tidak tegas (zhanny al-
dalalah). Lafaz ayat yang gath'i merupakan lafaz-lafaz Al-Qur'an yang dapat
dipahami maknanya secara jelas dan hanya mengandung satu arti seperti ayat-
ayat warisan, hudud dan kafarah. Sedangkan ayat zhanny merupakan lafaz
Al-Qur'an yang mengandung pengertian lebih dari satu sehingga membuka
peluang terjadinya keragaman pengertian seperti pengertian lafaz quru' pada
surat Al-Baqarah: 228 yang dapat diartikan pada suci atau haid.
Perbedaan pada pemahaman terhadap makna yang jadi kandungan Al-
Qur'an khususnya ayat-ayat hukum disebabkan sifat redaksi yang digunakan Al-
Qur'an dalam menunjukkan suatu ketentuan hukum. Sebagian redaksi Al-Qur'an
bersifat umum (mujmal) sehingga ketika akan dirumuskan maknanya secara
konkret atau diarahkan kepada kenyataan yang praktis memerlukan upaya
pemahaman dan perumusan yang operasional. Di antara redaksi Al-Qur'an
yang bersifat umum ini adalah ditemukan pada perintah shalat, zakat dan puasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa penjelasan Al-Qur'an


tentang hukum memiliki tiga sifat. Pertama, Al-Qur'an menjelaskan hukum
secara terperinci jelas dan sempurna tanpa memerlukan penjelasan serta dapat
dipahami secara langsung. Penjelasan ayat-ayat seperti ini dinamakan
muhkamat. Kedua, global, Al-Qur'an memberikan hukum yang memberikan
garis besarnya dan membutuhkan penjelasan pemahaman dan penafsiran untuk
melaksanakannya. Kedua selain membutuhkan ijtihad, juga dimaksudkan agar
Al-Qur'an dapat berinteraksi dalam semua dimensi ruang dan waktu, sesuai
dengan perkembangan kehidupan manusia. Ketiga, Al-Qur'an menjelaskan suatu
6

hukum yang bersifat 'ibarat dan isyarat. Penjelasan seperti ini dimaksudkan agar
dapat dipahami makna dan isyarat yang terkandung di dalamnya. Model seperti
ini dapat ditemukan dalam syariat haji dan qurban yang secara dzahir
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tetapi makna tersiratnya adalah perintah
untuk melakukan perenungan tentang pentingnya melakukan introspeksi diri,
dan membangun solidaritas sosial yang kuat melalui sifat kebersamaan dan
pengorbanan.
Penetapan hukum dalam Al-Qur'an menggunakan tiga media. Pertama,
Al-Qur'an menggunakan kalimat perintah (amar) secara tegas. Perintah dalam
Al-Qur'an ditunjukkan untuk melaksanakan suatu perbuatan. Kedua, Al-Qur'an
mengaitkan suatu perintah dengan janji baik dan buruk. Pahala dan dosa, pujian
dan celaan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Seperti pujian kepada
orang yang taat dan akan memperoleh nikmat surga serta ancaman bagi orang
yang melakukan kejahatan seperti pencurian dengan potong tangan. Ketiga, pada
'ibarat, media ketiga ini dapat mengandung keharusan seperti menunggu bagi
istri yang diceraikan dan menunjuk kepada alternatif seperti kebolehan
melakukan ijma' pada malam Ramadhan.
Hukum yang dijelaskan di dalam Al-Qur'an secara keseluruhan dapat
dikelompokkan kepada persoalan ibadah dan muamalah. Ibadah yang
dimaksudkan di sini adalah ibadah yang bersifat khusus, yaitu hubungan yang
berhubungan dengan tuhan seeperti shalat, puasa dan ibadah-ibadah pokok.
Penggunaan kata khusus dalam hal ini adalah untuk membedakannya dengan
ibadah dalam arti umum yaitu seluruh aktivitas yang dilakukan untuk mendapat
ridha Allah Swt. Al-Qur’an juga bertujuan untuk menciptakan keseimbangan
antara hubungan kehidupan spiritual dan material. Dan memerintahkan kepada
manusia agar percaya pada hari kebangkitan kembali, hari kiamat dan ganjaran
atau hukuman.

2. Al- Sunnah
As-Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti
yangsama,yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW.baik berupa ucapan, perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan
7

sangat tipis sekali, as-Sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. saja, sedang Al-Hadits disandarkan bukan saja kepada Nabi
Muhammad SAW. akan tetapi kepada para sahabat Nabi. As-Sunnah merupakan
sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, dasar pokok as-Sunnah sebagai
sumber hukum,sebagaimana firman Allah surat an-Nisa [4] ayat 59 :


Hai orang-orang yag beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya”8

Pembagian Sunnah

Pembagian Sunnah Sunnah dari segi materi dan esensinya terbagi kepada
tiga macam, yaitu:

1) Sunnah Quliyah
Sunnah qouliyah adalah ucapan/perkataan Nabi SAW. yang didengar
oleh parasahabatnya yang kemudian ucapan ini dijadikan sebagai hukum
untuk dilaksanakan.

2) Sunnah fi ’liyah yaitu semua perbuatan Rasul. Kecuali


perbuatanperbuatan nabi yang bersifat pribadi atau khusus untuk Nabi
tidak wajib ditaati kecuali ada penjelasan berupa hadits.
3) Sunnah taqririyah yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap
pernyataan dan perbuatan orang lain (membiarkan/Nabi tidak melarang
atau memerintahkannya).9
Kedudukan al-Sunnah sebagai disebutkan di atas berdasarkan
argumentasi bahwa secara normatif ditemukan ayat Al-Qur'an yang menyuruh
untuk taat kepada Rasul. Ketaatan kepada Rasul sering dikaitkan dengan
ketaatan kepada Allah Swt. seperti yang ditemukan pada surat Al-Nisa: 13.
           
        
Terjemahnya:

8
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI.of., cit. h. 115

9
Suparman Utsman, Intan, Filsafat Hukum Islam, (Jakarata; Perpustakaan Nasional, 2015) h. 29-
30
8

Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.


barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.
Al-Qur'an sering menetapkan beriman kepada rasul sama dengan
kewajiban beriman kepada Allah Swt. Disebutkan dalam surat Al-A'raf: 158.
“...Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab- kitab-Nya) dan
ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk.”

Seluruh penjelasan ayat ini menjelaskan kedudukan al- Sunnah


memiliki otoritas sebagai sumber hukum Islam tertinggi kedua setelah Al-
Qur'an. Tingkat otoritas yang dimiliki al- Sunnah sebagai sumber dan dalil
hukum dapat dilihat dari dua segi hukum, yaitu dari segi kebenaran materinya
yang diukur dari validitas sanad dan dari segi petunjuknya terhadap hukum
dalalahnya. Pada segi yang pertama ini al-Sunnah dikelompokkan dalam
tingkatan mutawwatir, masyhur dan ahad Sedangkan dari segi tunjukkan
hukumnya dapat dibedakan kepada tunjukkan pasti (qathi) dan tidak pasti
(zhanni). Al-Sunnah yang memiliki tunjukan hukum pasti, mengandung
penjelasan yang tegas dan terperinci sehingga tidak memungkinkan adanya
pemahaman lain. Sebaliknya al-Sunnah yang tunjukan hukumnya tidak pasti
memberikan penjelasan yang tidak pasti dan tidak terinci, membuka peluang
bagi terjadinya perbedaan pemahaman dan perumusan hukum. Al-Sunnah yang
mempunyai otoritas tinggi sebagai sumber dan dalil hukum Islam adalah sunnah
yang gath dari segi sanadnya dan qath'i dari segi dalalahnya akan tetapi sangat
sedikit jumlahnya.

Fungsi al-Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur'an dapat dilihat


dalam tiga bentuk. Pertama, menetapkan atau mempertegas hukum-hukum yang
disebut dalam Al- Qur'an. Al-Sunnah dalam bentuk ini hanya mengulang
ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur'an. Kedua, menjelaskan arti yang
masih samar dalam Al-Qur'an disebabkan sifatnya masih umum dan mutlak
9

seperti hadis mengikuti praktik shalat nabi untuk menjelaskan perintah shalat
dalam Al-Qur'an, hadis nabi yang mengatakan pembunuh tidak dapat mewarisi
harta orang tua yang dibunuhnya sebagai pembatas terhadap hak- hak waris yang
bersifat mutlak pada surat An-Nisa': 7. Yang artinya “Bagi orang laki- laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”

Ketiga, al-Sunnah menetapkan suatu hukum yang secara jelas tidak


ditetapkan dalam Al-Qur'an Terkesan al-Sunnah menetapkan sendiri hukum
yang tidak ditetapkan dalam Al- Qur'an, tetapi hakikatnya hanya memperluas
hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara terbatas. Contohnya Allah
menyebutkan dalam Al-Qur'an keharaman memakan bangkai, darah, daging
babi, dan sembelihan yang tidak dengan menyebut nama Allah. Terdapat dalam
surah al-maidah ayat 3 yang artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”

Tetapi nabi melarang memakan binatang yang buas bertaring dan


burung yang bercengkrama. Terkesan nabi menetapkan hukum baru terhadap
jenis-jenis binatang yang dilarang untuk dimakan, tetapi pada hakikatnya
perluasan terhadap larangan yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Namun,
begitu ada juga yang memahami larangan dari Rasul tersebut menghasilkan
hukum yang makruh bukan haram.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1.filsafat hukum islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara
metodologis dan sistematis sehingga mendapatkan keteragan-keterangan yang
mendasar atau menganalisishukum islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai
alatnya.

2. . Sumber filsafat hukum islam adalah Al-Qur’an, Al-Qur'an berkedudukan


sebagai sumber pertama dan utama dalam hukum Islam. Kedudukan ini
mengharuskan umat Islam memahami pesan-pesan yang dikandungnya untuk
dilaksanakan dalam kehidupan.Kedudukan al-Sunnah sebagai disebutkan di atas
berdasarkan argumentasi bahwa secara normatif ditemukan ayat Al-Qur'an yang
menyuruh untuk taat kepada Rasul. Ketaatan kepada Rasul sering dikaitkan
dengan ketaatan kepada Allah Swt. seperti yang ditemukan pada surat Al-Nisa
ayat 13.

B. Saran

Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak


kekurangandalam pembuatannya.Untuk itu kami mohon maaf apabila ada
kesalahan dan kami sangat mengharap kritik yang membangun dari pembaca agar
kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi kita pada
khususnya.

10
DAFTAR RUJUKAN

Djamil Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta; Logos


Wacana Ilmu, 1977)

Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat, Alih Bahasa M. Rasjidi


(Jakarta: Bulan Bintang, 1984).

Ali Muhammad , Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta:


PT. Pustaka Amani, t.t.).

ash-Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Ilmu-ilmu Al-


Qur’an,diterjemahkan oleh Saiful Islam Jamaluddien (Surabaya: Penerbit al-
Ikhlas, 1983).

Utsman Suparman, & Intan, Filsafat Hukum Islam, (Jakarata;


Perpustakaan Nasional, 2015).

Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI.of., cit.

Tim Dosen UGM Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Penerbit Liberty


bekerjasama dengan YP Fakultas UGM, 1996).

11

Anda mungkin juga menyukai