Anda di halaman 1dari 24

TUGAS UJIAN KOMPREHENSIF

FIKIH

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Meraih Gelar


Sarjana Ekonomi Syariah (S.E) Jurusan Syariah dan Dakwah
Pada program Studi Ekonomi Islam IAIN Sorong

Disusun Oleh:

1. Siti Aminah (520517008)


2. Siti Nur Afifah (520517021)
3. Wahyuni (520517025)
4. Santy Ery Rahayu (520517055)
5. Dewi Fila Iriana (520517056)

Dosen Penguji :

Dr. Sudirman, M.H.I

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SORONG

TAHUN 2021
A. Pengertian Hukum Islam
Arti hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu hukum dan
Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hukum diartikan
sebagai: (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; (2)
undang-undang, peraturan, norma, dsb. untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenal peristiwa tertentu;
(4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan)
atau vonis.1 Pertama, kata hukum secara etimologi berasal dari kata bahasa
Arab, yaitu hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya
menjadi hukman. Lafadz al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk
jamak al-ahkâm. Berdasarkan akar kata hakama tersebut kemudian
muncul kata al-hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini
dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum kemudian
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai
orang yang bijaksana.2
Pengertian hukum menurut para ahli dapat dijabarkan sebagai
berikut ini:
1. Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar
Hukum Islam di Indonesia ia menyebutkan bahwa hukum bermakna
memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan.
2. Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum bermakna
norma, kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman, yang digunakan untuk
menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan
sekitarnya.
3. Dalam kamus Oxford sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Muslehuddin, hukum diartikan sebagai suatu “Sekumpulan aturan,
baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh
masyarakat dan bangsa tertentu dan mengikat bagi anggotanya.3
1
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota
IKAPI), 2017), h. 11.
2
Rohidin, “Pengantar Hukum Islam : Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia,”
Journal of Chemical Information and Modeling, Vol. 53, No. 9 (2016), h.2.
3
Ibid., h. 2.
Kedua Islam, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata
salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif atau kata
benda) dari kata aslama. Secara etimologi (bahasa) bila dikaitkan dengan
asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, di antaranya: (1)
Berasal dari ‘salm’ yang berarti damai, (2) Berasal dari kata ‘aslama’ yang
berarti yang berarti menyerah. (3) Berasal dari kata istaslama–mustaslimun
penyerahan total kepada Allah. (4) Berasal dari kata ‘saliim’ yang berarti
bersih dan suci. (5) Berasal dari ‘salam’ yang berarti selamat dan
sejahtera.4
Dari pembahasan di atas, baik penjelasan tentang istilah hukum
maupun istilah Islam, Ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa hukum islam
merupakan tata cara hidup mengenai doktrin syariat dengan perbuatan
yang diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat tersebut jauh berbeda
dengan apa yang disampaikan oleh ulama fiqih, yang mengatakan bahwa
hukum Islam merupakan segala perbuatan yang harus dikerjakan oleh
umat manusia menurut syariat Islam.5 Hukum Islam dijadikan sebagai
suatu aturan yang dinuat oleh Allah SWT untuk umat-Nya yang dibawa
oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan
amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim.6

Hukum Islam secara terminologis dipahami sebagai fiqh yang


merupakan disiplin keilmuan yang berfokus pada hukum-hukum syara’
yang bersifat praktis amaliyah yang berasal (istinbat) dari dalil-dalil yang
terperinci. Hukum Islam merupakan hukum yang diturunkan Allah Swt.,
melalui Rasul-Nya untuk disebarluaskan dan dijadikan pedoman umat
manusia guna mencapai tujuan hidupnya agar selamat di dunia dan
sejahtera di akhirat.7 Oleh karena itu, mustahil jika seorang umat muslim
4
Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), h. 10.
5
Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam (Bandung: PT. Liventurindo, 2020), h. 151.
6
Eva Iryani, “Hukum Islam, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia,” Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi Vol. 17, No. 2 (2017), h. 1.
7
Achmad Irwan Hamzani, Asas-Asas Hukum Islam : Teori Dan Implementasinya Dalam
Pengembangan Hukum Di Indonesia (Yogyakarta: Thafa Media, 2018), h. 24.
memahami agama Islam tanpa mengetahui hukum Islam, karena hukum
Islam membahas tentang segala relasi manusia dengan Allah Swt. sebagai
Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan benda.
B. Pengertian Fikhi
Kata fikih dalam bahasa Arab (fiqh) secara bahasa atau etimologi
berarti suatu pengetian; pengetahuan; kepandaian dan kecerdasan. Dalam
Al-Qur`an kata fiqh dengan berbagai bentuk (shighat)nya terulang
sebanyak dua puluh kali, semuanya dalam bentuk kata kerja masa kini
(fi’il mudhari’). Dari dua puluh kali penggunaan lafaz tersebut, sembilan
belas kali disebutkan dalam bentuk kata kerja dengan huruf asli
(mujarrad).8
Abu Zahrah mendefinisikan bahwa fiqh adalah ilmu tentang
hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah, yang diambil dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Dengan demikian objek fiqh ada dua yaitu:
1. Hukum-hukum amaliyah (perbuatan jasmaniah).
2. Dalil-dalil tentang hukum perbuatan itu.
Jadi fiqh merupakan produk pikir dari mujtahid (yuridis Islam)
ketika mereka berusaha menggali hukum amaliyah dari nash-nash Al-
Qur’an maupun hadis Nabi SAW melalui ijtihad dengan persyaratan yang
sangat ketat.9 Fiqh juga dapat diartikan sebagai penguat dari sumber pokok
serta merupakan suatu gambaran yang dibangun berdasarkan pengetahuan
baik dari segi formulasi, bangunan pemikiran, tingkat intelegensia beserta
kebenarannya adalah wujud pengembangan hukum Islam. Itu artinya, para
fuqaha (ahli hukum islam) membangun paradigma ini berdasarkan pada
dua sisi, yaitu fiqh sebagai ilmu dan fiqh sebagai ahli ilmu.10
Sedangkan menurut beberapa tokoh terdapat beberapa pengertian,
di antaranya:
1. Fiqih bila ditinjau secara harfiah artinya pintar, cerdas dan paham.
8
Zulkarnaini, “Fikih Dakwah,” Jurnal Ilmiah Dakwah dan Komunikasi Vol. 2, No. 3
(2010), h. 3.
9
Rizal Darwis, “Fikih Anak Di Indonesia,” Jurnal Al- Ulum Vol. 10, No. 1 (2010), h. 4.
10
Razak, “Pengantar Fiqh Dan Ushul Fiqh”, (Banda Aceh: CV. Tristar Printing Mandiri,
2016), h. 3.
2. Menurut T.M Hasbi Ash-Shidqy Fiqih adalah ilmu yang menerangkan
segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para
mukallaf yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang jelas.
3. Menurut Al-Imam Abd Hamid Al-Ghazali, Fiqih adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara‟ bagi para mukallaf seperti wajib,
haram, mubah, sunnat, makruh, shahih, dan lain-lain.
Jadi secara umum ilmu fiqih itu dapat disimpulkan bahwa
jangkauan fiqih itu sangat luas sekali. Yaitu membahas masalah-masalah
hukum islam dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
kehidupan manusia. Sumber perumusan fiqih ialah apa-apa yang dijadikan
bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan fiqihnya. Yang menjadi
sumber fiqih itu yang disepakati oleh para ulama adalah empat yaitu:11
1. Al-Qur‟an al-Karim
2. Sunnah Nabi
3. Ijma‟ Ulama dan
4. Qiyas
Fiqh juga sebagai ilmu, yang merupakan interpretasi para ulama
terhadap garis hokum yang dipahami dari sumbernya yaitu Al- Qur’an dan
hadist. Ijma dan Qiyas merupakan hasil ijtihat para ulama yang telah
disusun secara sistematis dalam bentuk buku teks yang merupakan
bangunan pengetahuan dan berbagai madzhab.12
Dalam fiqh sebagai ilmu, oleh para ulama mengkategorikan hukum
perbuatan manusia (mukallaf) kepada lima kategori diantaranya:13
1. Wajib atau fardhu artinya segala sesuatu yang bila dikerjakan
mendapat pahala, sedang bila ditinggalkan akan mengakibatkan dosa.
2. Mandhub atau sunna’ atau mushtahab yaitu segala sesuatu yang bila
dikerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan
berimplikasi dosa.
11
Mohammad Masykur Rizqillah, “Metodologi Pembelajaran Fiqh,” Jurnal Al-Makrifat
Vol. 4, No. 2 (2019), h. 2.
12
Hafsah, Pembelajaran FIQH Edisi Revisi (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2016), h. 4.
13
Ibid., h. 4.
3. Ibaha’ dan muba’ berarti perbuatan yang tidak mendatangkan pahala
bila dilakukan dan tidak berdosa bila melakukannya
4. Karaha’ atau makruh adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang
meninggalkannya dan tidak berdosa bila meninggalkannya
5. Haram yaitu yang diberi pahala orang yang meniggalkannya dan
diberi dosa orang yang melakukannya.
C. Pengertian Syariah
Syarî’at atau ditulis juga syarî’ah secara etimologis (bahasa)
sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi as-Shiddieqy adalah “Jalan tempat
keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun” yang
kemudian diasosiasikan oleh orang-orang Arab sebagai at-thariqah al-
mustaqîmah sebuah jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap umat
muslim.14 Syariah diartikan jalan keluarnya sumber mata air karena siapa
saja yang mengikuti syariah akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagal penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan
binatang sebagaimana Allah menjadikan syariat sebagai penyebab
kehidupan jiwa manusia.15
Secara terminologis (istilah) syarî’ah diartikan sebagai tata aturan
atau hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya
untuk diikuti. Diperjelas oleh pendapat Manna’ al-Qhaththan, bahwa
syarî’at berarti “segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-
hamba-Nya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun
muamalah.16 Syariah sebagai seperangkat norma Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain
dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda da alam
lingkungan kehidupannya.17 Sering kali kata syariat disambungkan dengan
Allah sehingga menjadi syariat Allah (syari'atuflah) yang berarti jalan
14
Rohidin, “Pengantar Hukum Islam : Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia.", h.
5.
15
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, h. 14.
16
Rohidin, “Pengantar Hukum Islam : Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia", h.
5.
17
Barzah Latupono, Buku Ajar Hukum Islam (Yogyakarta: Deepublish (Grup Penerbit
CV Budi Utama), 2017), h. 10.
kebenaran yang lurus yang menjaga manusia dari penyimpangan dan
penyelewengan, dan menjauhkan manusia dari jalan yang mengarah pada
keburukan dan ajakan-ajakan hawa nafsu. Kata syariat secara khusus
digunakan untuk menyebut apa yang disyariatkan oleh Allah yang
disampaikan oleh para Rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Karena
itulah, Allah disebut al-Syari yang pertama dan hukum-hukum Allah
disebut hukum syarak.18
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah syariah pada mulanya
identik dengan istilah din atau agama. Dalam hal ini syariah sebagai semua
peraturan agama yang ditetapkan oleh Al-Quran maupun Sunah Rasul.
Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-din),
yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya,
akhirat, dan yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu tauhid
yang lain. Syariah mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik
dirinya sendirl dan keluarganya, dasar-dasar hubungan kemasyarakatan,
dan cita-cita tertinggi yang harus diusahakan untuk dicapai atau didekati
serta jalan untuk mencapai cita-cita atau tujuan hidup Itu. Di samping itu,
syariah juga mencakup hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan
manusia, yakni halal, haram, makruh, sunah, mubah.
Para ulama menggunakan kata syariah dengan arti yang mentradisi
maka setiap kata syariah langsung dipahami dengan artinya secara tradisi
itu. Disebutkan bahwa syariah artiya adalah agama yang titetapkan oleh
Allah Swt. Untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan
ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariah karena memiliki
kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi
makhluk hidup. Syariah berkaitan dengan kepercayaan (iman dan ibadah)
dan hubungan kemasyarakatan (muamalat) yang diwajibkan oleh Islam
untuk diaplikasikan dalam kehidupan (keseharian) guna mencapai
kemaslahatan masyarakat.19 Syariah berkaitan dengan kepercayaan (iman
18
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, h. 15.
19
Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih,” Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah Vol. 2, No. 2 (2018), h. 128.
dan ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (muamalat) yang diwajibkan
oleh Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan (keseharian) guna
mencapai kemaslahatan masyarakat. Supaya keberadaan syariah itu tertata
menjadi ketentuan yang bisa dijalnkan baik berupa perintah maupun
larangan, maka terkait erat dengan ketentuan hukum dan ketertiban yang
setiap orang bisa mentaatinya karena syariah mengangkut amal orang-
orang mukallaf.20
D. Persamaan dan Perbedaan Fikhi, Hukum Islam, dan Syariah
Di dalam masyarakat Indonesia, berkembanglah beberapa macam
istilah hukum yang memiliki keterkaitan, persamaan sekaligus perbedaan
antara satu dengan yang lainnya. Istilah yang kami maksud adalah syariat
Islam, Hukum Islam dan fiqih Islam. Di dalam bahasa Indonesia, syariat
Islam biasa digunakan untuk menentukan hukum syariat hukum syara,
untuk fiqih Islam biasa digunakan untuk menentukan hukum fiqih atau
kadang-kadang digunakan untuk hukum Islam. Hal ini menunjukkan
bahwa ketiganya memiliki hubungan yang erat, dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan. Syariat merupakan landasan bagi fiqih, dan fiqih
merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat untuk membuat
ketentuan syariat. Oleh karenanya, seseorang yang akan memahami
hukum Islam harus dapat membedakan antara syariat Islam dan fiqih
Islam.
Dari ketiga istilah ini ada persamaan dan perbedaannya. Berikut ini
dapat dijelaskan bagaimana persamaan dan perbedaan antar Fikhi, Hukum
Islam, dan Syariah.
1. Persamaan
Sebenarnya, istilah “hukum Islam” jarang dipakai oleh para ulama
Islam. Istilah yang selalu mereka pakai untuk menunjukkan hukum
Islam ada dua yaitu Syariah dan Fiqh. Berikut ini dipaparkan

20
Muhammad Kholidul Adib, “Rekonstruksi Syariat: Pemikiran Muhammad Said Al-
Asymawi,” Jurnal at-Taqaddun Vol. 3, No. 2 (2011), h. 164.
mengenai hubungan antara fiqh, hukum Islam, dan Syariah secara
berurutan.
Secara harfiah, syariah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni
jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap Muslim. Syariat merupakan
jalan hidup Muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan,
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi
ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan
Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang
berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah
maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma
hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rasul- Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam
Alquran dan di dalam kitab- kitab Hadis.21
Kemudian pengertian syariah sering disamakan dengan fiqh. Fiqh
sendiri secara istilah adalah pemahaman mendalam para ulama
tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah atau praktis yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqh diartikan pula sebagai ilmu yang
mengkaji syariat. Penggunaan istilah fiqh awalnya mencakup hukum-
hukum agama secara keseluruhan, yakni yang berhubungan dengan
akidah dan hukum-hukum amaliah. Fiqh dalam pengertian
menggambarkan tabiat yang hakiki dalam pemikiran Islam, karena
fiqh dalam berbagai bidang kehidupan tergantung kepada dan
berdasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.22
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pnyebutan
“hukum Islam” merupakan terjemahan dari istilah syariat Islam dan
fiqh. Jika hukum Islam diartkan sebagai syariat Islam maka itu berarti
syariat Islam dalam artian hukum yang berkaitan dengan perbuatan

21
Mohammad Daud Ali, HUKUM ISLAM : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 56.
22
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), h. 68.
saja. Namun meskipun demikian, hukum Islam yang berarti syariat
Islam ini bersifat qath’i (pasti), mutlak benar karena buatan Allah dan
berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Dan jika dimaksud dengan
hukum Islam itu adalah fiqh Islam, maka hukum Islam tersebut
termasuk bidang bahasan ijtihad para ulama dengan menggunakan
pikiran mereka sehingga bersifat dhonni (dugaan kuat) dan ada
kemungkinan benar dan salah.23
2. Perbedaan
Dengan melihat pengertian hukum Islam, syariah, dan juga fiqih
yang telah dijelaskan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ketiganya
memilik perbedaan. Sisi-sisi perbedaan tersebut bisa kita himpun
dalam beberapa poin berikut :
Dalam bukunya Dr. Muhammad Muslehuddin (1991: 48),
Jackson telah mengungkapkan : hukum Islam menemukan sumber
utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan kepada
Nabi Muhammad. Ia menciptakan sebuah masyarakat mukmin,
walaupun mereka mungkin terdiri atas berbagai suku dan berada di
wilayah-wilayah yang amat jauh terpisah. Pertama, hukum Islam itu
bersifat sempurna dan universal. Kedua, hukum Islam bersifat
universal yang mencakup seluruh manusia ini tanpa ada batasnya.
Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan.
Seperti halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Ketiga, hukum
Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi
perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat. Keempat,
hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum
Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian.24
Sedangkan Syariah, seperti telah disinggung dalam uraian
terdahulu terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadis. Kalau kita berbicara
tentang syariah, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnahh

23
Muhammad Ichsan, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Laboratorium UMY, 2015),
h.7.
24
Darmawati, Filsafat Hukum Islam (Makassar: FUF UIN Alauddin, 2019), h. 93.
Nabi Muhammad sebagi Rasul-Nya. Syariah bersifat fundamental dan
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya, oleh
banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Syariat hanya satu,
sedangkam fikih mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat
pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
mazhab-mazhab itu.25
Kemudian perbedaan fiqh dengan hukum Islam dan syariah
adalah apabila kita berbicara tetang fikih, yang dimaksud adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariah dan hasil
pemahaman itu. fikih sendiri bersifat instrumental, dimana ruang
lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia,
yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. fikih adalah suatu
karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke
masa.26
Perbedaan yang sangat terlihat antara hukum Islam, syariah, dan
fiqh adalah dari sumber ajaran, dimana hukum Islam dan syariah
bersumber dari Al Qur’an dan juga As Sunnah yang secara ilmiah
benar-benar terbukti bersumber dari Nabi SAW. Keduanya adalah
wahyu. Sedangkan fiqih mengandung kemungkinan benar dan salah.
Karena ia adalah pemahaman manusia terhadap syariah itu. Fiqih
adalah pemahaman akal manusia terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
itu.
E. Sumber-Sumber Hukum Islam
Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum
Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam sering
diartikan dengan dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar
hukum Islam.Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak
menyebutkan kata hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di

25
Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih.", h. 9.
26
Ibid., h. 9
dalam al-Quran adalah kata syarî’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar
dengannya.27
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, di antara dalil-dalil yang
disepakati oleh jumhur ulama sebagai sumber-sumber hukum Islam adalah
sebagai berikut:
1. Al-Quran
Menurut sebagian besar ulama, kata alquran dalam prespektif
etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bias
dimasukan pada wazan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang
tertulis padanya. Adapun kedudukan al-quran sebagai sumber hukum
adalah:28
a. Mukjizat dan Bukti Kebenaran
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasiat yang mengatur
jalanya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Al-Quran berbeda
dengan kitab-kitab samawi lainnya. Al-Quran dijadikan sebagai
mukjizat dan bukti kenabian yang paling agung bagi Muhammad
saw. Allah menghendaki mukjizat bagi para nabi sebelum
Muhammad SAW. berupa benda-benda konkret. Misalnya,
tongkat yang bisa berubah menjadi ular seperti Nabi Musa; dapat
menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati dengan
izin Allah mukjizat Nabi Isa; dan sebagainya. Risalah dan
mukjizat ini bersifat temporer yang kemudian dihapus oleh risalah
atau syariat selanjutnya
a. Kekal dan Tetap Terpelihara
Al-Quran mempunyai sifat yang kekal. Al-Quran tidak
diperuntukkan untuk satu generasi dalam satu masa saja yang
kemudian akan segera diganti dengan kitab baru setelahnya. Al-

27
Rohidin, “PENGANTAR HUKUM ISLAM : Dari Semenanjung Arabia Hingga
Indonesia.", h. 91.
28
Moh Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung: Aura CV. Anugrah Utama Raharja, 2019),
h. 28.
Quran akan terus memancarkan cahaya selama terdapat
kehidupan.
2. Al-Hadist/As-Sunah
Pengertian sunah secara etimologis adalah jalan yang biasa dilalui
atau suatu cara yang selalu di lakukan, tanpa mempermasalahkan jalan
atau cara itu baik atau buruk. Sunah atau al-hadist adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. Baik berupa qaul
(ucapan) fi’il (perbuatan) maupun taqrir (persetujuan) Nabi SAW.
Berdasarkan tiga ruang lingkup sunah yang disandarkan kepada
rasululloh Saw. Sunah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:29
a. Sunah qauliyah ialah sabda nabi yang disampaikan dalam
beraneka tujuan dan kejadian.
b. Sunah fi’iliyah ialah segala tindakan rasullullah Saw sebagai
contoh tindakan beliau melakukan sholat 5 waktu sehari semalam
dengan menyempurnakan cara-cara, syata-syarat dan rukun-
rukunya, menjalankan ibadah haju dan lain sebagainya.
c. Sunah taqriyyah ialah perkataan atau perbuatan sebagaian
sahabat, baik dihadapanya maupun tidak dihadapanya, yang tidak
diingkarai rasulullah Saw.
Ditinjau dari segi kualitas dan mutunya, sunah atau hadits ini
terbagi menjadi menjadi empat macam, yaitu:30
a. Sunah/Hadîts Shahîh yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang adil (baik), kuat hafalannya, sempurna ketelitiannya,
sanadnya bersambung kepada Rasul, tidak cacat, dan tidak
bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat.
b. Sunah/Hadîts Hasan yaitu sunah/hadits yang diriwayatkan oleh
orang adil (baik), sanadnya bersambung kepada Rasulullah, tidak
cacat, dan tidak bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang

29
Ibid., h. 35.
30
Ibid., h. 36.
lebih kuat, tapi kekuatan hafalan atau ketelitian rawinya kurang
baik.
c. Sunah/Hadîts Dha’îf yaitu sunah/hadits lemah karena rawinya
tidak adil, terputus sanad, cacat, bertentangan dengan dalil atau
periwayatan yang lebih kuat, atau ada cacat lain. Lebih dari 20
macam hadits dikategorikan dha’îf
d. Sunah/Hadîts Maudlû yaitu hadits yang dibuat oleh seseorang
(karangan sendiri) kemudian dikatakan sebagai perkataan atau
perbuatan Rasulullah saw.
Adapun kedudukan Sunah sebagai sumber hukum islam adalah
sebagai :31
a. Sunah sebagai bayan (penjelas) takhshish (pengkhusus) dan
taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global
atau umum) misal ayat-ayat alquran yang belum jelas tatacara
pelaksanaanya, kapan, dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan
dalam sunah.
b. Sunah menambahkan hukum yang telah ada dasar-dasarnya
secara garis besar dalam al-quran artinya alquran sebagai hukum
tetap dan sunah sebagai penguat dan pendukungnya missal
perintah mendirikan shalat, zakat.
c. Sunah menetapkan hukum yang tidak terdapat nashnya dalam al-
quran.
3. Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti bersungguh-sungguh,rajin, giat,
berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Sedangkan
menurut bahasa ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras fikiran)
untuk menemukan hukum agama (syara) melalui salah satu dalil syara
dan dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang
matang. Imam Suyuti berpendapat bahwa ijtihad adalah usaha
seoarang faqih (Seorang ahli fiqih) untuk menghasilkan hukum yang

31
Ibid., h. 37.
yang bersifat zhanni (intrepreatif). Dengan demikian tidak semua
orang dapat melakukan ijtihad. Orang yang melakukan ijtihad disebut
sebagai mujtahid.32
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa metode atau cara-
cara ijtihad adalah sebagai berikut :
a. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa ialah “sepakat atas sesuatu”. Sedangkan
menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah tolak pangkal
perumusannya didasarkan kepada dalil-dalil yang terdapat dalam
al-Quran dan Sunnah (hadits sahih). Terdapat rukun yang harus
dipenuhi untuk mencapai sebuah ketetapan atau kesepakatan
hukum (ijmak), di antaranya:33
1) Adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa
tertentu.
2) Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum
muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa
hukum pada waktu terjadinya, tanpa memandang tempat,
kebangsaan, dan kelompok mereka.
3) Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perbuatan
mapun perkataan.
4) Kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar
terealisir, jika hanya sebagian mujtahid, maka tidak akan
terdapat ijma.
Adapun kedudukan ijma sebagai sumber hukum adalah ijma
bukanlah hujjah apabila terdapat permasalahan maka hendaknya
dikembalikan pada al-quran dan sunnah Nabi Saw.
b. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur. Orang arab biasa
menyebutkan mengukur tanah dengan memakai satuan meter.

32
Ibid., h. 38.
33
Susiadi AS, “Ijma’ Dan Issu Kotemporer,” Jurnal Asas Vol 6, No. 2 (2014)., h. 124.
Qiyas mengharuskan adanya dua perkara, yang satu-satunya di
sandarkan keapad yang lain secara sama. Qiyas adalah hubungan
dan penydaran antara dua perkara sehingga sering dikatakan si A
diqiyaskan terhadap di B, tidak diqiyaskan terhadap si C. Artinya
si A menyamai si B, tetapi tidak menyamai si C. Qiyas istilah
ushul fiqh diartikan dengan menyertakan suatu perkara terhadap
yang lainya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan illat
diantara keduanya, (yaitu) terdapat kesamaan dalam perkara yang
mendorong adanya hukum syara’ bagi keduanya.34
Adapun dasar hakikat hukum qiyas mengacuh pada tiga
aspek yaitu :35
1) Ada dua kasus/peristiwa yang mempunyai illat yang sama,
2) Satu diantara dua kasus tersebut sudah ada dasar hukum yang
diterpkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi
belum ada dasar hukumnya,
3) Berdasarkan penelitian terhadap illat yang sama, seorang
mujahid menetaokan hukum pada kasus yang tidak ada
nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang
hukumya sudah ditetapkan pada nash.
Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas bahwa
menetapkan melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum
dari awal yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
F. Objek Kajian Hukum Islam
Objek kajian hukum islam adalah ruang lingkup hukum islam atau
bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum islam. Hukum
islam disini meliputi syariah dan fikih. Membicarakan syariah dalam arti
hukum Islam, maka terjadi pemisahan-pemisahan bidang hukum sebagai
disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan
secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang
34
Razak, “Pengantar Fiqh Dan Ushul Fiqh.", h. 43.
35
Farid Naya, “Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam,” Jurnal
Syariah dan Ekonomi Islam Vol. 11, No. 1 (2015), h. 7.
dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam hukum privat
islam terdapat segi-segi hukum publik, demikian juga sebaliknya.36
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi:
1. Ibadah
Ibadah merupakan bentuk penghambaan diri seorang manusia kepada
Allah SWT. Ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim harus
bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah al-Maqbulah (sunnah yang
diterima). Ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim di dunia dibagi
dua bagian yaitu :37
a) Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang perintah dan larangannya
sudah jelas secara zahir dan tidak memerlukan penambahan atau
pengurangan. Ibadah ini ditetapkan oleh dalil-dalil yang kuat
(qath’i ah-dilalah), ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan
dengan bidang ubudiyah dan bidang khusus (khas). Ibadah dalam
arti khusus adalah ibadah yang berkaitan dengan arkan al-Islam,
seperti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji, bersuci dari hadis
kecil maupun besar, wajib ain dan wajib kifayah.
b) Ibadah Ghairu Mahdhah adalah ibadah yang cara pelaksanaannya
dapat direkayasa oleh manusia, artinya bentuknya dapat beragam
dan mengikuti situasi dan kondisi, tetapi substansi ibadahnya
tetap terjaga. Misalnya peritah melaksanakan perdagangan dengan
cara yang halal dan bersih, larangan perdagangan yang gharar,
mengandung unsur penipuan dan sebagainya.
2. Muamalah
Muamalah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu ‘Amala-
Yu’amilu Muamalatan wa Imalan, yang memiliki arti berinteraksi,
bekerja. Sedangkan pengertian muamalah secara terminologi adalah
hubungan antara manusia daalam usaha mendapatkan alat-alat
36
Rohidin, “PENGANTAR HUKUM ISLAM : Dari Semenanjung Arabia Hingga
Indonesia., h. 13.
37
Rahmmad Jamil, “Peranan Pembelajaran Modeling Dalam Meningkatkan
Keterampilan Beribadah Siswa Di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)-3 Medan,” Ju r n a l A N S I R
U Vol. 1, No. 1 (2017), h. 117.
kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan
ajaran-ajaran dan tuntunan agama.38
Muamalah sebagai aktifitas manusia yang dilakukannya dalam
rangka pengabdian kepada Allah SWT, tentunya mengacu kepada
kaidah-kaidah yang ditetapkan Syara’ untuk terciptanya
kemashlahatan ditengah masyarakat demi terpeliharanya hak dan
kewajiban diantara manusia. Dengan demikian ruang lingkup
muamalah dipandang dari tunjukkan hukumnya dapat dibagi kepada
dua bidang, yaitu :39
a) Muamalah yang ketentuan hukumnya langsung dari Al-Qur’an
dan Hadist. Adapun bentuk muamalah ini adalah dalam hal
perkawinan dan akibatnya, seperti : talak, iddah, rujuk, warisan.
Demikian juga dalam hal pengharaman khamar, babi, anjing dan
riba, sehingga tidak dibolehkan transaksi pada bentuk ini.
Demikian juga dalam tindakan kriminal seperti : tindakan
pencurian dan perzinaan. Allah telah menetapkan dengan tegas
beberapa hal di atas, karena persoalan tersebut akan sulit bagi
manusia untuk menemukan kebenaran yang hakiki disebabkan
adanya dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.
b) Muamalah yang ketentuan hukumnya tidak langsung dari Al-
Quran dan Hadist, tetapi berdasarkan hukum yang diperoleh dari
hasil ijtihad para fuqaha yang mengacu kepada kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan ketentuan Syara’.
Bentuk muamalah ini akan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
sosial. Hal ini bisa kita lihat pada praktek jual beli di swalayan,
dimana si pembeli diberi kebebasan untuk memilih barang yang
diinginkan dan membawanya ke kasir untuk meyerahkan harga
barang tersebut, jual beli seperti ini terjadi dengan saling
menyerahkan uang dan barang tanpa adanya ucapan yang jelas
38
Rohmansyah, Fiqh Ibadah Dan Mu’amalah (Yogyakarta: Lembaga Penelitian,
Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), 2017), h. 51.
39
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), h. 9.
(ijab dan qabul). Praktek jual beli ini dipahami dari Firman Allah
SWT dalam Surah An-nisa ayat 29 yang mengisyaratkan terhadap
kebolehan untuk melakukan perdagangan yang terjadi karena
persetujuan kedua belah pihak yang bertransaksi, dapat
melakukannya dengan mudah tanpa ada kesulitan dan membawa
kemashlahatan bagi sesame manusia.

Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum


Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat
dalam arti luas sebagai berikut:
1. Hukum Perdata, Hukum perdata Islam meliputi:40
a) Munakahat (hukum perkawinan) yang mengatur segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian serta
akibat-akibat hukumnya.
b) Wirasah (hukum kewarisan) yang mengatur segala masalah
dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian
warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga hukum faraidh.
c) Muamalat (hukum benda dan hukum perjanjian) yang mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.
2. Hukum Publik Hukum publik Islam meliputi:
a) Jinayah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah
hudud (pidana berat) maupun dalam jarimah ta’zir (pidana
ringan). Yang dimaksud dengan jarimah adalah tindak pidana.
Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan
bentuk dan batas hukumnya dalam al-Quran dan Sunnah (hudud
jamaknya hadd, artinya batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan
tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan

40
Rohidin, “PENGANTAR HUKUM ISLAM : Dari Semenanjung Arabia Hingga
Indonesia.", h. 13.
oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya
ajaran atau pelajaran).
b) Al-Ahkam as-Shulthaniyyah, membicarakan permasalahan yang
berhubungan dengan kepala negara/pemerintahan, hak pemerintah
pusat dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya.
c) Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama lain dan negara lain.
d) Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum
acara.

Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti


luas tersebut dibandingkan dengan susunan hukum barat, seperti dasar
adanya taklif kepada mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan
memahami.41 Saifuddin Al-Amidi menegaskan bahwa syarat seseorang
dapat dikatakan mukallaf adalah jika ia berakal dan telah mampu
memahami. Karena suatu firman jika dihadapkan kepada orang yang tidak
berakal dan tidak dapat memahami maka akan sia-sia belaka. Seperti
halnya kepada anak kecil yang belum balig, orang gila, dan sebagainya.
Pernyataan Rasulullah saw:
Artinya: “Ditiadakan hukum dari tiga orang, ialah dari anak-anak
sehingga sampai usia baligh, dari orang tidur sehingga ia bangun, dan
dari orang gila sehingga sehat kembali” .42

Al-Amidi secara ringkas menjelaskan sebagai berikut:43


a. Yang menjadi dasar taklif adalah akal karena taklif bersumber pada
firman yang harus dipahami oleh akal.
b. Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur semenjak usia
muda, dan dipandang belum sampai pada ke batas taklif melainkan jika
akal sudah mencapai kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
c. Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke
masa secara tersembunyi sehingga baru jelas permulaan
41
Ibid., h. 14.
42
Ibid., h. 16.
43
Ibid., h. 16.
kesempurnaannya (kematangannya) jika sudah mencapai usia balig
atau dewasa secara biologis. Sebagai batas pemisah antara masa masih
kurang sempurna akal dengan mulai mencapai kesempunaannya ialah
balig. Di kala orang sudah baligh maka masuklah ia dalam kategori
mukallaf. Dan setiap orang mukallaf harus bertanggung jawab
terhadap hukum taklifiy.
Peranan akal merupakan faktor utama dalam syariat Islam untuk
menetukan seseorang sebagai mukallaf. Sekalipun seseorang telah mencapai
usia balig namun tidak sehat akal maka hukum taklifi tidak dibebankan
kepadanya. Hal ini sejalan dengan hukum positif yang mengenal istilah
personae miserabile, yaitu seorang manusia yang dianggap tidak cakap
bertindak atau melakukan perbuatan hukum.
Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang biasa
disebut ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan mampu tidaknya seseorang
menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum yang sempurna. Ada dua
klasifikasi ahliyyah, yakni ahliyyah al-ada’ dan ahliyyah al-wujub. Yang
pertama terkait dengan kecakapan seseorang untuk menunaikan tindakan
hukum. Sedangkan yang kedua terkait dengan kecapakan seseorang untuk
menerima hak, meskipun belum mampu menunaikan kewajiban, misalnya
ahliyyah al-wujub dalam hak waris bagi bayi.44
Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum
dalam hukum positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang
dimaksud dengan subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum
dapat menjadi pendukung (dapat memiliki hak dan kewajiban). Dalam kamus
Ilmu Hukum subjek hukum disebut juga dengan “Orang atau pendukung hak
dan kewajiban”.45 Dalam artian subjek hukum memiliki kewenangan untuk
bertindak menurut tata cara yang ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga
di dalam ilmu hukum yang dikenal sebagai subjek hukum adalah manusia dan
badan hukum.

44
Ibid., h. 17.
45
Ibid., h. 17
DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan secara singkat mengenai pengertian Hukum Islam, Fiqh, dan
Syariah?
2. Setiap Muslim mengetahui dan meyakini bahwa syariah adalah hukum Islam
yang utama. Namun banyak umat Islam yang menjalani kehidupan sosialnya
tidak berdasarkan syariah Islam. Mengapa demikian? Jelaskan!
3. Jelaskan Perbedaan dan Persamaan antara hukum Islam, Syariah, dan Fiqh?
4. Apakah kesepakatan para ilmuwan tentang penemuan suatu ilmu yang
berhubungan dengan alam bisa disebut ijma’? dan jelaskan mengenai
kehujjahan ijma’ itu sendiri!
5. Sebutkan dan jelaskan secara singkat mengenai objek kjian atau ruang
lingkup hukum Islam dalam arti fiqh Islam?
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad Kholidul. 2011. “Rekonstruksi Syariat: Pemikiran Muhammad


Said Al-Asymawi.” Jurnal at-Taqaddun Vol. 3, No. 2.
Ali, Mohammad Daud. 2006. HUKUM ISLAM : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
AS, Susiadi. 2014. “Ijma’ Dan Issu Kotemporer.” Jurnal Asas Vol. 6, No. 2.
Bahrudin, Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Aura CV. Anugrah Utama
Raharja.
Darmawati. 2019. Filsafat Hukum Islam. Makassar: FUF UIN Alauddin.
Darwis, Rizal. 2010. “Fikih Anak Di Indonesia.” Jurnal Al- Ulum Vol. 10, No.1.
Hafsah. 2016. Pembelajaran FIQH Edisi Revisi. Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Hamzani, Achmad Irwan. 2018. Asas-Asas Hukum Islam : Teori Dan
Implementasinya Dalam Pengembangan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta:
Thafa Media.
Ichsan, Muhammad. 2015. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Laboratorium
UMY.
Iryani, Eva. 2017. “Hukum Islam, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia.” Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol. 17, No. 2.
Jamil, Rahmmad. 2017. “Peranan Pembelajaran Modeling Dalam Meningkatkan
Keterampilan Beribadah Siswa Di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)-3
Medan.” Jurnal Ansiru Vol. 1, No. 1.
Jauhari, Ahsanuddin. 2020. Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT. Liventurindo.
Latupono, Barzah, La Ode Angga, Muchtar A Hamid Labetubun, and Sobri
Fataruba. 2017. Buku Ajar Hukum Islam. Yogyakarta: Deepublish (Grup
Penerbit CV Budi Utama).
Marzuki. 2017. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
(Anggota IKAPI).
Nasution, Muhammad Syukri Albani. 2014. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Naya, Farid. 2015. “Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum
Islam.” Jurnal Syariah dan Ekonomi Islam Vol. 11, No. 1.
Nurhayati. 2018. “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih.”
Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 2, No. 2.
Razak. 2016. “Pengantar Fiqh dan Ushul Fiqh.” Banda Aceh: CV. Tristar
Printing Mandiri.
Rizqillah, Mohammad Masykur. 2019. “Metodologi Pembelajaran Fiqh.” Jurnal
Al-Makrifat Vol. 4, No. 2.
Rohidin. 2016. “PENGANTAR HUKUM ISLAM : Dari Semenanjung Arabia
Hingga Indonesia.” Journal of Chemical Information and Modeling Vol. 53,
No. 9.
Rohmansyah. 2017. Fiqh Ibadah Dan Mu’amalah. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M).
Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press.
Usman, Suparman. 2015. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Laksita Indonesia.
Zulkarnaini. “Fikih Dakwah.” Jurnal Ilmiah Dakwah dan Komunikasi Vol. 2, No.
3.

Anda mungkin juga menyukai