Disusun Oleh:
MUHAMAD SAECHU
PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt Pencipta seluruh makhluk di alam semesta,
Sholawat dan salam semoga tercurah untuk hamba terkasih, pemimpin umat manusia
di dunia dan akhirat, Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini hanya sekelumit dari lautan ilmu pengetahuan tentang studi
Islam. Akan tetapi kami berharap Allah memberikan kemanfaatan dengan perantara
makalah ini kepada saya, rekan-rekan mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah program
pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan seluruh penuntut ilmu yang ingin
memahami dasar dan sejarah ilmu fikih.
Kami meyakini adanya kekurangan pada penulisan makalah ini, maka kami
selalu terbuka untuk kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Penulis,
Muhamad Saechu
2
Daftar Isi
3
PENDEKATAN STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Mempelajari Ilmu Fikih dan Ushul Fikih dalam memahami islam
adalah suatu keniscayaan. Karena pada dasarnya Islam terdiri dari tiga pilar
utama, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Pertama, iman merupakan pembahasan
kepercayaan yang ada di dalam hati. Kedua, Islam merupakan implementasi
dari keimanan. Ketiga, Ihsan adalah upaya untuk lebih dekat dengan Sang
Khalik.
Dalam rangka mengimplementasikan keimanan, seorang muslim
dituntut untuk mengamalkan ajaran-ajaran lahiriah yang termaktub di dalam
rukun islam. Selain itu seorang muslim juga dituntut untuk mengamalkan isi
Al-Quran dan Al-Hadits yang mengatur kehidupan sosial.
Pengamalan rukun islam diatur di dalam fikih ibadah, pengamalan
aturan-aturan sosial dalam kehidupan ekonomi diatur dalam fikih mu’amalah,
pengamalan aturan-aturan interaksi sosial dalam bidang pidana diatur dalam
fikih jinayat, dalam bidang kehidupan rumah tangga diatur dalam fikih
munakahat (ahwal syahsiyah), dalam bidang hukum perdata diatur dalam fikih
qodho.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu fikih masuk
dalam segala sendi kehidupan seorang muslim. Dan pengamalan terhadap ilmu
fikih itulah yang menjadi barometer apakah seseorang dikatakan sebagai
muslim yang taat atau tidak taat. Hal ini menunjukan pentingnya ilmu fikih di
dalam agama islam.
Jika ilmu fikih adalah sangat penting maka ilmu untuk menghasilkan
ilmu fikih adalah lebih penting. Ilmu yang merupakan alat untuk bisa
menjadikan seseorang bisa menggali sumber-sumber hukum fikih adalah ilmu
ushul fikih. Maka, sangat penting bagi kita untuk memahami kedua ilmu
tersebut.
1
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Syarah Al-Waroqot (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah
(DKI), 2009).
4
Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk
mendapatkan kebaikan, niscaya dia akan dipahamkan pada persoalan
agama.” HR Bukhori Muslim
Di dalam Al-Quran Allah mengisahkan doa Nabi Musa As.
َ ََْ
)82:يفق ُهوا ق ْو ِِل (طه
Artinya: “Supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS Thoha:28)
2
Muhamad Hasan Hito, Al-Khulashoh Fi Ushul Al-Fikih (Kuwait: Dar al-Dhiya, 2005).
3
Muhamad Hasan Hito, Al-Wajiz Fi Ushuli Al-Tasyri’ Al-Islami (Beirut: Resalah Publisher, 2006).
4
Ibid.
5
Dr. Moh Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018).
5
Adapun kata fikih sebagaimana sudah saya definisikan
sebelumnya.
Jika kedua kata ini digabungkan maka telah menjadi satu
kesatuan kata yang merupakan nama suatu cabang ilmu tertentu yaitu
ushul fikih. Ada beberapa pendapat ulama dalam mendefinisikan
ushul fikih diantaranya:
Al-Imam Al-Haramain mendefinisikan Ushul Fikih sebagai
Metode (cara) memperoleh fikih secara global.6
Menurut Syaikh Abu Zahroh Ushul fiqih adalah Ilmu yang
membahas tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode
pengambilan hukum-hukum fikih.7
Dr. Hasan Hito mengutip pendapat Imam Al-Baidhowi: Ushul
Fikih adalah mengetahui dalil-dalil fikih secara garis besar, cara
pengambilan hukum dari dalil-dalil itu dan keadaan orang yang
berhak mengambil hukum.8
6
Al-Mahalli, Syarah Al-Waroqot.
7
Syaikh Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fikih (Dar Al-Fikr Al-Arobi, 1958).
8
Hito, Al-Wajiz Fi Ushuli Al-Tasyri’ Al-Islami.
6
C. Sejarah kodifikasi Ilmu Fikih dan Ushul Fikih
a. Sejarah kodifikasi Ilmu Fikih
Perkembangan Ilmu Fikih dari masa Rasulullah Saw hinggi saat
ini bisa digolongkan menjadi enam fase,9 yaitu:
9
Muhammad Al-Khudhori Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah (DKI), 2007).
7
Pada masa Rasulullah Saw Al-Hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Quran, kebanyakan dari Al-Hadits
berfungsi untuk menerangkan apa yang ada di dalam Al-Quran,
walaupun ada beberapa Al-Hadits yang memberikan hukum baru
yang belum diterangkan di dalam Al-Quran.
8
3. Fikih pada masa para generasi muda sahabat (shighoru as-
shohabah; 41H-awal abad kedua hijriyah)
Masa ini dimulai sejak naiknya Mu’awiyah bin Abi
Shofyan Ra menjadi Khalifah hingga awal-awal abad kedua
hijriyahijriyah. Ada lima hal penting yang terjadi pada masa ini:
1) Perpecahan politik antara umat Islam.
2) Para ulama tersebar di berbagai Negara.
3) Peredaran Al-Hadits yang sangat banyak.
4) Kemunculan para pendusta dalam Al-Hadits.
5) Para pelajar dari kaum budak semakin banyak.
Pada masa ini fikih mulai berkembang menjadi dua kubu
besar, yaitu ahlu ro’yi dan ahlu al-hadits. Diantara ulama ahlu
ro’yi pada masa ini adalah Ibrahim bin Yazid An-Nakho’i dan
Robi’ah. Diantara ulama ahli al-hadits pada masa ini adalah Amir
bin Syarohil Al-Sya’bi dan Sa’id bin Al-Musayyib.
Yang membedakan antara kedua kubu adalah tentang
fungsi akal dalam mencerna teks-teks Al-Quran dan Al-Hadits.
Kubu ahli hadits mengatakan bahwa akal tidak boleh berperan
dalam menentukan hukum untuk hal-hal yang telah termaktub
dalam teks. Sehingga mereka hanya berpegang pada makna
tekstual tanpa memperhatikan nilai universal yang terkandung
dalam teks tersebut. Sedangkan, ahli ro’yi berpandangan bahwa
dalam teks-teks Al-Quran dan Al-Hadits ada nilai universal yang
bisa dijadikan pegangan dalam menentukan hukum pada kasus-
kasus yang tidak tercantum di dalam teks Al-Quran maupun Al-
Hadits. Nilai universal itu adalah illatul ahkam atau mashlahah
mu’tabaroh.
Keistimewaan pada masa ini adalah munculnya
Muhammad bin Muslim Al-Zuhri (w:124H), pada awal-awal abad
kedua hijriyah beliau memulai penulisan Al-Hadits. Hal ini karena
keresahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz akan hilangnya riwayat-
riwayat dari Rasulullah Saw. Sehingga beliau memerintahkan
gubernurnya yang ada di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad
Ibnu Hazm untuk menulis al-hadits.
9
2) Pergerakan ilmiah yang menyeluruh di wilayah kerajaan
Islam.
3) Bertambahnya para penghafal Al-Quran dengan berbagai
varian bacaannya.
4) Kodifikasi Al-Hadits.
5) Perdebatan dalam berbagai materi ilmu fikih.
Faktor yang kelima inilah yang memacu percepatan
perkembangan ilmu fikih. Diantara perdebatan itu adalah:
Pertama, perdebatan tentang Al-Hadits yaitu perdebatan
legalitas Al-Hadits sebagai landasan hukum dan perdebatan
tentang cara mengetahui keotentikan Al-Hadits.
Kedua, perdebatan tentang qiyas, logika dan istihsan.
Ketiga, perdebatan tentang ijma’.
Keempat, perdebatan tentang perintah dan larangan dalam
Teks Al-Quran dan Al-Hadits.
6) Kodifikasi ilmu Ushul Fikih.
7) Istilah-istilah dalam Ilmu Fikih mulai bermunculan.
8) Munculnya para ilmuwan fikih (fuqoha) yang diakui oleh
sebagian besar umat islam di seluruh dunia. Mereka adalah
Imam Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik bin Anas (93-
179H), Imam As-Syafi’i (150-204H) dan Imam Ahmad bin
Hambal (164-241H).
10
b) Para ulama pada masa ini meninjau kembali pendapat-
pendapat yang ada di dalam madzhab kemudian memilih
pendapat yang dijadikan pegangan atas dasar kuatnya dalil
atau atas dasar kesesuaian terhadap kaidah imam madzhab.
c) Para ulama mempertahankan madzhab yang dianutnya
dengan menerangkan dalil-dalil yang dijadikan landasan
fatwa imam madzhab.
10
Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Syariatullah Al-Kholidah, n.d.
11
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa Rasulullah Saw sendiri
juga berijtihad. Hanya saja ijtihad beliau tidak sampai derajat keliru
atau salah.11
Setelah Rasulullah Saw berpulang ke rahmatullah, maka para
sahabat, di bawah kepemimpinan para khulafaur rasyidin, dalam
menentukan hukum mereka akan melihat dalam Al-Quran dan Al-
Hadits, jika mereka tidak menemukan maka mereka akan berijtihad
dengan mengambil intisari dari Al-Quran dan Al-Hadits kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus yang mirip. Hal ini berjalan hingga
masa generasi tabi’in, mereka berijtihad dari pemahaman mereka yang
masih alamiah terhadap bahasa Arab. Artinya mereka belum perlu
mempelajari ilmu kaidah bahasa dan kaidah pemahaman terhadap teks.
Pada masa ini Ushul Fikih belum dibukukan.
Ketika wilayah umat islam semakin luas dan bangsa Arab sudah
banyak bercampur dengan bangsa non Arab, pada saat itu banyak
orang Islam yang tidak dapat memahami Al-Quran dan Al-Hadits
secara alamiah sebagaimana generasi sebelum mereka. Adalah Syaikh
Abdurrahman bin Mahdi (w:198H) yang meminta kepada Imam As-
Syafi’i (w:204H) untuk menuliskan metodologi memahami Al-Quran
dan Al-Hadits. Dari permintaan ini imam Syafi’i menulis risalah
(surat) pada lembaran-lembaran kertas yang berisikan tentang Al-
Quran dan pemahamannya, Al-Sunah dan kedudukannya terhadap al-
Quran, Nasikh dan Mansukh, cacat dalam al-hadits, khobar ahad,
Ijma’, qiyas, ijtihad dan istihsan.12 Kemudian, surat ini dikirimkan
kepada Syaikh Abdurrahman sebagai pedoman memahami teks-teks
agama dan metodologi pengambilan hukumnya. Inilah cikal bakal
kitab ar-risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i untuk kesekian kalinya
dengan beberapa editan di beberapa bab. Imam As-Syafi’i menulis
kitab ar-risalah beberapa kali, di Makkah, di Baghdad, di Mesir dan di
beberapa kesempatan beliau mengajarkan kitab ar-risalah dengan
mendikte murid-muridnya saat belajar di majelis beliau.13
Setelah Imam Syafi’i membukukan metodologi ijtihadnya, para
ulama dari berbagai madzhab yang datang setelah beliau mulai
menuliskan metodologi ijtihad mereka dalam buku. Sejak saat itulah
mulai banyak ulama yang membincangkan ilmu ushul fikih dan
kaidah-kaidah yang ada di dalamnya. Diantaranya adalah kritikan
Imam Syafi’i terhadap salah satu kaidah ijtihad yang dijadikan
pegangan ulama dari madzhab Hanafi yaitu istihsan.
11
Syaikh Zakariya Al-Anshori, Ghoyatul Wushul (Tareem: Dar Al-Zahabi, 2012).
12
Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.
13
Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiah, 1939).
12
Ditinjau dari metode penulisannya, kitab-kitab ushul fikih
terbagi menjadi tiga golongan yaitu metode mutakallimin, metode
fuqoha dan metode campuran.14
Metode mutakallimin adalah metode penulisan ilmu ushul fikih
yang membahas tentang kaidah-kaidah ushul fikih tanpa
mengaitkannya dengan cabang-cabang masalah fikih.
Kitab-kitab yang ditulis dengan metodologi mutakallimin.
i. Itsbatul Qiyas karya Ibnul Mundzir (w:306H).
ii. Al-Luma’ karya Abul Faroj Al-Maliki (w:331)
iii. At-Taqrib wal Irsyad fi tartib thuruqil Ijtihad karya Abu Bakar
Al-Baqillani (w:4-3H).
iv. Al-Mustashfa karya Imam Ghozali (w:505H).
14
Hito, Al-Wajiz Fi Ushuli Al-Tasyri’ Al-Islami.
13
D. Kesimpulan
Dari kajian ringkas diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ilmu Fikih merupakan bagian dari ilmu keislaman yang
membahas tentang hukum-hukum terapan sehari-hari.
2. Ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang mempelajari sumber-
sumber hukum fikih, metode pengambilan hukum dan orang
yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan hukum.
3. Perkembangan ilmu fikih dari masa ke masa mengalami masa
keemasannya pada abad kedua hingga abad ketujuh hijriyah.
4. Perkembangan ilmu ushul fikih dimulai dari penulisan kitab Ar-
Risalah dan terus berkembang hingga pada abad ke-8 H.
5. Baik ilmu fikih maupun ilmu ushul fikih masih perlu untuk digali
dan dikembangkan guna menjawab tantangan zaman yang
semakin modern.
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, semoga bermanfaat.
Terima kasih atas segala sesuatu yang membantu terwujudnya makalah ini.
Diantara saran kami untuk pembaca dan penulis makalah dengan tema yang
sama adalah:
1. Melengkapi makalah dengan contoh nama-nama tokoh ahli fikih
dan ushul fikih pada setiap periode.15
2. Memberikan contoh hasil pemikiran atau permasalahan yang
menjadi topic diskusi pada setiap periode.16
3. Memaparkan problematika fikih kontemporer yang belum pernah
dibahas oleh para ahli fikih sebelumnya. 17
4. Memaparkan upaya tajdid ushul fikih yang diusung oleh
beberapa kelompok cendekiawan muslim kontemporer.18
Tentunya makalah ini sangat memerlukan kritik dan saran dari para
pembaca untuk bisa menjadi lebih sempurna. Wallahu a’lam bis showab.
15
Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala (Beirut: Muassasah Al-Resalah, 1996).
16
Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.
17
Muhammad bin Hasan Al-Jizani, Fiqh Nawazil (Saudi Arabia: Dar Ibnu Hazm, 2006).
18
Mas’adah, “EPISTEMOLOGI PEMBAHARUAN USUL FIKIH HASAN TURABI,” Dinamika 3, no. Juni
(2018), http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php/dinamika/article/download/223/189/.
14
Daftar Pustaka
Abu Zahroh, Syaikh Muhammad. Ushul Fikih. Dar Al-Fikr Al-Arobi, 1958.
Al-Anshori, Syaikh Zakariya. Ghoyatul Wushul. Tareem: Dar Al-Zahabi, 2012.
Al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Siyar A’lam Al-Nubala. Beirut: Muassasah Al-
Resalah, 1996.
Al-Jizani, Muhammad bin Hasan. Fiqh Nawazil. Saudi Arabia: Dar Ibnu Hazm, 2006.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad. Syarah Al-Waroqot. Jakarta: Darul
Kutub Islamiyah (DKI), 2009.
Al-Maliki, Sayyid Muhammad Alawi. Syariatullah Al-Kholidah, n.d.
As-Syafi’i, Imam Muhammad bin Idris. Ar-Risalah. Edited by Ahmad Muhammad
Syakir. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1939.
Bik, Muhammad Al-Khudhori. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Jakarta: Darul Kutub
Islamiyah (DKI), 2007.
Hito, Muhamad Hasan. Al-Khulashoh Fi Ushul Al-Fikih. Kuwait: Dar al-Dhiya, 2005.
———. Al-Wajiz Fi Ushuli Al-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Resalah Publisher, 2006.
Mas’adah. “EPISTEMOLOGI PEMBAHARUAN USUL FIKIH HASAN TURABI.”
Dinamika 3, no. Juni (2018).
http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php/dinamika/article/download/223/189/.
Mufid, Dr. Moh. Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
15