1
Hasbi Ash-Shidieqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 54.
2
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA, 1995) hlm. 2.
3
Ash-Shidieqie, Filsafat Hukum Islam, hlm. 27.
Qur’an menjadikan orang yang memiliki hikmah sebagai orang yang mulia dan
berwibawa.4
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara presisi,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu. Akhir proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Untuk itu, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan
dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Berangkat dari pemahaman tentang filsafat di atas, akan kita uraikan definisi
filsafat hukum Islam serta korelasinya dengan filsafat ekonomi syariah.
Terminologi hukum Islam memiliki beberapa istilah yang berbeda dalam
istilah bahasa Arab yang meliputi istilah fiqh, sharī’ah, qānūn, dan‘urf.5 Fiqh
dimaknai sebagai “al-‘ilmu bi al-aḥkām al-shar’iyyah al-‘amaliyyah min
adillatiha al-tafṣīliyyah”.6 Dalam pengertian ini, fiqh dibatasi pada hukum yang
bersifat praktis (al-‘amaliyyah) - sebagai lawan dari akidah - yang bersumber
dari dalil-dalil yang terperinci (al-Qur’an dan Hadis). Sedangkan sharī’ah
dimaknai sebagai semua aturan yang Allah turunkan untuk para hamba-Nya,
baik terkait masalah aqidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak. Baik
terkait hubungan makhluk dengan Allah, maupun hubungan antar-sesama
makhluk.7
Qānūn adalah hukum yang telah dibukukan dan menjadi undang-undang
dalam sebuah negara. Sedangkan 'urf secara harfiah berarti adat atau, lebih
tepatnya, kebiasaan 'baik' yang disepakati oleh masyarakat tertentu. Beberapa
kebiasaan yang ada dalam masyarakat kadang-kadang juga diklaim sebagai
hukum Islam.8
4
Praja, Filsafat Hukum Islam, hlm. 2.
5
Jasser Auda, Maqāsid al-Sharī’ah as Philosophy of Islamic Law, (London: The International
Institute of Islamic Thought, 2007), hal. 56.
6
Lihat ‘Abdul Wahab Khallāf, ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh wa Khulāṣat al-Tashrī’ al-Islāmi, (Mesir:
Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1996), hal. 13.
7
Mannā’ Khalīl al-Qaṭān, Tārikh Tasyrī’ Al-Islāmi, (Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nashr
wa al-Tauzī’, 1996), hal. 13.
8
Auda, Maqāsid al-Sharī’ah as Philosophy of Islamic Law, hal. 57-58.
Jasser Auda menggambarkan keempat konsep tersebut (fiqh, sharī’ah,
qānūn, dan‘urf ) tersebut sebagai berikut:9
.
Sharī’ah
‘Urf
Qur’an
Fiqh Qānūn
Sunnah
9
Auda, Maqāsid al-Sharī’ah as Philosophy of Islamic Law, hal. 58.
10
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 37.
berasal dari kata ‘āmala - yuāmilu - mu’āmalah yang artinya saling bertindak,
saling berbuat, dan saling mengamalkan.11 Sedangkan pengertian fiqh
mu’āmalah secara terminologis adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan
memperoleh dan mengembangkan harta benda.12
Mengutip pendapat Djuwaini,13 bahwa konsep fiqh mu’āmalah sebenarnya
adalah tawaran Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan
manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha
mendialektikakan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah ataupun etika.
Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan
dialektika nilai materialisme dan spiritulisme. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran
transendental didalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep
dasar Islam dalam kegiatan mu’āmalah juga sangat konsen terhadap nilai-nilai
humanisme.
Selanjutnya kita bandingkan dengan pengertian ekonomi syariah dari
beberapa pendapat. Menurut M. Umaer Chapra, ekonomi syariah ilmu yang
membantu merealisasikan kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan
distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa
membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro
dan ekologis.14 Sementara Muhammad Abdul Manan berpendapat, “Islamic
Economics is a social sciences with studies the economic problems imbuded with
the values of Islami.”15 Ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
Berangkat dari beberapa definisi fiqh mu’āmalah dan ekonomi syariah di
atas, muncul beberapa pertanyaan terkait: Apakah fiqh mu’āmalah dan ekonomi
syariah memiliki perbedaan dalam perspektif science (sebagai Ilmu)? Apakah
11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 1.
12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal. 3.
13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal. xviii.
14
M. Umer Chapra, What Is Islamic Economics, (Saudi Arabia: Islamic Research and Training
Institute, 1996), hal. 33.
15
Muhammad Abdul Manan, Islamic Economics: Theori and Practice (A Comperative Study),
(Delhi: Idarah Adabiyah, 1970), h. 3.
ekonomi syariah lahir setelah para sarjana Muslim membukukan pembahasan
fiqh mu’āmalah? Ataukah pembahasan ekonomi syariah lebih besar
cakupannya daripada fiqh mu’āmalah karena bukan hanya membahas sisi
hukum dan etika? dan masak banyak lagi pertanyaan lainnya.
Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip analisis Abbas Arfan16 perihal
hubungan antara fiqh mu’āmalah dengan ekonomi syariah sebagaimana berikut:
Pertama, ekonomi (syariah) memiliki fungsi yang berbeda dari fiqh mu’āmalah,
yakni fungsi deskripsi dan identifikasi fakta-fakta, penemuan terhadap
hubungan-hubungan dan hukum-hukum yang menghubungkan fenomena
ekonomi secara serentak, dan mengupayakan manfaat ekonomis diantara
ketentuan-ketentuan syariah atau menentukan akibat-akibat ekonomis baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang dalam kehidupan ekonomi. Pada
sisi lain, fungsi fiqh adalah untuk mengidentifikasi perintah-perintah syariah
dari bukti-bukti tekstual yang terinci dalam hukum aktivitas ekonomi.
Perbedaan fungsi tersebut dapat dilihat pula dari perbedaan dasar antara
fiqh mu’āmalah dengan ekonomi (syariah) adalah bahwa tujuan fiqh yang
utama adalah memahami asumsi-asumsi normatif yang secara esensial
merupakan perintah-perintah syariah. Asumsi-asumsi normatif ini dalam
kenyataannya menempati totalitas semu dari fiqh (the quasi-totality of fiqh).
Pada sisi lain, tujuam ekonomi syariah (maupun ekonomi positif) yang utama
adalah memahami asumsi-asumsi deskriptif dalam rangka mengidentifikasi
realitas-realitas dan menghubungkan realitas itu dengan fenomena ekonomi
secara serentak.17
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekonomi syariah
memfokuskan diri pada aspek deskriptif dari fenomena, berusaha melakukan
16
Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah, (Malang: UIN- Maliki Press, 2013), hal.
99-102.
17
Dalam karangka pikir ini, dengan mengemukakan contoh berikut ini, memungkinkan untuk
melakukan klarifikasi terhadap adanya perbedaan fungsi antara ekonomi Islam dengan fiqh
mu’āmalah. Dalam kasus monopoli misalnya, teks-teks fiqh akan mengemukakan bukti-bukti
tekstual untuk mendukung pelanggaran monopoli, apa saja yang tidak boleh dimonopoli, dan sifat
serta syarat yang bagaimana suatu monopoli dilarang. Sedangkan karya-karya di bidang ekonomi
(Islam) akan melakukan identifikasi terhadap akar terjadinya monopli, tipe-tipe monopoli,
pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan, adanya perlakuan pricing yang berbeda antara pasar
monopoli dengan pasar kompetitif, perbedaan kuantitas barang yang dijual dan lain sebagainya.
Lihat Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah, hal. 102.
identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempegaruhinya dan terhadap
hubungan-hubungan kausal yang relevan. Sedangkan fiqh mu’āmalah melihat
fenomena (ekonomi) dari aspek yang normatif, yakni bagaimana aturan syariah
terhadap fenomena tersebut kemudian menetapkan kriteria kebolehan dan
larangan tergantung fenomena dan fakta yang dihadapi.
Meskipun terdapat perbedaan sebagaimana dijelaskan di atas, diantara
keduanya memiliki keterkaitan yang cukup erat. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Syamsul Anwar sebagai berikut:
“Pada tiga dasawarsa terakhir ini fiqh muamalah mendapat arti penting
yang lebih besar dengan lahirnya ilmu ekonomi syariah dengan institusi
perbankan dan asuransi Islam. Ilmu ekonomi syariah terkait dengan fiqh
muamalah secara erat. Bukan pada fase dalam perjalanan ilmu ini mencari
bentuk dimana ia dianggap sebagai cabang fiqh muamalat. Walaupun
kemudian pandangan itu tidak dapat dibenarkan. Namun hal ini
menunjukan betapa pentingnya fiqh muamalah bagi ekonomi syariah,
khususnya menyangkut perbankan dan asuransi Islam."18
18
Zainil Ghulam, “Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam”, Iqtishoduna, Vol. 8 No. 2
Oktober 2016, hal. 144.
19
Ghulam, “Relasi Fiqh Muamalat....”, hal. 144-145.
faktor ekonomi dapat berperan dalam menentukan diantara beberapa aturan
yang mungkin lebih relevan untuk diterapkan dari pada yang lain.20
Sebagaimana dipahami bahwa ketentuan-ketentuan syariah adalah dalam
rangka merealisasikan kemaslahatan (istiṣlāh atau consideration of public
interest). Ekonomi syariah diharapkan dapat memainkan peran penting dalam
merealisasikan kemaslahatan tersebut dalam konteks istihsān.
Operasionalisasinya dapat dilihat apabila dalam kasus perdagangan
internasional, misalnya GATT, AFTA, WTO, ekonomi syariah dalam kerangka
istihsan dapat memberikan pandangan yang berguna bagi fāqih untuk
menentukan sikap antara meratifikasi atau tidak perjanjian dagang internasional
tersebut.21
Melihat uraian di atas, nampaknya antara fiqh mu’āmalah dan ekonomi
syariah diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Keduanya bisa dibedakan tetapi
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Jika fiqh mu’āmalah melihat fenomena
(ekonomi) dari aspek yang normatif, ekonomi syariah itu bisa diposisikan
sebagai normatif dan positif. Normatif berarti bahwa ekonomi syariah
mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu, sedangkan positif
berarti ekonomi syariah juga mempersoalkan tentang masalah ekonomi yang
muncul dalam kehidupan masyarakat (Islam).
20
Ghulam, “Relasi Fiqh Muamalat....”, hal. 145.
21
Ghulam, “Relasi Fiqh Muamalat....”, hal. 145-146.
2. Perkembangan Filsafat Ekonomi Syariah
Perkembangan Filsafat Ekonomi Syariah dapat digambarkan dalam time line sebagai berikut:
3. Konsep dasar, teori dan karakteristik ekonomi syariah
Banyak ragam pendapat dari para sarjana muslim yang menawarkan
definisi ekonomi Islam. Diantara defiinisi tersebut adalah :
1. Menurut M. Umer Chapra, ekonomi Islam ilmu yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan distribusi
sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa
membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan
makro dan ekologis.22
2. Menurut M. Akram Khan, ekonomi Islam memusatkan perhatian pada studi
tentang kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan
mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar kerjsama dan
partsipasi.23
3. Muhammad Abdul Manan berpendapat, Islamic Economics is a social
sciences with studies the economic problems imbuded with the values of
Islami. Ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.24
4. Menurut Hazanuzaman, ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi
dari ajaran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber-sumber daya material memenuhi kebutuhan manusia
yang memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan
masyarakat.25
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, mengutip pendapat Nurizal
Ismail, bahwa tujuan dari ekonomi Islam adalah merealisasikan falāh kepada
ummat manusia di muka bumi melalui pendayagunaan sumber-sumber daya
yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia dengan aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh-Nya. Batasan-batasan tersebut menegaskan bahwa adanya
22
Chapra, What Is Islamic Economics, hal. 33.
23
M. Akram Khan, “Islamic Economics: Nature and Needs”, J. Res, Islamic Econ, Vol. 1,
No.2, (1404/1984), hal. 51.
24
Muhammad Abdul Manan, Islamic Economics..., hal. 3.
25
Hazanuzzaman, “Definition of Islamic Economics”, Journal of Research in Islamic
Economics, Vol. 1 No. 2, 1984.
perbedaan sudut pandang (worldview) antara ekonomi Islam dan
konvensional.26
Adapun karakteristik ekonomi Islam menurut Yusuf al-Qarḍawi,
sebagaimana dikutip Rozalinda, bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi yang
berasaskan ketuhanan, berwawasan kemanusiaan, berakhlak, dan ekonomi
pertengahan. Sesungguhnya ekonomi Islam adalah ekonomi ketuhanan,
ekonomi kemanusiaan, ekonomi akhlak, dan ekonomi pertengahan. Dari
pengertian yang dirumuskan al-Qarḍawi ini muncul empat nilai-nilai utama
yang terdapat dalam ekonomi Islam sehingga menjadi karakteistik ekonomi
Islam yaitu:27
1. Iqtishad Rabbani (Ekonomi Ketuhanan). Ekonomi Islam adalah ekonomi
ilahiyyah karena titik awalnya berangkat dari Allah dan tujuannya untuk
mencapai ridha Allah. Karena itu seorang Muslim dalam aktivitas
ekonominya, misalnya ketika membeli atau menjual dan sebagainya berarti
menjalankan ibadah kepada Allah. Semua aktifitas ekonomi dalam Islam
kalau dilakukan sesuai dengan syariatnya dan niat ihlas maka akan bernilai
ibadah di sisi Allah.
2. Iqtishad Akhlaqi. Hal yang membedakan anatara sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi lain adalah dalam sistem ekonomi Islam antara
ekonomi dengan akhlak tidak pernah terpisah sama sekali., seperti tidak
pernah terpisahnya antara ilmu dengan akhlak, antara siyasah dengan
akhlak karena akhlak adalah urat nadi kehidupan Islami. Kesatuan antara
ekonomi dengan akhlak ini semakin jelas terlihat pada setiap aktivitas
ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, konsumsi, distribusi, dan
sirkulasi. Seorang Muslim baik secara pribadi maupun kelompok tidak
bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya ataupun yang
menguntungkannya saja. Karena setiap Muslim terikat oleh iman dan
26
Nurizal Islamil, Maqashid Syari'a dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Smart WR, 2014),
hal. 48-49.
27
Rozalinda, Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, hal. 10-12;
Bandingkan juga dengan Al-Saih Ali Husain, al-Fiqh al-Islāmiy; al-Iqtiṣād wa al- Mu'āmalat al-
Māliyah, (Tripoli-Libya: Kulliyat al-Da'wah al-Islāmiyah, 2003), hal. 12-88.
akhlak yang harus diaplikasikan dalam setiap akitivitas ekonomi,
disamping terikat dengan undang- undang dan hukum-hukum syariat.
3. Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan). Ekonomi Islam bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan yang baik dengan kesempatan bagi manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, manusia perlu hidup dengan
pola kehidupan rabbani sekaligus manusiawi sehingga ia mampu
melaksanakan kewajibannya kepada tuhan, kepada dirinya, keluarga, dan
kepada manusia lain secara umum. Manusia dalam sistem ekonomi Islam
adalah tujuan sekaligus sasaran dalam setiap kegiatan ekonomi karena ia
telah dipercayakan sebagai khalifahNya (QS al-Baqarah [2]:30). Allah
memberikan kepada manusia beberapa kemampuan dan sarana yang
memungkinkan mereka melaksanakan tugasnya. Karena itu, manusia wajib
beramal dengan berkreasi dan berinovasi dalam setiap kerja keras mereka.
Dengan demikian akan dapat terwujud manusia sebagai tujuan kegiatan
ekonomi dalam pandangan Islam sekaligus merupakan sarana dan
pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah diajarkan Allah
kepadanya.
4. Iqtishad Washathi (Ekonomi Pertengahan). Karakteristik Islam adalah
sikap pertengahan, seimbang (tawazun) antara dua kutub (aspek duniawi
dan ukhrawi) yang berlawanan dan bertentangan. Arti tawazun (seimbang)
diantara dua kutub ini adalah memberikan kepada setiap kutub itu haknya
masing-masing secara adil atau timbangan yang lurus tanpa mengurangi
atau melebihkannya seperti aspek keakhiratan atau keduniawian. Dalam
sistem Islam, individualisme dan sosialisme bertemu dalam perpaduan
yang harmonis. Dimana kebebasan individu dengan kebebasan masyarakat
seimbang, antara hak dan kewajiban serasi, imbalan dan tanggung jawab
terbagi dengan timbangan yang lurus.
5. Washattiyah (pertengahan atau keseimbangan) merupakan nilai-nilai yang
utama dalam ekonomi Islam. Bahkan nilai-nilai ini menurut Yusuf al-
Qardhawi merupakan ruh atau jiwa dari ekonomi Islam. Ciri khas
pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan
oleh individu dan masyarakat. Berdsarkan prinsip ini, sistem ekonomi
Islam tidak menganiaya masyarakat terutama golongan ekonomi lemah,
seperti yang telah terjadi dalam masyarakat ekonomi kapitalis, juga tidak
memperkosa hak dan kewajiban individu seperti yang telah dibuktikan
golongan ekonomi komunis. Akan tetapi Islam mengambil posisi
dipertengahan berada diantara keduanya, memberikan hak masing-masing
individu dan masyarakat secara utuh. Menyeimbangkan antara bidang
produksi dan konsumsi, anatar satu produksi dengan produksi lain.
28
Gagasan atau gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan salah satu upaya menjawab
tantangan modernitas yang melanda umat Islam. Ada semacam guncangan di kalangan umat Islam
menyaksikan realitas yang menempatkan diri mereka pada sudut buram sejarah. Di balik kemegahan
peradaban Barat yang terus melaju pasca Renaissance, sebagian besar dunia Islam secara kontras
justru termegap-megap dalam sesuatu yang dalam visi modern disebut perangkap kemunduran dan
keterbelakangan. Baca lebih lanjut Yusdani, "Islamisasi Model al-Faruqi dan Penerapannya dalam
Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik)”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol.1,
No.1, 2007, pp. 77-94.
29
Yusdani, "Islamisasi Model al-Faruqi...
normatifnya dengan kedinamisan realitas yang senantiasa berubah-ubah.
Belum lagi persoalan pragmatisme sebagai dampak dari realitas pasar yang
mendorong berdirinya ribuan lembaga ekonomi syariah dan dibukanya
program studi ekonomi Islam,30 sehingga pada gilirannya memunculkan dilema
dalam memahami hakikat ekonomi Islam itu sendiri. Fakta ini, sering kali
mengaburkan pemahaman untuk membedakan secara tegas-proporsional
dimana wilayah keilmuan dan dimana wilayah keagamaan, dimana wilayah
teori dan dimana wilayah ideologi.
Pada konteks prospek pengembangannya, fakta di atas tentu saja menjadi
persoalan, dua wilayah yang berbeda akan berimplikasi pada sifat yang relatif
berbeda pula. Keilmuan yang bersifat teori menuntut sikap kritis, objektif, dan
rasional, berhadapan dengan sikap keagamaan sebagai ideologi yang lebih
menekankan pada subjektivitas, taqlidy, commitment.31
Adanya ketegangan tersebut, sejatinya tidak perlu dirisaukan lantaran
sebenarnya didalamnya terkandung dinamika yang secara dialektis memberi
manfaat bagi kedua sisi tuntutan tersebut. Maka masing-masing mempunyai
fungsi dan perannya sendiri, tanpa harus menepikan yang satu dengan yang
lainnya. Jika salah satu sisi mencoba mendomisansi eksistensi yang lain, maka
ketegangan yang kreatif tersebut berubah menjadi dominasi yang mematikan.
Atau sebaliknya, para ilmuan kurang apresiatif pada nilai-nilai keagamaan yang
sui generis, yang amat berfungsi dalam kehidupan keseharian manusia.32
Fakta dan data membuktikan bahwa perkembangan ekonomi Islam
agaknya masih lebih terbebani dengan misi ideologi, yang bersifat memihak
dan cenderung subjektif sehingga pada gilirannya kadar kekritisan, terutama
dalam menelaah naskah keagamaan, misal fikih muamalah, relevansinya
dengan kekinian tidak begitu nampak ditonjolkan. Hal ini terlihat jelas ketika
adanya unsur pemaksaan untuk menerapkan begitu saja model-model transaksi
fikih ke dalam praktek ekonomi modern yang lebih sering bersifat ideologis
30
Yusdani, "Islamisasi Model al-Faruqi...
31
Untuk lebih mendalam baca Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New
York: Harper and Torch Book, 1966), hal. 218-229.
32
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hal. 227.
ketimbang obyektif ilmiah. Hal itu justru kontra-produktif dalam upaya
penyusunan bangunan ekonomi Islam itu sendiri.33
Dengan demikan, diperlukan adanya keseimbangan yang selaras antara
paradigma pengembangan ekonomi Islam yang didasarkan realitas yang
rasionalistik-empiris dengan muatan transendental dan metafisis. Sebagaimana
yang diuraikan pada jawaban nomor 1 di atas, bahwa ekonomi syariah itu harus
diposisikan sebagai normatif dan positif. Dengan kata lain, berpikir secara
induktif yang berangkat dari dialog terhadap realitas, merupakan kunci yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena dengan begitu, ekonomi Islam dengan
sifat komplementer dan suplementernya dapat menjadi kekuatan untuk
membangun ekonomi dan sains yang berbasis nilai.
33
A. Dimyati, "Ekonomi Etis: Paradigma Baru Ekonomi Islam", Jurnal Ekonomi Islam
La Riba, Vol.1, No.2, Desember 2007, hal. 153-168.
DAFTAR PUSTAKA