Anda di halaman 1dari 19

K.H.

Zainal Mustafa
K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal
di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Tasikmalaya.
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama
dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama
kecilnya Hudaemi. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny.
Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah
Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir
tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907). Namanya menjadi Zaenal
Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Hudaemi memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar
mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya
untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke
pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan
nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga,
Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus
menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir
berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar
pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah
Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka
sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang
dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula
Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia
menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa
di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun
menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan
anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk
Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang
Tasikmalaya.
Perlawanan kepada penjajah
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang
membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah.
Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam
ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan
bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH.
Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan
tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara
Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir
Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Ruhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan
ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya
yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di
penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki
Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari
penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya,
yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang
menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas
menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia
memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak
mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu
lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah
berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri
kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat
kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan
itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal
Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25
Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di
Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga
militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.
Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan
persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak
silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan
membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai
11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha
ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya,
pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang
dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal
Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas
sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup.
Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum
itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari
1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena
terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar
(sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas
bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah
mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri,
Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum
musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab
serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih
lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan
Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna
karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak
2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami
cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara
rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat
dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan
pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal
Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal
Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat
serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat
pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka,
setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Ereveld Ancol, Jakarta, memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah
dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol,
Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973
keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam
para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus
1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
K.H. Abdul Halim
K.H. Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir di Desa
Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 – meninggal di Majalengka, 7 Mei 1962 pada umur 74
tahun) adalah Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo
Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. Seorang tokoh
pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam
menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis).
Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori. Ia
merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan
Hj. Siti Mutmainah.
Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi,
Majalengka. Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah
memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.
Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan
kakak-kakaknya. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H.
Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).
Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang gemar belajar. Terbukti ia banyak membaca ilmu-
ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun Kiai Halim
belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di
luar keluarganya sendiri. K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan,
Majalengka. Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya,
tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat
bermanfaat bagi perjuangannya kelak. Hal itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda
dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.
Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di
wilayah Jawa Barat. Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim
adalah:

 Pesantren Lontang jaya, Penjalinan, Leuwimunding, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.


 Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
 Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, asuhan K.H.
Ahmad Shobari.
 Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus, Kedungwangi, Kenayangan,
Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus,
Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Di sela-sela kesibukannya belajar di pesantren, Kiai Halim menyempatkan dirinya untuk
berdagang. Ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama.
Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi
ke Mekkah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim
berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus
menjadi Imam di Masjidil Haram. Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak
bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H.
Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am
Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim
Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya
yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya
terkenal sebagai ulama yang amat toleran.
Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga
mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh,
Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya. Selain itu Kiai Halim juga
banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang
pemikiran kedua ulama tersebut.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada
tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik
santri-santri di daerah tersebut. Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah
berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang
kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.
Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan tahun 1912 tersebut tidak hanya bergerak di
bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian. Hal ini disebabkan
Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota
organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan
pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai
saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil
di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan
pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.
Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul
Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang
terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan
Hayatul Qulub dan melarang meneruskan segala kegiatannya. Setelah dibubarkannya
organisasi tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga
kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.
Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang
ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin. Lembaga pendidikan ini lebih baik dari
sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun
dan sistem koedukasi. Dan bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran
bahasa Arab. Setahun kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga
pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan
Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia). Perserikatan tersebut
memiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.
Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu, Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya
untuk memajukan pendidikan. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada
tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan
pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan
bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan.
Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama.
PO pun dibekukan. Namun, Abdul Halim tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan
kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti menjadi Perikatan
Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI mengadakan fusi dengan Persatuan Umat
Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi menjadi Persatuan Umat Islam
(PUI) dan Abdul Halim diangkat sebagai ketua pertamanya.
Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In
(semacam dewan perwakilan). Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul
Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.
Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer
kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan
logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi
Bupati Majalengka.
Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-
sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia
juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937
di Surabaya.
Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan
dan membina Santi Asromo. Namun, sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan
persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di
daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut
pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.
KH. Noer Alie

KH. Noer Alie lahir di Bekasi, Jawa Barat, 15 Juli 1914, meninggal di Bekasi, Jawa Barat, 29
Januari 1992 pada umur 77 tahun Adalah pahlawan nasional Indonesia Dengan SK Presiden:
Keppres No. 085/TK/2006, Tgl. 3 November 2006, dia berasal dari Jawa Barat dan juga
seorang ulama.
Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, sedangkan ibunya adalah Hj. Maemunah. Sejak kecil,
Noer Ali memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Ketika berusia delapan tahun,
dia mulai belajar mengaji pada Guru Maksum di Kampung Bulak. Tiga tahun kemudian, dia
mengkaji ilmu tata bahasa Arab, tauhid, dan fiqih dari Guru Mughni.
Ketekunannya semakin menebal. Memasuki usia remaja, Noer Ali pergi ke Kampung Cipinang
Muara, Klender (Jakarta Timur). Tujuannya, memeroleh ilmu dari Guru Marzuqi yang kelak
menghasilkan alim ulama Betawi terkemuka. Banyak di antaranya yang sahabat karib Noer
Ali.
Kesungguhan belajar putra daerah Bekasi ini menarik perhatian Guru Marzuqi. Pada akhirnya,
Noer Ali diperbolehkan untuk mengajar murid junior bila sewaktu-waktu Guru Marzuqi
berhalangan hadir.
Saat berusia 20 tahun, Noer Ali bersama dengan KH Hasbullah pergi ke Tanah Suci untuk
menunaikan ibadah haji. Momentum ini dimanfaatkannya juga untuk meneruskan belajar ilmu-
ilmu agama.
Mereka berangkat dengan dukungan dana dari Wat Siong. Sebelum bertolak ke Makkah,
keduanya dinasihati Guru Marzuqi. Salah satunya, ulama besar itu menasihati mereka agar
menemui dan belajar pada Syekh Ali al-Maliki selama di Tanah Suci.
Di Haramain, Noer Ali juga menerima pengajaran dari banyak tokoh besar. Misalnya, Syekh
Umar Hamdan, pengajar Kutub as-Sittah; Syekh Ahmad Fatoni, ulama asal Thailand Selatan,
yang mengajar Kitab Iqna tentang ilmu fiqih; serta Syekh Muhammad Amin al-Quthbi yang
mengajarkan kesusastraan, tata bahasa Arab, ilmu logika, serta tauhid.
Selain tiga nama besar itu, ada pula Syekh Abdul Zalil yang mengajarinya ilmu politik Islam.
Kemudian, Syekh Ibn al-Arabi, pakar ilmu hadis serta ‘ulum Alquran.
Di luar kelas, Noer Ali tidak berbeda daripada kebanyakan penuntut ilmu asal Nusantara di
Tanah Suci. Mereka konsen pada persoalan kolonialisme yang masih mendera sebagian besar
umat Islam, termasuk di Indonesia. Melalui surat-surat yang diterimanya dari orang tua, dia
mendapatkan gambaran tentang situasi terkini perjuangan kemerdekaan di Tanah Air.
Di Arab, Noer Ali aktif dalam pelbagai organisasi orang-orang Jawi (Melayu), seperti
Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia, Perhimpunan
Pelajar Indonesia-Malaya, serta Persatuan Pelajar Betawi.
Kerinduan pada kampung halaman akhirnya terjawab. Noer Ali hendak pulang ke Tanah Air.
Sebelumnya, dia mengirim surat kepada gurunya, Syekh Ali al-Maliki.
Jawaban dari sang guru meneguhkan semangat anti-kolonialisme, “Kalau kamu ingin pulang,
silakan pulang. Tetapi ingat, jika bekerja, jangan menjadi seorang penghulu (pegawai
pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat.” Demikian seperti
dikutip dari Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011:95-96).
KH Noer Ali tiba di Batavia (Jakarta) pada awal 1940-an. Hal pertama yang dilakukannya
adalah mendirikan Pesantren At-Taqwa di kampung halamannya. Pendirian pondok itu
sekaligus menandakan baktinya kepada sang guru.
At-Taqwa menjadi tempatnya menyebarkan ilmu-ilmu agama sekaligus tekad melawan
penjajahan. Oleh karena itu, pesantren tersebut selalu diawasi intelijen pemerintah kolonial.
Pada zaman pendudukan Jepang, semangat Noer Ali tidak luntur. Jepang awalnya datang
dengan klaim sebagai "Saudara Tua" bangsa Indonesia. Namun, toh kekejamannya tidak jauh
berbeda dibandingkan Belanda. Setelah kian terdesak di Perang Asia Timur Raya, Jepang
mulai mencari simpati rakyat Indonesia. Misalnya, dengan membentuk laskar-laskar dan
kesatuan Pembela Tanah Air (PETA).
Menurut Kiai Noer Ali, inilah kesempatan bagi anak-anak muda Indonesia untuk memeroleh
ilmu militer modern. Dengan begitu, mereka akan siap bilamana Indonesia memerlukannya,
terutama dalam menyongsong kemerdekaan. Oleh karena itu, tidak sedikit santrinya yang ikut
dalam laskar Heiho, Keibodan, atau PETA yang dibentuk Jepang.
Setelah berbagai perjuangan, Republik Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945.
Selang satu bulan kemudian, terjadi insiden di Lapangan Ikada (kini Silang Monumen
Nasional, Jakarta). Lautan massa memenuhi lokasi tersebut untuk menunjukkan dukungan
penuh kepada para pemimpin negeri. Di antara massa itu, terdapat sosok KH Noer Ali. Dia
memimpin barisan dari Bekasi untuk turut serta dalam pertemuan akbar itu.
Di zaman pendudukan Jepang, Kiai Noer Ali menjadi ketua Laskar Rakyat Bekasi serta
komandan Hizbullah Bataliyon III Bekasi. Kini dalam masa revolusi, dia juga turun ke
lapangan untuk memperjuangkan tegaknya RI. Di antara sahabat-sahabatnya adalah panglima
besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo.
Sebelum pecah Pertempuran 10 November di Surabaya, Bung Tomo berulang kali menyebut
nama Noer Ali dengan sebutan “kiai haji”. Untuk diketahui, seorang ulama Betawi umumnya
diberi gelar “Guru”. Sejak saat itu, sosok Noer Ali pun lebih sering disapa “Kiai Haji” (KH),
alih-alih Guru Noer Ali, sehingga mengikuti adat yang berlaku di Jawa.
Pada 29 November 1945, tentara Sekutu memasuki daerah Bekasi-Karawang. KH Noer Ali
memerintahkan para pengikutnya untuk mundur teratur. Ada pula beberapa di antara mereka
yang masih bertahan di Sasak Kapuk, tetapi kemudian gugur sebagai syuhada.
Posisi Belanda (NICA) semakin kuat berkat dukungan Sekutu. Pada Juli 1947, agresi militer
Belanda memukul mundur kekuatan militer RI di Jawa Barat. KH Noer Ali lantas menghadap
otoritas tentara waktu itu, Jenderal Urip Sumoharjo (sumber lain menyebut: Jenderal
Sudirman) di Yogyakarta untuk meminta saran.
Masukan itu berbunyi, kiai tersebut diminta tetap meneruskan gerilya di Jawa Barat, walau
tidak memakai embel-embel tentara nasional. Dengan strategi ini, harapannya Belanda akan
terkecoh karena mengira pejuang Indonesia yang dipimpin KH Noer Ali hanyalah rakyat biasa.
Ini memperbesar peluang kemenangan RI.
Sesampainya di Karawang, KH Noer Ali membentuk sekaligus mengomandoi Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah untuk Jakarta Raya. Pada masa inilah muncul berbagai kisah tentangnya
yang legendaris. Misalnya, dikisahkan bahwa pasukan Belanda amat kesulitan untuk
menangkapnya. Karena itu, Kiai Noer Ali diberi julukan kedua, “Belut Karawang-Bekasi.”
Pada 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Laskar-laskar rakyat pun mulai
membubarkan diri. Sejak saat itu, KH Noer Ali lebih fokus pada dunia pendidikan.
Di Pekojan, Jakarta, dia membentuk lembaga sekolah yang bekerja sama dengan Mu`allim
Rojiun. Di saat yang sama, pondok pesantrennya di Ujung Malang (Bekasi) kian berkembang
pesat. Sejak 1953, lembaga itu bertransformasi menjadi sebuah yayasan, kelak bernama
Yayasan At-Taqwa yang sampai sekarang tetap berkiprah.
Indonesia waktu itu dipimpin Presiden Sukarno. Namun, pemerintahannya mulai memberi
ruang kepada paham komunisme, yang sesungguhnya anti-agama. Inilah yang membuat KH
Noer Ali terjun ke dunia politik praktis melalui Masyumi.
Dalam pemilihan umum 1955, partai Islam itu memeroleh suara terbanyak di Bekasi. Satu
tahun kemudian, pimpinan pusat Masyumi memintanya untuk duduk sebagai anggota Dewan
Konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi baru--sebelum akhirnya dibubarkan secara
sepihak oleh Bung Karno.
Dalam masa ini, KH Noer Ali juga berupaya meningkatkan hubungan yang harmonis antara
kaum ulama serta santri dengan kalangan militer yang anti-komunis. Dia juga berkiprah dalam
Badan Kerjasama Ulama-Militer (BKS-UM) serta menjadi anggota Majelis Ulama di Resimen
Infanteri 7/III Purwakarta.
K.H. Abbas (1879-1946)
Kyai Abbas berasal dari keluarga yang ‘alim. Ia adalah putera sulung dari pasangan
KH. Abdul Jamil bin KH. Muta'ad (Menantu pendiri Pondok Buntet Pesantren, yakni Mbah
Muqoyyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon) dan Ny. Kariah, puteri dari KH.
Syathori penghulu Landraad (Pengadilan Negeri Hindia Belanda). Beliau dilahirkan pada hari
jum'at, tanggal 24 dzulhijjah 1300 H/ 25 Oktober 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon dan
wafat pada tanggal 1 Rabiul Awwal 1365 H/1946 M.1
Dari perkawinan dengan Ny. Kariah, Kiai Abdul Jamil memiliki keturunan sebagai
berikut: KH. Abbas, Ny. Yakut, Ny. Mu'minah, Ny. Nadroh, KH. Akyas, KH. Anas, KH.
Ilyas, Ny. Zamrud.2 Apabila nasabnya diurutkan keatas melalui jalur ayah adalah KH. Abbas
bin KH. Abdul Jamil bin KH. Muta'ad bin KH. Raden Nuruddin bin Raden Muriddin bin
Raden Ali bin Pangeran Punjul (Raden Bagus/Pangeran Penghulu Kasepuhan) bin Pangeran
Senopati (Pangeran Bagus) bin Pangeran Kebon Agung (Pangeran Sutajaya V) bin Pangeran
Dalem Anom (Pangeran Sutajaya ingkang Sedo ing Tambak) Pangeran Nata Manggala bin
Pangeran Sutajaya Sedo ing Demung bin Pangeran Wirasutajaya (Adik Kandung Panembahan
Ratu) bin Pangeran Dipati Anom (Pangeran Suwarga/Pangeran Dalem Arya Cirebon) bin
Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Tajul Arifin) bin Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah Al-Khan).3
Dengan demikian, pada dasarnya Kiai Abbas berasal dari keluarga yang alim dan masih
keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), salah seorang dari anggota Wali
Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sekaligus pendiri Keraton Kasepuhan
Cirebon. Oleh karena itu, selain memiliki darah pejuang dan pemimpin, ia juga aktif dalam
mengabdikan hidupnya untuk bangsa dan tanah air. Terlebih untuk menyebarkan dan
mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat luas yang berada di sekitar wilayah
Pondok Buntet Pesantren Cirebon.
Sepulang dari petualangannya menimba ilmu dari berbagai pondok pesantren,
khususnya Tebuireng dan Jombang, Kiai Abbas segera dinikahkan degan Ny. Chofidloh. Dari
pernikahan ini Kiai Abbas dikaruniai tiga orang putra dan satu orang putri, yaitu: KH Mustahdi
Abbas, Kiai Abdul Rozak, KH Mustamid Abbas, dan Ny. Sumaryam. Setelah Ny. Chofidloh
wafat kemudian Kiai Abbas menikah lagi dengan Ny. I'anah puteri dari Kiai Mun'im, adik dari
Kiai Abdul Jamil.4 Dari pernikahannya yang kedua Kiai Abbas memperoleh dua orang putera
dan empat orang puteri, yaitu: KH Abdullah Abbas, Ny. Qismatul Maula, Ny. Sukaenah, Ny.
Maemunah, KH Nahduddin Royandi Abbas, Ny. Munawwaroh.
Pada masa kanak-kanak ia belajar kepada ayahnya sendiri terutama pengetahuan dasar
ilmu agama, juga kepada kiai lain yang sengaja didatangkan. Menjelang dewasa, ia nyantri
kepada Kiai Nasuha, Jatisari, Plered, Cirebon. Di pesantren ini ia mengkhatamkan kitab fiqh
dan tauhid, antara lain fathul mu'm. Di tahun itu pula ia nyantri kepada Kiai Hasan di Pesantren
Salaf di Sukunsari, Plered, Cirebon. Setelah itu, barulah Kiai Abbas mondok di luar daerah,
tepatnya di Pesantren Giren, Tegal, Jawa Tengah untuk belajar ilmu tauhid kepada ulama
sepuh yang dipimpin oleh Kiai Ubaedah.5 Selanjutnya Kiti Abbas bersama adik kandungnya,
yakni Kiai Anas menimba ilmu ke Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Di sini

1
Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945),
(Jakarta: Pustaka Compass, 2016), hal. 183.
2
Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela
Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2014), hal. 39.
3
Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan..., hal. 150-151.
4
M. Hisyam Mansyur, MS. Amak Ahmadi Bakri, Sekilas Lintas Sejarah Buntet Pesantren Mertapada Kulon,
(1973), hal. 31.
5
Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan Dari Tanah Pengasingan..., 67.
keduanya berguru kepada Hadratm Syekh KH Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) untuk memperdalami ilmu hadits. 6
Kiai Abbas tidak hanya mengeyam pendidikan di dalam negeri saja, tetapi juga belajar
ilmu agama di Timur Tengah. Saat menunaikan ibadah haji Kiai Abbas tidak langsung pulang,
tetapi berguru kepada para ulama baik dari Indonesia maupun dari Timur Tengah. Selama
beberapa tahun Kiai Abbas tinggal di rumah Syekh Ahmad Zubaidi di Mekkah, ia belajar
dengan sejumlah guru diantaranya adalah Syekh Mahfudz dari Termas (Jawa Timur).7
Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pondok Buntet Pesantren dijadikan markas
pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Saat itu, Pondok Buntet Pesantren
menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan
Hizbullah. Organisasi ini diketuai langsung oleh Kiai Abbas dan adiknya Kiai Anas, serta
dibantu ulama lain, seperti Kiai Murtadlo, Kiai Sholeh, dan Kiai Mu ihic. Karena itu muncul
tokoh Hizbullah di zaman pergerakan nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH. Hasyim
Anwar dan KH. Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas sendiri.8
Santri-santri yang telah dilatih di Ponddk Buntet Pesantren Cirebon kemudian dikirim
oleh Kiai Abbas untuk ikut membantu mengusir penjajah yang hendak mencengkram kembali
ke kuasaannya di Indonesia, salah satunya Kiai Abbas mengirim santri pilihannya yang
tergabung dalam Laskar Hizbullah ke Surabaya pada pertempuran 10 November 1945.9
Selain ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan, Kiai Abas pun aktif di Nahdlatul
Ulama (NU). Di organisasi tersebut, Kiai Abbas duduk sebagai anggota Dewan Muhtasyar
Pusat dan Rais A'am Dewan Syuriah NU Jawa Barat.10

6
Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng, Resolusi Jihad Perjuangan Ulama: dari Menegakkan
Agama Hingga Negara. (Tebuireng: Pustaka Tebuireng, 2015), hal. 152.
7
A.G. Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon Ibadat and Adat Amongs Javanese Muslims', (Disertasi
Doctor, Australia: ANU E Press, 1995), hal. 228.
8
Tim Dosen IAIN Syekh Nujati Cirebon, Pondok Pesantren Di Wilayah III Cirebon, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2014), 121.
9
Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari tanah pengasingan..., hal. 92.
10
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Laporan Hasil Penelitian, (Bandung:
Universitas Padjadjaran (UNPAD), tt.), hal. 103.
KH. Muhyidin (1880-1973)

KH. Muhyiddin adalah seorang ulama besar yang lahir di Garut, tepatnya di sebuah
daerah yang bernama Kampung Banyuresmi. Beliau lahir tepat pada saat gunung krakatau
meletus sekitar tahun 1882. KH. Muhyiddin adalah putra dari pasangan suami istri Bapak
Ahmad Narif dan ibu Eno. sejak kecil KH. Muhyiddin sudah terlihat cerdas dan pintar, karena
itu, beliau kemudian dimasukan ke beberapa pesantren yang berada didaerah Garut.
Pesantren terakhir tempat beliau menuntut ilmu adalah pesantren milik KH.Abdul
Hamid, yang kemudian menjadi mertuanya; ayah dari istri pertamanya yaitu Ibu Quraesyin.
KH. Muhyiddin telah menjadi seorang ulama walaupun usianya masih muda. Beliau menjadi
tokoh panutan yang begitu dekat dengan masyarakat yang pada saat itu sangat mendambakan
sosok tokoh yang mengerti tentang agama Islam. bersama KH. Abdul Hamid, beliau
berdakwah dan mendidik masyarakat yang masih sangat minim terhadap pengajaran agama.
Berkat dakwah beliau, kekacauan-kekacauan yang kerapkali terjadi di masyarakat pun
akhirnya bisa terkendali.
K.H. Mustofa Kamil (1884- 1945)

K.H. Mustofa Kamil (Nama Kecil: Muhamad Lahuri) lahir pada tanggal 5 Agustus
1884 di Kampung Bojong, Desa Pasirkiamis, Kecamatan Tarogong, Garut. Muhamad Lahuri
ialah anak pertama dari pasangan K.H. Muhamad Jafar Sidiq dan Hj. Siti Habibah. Muhamad
Lahuri memiliki adik sebanyak lima orang, yaitu Ma Icih, K.H. Oong Satibi, K.H. Muhamad
Munir, Ma Iyo, dan Hj. Rohmat.11
Menurut salah satu sumber, kalau dirunut ke atas dari ayahnya, K.H. Mustofa Kamil
merupakan keturunan ke-13 dari Syeh Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati
Cirebon). Sunan Gunung Jati merupakan salah satu wali songo yang ada di Jawa Barat. Oleh
karena itu, K.H. Mustofa Kamil dan ayahnya merupakan keturunan wali. Secara terperinci
keturunan K.H. Mustofa Kamil dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Syeh Maulana Syarif Hidayatullah
2. Syeh Qomaruddin
3. Kiai Bagus Saca
4. Kiai Bagus Shulthon Amir
5. Kiai Bagus Abdul Soleh
6. Kiai Bagus Abdul Muharri
7. Kiai Bagus Muhaddor
8. Kiai Rohmanuddin
9. Kiai Bagus Nur Qossim
10. Kiai Bagus Nurjaim
11. K.H. Muhamad Qossim
12. K.H. Muhamad Jafar Sidiq
13. K.H. Mustofa Kamil12
Masa kecil Muhamad Lahuri banyak dihabiskan di kampungnya. Beliau belajar agama
Islam langsung dari ayahnya sendiri dan mengaji bersama dengan temannya di pesantren milik
orang tuanya. Masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu dari satu pesantren ke
pesantren lainnya. Nama-nama pesantren yang pernah dijadikan tempat menuntut ilmu oleh
beliau diantaranya: Pesantren Biru, Sukagalih Garut, pimpinannya Kiai Muhammad Fatah,
Pesantren Pangkalan, pimpinannya Kiai Kartubi, Pesantren Dukuh, pimpinannya K.H.
Sjarbini, Pesantren Surajaya, Cirebon, Pesantren Kuningan, pimpinannya K.H. Abdulqohar,
dan Pesantren Jombang, Jawa Timur pimpinannya K.H. Hasyim Asyari.13
Pada tahun 1900-an Muhamad Lahuri menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam
ilmu agama Islam di pesantren Masjidilharam, Mekah. Setelah pulang dari Mekah inilah beliau
berganti nama menjadi K.H. Mustofa Kamil.14 Dari perjalanan spiritualnya tidak diragukan lagi
kapasitas keilmuan beliau dalam bidang agama. Nilai-nilai dan pemahaman yang luas tentang
agama inilah yang memotivasi dan menginspirasi beliau dalam menjalani kehidupan nyata di
tengah-tengah masyarakat.
Ketika terjun ke masyarakat, beliau berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwanya tanah
airnya berada di bawah dominasi kekuasaan asing, Pemerintah Hindia Belanda. Tak pelak lagi,
melihat kenyataan itu jiwanya berontak karena semuanya bertolak belakang dengan nilai-nilai
keislaman yang dipahaminya, yakni Islam mengajarkan kemerdekaan, keadilan, kesetaraan, dan
sebagainya. Ekspresi pemberontakannya diwujudnya melalui media pengajian, khutbah, tulisan,

11
Budi Suhardiman, KH. Mustofa Kamil: Sang Pendekar dari Kota Intan, (Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), hal. 11.
12
Suhardiman, KH. Mustofa Kamil..., hal. 13.
13
Suhardiman, KH. Mustofa Kamil..., hal. 26.
14
Suhardiman, KH. Mustofa Kamil..., hal. 14.
aktif di organisasi pergerakan, rapat terbuka, dan sebagainya. Di banyak kesempatan beliau
membangkitkan kesadaran masyarakatnya untuk merdeka, mewujudkan keadilan, kesamaan hak,
dan seterusnya.15
Riwayat perjuangan Haji Mustafa Kamil diawali dengan keikutsertaanya dalam organisasi
SI cabang Garut. Ia dikenal sangat berani menentang berbagai aturan pemerintah kolonial Belanda
dan Jepang. Karena sikapnya itulah, ia sempat 14 kali ditangkap dan dipenjarakan oleh
pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Dalam pendapatnya, bahwa Belanda maupun Jepang
sama-sama penjajah yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Belanda dan Jepang harus dilawan
dan diusir dari Indonesia. Setelah Indonesia Merdeka, perjuangan Mustafa Kamil tidak surut. Pada
saat Bung Tomo mengumandangkan takbir jihad untuk melawan Sekutu yang mendarat di
Surabaya, Mustafa Kamil menyambutnya dengan gagah berani. Saat itu ia pergi ke Surabaya
dengan anggota laskar rakyat untuk bergabung dalam pertempuran. la berangkat bersama anggota
pasukan lainnya melalui Banjar, Yogya, dan Malang, kemudian ikut menggempur Surabaya. 16
Setelah pertempuran, Mustafa Kamil tidak diketahui keberadaannya. Sampai akhirnya
diperoleh informasi, bahwa Haji Mustafa Kamil gugur pada 10 November 1945, saat terjadi
pertempuran melawan Sekutu di daerah Gedangan (Sidoarjo). Masyarakat yang menjadi saksi
mata menuturkan, bahwa Mustafa Kamil gugur setelah ditangkap dan dianiaya pasukan Belanda.
Jenazahnya oleh masyarakat setempat dimakamkan di tempatnya meninggal dunia. Barang-barang
yang ditinggalkan hanyalah pakaian, topi, dan untaian tasbih. Untuk menghormati kejuangannya,
Pemerintah kemudian memindahkan jenazah Haji Mustafa Kamil ke Taman Makam Pahlawan
Surabaya. Ia pun dianugerahi pangkat Letkol (Anumerta).17
Keikutsertaan K.H. Mustofa Kamil dalam pertempuran di Surabaya ditegaskan melalui
Surat Persaksian BKS Ulama-Militer Pusat. Sejalan dengan itu, sebagai penghargaan atas
pengorbanannya bagi kemerdekaan bangsa dan Negara, melalui Surat Keputusan Menteri
Sosial No. Pol. 159/PK tertanggal 23 Februari 1959 Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan K.H. Mustofa Kamil sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan Republik
Indonesia.18 Sementara itu, pemerintah kabupaten Garut mengabadikan namanya pada sebuah
jalan yang membentang sepanjang dua kilometer di Ciawitali bersebelahan dengan Jln. Arudji
Kartawinata, tidak jauh dari Terminal Guntur, Garut.

15
Mumuh Muhsin Z., Kiai Jerajak dari Kota Intan: Kepahlawanan K.H Mustofa Kamil (1884-1945) dalam
Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, Makalah disampaikan dalam “Seminar
Nasional Pengusulan alm. K.H. Mustofa Kamil sebagai Pahlawan Nasional” Diselenggarakan pada Hari Kamis
tanggal 23 April 2009, di Pendopo Kabupaten Garut.
16
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 104.
17
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 104-105.
18
Mumuh Muhsin Z., Kiai Jerajak dari Kota Intan..
K. H. Ahmad Sanusi (1888-1950)

KH. Ahmad Sanusi (disingkat menjadi KHAS) dilahirkan pada 3 Muharam 1036
Hijriah atau 18 September 1889 di Desa Cantayan, Kecamatan Cikembar, Kawedanaan
Cibadak, Afdeling Cibadak. Tanggal kelahiran tersebut sesuai dengan yang tertera di atas batu
nisan makam KHAS di kompleks Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi yang
didirikan oleh KHAS. Dia merupakan anak ketiga dari K. H. Abdurrahim bin H. Yasin dari
isterinya yang pertama bernama Epok. Ayahnya dikenal pula sebagai Ajengan Cantayan. 19
Sejak kecil dia terbiasa dengan lingkungan pesantren untuk belajar Ilmu Agama Islam.
Mula-mula Ahmad Sanusi belajar Ilmu Agama Islam di pesantren Cantayan milik orang
tuanya sendiri sampai dengan usia lima belas tahun. Setelah dianggap cukup dewasa dia
disuruh belajar di luar lingkungan pesantren yang dipimpin ayahnya. Hal ini dimaksudkan
agar KHAS selain memperdalam Ilmu Agama Islam juga untuk menambah pengalaman dan
memperluas pergaulannya dengan masyarakat.
Setidaknya-tidaknya ada sembilan pesantren yang pernah dimasuki Ahmad Sanusi,
baik yang ada di Sukabumi maupun yang ada di luar Sukabumi. Kesembilan pesantren itu
adalah Pesantren Selajambe (Cisaat), Pesantren Sukamantri (Cisaat), Pesantren Sukaraja
(Sukaraja), Pesantren Cilaku (Cianjur), Pesantren Ciajag (Cianjur), Pesantren Gudang
(Tasikmalaya), Pesantren Gentur (Warungkondang, Cianjur), dan Pesantren Keresek serta
Pesantren Bunikasih yang kedua-duanya berada di Garut.20
Pada tahun 1910, Ahmad Sanusi menikahi Siti Juwariyah dan beberapa bulan
kemudian, Ahmad Sanusi dan istrinya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Setelah seluruh rukun dan syarat haji ditunaikan, H. Ahmad Sanusia tidak langsung pulang ke
kampung halamannya, melainkan justru bermukim di kota suci itu. Ia bermaksud menimba
ilmu kepada beberapa orang guru atau syeikh dengan harapan pengetahuan keislamannya
semakin mendalam.21
Tahun-tahun pertama mukimnya H. Ahmad Sanusi di Mekkah, jadi antara tahun 1910-
1911, ia bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka. Oleh karena mereka berasal dari
satu daerah yang sama yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah
persahabatan. Konon katanya mereka bersepakat bahwa jika kelak kembali ke Indonesia,
mereka akan berjuang membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda melalu pendidikan.
Sekitar tahun 1911, H. Abdul Halim pulang ke kampung halamannya, sedangkan H. Ahmad
Sanusi masih bermukim di Mekkah karena belum menyelesaikan pendidikan agamanya.
Ketika H. Ahmad Sanusi pulang ke Cantayan pada Juli 1915, hubungannya dengan H. Abdul
Halim diteruskan dan mereka mulai berusaha mengimplementasikan cita-citanya
membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan. Dari hubungan itulah,
kelak di kemudian hari lahir sebuah organisasi yang bernama Persatuan Umat Islam (PUI)
yang merupakan organisasi massa hasil fusi antara PUI dan PUII.22
KHAS memiliki pandangan yang revolusioner dan sering menentang pemerintahan
Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1927, KHAS ditangkap oleh Pemerintah Hindia
Belanda dengan alasan KHAS menyebarluaskan faham revolusioner dan untuk menjaga
ketentaraman umum, walaupun pihak pemerintah tidak memiliki bukti. Akhirnya KHAS
diasingkan ke Tanah Tinggi Batavia Centrum tanpa proses pengadilan.23
19
Sulasman, “Kyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen”, Jurnal Sejarah Lontar, Vol.5
No.2 Juli - Desember 2008, hal. 36.
20
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, (Bandung: Masyarakat Sejarawan Indonesia
Cabang Jawa Barat bekerja sama dengan Pemerintah Kota Sukabumi, 2009), hal. 11-12.
21
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hal. 23.
22
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K. H. Abdul Halim, (Bandung: MSI Cabang Jawa Barat, 2008), hal.
18.
23
Sulasman, “Kyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen”, hal. 38.
Ketika berada dalam tahanan di Batavia Centrum, pada awal Nopember 1931, Ahmad
Sanusi mengesahkan berdirinya organisasi Al-Ittihadijatul Islamijjah (AII). Pendirian AII
disamping sebagai perlawanan terhadap kaum Kolonial, juga sebagai reaksi terhadap
kelompok reformis (mujaddid). AII memusatkan perhatiannya dalam bidang sosial dan
pendidikan. AII berazaskan Islam dan bertujuan menuju kebahagiaan ummat dengan
berpegang kepada madzhab Ahlus Sunnah wal-Jama 'ah. Pada perkembangan selanjutnya,
meskipun secara resmi AII menyatakan dirinya bukan sebagai organisasi politik, namun
menjelma menjadi sebuah organisasi paling militan di Karesidenan Priangan dan Bogor.
Aktivitas AII tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga dalam ranah pergerakan nasional.
Pada pelaksanaan kongres AII pertama tahun 1935, hadir sebagai pembicara K. H. Abdul
Halim dari Persjarikatan Oelama. Mulai saat itulah jalinan persahabatan antara keduanya
terajut kembali.24
Pada masa Pendudukan Jepang (1943), ia diangkat menjadi Penasihat Pemerintahan
Keresidenan Bogor. Tahun 1944, ia pun diangkat menjadi Wakil Residen Bogor. Selanjutnya
ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia. Ia pun masuk
anggota KNIP dan ikut ke Yogyakarta. Setelah kembali ke Sukabumi, pada tahun 1950,
Ajengan Sanusi wafat. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia
menganugerahkan Bintang Maha Putera Utama.25
Sebagai seorang ahli fikir dalam bidang Ilmu Agama Islam, KHAS menghasilkan
beberapa karya tulis diantaranya Tahdzirul Awam min Mardliyyah fi Mukhtasaril Furu' as
Syafi'iy, Al-Lu'luun Nadlid, Majaut Thalibin, Raudlatul Irfan fi Ma'rifati Al-Quran, Tafsir
Fatihah, Tafsir Yasin, Tafsir Surat Kahfi, dan Tafsir Surat Al- Waqiah. KHAS juga berhasil
mencetak kadernya yang dikemudian hari menjadi tokoh di antaranya Prof. Dr. K. H. Ibrahim
Husen, Dr. K. H. E. Z. Muttaqien, K. H. Ishaq Farid, K. H. Choer Affandi, K. H. Yusuf Taujiri,
K. H. Sholeh Iskandar, dan lain-lain.26

24
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 109-110.
25
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 110.
26
Sulasman, “Kyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen”, hal. 38.
KH. Syaikhuna Badruzzaman (1900-1972)

KH. Badruzzaman lahir di Biru pada tahun 1900. Beliau adalah putra kelima dari
sembilan bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Raden Muhammad Faqih bin Kyai Raden
Bagus Muhammad Ro'i yang lebih populer dengan panggilan "Ama Biru (Sesepuh Biru)".
Ibunya bernama Hj. Kulsum, seorang perempuan shalihah yang tekun melaksanakan ibadah,
rajin melaksanakan dzikir, membaca shalawat, dan banyak membaca al-Quran. Secara
geneologis, silsilah nasab K.H. Badruzzaman sampai kepada Sunan Gunung Djati atau Syekh
Syarif Hidayatullah.27
K.H. Badruzzaman berguru kepada banyak ulama dari berbagai pesantren. Beliau
mengaji dasar-dasar ilmu agama yang berkait dengan ubudiyyah dan akhlaq dari ayahnya.
Ayahnya sendiri, K.H. Faqih adalah seorang ulama besar yang berpengaruh. Selain itu, beliau
juga mengaji kepada pamannya dari pihak Ibu di Pesantren Pangkalan Tarogong yakni KH.
R. Qurtubi dan selanjutnya pindah ke pondok yang diasuh oleh kakaknya KH. Bunyamin
(Syaikhuna Iming) di Ciparay Bandung. Kemudian beliau mendalami ilmu di Pondok
Pesantren Cilenga Tasikmalaya, selanjutnya di Pondok Pesantren Balerante Cirebon.28
Pada tahun 1920, beliau bersama kakaknya Syaikhuna Iming berangkat ke Tanah Suci
untuk mendalami ilmu keislaman, bermukim selama tiga tahun. Tahun 1926, beliau ke Mekah
lagi untuk kedua kalinya bermukim selama tujuh tahun. Diantara guru-guru beliau di Mekah
adalah : Syeikh Alawi Maliki (Mufti Mekah dari madzhab maliki), dan Syeikh Sayyid Yamani
(Mufti Mekah dari madzhab Syafi’i). Di Mekah, beliau mempunyai teman diskusi yaitu KH.
Kholil dari Bangkalan Madura (Syeikh Kholil), sedangkan di Madinah beliau berguru kepada
Syeikh Umar Hamdan (seorang Muhadditsin dari madzhab Maliki).29
Pada masa revolusi, beliau terjun dan bergabung dalam Hizbullah memimpin
perlawanan terhadap penjajahan dengan mengkader para mujahid melalui khalwat. Pesantren
Al-Falah Biru menjadi tidak aman dan menjadi sasaran musuh sehingga beliau memutuskan
untuk mengungsi dan singgah di Cikalong (Wetan Purwakarta), Padalarang, Majenang (Jawa
Tengah) dan Taraju (Tasik) dengan terus mengembangkan ilmu ditempat-tempat itu.
Dalam kehidupan politik dan organisasi, beliau beserta kyiai lain diantaranya KH.
Mustafa Kamil mendirikan Organisasi al-Muwafaqoh sebagai wadah penyalur aspirasi umat
islam untuk mengusir penjajah Belanda dan dipercaya sebagai ketua. Pada tahun 1942, beliau
bersama KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) mendirikan Persatuan Ulama, untuk mengikat ulama
dalam satu wadah. Tahun 1951, organisasi ini berfungsi dengan Persyarikatan Umat Islam di
Majalengka yang kemudian menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 beliau bergabung dengan Masyumi dan
dipercaya menjadi anggota Majlis Syura dan kemudian aktif di PSII sebagai Ketua Masywi
wilayah Jabar dan pada tahun 1967 atas ajakan keluarga dekatnya, KH. Badruzzaman masuk
partai PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) duduk sebagai Majlis Tahkim.
Di sela-sela aktivitasnya, ia pun tetap mengembangkan dan pengamal Tarekat
Tijaniyah serta menulis beberapa buku, di antaranya: Risalah Tauhid dan Allohu Robbuna,
Kaifiyat Shalat, Kaifiyat Wudhu, Nadzom Taqrib, Syarah Safinatun Naja, risalah ilmu Nahwu,
risalah ilmu sharaf, Nadzom Jurumiah, ilmu Bayan dalam bentuk Nadzom; serta Siklus Sunni.
K. H. Badruzzaman wafat tahun 1972 dalam usia 72 tahun di pesantren Biru, Garut.30

27
Mumuh Muhsin Z., Perjuangan K.H. Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan
Mengisi Kemerdekaan (1900-1972), (Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Uniersitas Padjadjaran, 2011),
hal. 16-17.
28
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 117.
29
Mumuh Muhsin Z., Perjuangan K.H. Syaikhuna Badruzzaman..., hal. 21-22.
30
Nina H. Lubis dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, hal. 119.
K.H. R. Abdullah Bin Noeh (1905-1987) Cianjur-Bogor
KH. Ruhiat (1911-1977) Cipasung

Anda mungkin juga menyukai