Di buku-buku sejarah yang mengulas mengenai profil Wolter Monginsidi, dikatakan bahwa
beliau dilahirkan di Desa Mamayang, Manado pada tanggal 14 Februari 1925. Ayahnya
bernama Petrus Monginsidi dan ibunya bernama Lina Suawa. Ia biasa dipanggil dengan nama
‘Bote’.
Meskipun tumbuh di masa-masa sulit, sejak kecil ia dikenal sebagai pemberani dan
memegang teguh kebenarannya. Pendidikan Wolter Monginsidi dimulai di HIS (Hollandsch-
Inlandsche School). Tamat dari sana ia kemudian belajar di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) Flater, Manado.
Ketika baru saja naik kelas 2, Perang Pasifik pecah. Tak lama kemudian, ia melanjutkan
sekolahnya di Sekolah Pegawai dan Calon Guru Bahasa Jepang di wilayah Tomohon. Tamat
dari situ beliau kemudian mulai mengajar bahasa Jepang diberbagai tempat.
Awalnya ia mengajar di Liwutung, Sulawesi Utara kemudian pindah ke Luwuk, Sulawesi
Tengah dan terakhir ia ke Makassar, Sulawesi Selatan. Disana ia sudah masuk di SNIP
Nasional pada tahun 1945. Disaat itu juga proklamasi kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Wolter Monginsidi dan Perlawanan Terhadap Belanda
Namun setelah itu, Belanda yang dibonceng oleh NICA kembali ke Indonesia. Perang
kemudian terjadi di berbagai tempat termasuk di Sulawesi Selatan. Melihat keadaan tersebut,
Wolter Mongisidi terpanggil untuk ikut berjuang dan disinilah semangat patriotnya muncul.
Bersama dengan para pemuda lain, Wolter Monginsidi bergabung dalam LAPRIS (LAskar
Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan) dibawah kepemimpinan Ranggong Daeng Romo
diwilayah Polobangkeng, Makassar.
Oleh Belanda, Wolter Monginsidi sudah dianggap sebagai pemberontak dan gerilyawan.
Meskipun begitu, Pasukan Belanda kerap kerepotan terhadap perlawanan dari Wolter
Monginsidi dan para pemuda lainnya yang menggunakan taktik perang gerilya.
Perlawanan Wolter Monginsidi terhadap Belanda akhirnya kandas saat ia tertangkap pada
tanggal 28 februari 1947 di SMP Nasional Makassar. Beliau akhirnya dijebloskan ke penjara.
Namun pada bulan Oktober 1947, ia bersama dengan tiga tahanan lain meloloskan diri dari
penjara melalui cerobong asap di dapur.
Namun untuk kedua kalinya belia tertangkap dan kemudian dijebloskan kembali ke penjara di
tangsi batalyon KNIL Belanda di jalan Mattoangin, Makassar dan dijatuhi vonis hukuman
mati pada tanggal 26 maret 1949.
Menurut Drs. Yusuf Bauty yang ketika itu dipenjara bersama Wolter Monginsidi, Belanda
ketika itu sempat menawarkan grasi (pengampunan) kepada Wolter Monginsidi namun ia
tolak dengan alasan mengajukan grasi sama saja seperti penghianatan bagi teman-temannya
dan juga keyakinannya. (majalah Intisari, 1975). Di penjara, Wolter Monginsidi lebih banyak
membaca buku-buku sejarah dan pelajaran bahasa. Ia juga rajin membaca kitab Injil.
RA KARTINI
Lahir dari keluarga bangsawan, ia gunakan kesempatan itu untuk memajukan perempuan
pribumi Jawa. Ia meninggal pada usia 25 tahun dan hari kelahirannya diperingati sebagai
Hari Kartini.
Raden Adjeng Kartini atau lebih sering dikenal dengan nama R. A. Kartini merupakan salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi
kala itu.
Wanita yang lahir di Jepara, 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan
Jawa. Ia putri dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M. A. Ngasirah. Sang
ibu merupakan istri pertama namun bukan yang utama.
Kala itu, sang ayah merupakan seorang Wedana (kepala wilayah administrasi
kepemerintahan di antara kabupaten dan kecamatan). Ada kebijakan dari pemerintah
Belanda, jika ingin menjadi bupati, maka ayah Kartini harus menikah dengan keturunan
priyayi juga.
Sementara M. A. Ngasirah hanyalah orang biasa. Ibunya Kartini itu merupakan anak dari
Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, yang merupakan guru agama di Telukawur,
Jepara. Sedangkan sang ayah masih berada di garis keturunan Hamengkubuwono VI.
Karena situasi keluarga yang seperti itu, ayah Kartini pun memutuskan untuk menikah lagi
dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.
Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara yang terdiri dari saudara kandung dan
saudara tirinya.
Selama sekolah di ELS, Kartini belajar Bahasa Belanda. Karena bisa berbahasa Belanda
tersebut, di rumah pun Kartini tetap belajar dan berkirim surat kepada teman-teman
korespondensi dari Belanda salah satunya Rosa Abendanon dan Estelle "Stella"
Zeehandelaar. Bahkan, beberapa kali tulisan Kartini dimuat dalam majalah De Hollandsche
Lelie.
Dari berbagai buku, majalah, dan surat kabar Eropa, Kartini mulai tertarik dengan cara
berpikir wanita-wanita Eropa yang lebih bebas dan maju ketimbang wanita-wanita pribumi
kala itu. Dari sanalah timbul keinginannya untuk memajukan para perempuan pribumi yang
dinilai masih memiliki tingkat sosial yang rendah.
Karena kondisinya dipingit, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan Kartini di luar rumah.
Namun, bukan berarti dia berdiam diri. Aktivitas surat-menyurat Kartini menjadi senjata
perjuangannya. Surat-surat yang ditulisnya lebih banyak berisi keluhan-keluhan tentang
kehidupan wanita pribumi khususnya Jawa yang sulit untuk maju.
Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu, dan juga
adat yang mengekang kebebasan perempuan. Kartini menginginkan emansipasi, seorang
perempuan harus memperoleh kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun di
mata hukum.
Kartini juga mengungkit isu agama seperti poligami dan alasan mengapa kitab suci harus
dihapal dan dibaca tapi tidak perlu dipahami. Bahkan, ada kutipan dari Kartini yang berkata,
“Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat
orang atas nama agama itu.”
Daya nalar Kartini makin matang. Ketika ia menginjak usia 20 tahun, Kartini membaca buku-
buku karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max
Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis. Semuanya
menggunakan bahasa Belanda.
Tinggal di Jepara membuat Kartini merasa tidak begitu berkembang. Dengan fasilitas yang
dimiliki keluarga, ia pun ingin melanjutkan sekolah ke Jakarta atau ke Belanda. Tapi
orangtuanya tidak mengizinkannnya meskipun tidak melarangnya untuk menjadi seorang
guru.
Kartini pun mengurungkan niatnya dan tetap menjalani hidupnya di Jepara. Pada usia 24
tahun, ia diminta orangtuanya untuk menikah. Kartini menyetujui dan menikah dengan K. R.
M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati
Rembang yang telah memiliki 3 istri.
Meski sudah menjadi istri, Kartini tetap bersemangat ingin menjadi guru dan mendirikan
sekolah. Keinginan Kartini disambut baik suaminya. Kartini memperoleh kebebasan dan
didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
Kabupaten Rembang.
Meski sudah meninggal, perjuangan Kartini lewat surat-suratnya memiliki arti penting bagi
kedudukan wanita Indonesia. Salah satunya, buku "“Habis Gelap Terbitlah Terang".
Berkat jasanya, R. A. Kartini ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia
pada era pemerintahan Soekarno dengan dasar hukum Keppres No.108 Tahun 1964 yang
ditetapkan pada 2 Mei 1964 dan menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. (AC/DN)