Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

DAMPAK PERLAWANAN K.H ZAINAL MUSTHAFA DAN SATRI

A. Sikap Jepang Dalam Menghadapi Perlawanan K.H Zainal Musthafa dan

Santri

Dalam menghadapi perlawanan ini tentara Jepang mengunakan

segenap kekuatannya. Tidak tanggung-tanggung mereka mengerahkan enam

kompi pasukan dengan senjata lengkap, masing-masing terdiri dari satu kompi

pasukan pejalan kaki yang berfungsi sebagai pasukan penutup untuk

mencegah adanya pelarian-pelarian dari Sukamanah, dua kompi polisi

(Kempetai), dua kompi Heiho dari luar Jawa Barat dan satu kompi pasukan

istimewa Jepang (Tokubetsu Keisatsu), sehingga merupakan satu batalyon

penuh. Dengan kekuatan yang besar tersebut pasukan Jepang menyerang

Sukamanah bahkan mampu merobek pertahanan dan menangkapi seluruh

pimpinan perlawanan yang memang menjadi sasaran mereka.

Asrama-asrama dirusak, barang-barang berupa pakaian, perhiasan,

sepeda, buku dan apa saja yang berharga kepunyaan santri, rakyat dan

pimpinan Sukamanah dirampok dan diangkut karena dianggap sebagai harta

rampasan perang milik Dai Nippon.

Pengejaran terhadap sisa-sisa pasukan Sukamanah diteruskan,

sedangkan di atas Sukamanah meraung-raung sebuah pesawat pembom

Jepang yang melayang berputar-putar selama dua hari dua malam dengan

dikawal oleh empat buah pesawat pemburu yang mengawasi dan menakut-

72
73

nakuti rakyat agar tidak membantu buronan Sukamanah. Pamplet-pamplet

disebar dari udara berisi hukuman mati bagi mereka yang simpatik membantu

Sukamanah. Dengan demikian seluruh pengikut K.H. Zainal Mustafa telah

menjadi buronan umum, kemanapun mereka bersembunyi tidak lepas dari

bahaya yang selalu mengancam jiwanya untuk ditangkap dan diserahkan

kepada pemerintah fasis Jepang. Pada tanggal 26-29 Februari 1944 semua

tempat tahanan di Singaparna dan Tasikmalaya sudah penuh sesak oleh

tahanan yang sudah mendekati jumlah 1000 orang (Benda, 1980:124).

Menjelang pemeriksaan umum dimulai, K.H. Zainal Mustafa masih

sempat menyampaikan instruksi kepada pengikutnya agar menjawab semua

pertanyaan yang dilontarkan pihak Jepang dengan tepat. Jawaban mereka

harus diusahakan agar dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dan jangan

sampai merugikan orang lain, kalau mereka harus menyebutkan nama maka

dianjurkan menyebutkan nama mereka yang sudah meninggal, dengan

demikian tentara Jepang tidak akan membawa korban yang lebih banyak

karena jelas orang yang sudah meninggal tidak dapat ditanyai. Apabila rakyat

dibebani tanggung jawab, maka K.H. Zainal Mustafa menyerukan agar

tanggung jawab itu dipikulkannya. Dalam hal ini menunjukkan dirinya

sebagai pemimpin yang bertanggung jawab (Sagimun, 1979:65).

Pemeriksaan secara intensif dilakukan secara terus menerus selama

tiga bulan dari Maret sampai dengan Mei. Selama itu pula cara-cara seperti

ejekan, hinaan dan siksaan untuk mengorek keterangan dari yang terlibat,

menjadi kegiatan Jepang sepanjang hari. Pada pertengahan bulan Mei 1944
74

pemeriksaaan dianggap selesai dan para tahanan oleh tentara Jepang dibagi

menjadi tiga klasifiksi berdasarkan berat ringannya kesalahan menurut selera

mereka:

1. Golongan yang dianggap tidak penting atau tidak bersalah. Golongan yang

pertama ini dikembalikan ke kampung halaman masing-masing. Banyak

diantara mereka yang mengalami cacat fisik seperti tuli, rontok gigi, gegar

otak bahkan meninggal akibat siksaan Jepang.

2. Golongan yang dianggap kader, tetapi tidak jelas peranannya dalam

pemberontakan. Golongan ini mendapat hukuman penjara 5 sampai 15

tahun. Ini termasuk Kol. Syarif Hidayat Danoemiharja. Mereka ini

dipindahkan dari Tasikmalaya ke penjara Sukamiskin di Bandung.

Semuanya berjumlah 79 orang. 41 orang dapat dibebaskan setelah

proklamasi kemerdekaan RI oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR)

pimpinan Bapak Arudjikartawinata, sedangkan 38 lainnya meninggal

dunia di penjara Sukamiskin akibat siksaan.

3. Golongan pemimpin, tokoh atau mereka yang mempunyai peranan

menonjol dalam pertempuran dan tersangkut langsung dalam peristiwa

matinya 3 opsir Jepang. Golongan ini berjumlah 22 orang, termasuk K.H

Zainal Mustafa. Golongan ini divonis hukuman mati. Mereka dipindahkan

dari bui Tasikmalaya ke penjara Cipinang Jakarta. Satu orang meninggal

di Tasikmalaya akibat siksaan kempetai di sana. Adapun nama-nama yang

dipindahkan ke Cipinang adalah: (Subhan, 1980: 125-126).

a. K.H. Zainal Mustafa b. Tahri


75

c. Kiai Domon m. Saefuddin

d. Syamsuddin n. Namri

e. Kiai Aip Abdul Hakim o. Asikin

f. Husen p. I'i Syahroni

g. Kiai Najmuddin. q. Sarkosih

h. Endin r. Amma

i. Kiai Ahmad Hidayat s. Ahmad

j. Umar t. Abdul Razak

k. Haji Hafid u. Adung A. Karim

l. Hambali v. Hadori

Sampai tahun 1970 sejak terjadinya protes tidak ada seorang pun yang

dapat memberi keterangan mengenai nasib K.H. Zainal Mustafa dan

rombongannya itu. Baru pada 23 Maret 1970 atas jasa Nugroho Notosusanto,

kepala pusat sejarah ABRI, misteri itu terkuak. Menurutnya, K.H. Zainal

Mustafa telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan

dikebumikan di Evereld (Taman pahlawan) Ancol, Jakarta.

Sementara itu sebagai langkah antisipatif agar pemberontakan

Sukamanah ini tidak mendapat simpati dari masyarakat Indonesia secara luas,

khususnya umat Islam, dengan liciknya penguasa Jepang tetap berusaha

memperlihatkan sikap simpatik. Padahal itu tidak menutupi adanya

kepentingan politik mereka. Dengan retorika politiknya, penguasa Jepang

tetap tidak mempersalahkan atau menuduh para pemimpin Islam akibat aksi

perlawanan di sukamanah itu. Selang tiga minggu dari kejadian, penguasa


76

Jepang memberikan keterangan resminya. Memang ia tidak menyalahkan

Islam, tetapi keterangan resmi itu sangat Abdul Razakmenyudutkan posisi

K.H. Zainal Mustafa pribadi. Keterangan penguasa Jepang tersebut berbunyi:

Ternyata dari pemeriksaan itu, bahwa perusuh itu berdasarkan

kelakuan seorang yang sesat pikirannya, yaitu seorang penghasut yang

bernama KH Zainal Mustafa, yang telah kemasukan kepercayaan salah

tentang agama, dan dalam hal itu diikuti oleh sebahagian penduduk diwilayah

itu. Kiai itudahulu pernah mendapat hukuman 8 tahun yang lalu, ia telah jatuh

ke dalam. keadaan orang yang sesat pikirannya yang menamakan dirinya

sendiri sebagai wali Allah menurut perintah nabi Muhammad. Kemudian

untuk melaksanakan ciptaannya yang sesat itu ia telah menghasut penduduk

yang baik di Singaparna. Akhirnya pada tanggal 8 bulan 2 yang lalu, ia telah

mengumpulkan pengikut-pengikut dalam kepercayan yang sesat itu di sekolah

agama di sana serta mengperlawanan suatu tindakan yang amat jahat”(Kanpo,

8 Maret 1944: 28-30).

Dari pernyatan itu justru dapat terlihat bagaimana Penguasa Jepang

berusaha memecah belah umat Islam. Mereka mencoba menafikan figur Kiai

dan mereduksinya menjadi masalah yang sangat individual.

Usaha lain guna menawan hati ummat Islam, pengusa Jepang semakin

getol merangkul para pemimpin Islam. Satu minggu pasca pemberontakan,

Priangan Syucokan yaitu Wiradiputra segera mengadakan pertemuan dengan

alim ulama di sana. Kurang lebih 150 alim ulama diundang di kediamannya di

Bandung. Ia dengan terus terang meminta kerjasama ulama untuk


77

menenangkan umat dan membantu Jepang dalam peperangan Asia Timur

Raya, karena menurutnya hal tersebut adalah kewajiban bersama rakyat

Indonesia (Asia Raya, 4 Maret 1994: 59).

Suatu langkah yang jauh lebih penting diambil para penguasa militer

sebelum laporan resmi mengenai pemberontakan Tasikmalaya diedarkan,

yaitu pada 5 maret 1944, pemerintah Jepang mengumumkan berdirinyanya

sebuah kantor bernama Shumuka (Kantor Urusan Agama) yang mengurus

masalah-masalah Islam di setiap keresidenan, kota praja dan kesultanan, yang

disebutkan sebagai upaya Jepang untuk dapat mengawasi dan mengadakan

kontak lebih rapat dengan penganut Islam pedesaan. Bahkan untuk menduduki

jabatan penting di kantor tersebut, pemerintah Jepang mengangkatnya dari

kalangan Islam terkemuka setempat (Asia Raya, 5 Maret 1944: 57).

B. Dampak Perlawanan K.H Zainal Musthafa dan Santri

Meletusnya perlawanan K.H Zainal Musthafa terhadap Jepang pada

tahun 1944 membawa dampak. Dampak langsung dari terjadinya perlawanan

tersebut adalahn berupa kerugian jiwa bagi masyarakat dan santri Sukamanah

di satu pihak dan juga penguasa militer Jepang di pihak yang lain. Masing-

masing telah diperincikan sebagai berikut :

Pihak Sukamanah

1. Gugur dalam pertempuran dan dikuburkan di Makam Pahlawan

Sukamanah 86 orang

2. Gugur dalam pertempuran dan dikuburkan di Kampung halaman masing


78

maasing 35 orang

3. Gugur di Siksa di dalam tahanan Singaparna 4 orang

4. Gugur disiksa dalam tahanan kampetai Tasikmalaya 3 orang

5. Gugur dalam tahanan Sukamanah Bandung 38 orang

6. Hukum mati termasuk K.H Zainal Musthafa dan Santri 22 orang

7. Asrama hancur 6 buah

8. Sepeda 100 buah

Pihak Jepang

1. Terbunuh Kampetai 1 orang

2. Terbunuh Letnan Kampetai 2 orang

3. Terbunuh Juru bahasa 1 orang

4. Mengalami luka luka 20 orang (Danoemiharja, 1960: 127).

Namun berdasarkan saksi mata yang disampaikan kepada salah

seorang cucu KH. Zainal Musthafa ,di perkirakan pasukan yang musuh yang

tewas berjumlah 300 orang karena dilihat dari jumlah trukyang datang ke

Sukamanah. Namun dikarenakan strategi Jepang untuk menyembunikan

kekalahan mereka maka yang tewas tersebut dibawa kedalam truk dan

disembunyikan dan pesantren Sukamanah langsung dihancurkan oleh Jepang

(Hazim, 2019).

Dampak lebih jauh dapat dirasakan sebagai akibat sikap Jepang yang

menggunakan strategi sispersos (sistem persenjataan sosial) dalam

menghadapi perlawanan K.H. Zainal Musthafa dan Santri ini. Pemerintah

Jepang mendirikannya cabang kantor urusan Agama (shumuka) diseluruh


79

keresidenan di Jawa pada 5 Maret 1944 atau tepatnya 15 hari pasca

meletusnya perlawanan. Pada saat itu pula penjagaan dan pemeriksaan

terhadap rakyat dan pasukan Sukamanah masih berlangsung. Mungkin

pembentukan kantor shumuka bukan merupakan dampak langsung dari

perlawanan K.H. Zainal Musthafa , akan tetapi bila ditilik dari waktu berdiri

dan tujuan pendiriannya, tampaknya pendirian kantor ini menjadi kebutuhan

yang mendesak bagi pemerintah Jepang. Pendirian shumuka ini mempunyai

tujuan dua arah. Pertama, penguasa Jepang ingin mengadakan kontak lebih

rapat dengan daerah dengan harapan agar rakyat di Jawa dapat sadar akan

kebijaksanaan Dai Nippon yang menghormati Islam, juga memperkecil

kesalah pahaman yang menurut Jepang masih dipunyai banyak orang Islam

(Benda, 1980:198).

Akan tetapi tujuan kedua lebih penting dan mempunyai konsekwensi

yang lebih jauh jangkauannya. Pengawasan Islam di Jawa, seperti perkawinan

Islam dan pengumuman derma-derma agama yang pada awalnya berada

dipundak para pejabat pemerintah Jepang terutama para bupati dan penghulu,

mulai dihapuskan. Dan hal ini sejak dulu menjurus kepada perpecahan antar

priyayi dan para pemimipin Islam setempat. Untuk menyadari berlanjutnya

keadaan yang demikian, kantor shumubu yang baru (shumuka) memberikan

izin "mengatur rumah sendiri" (home rule) kepada orang-orang Islam. Hal

tersebut dimaksudkan :

“Berusaha untuk melindungi dan memajukan agama Islam, bersama

dengan para pemimpin agama yang akan ditunjuk untuk duduk di kantor ini
80

haruslah betul-betul memahami hukum Islam dan adat kebiasaan Islam,

disamping menunjukkan penghargaan yang jelas terhadap pemerintahan

militer Dai Nippon … karena kepala kantor yang baru tersebut (shumuka cho)

dan sekurang-kurangnya dua dari pembantunya, akan diangkat dari kalangan

orang Islam Indonesia yang terkemuka “ (Asia Raya, 5 Maret 1944:57).

Demikianlah, rupanya sebagai tanggapannya terhadap pemberontakan

Islam pedesaan, Jepang telah melakukan sebuah penyesuaian besar dalam pola

hubungan kekuasaan antara aristokrasi pribumi dan perlawanan Islam di Jawa.

Penyesesuaian ini menyebabkan Islam memiliki posisi yang lebih baik lagi

dan memperoleh posisi yang mempengaruhi perkembangan berikutnya sampai

pada satu tingkat yang istimewa. Pemerintahan militer merupakan suatu aparat

yang terpisah yang seluruhnya berstafkan anggota-anggota yang utama dari

organisasi Islam. Perlawanan Islam yang sudah berurat akar di pusatnya

(Jakarta) dengan demikian mendapat jalan masuk ke dalam sistem

administrasi pulau Jawa (Benda,1980:198).

Yang kalah dalam penataan kembali masalah-masalah agama adalah

elit priyayi. Para pejabat di Tasikmalaya dan dengan implikasi seluruh korps

dianggap bertangguing jawab atas kerusuhan rakyat pedesaan pada awal tahun

1944.

Bupati Tasikmalaya R Wiradiputra bersama seorang asistennya yaitu

Raden Koesoema Sembada diizinkan "mengundurkan diri" atas permintaan

sendiri dengan resiko kehilangan pendapatan dan dana pensiun. Wiradiputra

(Tasikmalaya Ken tyoo) digantikan kedudukannya oleh R.T.A Soenarja yang


81

sebelumnya menjabat sebagai Tjiamis Kentyoo, sedangkan Raden Koesoema

Sembada (Tasikmalaya Ken, Tasikmalaya Guntyoo) digantikan kedudukannya

oleh R.A. Wiradikoesoemah yang sebelumnya menjabat sebagai Sumedang

Guntyoo. Adapun R. Ino Gandana (Tasikmalaya Ken, Tasikmalaya Sontyoo)

dipindahkan menjadi Sumedang Ken Tandjoeng sari Guntyoo (Kan Po, 27

April 1944: 21).

Sementara itu dua pejabat lain juga dikenakan hukuman jabatan oleh

Gunseikan (kepala militer Jepang). Putusan ini berdasarkan maklumat

Gunseikan No. 8 Tahun 1944. Kedua pejabat itu di antaranya adalah R. Otong

Natakoesoema (Singaparna Guntyoo, Tasikmalaya Ken), yang dikenakan

hukuman teguran, sedangkan seorang lainnya yaitu R. Rochimat dikenakan

hukuman berupa pemotongan gaji sebesar 10% selama tiga bulan (Kanpo, 6

Mei 1944:44)

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, perlawanan- perlawanan

serupa yang terjadi pasca perlawanan K.H. Zainal Musthafa , seperti

perlawanan petani Indramayu, perlawanan tentara PETA Blitar yang

kebetulan terjadi pada tanggal dan bulan yang sama dengan perlawanan

Sukamanah (24 Februari 1945), sebagai memiliki keterkaitan dengan

pemberontakan Sukamanah. Akan tetapi bukti jelas yang mendukung

keterkaitan di atas belum ditemukan. Namun demikian, mungkin saja

perlawanan tersebut secara tidak langsung atau secara psikologis mempunyai

keterkaitan satu sama lain, akan tetapi untuk memastikannya diperlukan

pembuktian dan penelitian lebih lanjut.


82

Ditinjau dari segi sejarah dan sosial politik, maka perlawana K.H.

Zainal Musthafa dan Santri dapat memperoleh beberapa kemenangan yang

bersifat sosial politis, psikologis, dan historis:

1. Perlawanan K.H. Zainal Musthafa dan Santri mengesankan bahwa bangsa

Indonesia masih memiliki ciri-ciri kepribadiannya yang khas, yaitu berani

karena benar, dan bersedia berkorban untuk kebenaran dan keadilan.

2. Perlawanan K.H. Zainal Musthafa dan Santri menunjukan kepada sejarah,

bahwa jiwa dan cita- cita untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka tetap

berkobar di dalam dada patriot-patriot Indonesia sepanjang masa.

3. Perlawanan K.H. Zainal Musthafa dan Santri menunjukkan kepada dunia

luar bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 adalah bukan hadiah dari Dai Nippon, tetapi benar-benar

merupakan hasil perjuangan seluruh lapisan rakyat termasuk masyarakat

pesantren.

4. Perlawanan K.H. Zainal Musthafa dan Santri telah menjadi salah satu

sebab yang memaksa pemerintah Jepang untuk merubah sikap politiknya

terhadap bangsa Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan Indonesia di

kemudian hari (Benda, 1960:129).

Anda mungkin juga menyukai