Anda di halaman 1dari 30

KELOMPOK 1

1. Faradilla Nur Aisha Kamal


2. Syahla Arafah Razak
3. Media Sulistyowati
4. Ersafina Firyalita Athira
5. Esa Khairunisa
6. Michelle Deardra Maheera P
Kelas: VII-6

Kaum Muslimin Oleh ABRI


Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung
Priok pada pertengahan tahun 1984,
merupakan salah satu dari sekian banyak
rentetan jejak dan fakta kelamnya masa
pemerintahan Suharto. Satu masa rezim
militer yang berlumuran darah dari awal
masa kekuasaannya sampai akhir masa
kediktatorannya.
Suharto, presiden diktator era Orde Baru
(New Order) yang berkuasa selama 32 tahun
yang selalu menang pemilu 6 kali berturutturut alias hat trick dua kali oleh pemilihan
presiden secara tak langsung (dipilih oleh
DPR/MPR).

Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi
agama yang diakui di Indonesia.
Kekuasaan penuh yang dimiliki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik apapun. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan
pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif.
Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat
sekalipun
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa
kasus pembataian Tanjung Priok.
Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.

Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai The Killing Feld juga bukan tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi Tanjung Priok yang menjadi dasar
pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Tragedi Tg Priok 1984 04Musholla As-Sa'adah tragedi-tg-priok-1984Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan
penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.
Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan
gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi.

Suasana Musholla As-saa

Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan. Diantaranya, pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri persis
berseberangan degan masjid Al-Hidayah.
Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana
rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.
Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas sekali untuk
berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang
ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung Priok.

Pada pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU


organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas
tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara
pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh
yang terkenal, menyampaikan ceramah pada jamaahnya
dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya,
sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi
masalah yang kontroversial.
Musholla As-Sa'adah Tg PriokPada tanggal 7 September
1984, seorang Babinsa beragama Katholik sersan satu
Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama Musholla
As-saadah dan memerintahkan untuk mencabut pamflet
yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin
pada masa itu, dan disertai pengumuman tentang kegiatan
pengajian yang akan datang.
Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah
melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya
Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek
apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah
kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau

Kronologi Pembantaian
Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani, salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia.
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Saadah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

Ahad, 9 September 1984


Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Saadah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum
muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Saadah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang
dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid Baitul Makmur yang berdekatan dengan Musholla As-saadah,
berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat.

sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan


kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan
dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa
diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang
yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor
milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya.
Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua
orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-saadah
dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga.
Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak
terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan
pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah
tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4
orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Saadah

Selasa, 11 September 1984


Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.
Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena
sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk
meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Saadah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak
termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.

Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi
petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum
ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka
kita harus memprotesnya.
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib
malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan
kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu berangkat
jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Kelompok Yang Menuju Polres


Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung
dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan
takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, Mundur-mundur! Teriakan mundur-mundur itu disambut oleh jamaah dengan pekik, Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjatasenjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!

Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada
saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak! Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan
pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang
dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan
dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak
begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Tragedi Tg Priok 1984 02Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil
mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.

Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan
karung goni. Sembari para tentara mengusung korban-korban
yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja
terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta,
sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras
menerima korban penembakan Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah
pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil
ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas
menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di
sisinya, sampai bersih.

Kelompok Yang Menuju Kodim


Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter
dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan
perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang
keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepargelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau
melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi
syahid.

Penghuni toko onderdil mobil yang


menjadi korban di Jalan Jampea,
Tanjung Priok setelah kerusuhan
Tanjung Priok, Jakarta, 1984.

Saksimata
Menurut ingatan salahsatu saksi yang belum tewas bernama Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di
dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di
kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk
mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.

Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada
tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan
bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung
Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai
macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara. (Abdul Qadir Djaelani).

Tragedi Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah


Tragedi Tg Priok 1984 01Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari pesan dan
intervensi asing tentang apa yang disebut politik menekan Islam.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para
mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya
adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10 September 1984 ketika
seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.

Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak
berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain
Amir Biki, Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa
malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi
ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.

Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto
1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan
agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog
antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan
keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.

Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando tembak. Dalam jarak
yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke
tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan
apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi
kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan
dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.

Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan bersimbah


darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap,
menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk
mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu
tempat.
Proses Hukum
Tragedi Tg Priok 1984 08
Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang
dulunya ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara
sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta
bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya
dirampas. Masih terang diingatan korban, bagaimana pada tahun
2006 Mahkamah Agung memperagakan parade pembebasan hukum
(Impunitas secara De Jure) terhadap sejumlah nama yang
seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno
Mascung dan RA. Butar-Butar.
Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah
tergambar dari buruknya kinerja Penuntut Umum.
Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam
proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan

Tri Sutrisno (kiri) dan


LB Moerdani (kedua
dari kiri)

Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas
negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok.
Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai.
Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku
dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian.

Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang
sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.
Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan
akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Tragedi Tg Priok 1984 06Banyak diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.

pada 28 Februari 2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana


kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi, Hakim tunggal Martini
Marjan menolak mentah-mentah permohonan Penetapan
Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat
HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta,
penderitaan dan kerugian yang telah dihadirkan dalam persidangan
Penetapan di PN Jakarta Pusat.
Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang
telah diajukan sejak 5 Maret 2007. Pada tahun 1984 itu, jelas korban
telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik Soeharto dan brutalitas
aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah belas bahkan
puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku.
Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan
tidak diakui adanya pelanggaran berat HAM.
Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi
korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik
tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa
lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap
menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan,

Anda mungkin juga menyukai