Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Reynald Junitho Sitorus

NIM : 210200384

Kasus Pelanggaran HAM yang Sampai ke Pengadilan Indonesia

Peristiwa Tanjung Priok 1984

Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984

Pada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan
penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di
daerah ini, terdapat SEOrang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya
dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah
lama menjadi masalah yang kontroversi.

Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara. Pada tanggal 7 september
1984, SEOrang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama
"Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang
dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak
heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari
berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah
dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah
menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami
pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.

Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid
"Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana
dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan
masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah
terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya
persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar
sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah
satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya. Saat itu juga
Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut
ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di
tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan
tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu
tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di
Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering
kali Amir biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi kali ini usahanya tidak
berhasil.

Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat
terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini.
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan
para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan
massa untuk melakukan demonstrasi.

Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek
dan Kormil setempat. sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari
dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan
tentara yang siap tempur. Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para
demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar
mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur
dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh
pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran. Dari segala penjuru
terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah.
Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama
juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan, Dari atas truk tentara
dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad
manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah
berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.

Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja
terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta,
sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung
Priok. Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan
jalanan dari genangan darah para korban penembakan.

Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima
ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka
53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untukperistiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas
mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai
macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru
tentara...

Penyelesaian

Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 – 2004.


Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM
berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan
tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah
perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno
Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat
berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk
dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara
untuk anggotanya2.

Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa
lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang
mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502
Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan
penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.
NAMA : Arman Stevan Siar Sebayang

NIM : 210200366
Kasus komnas HAM sebagai mediator

Peristiwa abepura

Kasus Abepura merupakan peristiwa yang terjadi pada 7 Desember 2000. Saat itu, terjadi penyerangan
yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan satu
orang polisi meninggal dunia dan tiga lainnya luka-luka. Akibat penyerangan itu, Kapolres Jayapura AKBP
Daud Sihombing dibantu Kasatgas Brimob Polda Papua Kombes Pol Johny Wainal Usman
memerintahkan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Terhadap kasus Abepura ini, pada Februari 2001 Komnas HAM telah membentuk KPP. Dalam
laporannya, KPP HAM Abepura menyatakan bahwa dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan
polisi, diduga telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Pasalnya, dalam penyisiran dan kekerasan yang
dilakukan polisi itu dua mahasiswa Papua meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka. KPP HAM yang
dibentuk Komnas HAM sendiri menunjuk 25 nama yang diduga terlibat, namun hanya dua orang
tersebut yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Anda mungkin juga menyukai