Priok
Kerusuhan di Jakarta
Metode Penembakan
Pihak terlibat
Tokoh utama
Try Sutrisno Amir Biki
Leonardus Benyamin
Moerdani
Jumlah
Jumlah korban
Latar Belakang
Pada tanggal 19 September 1984, Sersan
Hermanu,[4] seorang anggota Bintara
Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah
di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan
mengatakan kepada pengurusnya, Amir
Biki, untuk menghapus brosur dan
spanduk yang mengkritik pemerintah.[5]
Biki menolak permintaan ini, lantas
Hermanu memindahkannya sendiri; Saat
melakukannya, dia dilaporkan memasuki
area sholat masjid tanpa melepas
sepatunya (sebuah pelanggaran serius
terhadap etiket masjid).[5][6]
Insiden
Dua hari pasca penangkapan, ulama
Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan
sebuah khotbah menentang asas tunggal
Pancasila di masjid As Saadah.[6] Setelah
itu, Biki memimpin sebuah demonstrasi
ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana
keempat tahanan tersebut ditahan.[8][6]
Seiring waktu, massa kelompok tersebut
meningkat, dengan perkiraan berkisar
antara 1.500 sampai beberapa ribu
orang.[8][6]
Protes dan kerusuhan tidak berhasil
menuntut pembebasan tahanan
tersebut.[8] Sekitar pukul 11 malam waktu
setempat, para pemrotes mengepung
komando militer.[6] Personel militer dari
Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6
menembaki para pemrotes.[8][9] Sekitar
tengah malam, saksi mata melihat
komandan militer Jakarta Try Sutrisno
dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B.
Moerdani yang mengawasi pemindahan
korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke
dalam truk militer dan dikuburkan di
kuburan yang tidak bertanda, sementara
yang terluka dikirim ke Rumah Sakit
Militer Gatot Soebroto.[8]
Akibat
Setelah kerusuhan tersebut, militer
melaporkan bahwa mereka dipicu oleh
seorang pria berpakaian militer palsu
yang membagikan selebaran anti-
pemerintah bersama dengan 12
komplotannya; dilaporkan dari orang
yang ditahan.[10] Jenderal Hartono Rekso
Dharsono ditangkap karena diduga
menghasut kerusuhan tersebut.[11]
Setelah menjalani persidangan empat
bulan, dia divonis bersalah; dia akhirnya
dibebaskan pada bulan September 1990,
setelah menjalani hukuman penjara lima
tahun.[11]
Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya
169 warga sipil ditahan tanpa surat
perintah dan beberapa dilaporkan
disiksa.[12] Para pemimpin ditangkap dan
diadili karena tuduhan subversif,
kemudian diberi hukuman panjang.[6]
Yang lainnya, termasuk Amir Biki,
termasuk di antara mereka yang
terbunuh.[8]
Investigasi
Gencarnya gerakan hak asasi manusia
pasca lengsernya Suharto pada tahun
1998, beberapa kelompok dibentuk untuk
mengadvokasi hak-hak korban, termasuk
Yayasan 12 September 1984, Solidaritas
Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok
1984, dan Keluarga Besar untuk Korban
Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh
janda Biki Dewi Wardah dan putra
Beni).[8] Kelompok-kelompok ini
mendorong Dewan Perwakilan Rakyat
dan Komnas HAM untuk menyelidiki lebih
lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan
A.M. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani,
yang pernah ditangkap setelah tragedi
tersebut, mendesak penyelidikan lebih
lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM
sepakat untuk menyelidiki insiden
tersebut, membentuk Komisi Investigasi
dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di
Tanjung Priok (KP3T).[8]
Bibliografi
Junge, J. Fabian (2008). Kesempatan yang
Hilang, Janji yang tak Terpenuhi. Pengadilan
HAM Ad Hoc untuk Kejahatan di Tanjung
Priok 1984 (dalam bahasa Indonesian).
Jakarta: KontraS / Watch Indonesia!.
Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam
Pusaran Politik (https://books.google.com/b
ooks?id=CH0p3zHladEC) . Jakarta:
TransMedia Pustaka. ISBN 979-799-052-4.
Referensi daring
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Peristiwa_Tanjung_Priok&oldid=24078587"