Anda di halaman 1dari 7

KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

DI INDONESIA

Kelas XI MIPA 3
Kelompok:
1. Septiara Dwi Ramadania
2. Uci Rihadaturromizah
3. Nadjewa Safitri
4. Betty Alfiani
PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984

Tanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu
sektor perekonomian paling penting di Indonesia. Hal ini membuat wilayah
tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian
besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Kebanyakan warga
yang tinggal di kecamatan Koja merupakan pendatang dari berbagai macam
etnis. Mereka mengais nafkah di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pedagang
kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Memasuki tahun 1980-an, perekonomian Indonesia yang dihantam oleh krisis


akibat anjloknya harga minyak dunia membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut
terganggu. Pada tahun 1982 harga minyak dunia turun dari US$ 34,53 menjadi
US$ 29,53 per barel. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) pada tahun 1982 melalui Keputusan Presiden No. 1/1982. Mulai
4 Januari 1982 rata-rata harga BBM di Indonesia naik 60% dari harga semula.

Hal ini kemudian membuat warga masyarakat menjadi panik sehingga


berujung pada naiknya harga-harga barang. Tidak hanya itu beberapa tarif
listrik, angkutan umum, dan lain sebagainya ikut naik juga imbas dari harga
BBM yang melambung tinggi. Selain itu, pemerintah juga membatalkan
berlabuhnya 200 kapal setiap hari sehingga menurunkan daya serap tenaga
kerja di Pelabuhan Tanjung Priok.

Tingkat inflasi Indonesia juga semakin meningkat sejak saat itu. Pada tahun
1982 inflasi Indonesia hanya 9,06%, namun pada tahun 1983 naik menjadi
13,52% dan tahun 1984 menjadi 15,35%. Sementara itu angka pemutusan
hubungan kerja mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 15.000 (1983)
menjadi 45.000 (1984). Ini menyebabkan beban hidup masyarakat semakin
berat.

Banyak dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam


ceramah-ceramah di masjid. Mereka tidak hanya mengkritik pemerintah dalam
mengatur perekonomian, namun juga terhadap kebijakan asas tunggal yang
membuat kelompok-kelompok Islam semakin tersingkirkan. Nurhayati Djamas
dalam tesis magisternya yang berjudul Behind the Tanjung Priok Incident,
1984: The Problem of Political Participation in Indonesia menjelaskan bahwa
sikap radikal warga Tanjung Priok disebabkan karena tekanan ekonomi akibat
krisis pada tahun 1980-an.

Selain dalam bentuk ceramah di masjid, masyarakat juga mengkritik dengan


cara menempelkan pamflet-pamflet di masjid. Salah satunya adalah pamflet
yang ditempel di Musala Assa’addah, kecamatan Koja, Tanjung Priok.
Pemasangan pamflet tersebut mengundang reaksi aparat keamanan karena
isinya yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Pada 7 September 1984, aparat Babinsa Koja Sersan Satu (Sertu) Hermanu
mendatangi musala yang dindingnya tertempel pamflet-pamflet. Ketika itu
Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi selaku pengurus musala untuk
mencopot semua pamflet. Hermanu juga melarang masyarakat setempat
untuk menempel pamflet-pamflet lagi yang isinya menggiring opini
masyarakat.
Esok harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Musala Assa’addah dan
masih menemukan pamflet-pamflet yang tertempel di dinding musala. Dia pun
marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga. Banyak
warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke musala hingga
ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut.
Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam musala dengan tidak
melepaskan sepatu larsnya.

Hal ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk
meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam. Melihat
kondisi semakin tidak kondusif pada 10 September 1984 pengurus musala,
Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan
masalah tersebut secara damai.Sertu Hermanu dengan ditemani oleh Sertu
Rahmad kemudian bersedia untuk datang dan berdialog dengan pengurus
musala. Mendengar permintaan masyarakat agar meminta maaf atas
perbuatannya, Hermanu menolak dengan alasan bahwa ia adalah petugas yang
wajib menjaga keamanan dan ketertiban wilayah tersebut Hermanu pun naik
pitam karena terus didesak, namun pengurus musala meminta Hermanu untuk
menyelesaikan masalah tersebut secara damai tanpa kekerasan.

Keberadaan Hermanu yang diketahui oleh warga membuat mereka kemudian


mendatangi Hermanu secara paksa. Masyarakat yang marah terhadap
Hermanu semakin kacau karena ingin menangkap Hermanu. Bahkan sepeda
motor milik Hermanu pun dibakar oleh massa. Kondisi yang semakin kacau ini
membuat pertemuan tersebut dibubarkan.

Namun, tiba-tiba datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka menangkap
empat orang warga yang hadir saat pertemuan tersebut, di antaranya
Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman. Kemudian Mohammad Noor
ditangkap karena membakar sepeda motor milik Hermanu. Sedangkan Ahmad
Sahi ditangkap selaku pengurus musala yang dituduh sebagai penggerak
massa.
Keesokan harinya sejumlah warga Tanjung Priok tidak terima dengan
penangkapan empat orang tersebut secara sepihak. Beberapa warga setempat
dengan dipimpin oleh Amir Biki seorang pimpinan dari Forum Studi dan
Komunikasi 66 mendatangi Kodim 0502 meminta untuk membebaskan empat
warga tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena pihak
militer beranggapan bahwa keempat orang tersebut berbahaya apabila
dilepaskan.

Pada 12 September 1984, pukul 10.00, Amir Biki diundang secara resmi oleh
Jenderal Try Sutrisno. Pertemuan tersebut membicarakan tentang kebijakan
asas tunggal yang oleh pemerintah harus diterapkan dalam masyarakat
sehingga dapat mengendalikan situasi di Tanjung Priok. Biki juga meminta
kepada Try Sutrisno untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang
ditahan. Namun, pertemuan selama dua jam tersebut tidak membuahkan
hasil.

Tuntutan warga Tanjung Priok yang tidak dikabulkan kemudian mengadakan


ceramah yang diberikan oleh Amir Biki, Sapirin Maloko SH, dan M. Nasir pada
12 September 1984 pukul 19.30. Kegiatan tersebut kemudian diisi dengan
ceramah-ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga Tanjung
Priok. Mereka juga menyinggung kelompok Islam yang semakin
dikesampingkan oleh pemerintah Orde Baru. Pengeras suara yang dipasang
pun dikeraskan volumenya dan mengarah langsung ke Markas Polres Jakarta
Utara.

Pada pukul 22.00, markas aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki
yang mengancam akan melakukan pengrusakan apabila empat orang warga
Tanjung Priok tidak dibebaskan. Amir Biki juga meminta agar keempat orang
tersebut diserahkan kepada massa peserta ceramah. Tidak berselang lama
aparat keamanan juga menerima telepon dengan permintaan yang sama.
Namun, dari dua permintaan tersebut aparat tidak mengabulkannya.

Hal ini kemudian membuat warga berbondong-bondong mendatangi markas


Kodim 0502 sekitar pukul 23.00. Kompas dalam beritanya mencatat lebih
kurang dari 1500 orang beramai-ramai meminta kepada aparat untuk
membebaskan warganya. Mereka juga membawa senjata-senjata tajam yang
cukup berbahaya.

Ketika warga mulai menuju Kodim 0502 tiba-tiba di depan Markas Polres
Jakarta Utara mereka dihadang oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara
Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung, di bawah komando
Kapten Sriyanto, Kodim Jakarta Utara. Aparat kemudian berusaha untuk
membubarkan massa secara persuasif. Namun, situasi semakin tidak terkontrol
ketika massa bergerak secara paksa.

Aparat mulai kewalahan menghadapi massa yang saat itu mulai tidak
terkontrol. Mereka maju terus sambil berteriak-teriak dan mengacungkan
senjata yang ada digenggamannya. Tembakan ke udara sebagai tanda
peringatan tidak menghentikan amukan warga. Aparat mulai menembak ke
tanah sehingga banyak dari warga yang terluka kakinya terkena tembakan.

Tidak berselang lama datanglah bantuan dari aparat keamanan dengan


menggunakan panser-panser untuk menghalau massa. Gerombolan massa
yang terdesak kemudian mundur, tetapi mereka sempat membakar mobil,
merusak beberapa rumah, dan satu apotek yang berada di dekat situ. Banyak
dari warga kemudian lari meninggalkan lokasi dan berlindung di masjid-masjid.
Namun, beberapa dari warga yang lari kemudian mengalami penyiksaan dari
aparat.

Pada 13 September 1984 pukul 00.00 aparat mulai mengendalikan situasi.


Warga yang terluka dan meninggal kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Subroto. Aparat militer kemudian melakukan
penggeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok. Komnas HAM
mencatat sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan.
Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan
Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis.
Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani mengatakan bahwa pemerintah
akan menindak tegas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok dan akan
menangkap mereka yang terbukti sebagai dalang peristiwa tersebut. Aparat
keamanan mencatat sebanyak 53 orang terluka dan sembilan orang tewas.
Selain itu juga terdapat 12 kendaraan bermotor dan tiga rumah termasuk satu
apotek yang hangus terbakar.

Anda mungkin juga menyukai