Anda di halaman 1dari 4

PELANGGARAN HAM ERA ORDE BARU

1. Peristiwa Tanjung Priok 1984

Latar Belakang

Peristiwa Tanjung Priok 1984 terjadi pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Peristiwa ini merupakan kerusuhan yang melibatkan warga Tanjung Priok dan aparat keamanan.

Peristiwa ini dipicu oleh penerapan kebijakan asas tunggal Pancasila yang diberlakukan oleh pemerintah
Orde Baru. Kebijakan ini mengharuskan semua organisasi, termasuk organisasi keagamaan, untuk
mengakui Pancasila sebagai asas tunggal.

Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa),
tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok. Di sana, ia meminta pengurus masjid, Amir Biki, untuk
menghapus brosur dan spanduk yang berisi kritik terhadap pemerintah. Amir Biki menolak permintaan
tersebut.

Insiden

Pada tanggal 12 September 1984, warga Tanjung Priok menggelar aksi unjuk rasa di depan Gereja
Katedral Jakarta. Aksi ini menuntut agar pemerintah mencabut kebijakan asas tunggal Pancasila.

Aksi unjuk rasa ini kemudian berujung pada kerusuhan. Warga Tanjung Priok menyerang aparat
keamanan dengan melempari batu dan benda-benda lainnya. Aparat keamanan membalas dengan
menembakkan peluru tajam ke arah warga.

Akibat kerusuhan ini, setidaknya 27 orang tewas, 200 orang luka-luka, dan ratusan orang ditangkap.

Akibat

Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat
yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan dunia
internasional.

Kasus ini juga menjadi momentum bagi lahirnya gerakan reformasi di Indonesia. Kasus ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Investigasi

Pemerintah Orde Baru membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus peristiwa Tanjung Priok. Tim
investigasi ini dipimpin oleh Brigjen TNI Soeyono. Namun, tim investigasi ini tidak bisa mengungkap
pelaku kerusuhan.

Pada tahun 2000, Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang atas kasus peristiwa Tanjung Priok.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa kerusuhan dipicu oleh provokasi dari pemerintah Orde Baru.
Komnas HAM juga menduga bahwa aparat keamanan telah melakukan pelanggaran HAM dalam
menangani kerusuhan tersebut.

Penyelesaian

Pemerintah Indonesia belum menyelesaikan kasus peristiwa Tanjung Priok secara tuntas. Pelaku
kerusuhan belum pernah dihukum.

Pada tahun 2016, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk
tim khusus untuk menyelesaikan kasus peristiwa Tanjung Priok. Namun, rekomendasi ini belum
ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Kasus peristiwa Tanjung Priok masih menjadi misteri hingga saat ini. Kasus ini menjadi pengingat bagi
kita semua tentang pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
2. Fuad Muhammad Syafruddin

Latar Belakang

Fuad Muhammad Syafruddin, atau yang lebih dikenal dengan nama Udin, adalah seorang wartawan dari
Harian Bernas yang berkantor di Yogyakarta. Ia dikenal sebagai wartawan yang kritis terhadap
pemerintah Orde Baru dan militer.

Pada tahun 1996, Udin menulis sejumlah berita yang mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru,
termasuk kasus dugaan korupsi di Kabupaten Bantul. Udin juga menulis berita tentang upaya bupati
Kabupaten Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo, untuk menduduki posisinya kembali.

Insiden

Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya oleh orang-orang tak dikenal di depan rumahnya di
Yogyakarta. Ia mengalami luka parah di kepala dan meninggal dunia pada tanggal 16 Agustus 1996.

Akibat

Pembunuhan Udin menjadi salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah
terjadi di Indonesia. Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan dunia
internasional.

Kasus ini juga menjadi momentum bagi lahirnya gerakan reformasi di Indonesia. Kasus ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Investigasi

Pemerintah Orde Baru membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus pembunuhan Udin. Tim
investigasi ini dipimpin oleh Brigjen TNI Soeyono. Namun, tim investigasi ini tidak bisa mengungkap
pelaku pembunuhan Udin.

Pada tahun 2008, Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang atas kasus pembunuhan Udin. Komnas
HAM menyimpulkan bahwa Udin dibunuh oleh orang-orang yang terkait dengan Pemkab Bantul dan
aparat keamanan. Komnas HAM juga menduga bahwa pelaku pembunuhan Udin telah didukung oleh
pemerintah Orde Baru.

Penyelesaian

Pemerintah Indonesia belum menyelesaikan kasus pembunuhan Udin secara tuntas. Pelaku pembunuhan
Udin belum pernah dihukum.

Pada tahun 2016, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk
tim khusus untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Udin. Namun, rekomendasi ini belum
ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Kasus pembunuhan Udin masih menjadi misteri hingga saat ini. Kasus ini menjadi pengingat bagi kita
semua tentang pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
3. Peristiwa Talangsari 1989

Latar Belakang

Peristiwa Talangsari 1989 terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa
Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur. Peristiwa ini merupakan penyerangan oleh
aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi, sebuah kelompok pengajian yang dianggap sesat oleh
pemerintah Orde Baru.

Kelompok Warsidi dipimpin oleh Warsidi, seorang petani yang juga seorang guru mengaji. Warsidi
mengajarkan ajaran-ajaran yang dianggap sesat oleh pemerintah, seperti ajaran tentang adanya dua Tuhan
dan ajaran tentang pemisahan diri dari negara.

Insiden

Pada tanggal 7 Februari 1989, aparat keamanan menyerbu Dusun Talangsari III. Penyerbuan ini
dilakukan oleh gabungan pasukan dari TNI, Polri, dan Satpol PP.

Pasukan keamanan menyerbu rumah-rumah warga dan melakukan penangkapan massal. Mereka juga
melakukan penyiksaan terhadap warga yang ditangkap.

Dalam penyerbuan ini, setidaknya 130 orang tewas, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang
dirampas haknya secara sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.

Akibat

Peristiwa Talangsari 1989 merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang
pernah terjadi di Indonesia. Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan dunia
internasional.

Kasus ini juga menjadi momentum bagi lahirnya gerakan reformasi di Indonesia. Kasus ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Investigasi

Pemerintah Orde Baru membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus peristiwa Talangsari. Tim
investigasi ini dipimpin oleh Brigjen TNI Soeyono. Namun, tim investigasi ini tidak bisa mengungkap
pelaku penyerbuan.

Pada tahun 2000, Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang atas kasus peristiwa Talangsari. Komnas
HAM menyimpulkan bahwa penyerbuan dipicu oleh provokasi dari pemerintah Orde Baru. Komnas
HAM juga menduga bahwa aparat keamanan telah melakukan pelanggaran HAM dalam menangani
penyerbuan tersebut.

Penyelesaian

Pemerintah Indonesia belum menyelesaikan kasus peristiwa Talangsari secara tuntas. Pelaku penyerbuan
belum pernah dihukum.

Pada tahun 2016, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk
tim khusus untuk menyelesaikan kasus peristiwa Talangsari. Namun, rekomendasi ini belum
ditindaklanjuti oleh pemerintah.
4. Kasus marsinah

Latar Belakang

Marsinah adalah seorang buruh perempuan di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik pembuat jam
di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada masa itu, kondisi kerja di CPS sangat buruk. Upah buruh sangat
rendah, jam kerja panjang, dan tidak ada jaminan kesehatan.

Marsinah adalah salah satu buruh yang aktif dalam menuntut perbaikan kondisi kerja di CPS. Dia juga
aktif dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada tanggal 2 Mei 1993, Marsinah dan rekan-
rekannya menggelar aksi mogok kerja selama dua hari. Aksi mogok ini menuntut kenaikan upah buruh
sebesar 20 persen dan perbaikan kondisi kerja.

Insiden

Setelah aksi mogok berakhir, Marsinah dipanggil oleh Kodim Sidoarjo untuk dimintai keterangan.
Marsinah dipanggil bersama 13 rekan-rekannya yang lain. Namun, Marsinah tidak pernah muncul
kembali setelah meninggalkan rumah pada tanggal 5 Mei 1993.

Jenazah Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk,
Jawa Timur, pada tanggal 9 Mei 1993. Jenazah Marsinah ditemukan dengan luka-luka di sekujur
tubuhnya, termasuk luka di leher dan kepala.

Akibat

Pembunuhan Marsinah menjadi salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang
pernah terjadi di Indonesia. Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan dunia
internasional.

Pembunuhan Marsinah juga menjadi momentum bagi lahirnya gerakan reformasi di Indonesia. Kasus ini
menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya reformasi pada tahun 1998.

Investigasi

Pemerintah Orde Baru membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus pembunuhan Marsinah. Tim
investigasi ini dipimpin oleh Mayjen TNI Soeyono. Namun, tim investigasi ini tidak bisa mengungkap
pelaku pembunuhan Marsinah.

Pada tahun 2008, Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang atas kasus pembunuhan Marsinah.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa Marsinah dibunuh oleh orang-orang yang terkait dengan PT CPS.
Komnas HAM juga menduga bahwa pelaku pembunuhan Marsinah telah didukung oleh aparat
keamanan.

Penyelesaian

Pemerintah Indonesia belum menyelesaikan kasus pembunuhan Marsinah secara tuntas. Pelaku
pembunuhan Marsinah belum pernah dihukum.

Pada tahun 2016, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk
tim khusus untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Marsinah. Namun, rekomendasi ini belum
ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai