Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

4/18/2022 MATA KULIAH


HUKUM & HAM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS
SAMARINDA

Arifin La ode
KELAS 08 MALAM , NPM : 19 111 00 11 011 246
CONTOH CONTOH KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

 PEMBERSIHAN PKI ( 1965 – 1966


Jakarta – Peristiwa 1965 menjadi salah satu catatan hitam Indonesia.
Di tahun tersebut, banyak warga mengalami kekerasan, baik dari

militer maupun unsur sipil yang disponsori oleh militer. Peristiwa ini
diawali dengan penculikan dan pembunuhan para Jendral pada 30

September 1965 (G30S). Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding


keras menjadi pelaku penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa

tersebut.

”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus


pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-

1966. Penyelidikan ini sesuai mandat Komnas HAM dalam Undang-


Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata M.

Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM saat menjadi narasumber


dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi,

Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin


pada Rabu (30/09/2020).

Diskusi virtual ini juga dihadiri oleh Dosen FISIP UPN Jakarta, Sri

Lestari Wahyuningroem dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas


Hukum Universitas Hasanuddin (DPM FH-UN), Adesya Patulak.

Diskusi ini mengangkat tema “Kejahatan HAM 1965-1966: Mengurai


Akar Otoritarianisme Orde Baru”.

Jendral Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan

Darat (Kostrad), menuduh PKI mendalangi G30S. Kemudian Soeharto


menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait

dengan PKI. Pembantaian ramai dilakukan terutama di wilayah Jawa


Tengah, Jawa Timur, dan Bali, ujar Ades mengawali diskusi.

Ia melanjutkan, selama proses pembantaian tersebut, telah terjadi

pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Hal ini


diungkapkan melalui laporan dari korban dan keluarga korban

peristiwa 1965-1966. Polanya antara lain, pembunuhan, pemusnahan,


perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,

penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang


secara paksa.

Ayu mengungkapkan bahwa sampai hari ini para korban maupun

keluarga korban masih mengalami penderitaan mental secara turun


temurun. Diskriminasi sistematis telah dikukuhkan sejak zaman Orde

Baru. Hak mereka dibatasi  baik di bidang hak sipil dan politik,
maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Anam menyampaikan bahwa Komnas HAM melalui Tim  ad


hoc penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa 1965-1966

telah menyelesaikan penyelidikan pro-yustisia. Peristiwa tersebut


diputuskan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against

humanity). Unsur berskala luas (widespreed) dan sistematis


(systematic) ditemukan dalam peristiwa ini.

Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM

jelas bertindak atas dasar Undang-Undang nomor 26 tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHAP) . Kelengkapan berkas pun telah Komnas


HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung. Komnas HAM memiliki

keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam  penyidikan 


proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang

kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh


dalam penyidikan kasus Pelanggaran HAM yang Berat, jelas Anam.

Menutup diskusi, Anam menyampaikan bahwa dalam menjalankan

mandatnya, Tim ad hoc telah menerima pengaduan dari masyarakat


serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban. Tim juga

telah melakukan peninjauan secara langsung ke lapangan dalam


melaksanakan penyelidikan. “Komnas HAM akan terus berupaya

dalam penyelelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk


peristiwa 1965-1966 dengan data dukung yang telah dikumpulkan

sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepada Komnas HAM”


 TRAGEDI TALANGSARI ( 1989 )

Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang


terjadi pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat
terjadinya peristiwa ini. Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa
Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di
masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang
masyarakat sipil di Talangsari.

Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77


orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas
secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah
korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.

Baca artikel CNN Indonesia "Peristiwa Talangsari, Kasus Pelanggaran


HAM Berat pada 1989" . Para keluarga korban Talangsari juga masih
menuntut penyelesaian dan pertanggungjawaban kasus ini. Sejumlah aksi
demonstrasi kerap digelar oleh keluarga korban dan aktivis HAM.

Kronologi Peristiwa Talangsari


Tragedi Talangsari berawal dari penetapan semua partai politik harus
berasaskan Pancasila sesuai dengan usulan pemerintah kepada DPR
dalam UU Nomor 3 Tahun 1985.

Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat di Indonesia


wajib mengusung Pancasila. Hal tersebut juga berlaku untuk ormas
keagamaan. Jika tak mengusung asas Pancasila, ormas tersebut dianggap
menganut membahayakan negara karena menganut ideologi terlarang.

Hal ini terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah
Sungkar. Kelompok Usroh diburu oleh pemerintah Orde Baru. Kelompok ini
melarikan diri ke Lampung.

Baca juga:Sejarah Perjanjian Roem Royen dan Tokoh Delegasinya


Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi, seorang petani
sekaligus guru ngaji. Kehadiran kelompok Usroh diterima oleh Warsidi
karena memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan kampung kecil untuk
menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-sehari.

Pada 1 Februari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Malik bertukar surat
dengan Komandan Rayon Militer Way Jepara Kapten Soetiman. Dalam
suratnya, Zulkifli menjelaskan informasi yang didapat dari Kepala Desa
Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega dan Kepala Dusun Talangsari, Sukidi,
tentang keberadaan pengajian yang dianggap berkaitan dengan gerakan
Islam garis keras.

Kapten Soetiman meminta Kepala Desa untuk mengawasi Warsidi dan


kelompoknya. Laporan dari Kepala Desa terkait aktivitas kelompok Warsidi
diteruskan ke Kodim Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga. Mayor Oloan
mengirimkan sejumlah anggotanya mengawasi kelompok Warsidi ke
Dusun Talangsari. Kedatangan para anggota Kodim menyebabkan
bentrokan dengan masyarakat hingga menewaskan Kapten Soetiman.
Pada Peristiwa Talangsari 1989, warga diserang dan rumah
dibakar. Catatan Komnas HAM, peristiwa ini menewaskan 130 orang.
(Foto: morgueFile/xandert)
Pada 7 Februari 1989, sekitar pukul 4 pagi, militer menyerang Talangsari.
Penyerangan itu dilakukan di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043
yang dipimpin Kolonel Hendropriyono. Penyerangan dilakukan dengan
menyasar jamaah pondok pesantren pengajian Warsidi.

Penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang dari berbagai daerah


bersiap mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda, para
tentara mengarahkan tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan
pembakaran pondok rumah panggung.

Diduga ramah panggung tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari
bayi, anak-anak, ibu hamil, serta orang tua. Sebanyak 246 jamaah
dinyatakan hilang, ratusan orang disiksa, ditangkap, ditahan, dan diadili
secara semena-mena.

Pasca peristiwa itu, Talangsari ditutup untuk umum dengan penguasaan


tanah berada di bawah Korem Garuda Hitam.

Perkembangan Peristiwa Talangsari


Menurut KontraS, hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan
sejak pembentukan tim khusus penyelesaian Peristiwa Talangsari pada
2011. Saat itu anggota tim terdiri dari; Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia; Kejaksaan Agung; Komnas HAM; Kementerian Pertahanan; TNI;
Polri; dan instansi pemerintah lainnya.

Pada 27 April 2021, terdapat pertemuan yang dilakukan oleh Tim Balitbang
Kemenkumham dan Korban Peristiwa Talangsari. Namun, pertemuan ini
dikecam Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) dan
KontraS karena dilakukan tanpa berkoordinasi ataupun mengundang
Paguyuban secara layak.

 TRAGEDI TRISAKTI
Tragedi Trisakti merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Penting bagi
generasi sekarang ini untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang lalu dan
dijadikan sebagai pengetahuan dan pembelajaran terutama bagi penerus
bangsa.

Tahukah kamu tentang sejarah tentang Tragedi Trisakti? Untuk mengingat


kembali peristiwa tersebut, simak ulasannya berikut ini seperti dilansir dari
laman resmi Trisakti!

1. Sejarah Tragedi Trisakti


Tragedi Trisakti merupakan peristiwa penembakan yang terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998, terhadap sejumlah mahasiswa saat melakukan
demonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Kala itu pemerintahan masa Orde Baru sudah berlangsung selama 32 tahun,
tepatnya dari tahun 1966 hingga 1998. Pemerintahan yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto memiliki berbagai kebijakan yang baik untuk
kelangsungan Bangsa Indonesia. Namun, ada juga kebijakan yang dianggap
tidak memihak pada rakyat.

Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di


Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah
Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin
Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998).

Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-


tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan
empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail
dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie Dwi Widowati
dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta.
2. Latar Belakang Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti dilatar belakangi oleh beberapa faktor seperti krisis politik,
krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan krisis hukum.

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh
krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999. Pemerintahan Presiden Soeharto
juga dinilai otoriter dan tidak menerima kritikan. Selain itu, kekuasaan
kehakiman berada dibawah kontrol dan campur tangan Presiden Soeharto.

Latar belakang krisis yang banyak terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru
inilah yang menimbulkan krisis kepercayaan hingga membuat para
mahasiswa dan masyakarat melakukan demonstrasi besar-besaran di bulan
Mei 1998.

3. Kronologi Tragedi Trisakti


Tragedi Trisakti terjadi tanggal 12 Mei 1988. Kala itu mahasiswa pun
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk
mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung


Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade
dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba
bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke
arah mahasiswa.
Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas
Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.

Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka
dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu
orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru
tajam untuk tembakan peringatan.

Peristiwa tersebut kemudian menyulutkan semangat mahasiswa hingga adanya


demonstrasi yang lebih besar pada 13-14 Mei 1998.

Kondisi bangsa yang semakin tidak terkendali akhirnya memaksa Soeharto untuk
meletakkan jabatannya di depan Mahkamah Agung pada tanggal 21 Mei 1998
pukul 10.00 pagi. Pada saat yang sama, Soeharto kemudian menunjuk wakilnya
B.J. Habibie untuk menggantikan posisinya.

Anda mungkin juga menyukai