Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap
penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa. Karena perbuatan tersebut
juga dilakukan secara meluas dan sistematis, maka bentuk-bentuk perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bentuk perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 adalah sebagai berikut :
Pembunuhan, pemusnahan , perbudakan pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa, Perampasan Kemerdekaan atau Perampasan Kebebasan Fisik Lain
Secara Sewenang-wenang., penyiksaan, Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa
Peristiwa penembakan misterius periode 1982-1985
BAGIAN PERTAMA
Bahwa terdapat 4 jenis tindak kejahatan yang terjadi dalam peristiwa ini yakni tindak
kejahatan pembunuhan, tindak kejahatan perampasan kemerdekaan, penyiksaan dan
penghilangan paksa sebagaimana diatur dalampasal 9 UU 26/2000.
BAGIAN KEDUA
Unsur-unsur dari perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya ditujukan kepada penduduk sipil dipaparkan berikut ini :
1. Mengenai Salah Satu Perbuatan
2. sebagai bagian dari Serangan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan maka, ditemukan fakta dan bukti
yang memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Peristiwa
Penembakan Misterius Periode 1982– 1985. Hal ini terlihat dari tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh kelompok orang yang diduga mempunyai kekuasaan dan
kewenangan yang diberikan oleh penguasa Orde Baru saat itu untuk melaksanakan
tindakan penembakan misterius dengan alasan demi menjaga keamanan dan kesatuan
negara Republik Indonesia, sehingga dianggap perlu dan penting melakukan
sejumlah tindakan pembersihan negara dari sekelompok orang yang diduga telah
dan/atau sering melakukan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Namun
tindakan pembersihan tersebut dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah,
sehingga tidak satupun eksekusi yang telah dilaksanakan (yang mengakibatkan
hilangnya nyawa atau cacat atau hilangnya orang) berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum yang tetap atau putusan pengadilan yang inkracht
Di dalam peristiwa Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985, pelaku
diduga adalah:
1. TNI, yaitu Koramil, Kodim, dan Kodam/Laksusda
2. Polisi, yaitu Polsek, Polres, dan Polda
3. Garnizun yaitu gabungan TNI dan Polisi
4. Pejabat sipil yaitu Ketua RT, Ketua RW, Lurah
Selain para pelaku yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dalam pemerintahan
di atas, maka ditemukan bukti adanya pelaku individu dari kelompok di atas yang
bertindak secara aktif atau disebut sebagai operator.
Kehidupan politik di era orde baru secara masif menciptakan sebuah “brand image” sebagai
sebuah kekuatan baru yang ingin “mengoreksi total” rejim Orde Lama Kritik, upaya
perlawanan, demonstrasi selalu dihadapi pemerintahan Soeharto dengan cara-cara
represif. Untuk menghadapi berbagai kritis atas diri dan pemerintahannya, Soeharto
mengenalkan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Kelompok
agama dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah.
hubungan harmonis antara tentara dan kelompok Islam sejak aksi penumpasan G30.S 1965
berakhirSejumlah kebijakan yang dibuat Orde Baru justru kemudian menambah
kekecewaan sekaligus kecurigaan kelompok Islam terhadap pemerintah Orde Baru.
Diantaranya dimasukkannya aliran kepercayaan ke dalam GBHN 1973, unifikasi hukum
nasional di bidang perkawinan, melegalkan perjudian sebagai sarana pengumpulan pajak,
dll
Puncak reaksi kalangan Islam terhadap asas tunggal Pancasila adalah munculnya sejumlah
aksi kekerasan
Sepanjang periode kehidupan Orde Baru sejumlah organisasi sipil dan militer khusus
dibentuk dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengawasan dan pengendalian penduduk
Indonesia Namun, akibat kritik berbagai kalangan, termasuk sejumlah organisasi
internasional mengenai buruknya hak asasi manusia di Indonesia, pada 1988 Presiden
Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan Koordinasi
Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas).
Dalam praktik, Kopkamtib memang memiliki kekuasaan luar biasa dalam penetapan
kriminalitas dan subversi: penangkapan tanpa surat dan penahanan tak terbatas tanpa
diadili; menggunakan bentuk interogasi yang penuh penyiksaan dan brutal sebagai cara
yang normal; manipulasi prosedur pengadilan dan sidang pengadilan; penahanan dalam
penjara yang tidak manusiawi; memantau dan melecehkan/menganggu mantan-tapol.
Status hukum Kopkamtib sebenarnya tidak jelas, namun kuat. Pengesahan istimewa
pemerintah terhadap Kopkamtib selalu diambil dari Surat Perintah Sebelas Maret yang
dikeluarkan Soekarno pada 1966.
Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dalam peristiwa Talangsari 1989 dalam bentuk pembunuhan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan
(persekusi) terhadap penduduk sipil
Pada tanggal 12 September 1984 telah terjadi peristiwa berdarah di Tanjung Priok
Jakarta Utara yang membawa banyak korban manusia dan harta. Secara politis
peristiwa tersebut dianggap telah selesai oleh Pemerintah pada waktu itu, Namun
demikian rasa keadilan belum dirasakan menyentuh masyarakat, karena mereka
belum berpeluang mengajukan keluh kesahnya secara terbuka yang disebabkan oleh
sistem Pemerintahan Orde Baru dan kondisi sosial politik pada waktu itu. Setelah
Pemerintahan Orde Baru diganti dengan Pemerintahan “Reformasi”, masyarakat
menyampaikankepada Komnas HAM.Komnas HAM telah memberikan rekomendasi
kepada Presiden B.J. Habibie tanggal 10 Maret 199922 namun tidak ditanggapi oleh
Pemerintah, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat yang menuntut kepada
Komnas HAM untuk membentuk Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T).
Persoalan
Sejak bulan puasa / Juni 1984 telah sering dilakukan tarawih yang berisi
ceramah keras oleh para mubaligh. Juga dalam perayaan Isra Mi’raj, para mubaligh
menyampaikan pidato yang dapat memecah belah persatuan bangsa, menolak
Pancasila sebagai azas tungga , hasutan tentang Kristenisasi, anti Cina,dll. Disamping
menjadi topik dalam pengajian, reaksi keras terhadap kebijaksanaan Pemerintah tersebut
juga ditulis dalam pamfiet-pamfiet yang ditempel di dinding Mushola, antara lain Mushola
As Sa’adah Tanjung Prick. Penceramah-penceramah dalam pengajian keras tersebut telah
beberapa kali diperingatkan oleh aparat
KP3T berkesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat dan pelanggaran hak
asasi manusia. Kedua macam pelanggaran hak asasi manusia itu dilakukan baik oleh
kelompok massa maupun oleh petugas keamanan.
114. Pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh kelompok massa adalah
sebagai berikut :
• Penghilangan nyawa terhadap 9 (sembilan) orang yaitu keluarga Tan Kio Liem,
termasuk seorang pembantunya.
• Hasutan-hasutan
115. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kelompok massa adalah sebagai
berikut :
• Pengeroyokan terhadap petugas.
• Menimbulkan rasa takut.
• Pengrusakan dan pembakaran terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah
ibadah, rumah, toke, apotik dan kendaraan bermotor
Pelanggaran hak asasi manusia berat oleh petugas keamanan lapangan dan komando adalah
sebagai berikut :
• Penghilangan nyawa di luar putusan pengadilan sebanyak 24 (dua puluh empat) orang,
yaitu 23 (dua puluh tiga) meninggal dan semua ini pemakamannya dilakukan oleh
petugas keamanan dan 1 (satu) orang ditemukan, dirawat dan dimakamkan oleh
keluarganya.
• Menyebabkan luka berat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang.
• Penyiksaan selama dalam pemeriksaan dan penahanan.
118. Pelanggaran hak asasi manusia oleh petugas keamanan lapangan dan komando adalah
sebagai berikut :
• Menimbulkan rasa takut.
• Penghilangan kebebasan beribadah sholat Jumat.
• Proses pemeriksaan yang tidak sesuai KUHAP.
Pelanggaran hak asasi manusia di atas diantaranya adalah karena kelalaian (negligence)
petugas keamanan yang mengakibatkan tindakan petugas yang melebihi sepatutnya.
TGPP
Kendala tim ad hoc , mengenai perbedaan penafsiran instrumen hukum yang
menimbulkan kendala teknis
Hambatan (saksi hanya sedikit , pertentangan regulasi daam peraturan per Uuan,
tidak ada perlindungan bagi saksi )
Kejahatan meluas sistematis
Unsur pembantuan dan menyerang penduduk sipil
Banyak daerah , berbagai latar belakang difokuskan ke jkt utara
Adanya unsur pembantuan kejahatan 312
memberikan kesempatan 318
kesimpulan 323
Peristiwa Papua 2001
Penderitaan rakyat Papua terjadi sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang,
banyak terjadi permasalahan pelanggaran HAM Menanggapi pengaduan masyarakat
Papua , Komnas HAM membentuk Tim Pengkajian Permasalahan HAM di Papua yang
bertugas untuk menyelidiki permasalahan HAM yang terjadi di Papua berdasarkan UU No
39 Tahun 1999 tentang HAM.
Mengingat begitu banyak dan kompleksnya permasalahan pelanggaran HAM yang
terjadi di Papua, penyelidikan dibatasi pada permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi
selama periode 1999 – 2003. Tim merekomendasikan membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran HAM Yang Berat untuk melakukan penyelidikan proyustisia dalam peristiwa
Wasior 2001 - 2002 dan peristiwa Wamena 2003, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.