Tanggal 16 April 1996, Munir mendirikan Komosi untuk Orang Hilang dan Korban
Kekerasan (Kontras) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah
nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi
korban penculikan rejim penguasa Soeharto. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari
berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya.
Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.
Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi
orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktifis yang
menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus yang dipimpin oleh Prabowo
Subianto. Setelah Suharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus
(waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar. Pembunuhan Munir
Sepuluh tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya seorang
aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang
menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil
autopsi, diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah
karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal
ketika melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di
Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana)
adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7
September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan
mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat
tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum
pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon
yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus
BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak
mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat
tugas dan hal-hal yang janggal.
Kasus Munir yang tadi dijelaskan oleh penulis diatas dapat dikategorikan sebagai
Pelanggaran HAM Berat yang termasuk sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dimana
Pasal 9 menjelaskan:
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
f. sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
g. internasional;
h. penyiksaan;
i. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
j. kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
k. kekerasan seksual lain yang setara;
l. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
m. persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
n. atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
o. menurut hukum internasional;
p. penghilangan orang secara paksa; atau
q. kejahatan apartheid.
Dalam hal ini kasus ini merupakan salah satu kejahatan terhadap kemausiaan yang
diketahui dengan cara pembunuhan terhadap anggota sipil. Beserta rentetan peristiwa yang
menimpa munir ini sudah memenuhi unsur pokok dari kejahatan ham berat yaitu meluas dan
sistematik.
Mengenai unsur “Meluas” dan “Siste matis”, berdasarkan putusan perkara “The prosecutor
versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T, pada pengadilan tingkat pertama,
konsep meluas dapat didefinisikan sebagai serangan yang besar, sering, dalam skala
besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh dan ditujukan kepada
korban dalam jumlah banyak, sedangkan defenisi sistematik adalah perbuatan
tersebut benar-benar terorganisir dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan
umum yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar.