Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan
yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa . Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh
siapapun.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM?
3. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM?
4. Bagaimana contoh pelanggaran HAM di Indonesia ?
5. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah


setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan


baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya
terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional
yang menjadi pijakanya.

B. Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :

a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1. Pembunuhan masal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk


menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis,
dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000 Tentang
Pengadilan HAM)

2. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan


yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk
secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain

C. Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan
keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak
pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang
lain, menjarah dan lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam
interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat.
Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa
besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi
dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :

Munir wafat pada tanggal 7 September 2004, di pesawat Garuda GA-974 kursi 40
G dalam sebuah penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Perjalanan itu adalah
sebuah perjalanan untuk melanjutkan study-nya ke Universitas Utrecht. Ia dibunuh
dengan menggunakan racun arsenik yang yang ditaruh ke makanannya oleh Pollycarpus
Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah seorang pilot Garuda yang waktu itu sedang cuti.
Dan pada saat keberangkatan Munir ke Belanda, secara kontroversial ia diangkat
sebagai corporate security oleh Dirut Garuda. Sampai sekarang, kematian seorang
Munir, sang Pahlawan orang Hilang, sang pendekar HAM ini masih sebuah misteri.
Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang
istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak
tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan
sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Untuk memperingati satu tahun kepergian Munir, diluncurkan film dokumenter


karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta
Pusat, 8 September 2005. Film ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai
seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan
sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi
layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir
dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah
Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin
diungkapkan lewat film ini.

Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda's Deadly Upgrade hasil
kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions.Pada
peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film
dokumenter berjudul "His Strory". Film ini bercerita tentang proses persidangan
Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan, dan sejak 2005, tanggal
kematian Munir 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari
Pembela HAM Indonesia.

Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin
melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir
yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot
meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan
duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga
berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam.
Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam
di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda


(Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah
meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang
ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun


hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa
Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan
Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut
Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa
panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi
tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan
ke publik. Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang
dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan
dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan
kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi
divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3
hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun


hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa
Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan
Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut
Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa
panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi
tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan
ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang
dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan
dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan
kesaksian mengarah padanya.Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas.
Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang
memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

2. Kasus Marsinah (1993)

Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur
setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah
bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.

Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan
mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan
dan pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan
permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya
permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.

Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke


Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS.
Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar.
Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9
Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi
sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya
lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-
sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda
tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi
ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah
dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah
tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah


stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul
tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga
akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan
dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah
Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah
berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan
bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama
kebebasan menyuarakan aspirasi.

3. Peristiwa Tanjung Priok 1984

Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah
disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang
menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari
operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman
sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban. Terpilihnya
Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa survey dan anlisa
yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar
pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga
kondisi pemukiman yang padat dan kumuh. Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-
rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya
bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi
sosialekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu
menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan
gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.

Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum peristiwa itu terya
provokatif memancing massa telah banyak dilakukan diantaranya, pembangunan
gedung bioskup tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberang
an degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa suasana
panasitu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang
memusuhi islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama
diluar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat
terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya
bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas
tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ketanjung priok agar tidak
masukperangkap, namun seruan itu rupanya tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung
priok.

Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984 Pada pertengahan tahun 1984, Beredar
isu tentang RUU organisasi sosial yang menghauskan penerimaan azas tunggal. Hal ini
menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat
SEOrang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan
menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb
sudah lama menjadi masalah yang kontroversi.Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu
oleh tindakan provokatif tentara. Pada tanggal7 september 1984, SEOrang Babinsa
beragama katholik sersan satu Harmanu datang kemusholla kecil yang bernama
"Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan
problema yang dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan
pengajian yang akan datang. Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah
melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta
rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah
kedatangan kedua itulah muncul isu yangmenyatakan, kalau militer telah menghina
kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami
pamflet-pamflet di musholla dengan aircomberan.Pada tanggal 10 september 1984,
Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orangtakmir masjid "Baitul Makmur"
yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan
mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk
membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan
kantor, massa diluar sudah terkumpul.

Kedua pengurustakmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi


supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran
tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu
dari kerumunan massa menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata
SEOrang marinir danmembakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga
Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di
tempat kejadian,selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga.
Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi,
yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap
tadi.Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu
datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini
dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.

Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan.


Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Tapi kali ini usahanya tidak berhasil.Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang
mubaligh menyampaikan ceramahnyadi tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan
politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini. Dihadapan massa,
Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para
tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan
mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.Saat ceramah usai, berkumpulah
sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil
setempat. sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung
dari dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat.

Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap temp
ur. Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran
sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar
mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar
aba-aba mundur dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah
suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong
senjatanya ke arah demonstran. Dari segala penjuru terdengan dentuman suara
senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para
demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang
samajuga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk
militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang
bertiarap di jalan, Dari atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para
demonstran.

Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati
bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha
lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.Sembari para
tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih
saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara
di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima
korban penembakan Tanjung Priok. Setelah para korban diangkut, datanglah mobil
pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para korban
penembakan.Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah
itu. Lewatsaat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18
orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untukperistiwa
Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan
korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan.

Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru
tentara...PenyelesaianPengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003
2004. Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk
mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir
yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung,
dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat
berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno
Mascung, dkkdijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno
Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya2.Sebelumnya, Pengadilan HAM
Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam
perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30April 2004, Majelis Hakim
yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku
Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-
Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidanaberupa pidana
penjara selama 10 tahun.
4. Persitiwa 27 Juli 1996

Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (akronim dari


KERUSUHAN DUA PULUH TUJUH JULI) atau Peristiwa Sabtu Kelabu (karena
memang kejadian tersebut terjadi pada hari Sabtu), adalah peristiwa pengambilalihan
secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58
Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan
dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan)
serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta,


khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan
gedung terbakar. Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak
kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis
PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun
penjara.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal


dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM
juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut
pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya
BrigjenSusilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar
Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam
rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan
kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas


Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya
menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya
Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan
penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan
pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah
massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri
tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.

D. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Lingkungan Sekitar

1. Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih


pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
2. Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu
mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada
setiap mahasiswa
3. Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM
terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan
di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
4. Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan
pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna
jalan tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
5. Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu
jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap
anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan
minat dan bakatnya.

E. Instrumen Nasional HAM

1. UUD 1945 : Pembukaan UUD 1945, alenia I IV; Pasal 28A sampai dengan
28J; Pasal 27 sampai dengan 34
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
4. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5. 5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Rativikasi Konvensi PBB tentang penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
6. 6.UU No. 8 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia
7. 7.UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182
mengenai pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak
8. 8.UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya
9. UU No. 12 tahun 2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik

F. Upaya mengatasi pelanggaran hak asasi manusia

Upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui jalur hukum dan non-hukum.
Maraknya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di indonesia lebih banyak
mengarah pada crimes by government, sehingga perlu penyelesaian yang harus
ditangani secara serius oleh pemerintah, seperti upaya untuk membuka kembali kasus-
kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau yang saat ini sedang diupayakan
pemerintah. Guna menyelesaikan kasus kasus tersebut, terdapat dua cara, yaitu melalui
jalur hukum dan alternatif lain.
1. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui penggunaan jalur
hukum (pidana/penal). Penggunaan jalur hukum dapat ditempuh sesuai isi
dengan ketentuan UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang
dilakukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan tahapan-tahapan yang harus
dilalui sebagaimana diatur dalam pasal 10-33 UU pengadilan HAM.
2. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melaui jalur alternatif.
Keberadaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) di indonesia,
sesungguhnya merupakan lemaba baru, yang keberadaanya telah diatur secara
tegas dalam pasal 47 ayat 1 dan 2 UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM, yang intinya tidak menutup kemungkinan adanya alternatif penggunaan
lembaga KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum UU pengadilan HAM diundangkan. Cara cara selain
pembentukan KKR untuk menyelesaikan kasus kasus pelanggaran HAM berat
dimasa lampau, yaitu :
a) Mengajukan pelaku ke pengadilan berdasarkan hukum formal yang
berlaku dan didukung oleh hukum internasional. Cara pertama ini
pernah ditempuh oleh argentina, dengan mengajukan pelakunya yang
kebetulan top officer militer ke pengadilan.
b) Iustrasi, artinya penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan
dengan memberikan sanksi kepada pelaku dengan jalan
mendiskualifikasikan pelaku dari fungsi sosial-politik dalam
masyarakat, seraya mencabut hak sosial-politik yang melekat pada
pelaku. Cara penghukuman yang kedua ini pernah dilakukan di negara
negara bekas komunis di belahan benua eropa timur
c) Amnesti, yaitu sebuah cara yang paling lunak dalam spektrum
penanganan tindak pelanggaran HAM berat. Alasanya, sebagai alat
pencegahan konflik dan polarisasi didalam masyarakat akibat praktik
politik penguasa lama.
2.3.2 Penyelesaian Pelanggaran HAM pada Kasus Munir
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia.Kasus Munir
juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat
otoriter.Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar
meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara
memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan
hak atas rasa aman.Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan
demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu
hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang
lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan
RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang,
kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan
peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara
peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.

3.2 Saran

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan


HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM
orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula
HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita
harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Komarudin. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Jakarta.

Muladi.2009.Hak Asasi Manusi Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif


Hukum dan Masyarakat.Bandung. PT Refika Aditama

Setijo, Pandji. 2010. Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa.


Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai