Anda di halaman 1dari 8

KASUS PELANGGARAN HAK DAN KEWAJIBAN

HAK ASASI MANUSIA

Perlu diingat, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi UUD
Negara Republik Indonesia 1945. Karena itu hak asasi manusia harus menjadi fokus utama
dalam seluruh tindakan pencegahan, persiapan, penanggulangan.

A. KASUS PELANGGARAN HAM 1


Sepanjang tahun 2020, Amnesty International Indonesia melakukan pemantauan terhadap
situasi hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia dan menemukan bahwa pendekatan
keamanan yang berlebihan dalam merespon pandemi COVID-19, pemaksaan agenda sektor
ekonomi, dan serangkaian kebijakan publik lainnya berdampak negatif pada hak-hak asasi
manusia. Jumlah orang yang dihukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik
terhadap pemerintah atau menyebarkan berita bohong meningkat.

I.    Terabaikannya hak-hak tenaga kesehatan dan pembungkaman kritik


Sejak awal pandemi COVID-19 di Indonesia pada bulan Maret, hak-hak tenaga
kesehatan yang menjadi garda terdepan melawan pandemi banyak yang terabaikan. Para
tenaga kesehatan harus menghadapi banyak sekali tantangan mulai dari kekurangan alat
pelindung diri (APD), kesulitan mendapatkan tes swab, kekerasan dan stigma dari
masyarakat, tidak terkecuali pengurangan upah dan pemberhentian. Menurut catatan
Amnesty, per tanggal 7 Desember 2020, setidaknya terdapat 339 tenaga kesehatan di
Indonesia yang telah meninggal akibat COVID-19.

II.   Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan ruang kewargaan


Sepanjang 2020, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang
mengalami pembungkaman, intimidasi, dan kriminalisasi saat menggunakan haknya untuk
mengungkapkan pendapatnya secara damai. Amnesty mencatat, setidaknya terdapat 101
kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE sepanjang
2020, jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.
Angka tersebut termasuk serangan digital, ancaman dari kriminalisasi, termasuk terhadap
jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen mencatat setidaknya ada 56 kasus kekerasan terhadap
jurnalis yang mendokumentasikan protes penolakan terhadap UU Cipta Kerja antara tanggal
7 dan 21 Oktober 2020.
Media independen yang memajukan keberagaman jender seperti Magdalene.co dan
Konde.co juga menjadi korban serangan digital yang membuat pemberitaan mereka sempat
tidak bisa diakses. Menurut pemantauan Amnesty, ada setidaknya 60 kasus serangan dan
intimidasi digital yang dialami organisasi, aktivis, jurnalis dan akademisi per 30 November
2020.

Sumber: https://www.amnesty.id/tahun-2020-adalah-tahun-pelemahan-perlindungan-hak-
asasi-manusia/

B. KASUS PELANGGARAN HAM 2


Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)

 16 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004, pegiat hak asasi manusia (HAM) Munir
Said Thalib tewas setelah dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda.
Aktivis HAM itu diketahui tewas saat berada di dalam pesawat Garuda dengan nomor
penerbangan GA 974. Munir tewas dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol,
Amsterdam. Saat itu, Munir diduga sakit sebelum menghembuskan napas terakhirnya
sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Berdasarkan dokumen Harian Kompas, dugaan itu
muncul setelah pendiri Imparsial dan aktivis Kontras alias Munir Said Thalib itu terlihat
seperti orang sakit setelah beberapa kali ke toilet. Utamanya, setelah pesawat lepas
landas usai transit di Bandara Changi, Singapura.
 Dua bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir tewas
akibat diracuni. Hal itu diketahui setelah senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya
setelah otopsi dilakukan. Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah dan
jantung yang jumlahnya melebihi kandungan normal. "Begitu hasil pemeriksaan
laboratorium terhadap jenazah Munir dari Belanda yag kami terima dari Departemen
Luar Negeri, ada dugaan kematian Munir tidak wajar," ungkap Kapolri Jenderal Pol Da'i
Bachtiar seperti dilansir dari Harian Kompas, pada 13 November 2004.
 Nama maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, yang ditumpangi Munir saat
perjalanan terakhirnya turut mendapat sorotan dalam perkara ini. Terlebih setelah salah
satu pilotnya, Pollycarpus Budihari Priyanto, menjadi terdakwa dan di pidana kurungan
penjara selama 14 tahun sebagai pelaku pembunuhan. Kejanggalan terlihat lantaran
saat kejadian, seharusnya status Pollycarpus cuti. Di dalam film dokumenter Garuda's
Deadly Upgrade (2005), kejanggalan itu terlihat setelah terdapat surat tugas Nomor
GA/DZ-2270/04 tertanggal 11 Agustus 2004. Surat itu ditandatangani oleh Direktur
Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan. Gara-gara surat itu juga, Indra pun
turut menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir dan divonis 1 tahun penjara
pada 11 Februari 2008.
 Di persidangan, Indra membantah terlibat di dalam kasus pembunuhan tersebut.
Namun, muncul dugaan bahwa surat tugas itu dibuat setelah Indra menerima surat
resmi dari Badan Intelijen Negara (BIN), yang salah satunya mencegah ancaman terror.
Surat dari BIN itu diduga diterima pada kurun Juni atau Juli 2004. Setelah Pollycarpus,
giliran nama mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang turut
terseret dalam perkara ini. Muchdi diketahui menyerahkan diri sebelum diperiksa.
"Beliau menyerahkan diri dan bersikap sangat kooperatif dengan penyidik. Pasal yang
dikenakan adalah Pasal 340 tentang pembunuhan berencana juncto
(berhubungan/berkaitan dengan) Pasal 55, tentang turut serta dalam tindak pidana,"
kata Kabareskrim saat itu, Komjen Bambang Hendarso. Namun, di dalam persidangan
pada 13 Desember 2008, Muchdi Pr akhirnya divonis bebas dari segala dakwaan. Hingga
kini, masyarakat masih berharap agar titik terang pembunuhan kasus ini dapat
terungkap. Seperti kata Presiden SBY pada 2004 silam, pengungkapan kasus Munir akan
menjadi ujian bagi sejarah negeri ini.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/07/17012461/pengungkapan-kasus-
kematian-munir-yang-jadi-ujian-sejarah?page=all

C. KASUS PELANGGARAN HAM 3


Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985

 Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang sebagai operasi
pembersihan para gali (gabungan anak liar) oleh M. Hasbi, yang pada saat itu menjabat
sebagai Komandan Kodim 0734 (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-
Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas,
30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja
dilaksanakan secara tertutup. Petrus berawal dari operasi penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
 Pada Maret tahun 1982, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang
sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini
disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo, dalam rapat koordinasi dengan
Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam
Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan
Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di
masing-masing kota dan provinsi lainnya.
 Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para
korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat, dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius
D. KASUS PELANGGARAN HAM 4
Peristiwa Tanjung Priok

 Peristiwa Tanjung Priok adalah kerusuhan yang melibatkan tentara dan warga di
Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984. Kerusuhan ini merupakan salah
satu kerusuhan besar yang terjadi pada masa Orde Baru. Peristiwa ini merupakan
peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang di dalamnya terdapat pembunuhan
secara kilat, penangkapan dan penahan sewenang-wenang, penyiksaan dan
penghilangan orang secara paksa. Pada peristiwa tersebut, Komnas HAM menemukan
setidaknya 79 orang menjadi korban. 55 orang mengalami luka-luka dan 24 orang
lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan
tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang. 
 Kerusuhan Tanjung Priok berawal dari cekcok Bintara Pembina Desa (Babinsa) bernama
Hermanu, dengan warga. Saat itu, Hermanu meminta warga mencopot spanduk dan
brosur yang tidak bernapaskan Pancasila. Ketika itu Pemerintah Orde Baru melarang
paham-paham anti Pancasila. Selang dua hari, spanduk itu tidak juga dicopot oleh
warga. Petugas Babinsa Sersan Satu, Hermanu lantas mencopot spanduk itu sendiri.
Namun, saat melakukan pencopotan, Hermanu disebut melakukan pencemaran
terhadap masjid, yaitu tidak melepas alas kaki saat masuk ke dalam Masjid Baitul
Makmur dan melepas spanduk dan brosur tersebut dengan menyiramnya menggunakan
air selokan. Kabar ini membuat warga emosi dan berkumpul di masjid. Situasi semakin
tidak terkendali saat warga yang diketahui bernama Syofwan, Syarifudin Rambe, Ahmad
Sahi dan Mohammad Noor membakar sepeda motor milik Hermanu. Alhasil, keempat
warga tersebut ditangkap oleh anggota Polres.
 Keesokan harinya, pada 11 September, warga-warga meminta bantuan tokoh
masyarakat setempat, yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Amir Biki
dan sejumlah warga mendatangi Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara. Mereka
meminta agar jemaah dan pengurus masjid dilepaskan. Namun, permintaan ini tak
ditanggapi. Amir Biki pun mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-Jakarta
untuk membahas masalah tersebut. Dalam ceramahnya, Amir memberi ultimatum
kepada aparat untuk melepaskan keempat jamaah yang ditahan dan segera diantar ke
mimbar sebelum pukul 23.00 WIB. Jika tak dituruti, Amir dan massa akan mendatangi
Kodim.
 Tuntutan itu tak juga dipenuhi. Amir pun membagi massa menjadi dua kelompok untuk
bergerak menuju Kodim dan Polsek. Kedatangan massa mendapat adangan aparat
militer bersenjata lengkap. Massa pun langsung menuntut pembebasan. Situasi semakin
memanas dan aparat pun melancarkan sejumlah tembakan. Korban jiwa pun
berjatuhan. Laporan KontraS, sejumlah warga disekap dan siksa oleh aparat. Sementara
itu, lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tak terdapat tanda-tanda
kerusuhan.

Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210623124249-31-658227/kronologi-peristiwa-
tanjung-priok-pada-12-september-1984
https://kontras.org/2020/09/12/36-tahun-peristiwa-tanjung-priok-negara-masih-abai-
seperti-dulu/
https://www.republika.co.id/berita/qgkipy385/12-september-1984-ketika-muslim-dibantai-
di-priok

E. KASUS PELANGGARAN HAM 5


Peristiwa Talangsari 1989

 Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7
Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari
adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Peristiwa
Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu,
pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari. Catatan
Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan
secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46
orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.
 Tragedi Talangsari berawal dari penetapan semua partai politik harus berasaskan
Pancasila sesuai dengan usulan pemerintah kepada DPR dalam UU Nomor 3 Tahun
1985. Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat di Indonesia wajib
mengusung Pancasila. Jika tak mengusung asas Pancasila, ormas tersebut dianggap
menganut membahayakan negara karena menganut ideologi terlarang.
 Hal ini terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah Sungkar.
Kelompok Usroh diburu oleh pemerintah Orde Baru. Kelompok ini melarikan diri ke
Lampung. Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi, seorang petani
sekaligus guru ngaji. Kehadiran kelompok Usroh diterima oleh Warsidi karena memiliki
tujuan yang sama, yakni mendirikan kampung kecil untuk menjalankan syariat Islam
dalam kehidupan sehari-sehari.
 Pada 1 Februari 1989, Camat Way Jepara, Zulkifli Malik bertukar surat dengan
Komandan Rayon Militer Way Jepara, Kapten Soetiman. Dalam suratnya, Zulkifli
menjelaskan informasi yang didapat dari Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega
dan Kepala Dusun Talangsari, Sukidi, tentang keberadaan pengajian yang dianggap
berkaitan dengan gerakan Islam garis keras.
 Kapten Soetiman meminta Kepala Desa untuk mengawasi Warsidi dan kelompoknya.
Laporan dari Kepala Desa terkait aktivitas kelompok Warsidi diteruskan ke Kodim
Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga. Mayor Oloan mengirimkan sejumlah anggotanya
mengawasi kelompok Warsidi ke Dusun Talangsari. Kedatangan para anggota Kodim
menyebabkan bentrokan dengan masyarakat hingga menewaskan Kapten Soetiman.
 Pada 7 Februari 1989, sekitar pukul 4 pagi, militer menyerang Talangsari. Penyerangan
itu dilakukan di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043 yang dipimpin Kolonel
Hendropriyono. Penyerangan dilakukan dengan menyasar jamaah pondok pesantren
pengajian Warsidi.
 Penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang dari berbagai daerah bersiap
mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda, para tentara mengarahkan
tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan pembakaran pondok rumah panggung.
Diduga ramah panggung tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari bayi, anak-
anak, ibu hamil, serta orang tua. Sebanyak 246 jamaah dinyatakan hilang, ratusan orang
disiksa, ditangkap, ditahan, dan diadili secara semena-mena. Pasca peristiwa itu,
Talangsari ditutup untuk umum dengan penguasaan tanah berada di bawah Korem
Garuda Hitam.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210616115743-31-655026/peristiwa-
talangsari-kasus-pelanggaran-ham-berat-pada-1989

F. KASUS PELANGGARAN HAM 6


Tragedi Trisakti

 Tragedi Trisakti adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tanggal 12 Mei
1998, penembakan terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto
turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia
Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan
Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena
peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
 Awal tahun 1998, perekonomian di Indonesia tengah terganggu. Hal ini dipengaruhi oleh
adanya krisis finansial Asia sepanjang tahun 1997 sampai 1999. Mahasiswa kemudian
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa
Universitas Trisakti. Aksi mereka dihalangi oleh Polri yang disusul dengan kedatangan
militer. Beberapa mahasiswa kemudian mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur. Pergerakan ini diikuti dengan
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru mereka
ke arah para mahasiswa. Aparat keamanan tidak hanya menembaki mereka dengan
peluru karet, tetapi juga menggunakan peluru tajam.
 Wakil Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman, yang turut hadir di kampus Trisakti
menyatakan adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani massa.
Mahasiswa yang menjadi korban dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras. Suasana
memilukan pun sangat terasa di Unit Gawat Darurat RS Sumber Waras. Pada pukul
20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan
peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil
sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk
tembakan peringatan.

Sumber:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/07/080000279/tragedi-trisakti--latar-
belakang-kronologi-dan-korban-penembakan?page=all
http://humas.trisakti.ac.id/museum-tragedi-12-mei-1998/sejarah

Anda mungkin juga menyukai