Anda di halaman 1dari 7

TUGAS SATU

“PELANGGARAN HAM”

NAMA : RACHEL BRIHIGITA


KELAS : XI TKJ B
GURU : FREDERIKA
KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM

A. Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib adalah seorang aktivis HAM yang banyak bersuara pada
zaman Orde Baru. Ia telah banyak melakukan pembelaan hukum pada
orang-orang tertindas.

Salah satunya adalah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa


yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. Bahkan, Munir menjadi salah satu
anggota KONTRAS pada masa itu, sebuah komisi yang mengadvokasikan
orang-orang yang hilang, diculik, atau dihilangkan.

Selain sebagai advokat bagi para korban penculikan dan penghilangan


paksa, Munir juga merupakan sosok pengkritik pemerintah orde baru yang
dianggap banyak melakukan penyelewengan.

Pada saat itu, mengkritik pemerintahan merupakan suatu tindakan yang


sangat berbahaya. Kebebasan berpendapat belum sebaik sekarang,
ditambah lagi tendensi negara untuk menyerang balik pengkritiknya.

Benar saja, pada tahun 2004, Munir ditemukan tewas dalam pesawat yang
sedang terbang menuju Amsterdam.

Hasil autopsi yang dilakukan oleh tim forensik Belanda menemukan adanya
senyawa arsenik dalam jasad Munir. Kuat dugaan bahwa aktivis HAM ini
sengaja diracun oleh pihak-pihak tertentu karena tidak mau berhenti
mengkritik mereka.

Selain karena merupakan pembungkaman dan penghilangan hak bersuara,


kasus Munir ini juga merupakan penghilangan nyawa secara paksa, sehingga
dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran HAM yang cukup
mengerikan.

Kasus Munir membuat banyak aktivis menjadi was was dan lebih berhati-hati
akan keselamatan mereka saat mengkritik pemerintah atau orang-orang di
posisi kuasa lainnya.
B. Pembunuhan Massal tahun 1965
Peristiwa berdarah G30SPKI memang berakhir dengan sejumlah tanda tanya
dan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Pada tahun 2012,
penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ternyata menemukan
pelanggaran HAM yang cukup berat seusai peristiwa tersebut.

Korban dari peristiwa ini adalah anggota PKI, serta beberapa organisais
masyarakat lain yang satu jalan dengan mereka. Bahkan, banyak
masyarakat sipil yang tidak sengaja dibunuh juga karena dianggap sebagai
anggota PKI meskipun bukan.

Pelanggaran HAM tersebut berupa penganiayaan, perbudakan, pembunuhan


massal, penghilangan paksa nyawa seseorang dan pemerkosaan.

Setelah ditemukan oleh Komnas HAM dan mendapatkan perhatian dari


Kejaksaan Agung, sampai sekarang kasus ini tengah di proses. Terakhir,
jumlah korban yang diperkirakan dibunuh dan meninggal pada pembunuhan
massal di tahun 1965 tersebut mencapai hampir 1,5 juta orang, bahkan
kemungkinannya bisa lebih besar.

Meskipun begitu, kasus ini sangat mempolarisasi masyarakat Indonesia, di


satu sisi, masyarakat Indonesia banyak sekali yang membenci PKI, namun,
di lain sisi, kekejaman TNI dan oknum lainnya dalam menumpas balik PKI
juga patut dipertanyakan. Terlebih lagi ketika banyak masyarakat sipil yang
menjadi korban dari tindakan serangan balik ini.

C. Peristiwa Tanjung Priok 1984


Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang
terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini diawali dengan kedatangan
anggota bintara ke Masjid As Saadah yang berlokasi di Tanjung Priok.

Bintara tersebut memerintahkan pengurus masjid untuk menurunkan


spanduk-spanduk yang berbau kritik terhadap pemerintahan saat itu, Orde
Baru. Mendengar permintaan ini, pihak masjid menolak untuk melepasnya
karena memang sudah prinsip dan kebebasan mereka untuk berpendapat.
Tidak terima, anggota bintara yang ada melepas paksa spanduk-spanduk
yang ada di masjid tersebut. Sayangnya, mereka gegabah dan tidak
melepaskan alas kaki terlebih dahulu, padahal ada batas suci dimana mereka
harus melepaskan alas kakinya.

Hal ini menyulut kemarahan para pengurus masjid dan warga sekitar karena
sangat tidak sopan. Akhirnya, mereka membakar motor dan memukuli para
bintara yang masuk tanpa izin dan tanpa melepas alas kakinya.

Menyikapi hal ini, pengurus masjid dan warga sekitar yang ikut dalam
penyerangan tersebut ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara. Dua hari
kemudian, warga muslim Tanjung Priok melakukan demonstrasi untuk
mendukung dan meminta kebebasan teman-teman mereka.

Situasi semakin memanas karena pihak militer tidak menggubris tuntutan


mereka. Akhirnya, terjadi kericuhan dimana pihak militer menembaki para
demonstran untuk membubarkan mereka.

Berdasarkan hitungan resmi, peristiwa ini menyebabkan 24 orang tewas


serta 54 orang terluka. Akan tetapi, menurut perkiraan, ada lebih dari lebih
dari 100 warga Tanjung Priok yang tewas, hilang, ataupun terluka pada saat
demonstrasi tersebut.

D. Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998 (Trisakti)


Pada masa orde baru, pada 13 sampai 15 Mei terjadi kerusuhan yang cukup
besar hampir di seluruh tanah air. Awal kerusuhan ini kemungkinan dipicu
oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap krisis finansial dan ekonomi yang
sedang melanda Asia, atau dikenal sebagai krisis moneter (krismon).

Ketegangan di masyarakat menjadi semakin tinggi dan kondisi makin


memburuk setelah empat mahasiswa Trisaskti tewas ketika melakukan unjuk
rasa di tanggal 12 Mei.
Beberapa fakta dari peristiwa tersebut, terangkum dalam beberapa poin
berikut ini, diantaranya adalah:

 Kerusuhan menyebar di seluruh tanah air, dan puncaknya berada di Jakarta


sebagai ibu kota negara.
 Terjadi mis-komunikasi dan salah persepsi antar instansi pengadilan negara,
mendapatkan rekomendasi dari DPR ke Presiden, namun sampai sekarang
belum mendapat rekomendasi, jadi dikembalikan ke Komnas HAM.
 Beberapa tahun kemudian, Kejaksaan Agung berdalih bahwa DPR tidak ingin
memberikan rekomendasi karena tidak ditemukan adanya pelanggaran HAM
berat di dalamnya. Sedangkan dalih yang lain, Kejaksaan Agung
menganggap bahwa kasus ini telah selesai di Pengadilan Militer tahun 1999.
Terlepas dari semua fakta tersebut, sampai saat ini kasus Trisakti dan
Peristiwa Semanggi belum mendapatkan titik temu dan penyelesaian yang
jelas. Lembaga negara juga terkesan lambat dalam mengambil tindakan
penyelesaian.

E. Tragedi Wamena
Tragedi pelanggaran HAM juga pernah terjadi di Papua, yang sering disebut
sebagai tragedi Wamena. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2003 pada
awal bulan April, dan berlangsung pada dini hari.

Awalnya peristiwa tersebut dimulai dengan pembobolan gudang senjata


markas Kodim Wamena, dimana penyerang membawa lari amunisi dan
senjata api. Pada penyerangan tersebut, dua anggota Kodim tercatat
meninggal dunia, yakni Lettu TNI AD Napitulu, dan prajurit Ruben Kana,
yang merupakan tentara penjaga gudang senjata.

Untuk menyisir pelaku pembunuhan tersebut, aparat TNI-Polri melakukan


penangkapan dan penyiksaan pada penduduk lokal. Sayangnya, TNI dan
Polri melakukan penyisiran ini dengan cukup brutal kepada masyarakat
sekitar.

Banyak korban jiwa berjatuhan karena tragedi ini, mulai dari perampasan
paksa yang menimbulkan korban jiwa, dan pengungsian penduduk secara
paksa untuk menemukan pelaku yang masih lari.
Pada pemindahan paksa tersebut, disebutkan bahwa 42 orang meninggal
karena kelaparan, sedangkan 15 yang lain menjadi korban perampasan.

Komnas HAM yang menyelidiki kasus ini menemukan berbagai tanda bahwa
terdapat pemaksaan tanda tangan surat pernyataan, berikut juga perusakan
fasilitas umum. Bahkan di pihak Kejaksaan Agung sendiri, kasus ini masih
belum ada kemajuan karena tarik ulur antara berbagi instansi hukum.

Tragedi Wamena ini muncul lagi ke permukaan dan santer diberitakan


setelah tragedi mahasiswa Papua yang didiskriminasi oleh polisi baru-baru
ini. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga-lembaga HAM kembali disorot
untuk menyelesaikan kasus ini.

F. Penculikan Aktivis 1997/1998]


Pada tahun 1997 dan 1998, Indonesia mengalami pergolakan yang cukup
hebat di berbagai lapisan masyarakat. Saat itu, ketidakpuasan terhadap
pemerintah membuat banyak aktivis semakin vokal menyuarakan penolakan
terhadap pemerintah.

Seiring dengan kritik mahasiswa yang semakin keras kepada pemerintah,


pihak penguasa pun memutar akal untuk meminimalisir kritik-kritik tersebut.
Salah satunya adalah dengan mengamankan dan menangkap orang-orang
yang dianggap sebagai provokator.

Keadaan menjadi semakin memanas menjelang pemilu 1997 dan sidang


MPR 1998. Retorika yang dikeluarkan oleh mahasiswa dan para aktivis
semakin membara kepada pemerintah. Keadaan yang semakin genting ini
berbuntut penghilangan orang secara paksa.

Harapannya adalah, massa aktivis dan mahasiswa akan kehilangan


semangat dan takut untuk bersuara ketika teman-temannya dihilangkan.
Sebanyak 23 aktivis hilang pada periode tersebut. Sembilan diantara mereka
dilepaskan kembali, satu korban ditemukan tewas, dan 13 korban hilang,
lainnya tidak pernah kembali hingga kini.
Penculikan yang dilakukan oleh aparat negara ini terjadi di berbagai wilayah,
beberapa diantaranya adalah Solo, Lampung, dan paling banyak di Jakarta.

Banyak yang menduga bahwa para aktivis diinterogasi lalu dibunuh dan
dibuang di tempat-tempat terpencil agar tidak dapat ditemukan. Ada yang
menduga bahwa mereka dimasukkan kedalam tong minyak dan diisi oleh
beton, lalu dibuang di tengah laut. Ada pula yang berasumsi bahwa jasad
mereka dibuang di hutan agar dimakan oleh hewan buas.

Anda mungkin juga menyukai