Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM DAN HAM

NAMA : I MADE SATRIANA

KELAS : 3B

NIM : 2121020066

PENYELESAIAN KASUS HAM BERAT


YANG TERJADI DI INDONESIA.

Empat kategori pelanggaran HAM berat yaitu:

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan
kepada warga sipil, yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan
mental. Bentuk perbuatannya dapat berupa.

a. pembunuhan di luar hukum;

b. penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;


penghilangan paksa;

c. perbudakan dan praktik serupa perbudakan;

d. deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan,


pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot setara;

f. dan diskriminasi sistematis, khususnya berdasarkan ras, etnis, atau jenis kelamin,
melalui aturan hukum dan kebijakan yang bertujuan mempertahankan subordinasi
suatu kelompok.

2. Genosida, yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa
dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut. Bentuknya dapat
berupa:

a. pembunuhan anggota kelompok;

b. penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;

c. sengaja menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan;

d. mencegah kelahiran;

e. dan memindahkan anak-anak secara paksa.


1
3. Kejahatan perang, yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun
sipil. Bentuknya dapat berupa:

a. menyerang warga sipil dan tenaga medis;

b. perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan,


pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang
setara;

c. menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

4. Agresi, yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap target
serangan.

Dalam aturan hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia menetapkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai
pelanggaran HAM berat.

Khusus untuk perkara pelanggaran HAM berat, ada Statuta Roma, perjanjian
internasional di bawah wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Sayangnya, sampai sekarang
Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.

Di tingkat nasional, ada Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang mengatur perlindungan HAM dan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang mengatur pengadilan bagi kasus pelanggaran HAM.

Ada juga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai undang-
undang lainnya yang secara spesifik melindungi kita dari berbagai bentuk kejahatan yang bisa
mengancam hak asasi kita.

Ada 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum mendapat
keadilan. Berkas dari sebagian besar kasus tersebut selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung
dalam 18 tahun terakhir karena dianggap kurang bukti. Ini beberapa di antaranya:

1. Peristiwa 1965 – 1966

Setelah upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965, militer Indonesia – yang
dipimpin Mayor Jenderal Suharto – melancarkan serangan sistematis terhadap tersangka
komunis dan sejumlah kelompok kiri lainnya. Pihak berwenang Indonesia menelantarkan jutaan
korban dan anggota keluarga korban peristiwa 1965 dan 1966 mengalami salah satu pembunuhan
massal terburuk.

2. Tragedi Tanjung Priok (1984)

2
Seorang tentara memasuki Masjid As-Sa’adah di Tanjung Priok tanpa melepas sepatu
untuk menghapus brosur dan spanduk yang berisi kritik kepada pemerintah. Akibatnya,
bentrokan terjadi antar warga dan aparat, dan empat orang warga ditahan. Saat warga beraksi
mendesak pembebasan mereka yang ditahan, bentrok antara Jemaah As-Sa’adah dan aparat di
Tanjung Priok menewaskan puluhan orang.

Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar
HAM. Namun para terdakwa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh
pengadilan. Putusan bebas tersebut juga menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti
rugi dan pemulihan kepada

3. Penembakan Misterius 1982-1985

Dalam peristiwa ini, terjadi pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan
orang secara paksa. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo
mengatakan jumlah korban mencapai 10 ribu orang. Korban adalah mereka yang ditetapkan
sebagai penjahat oleh pemerintah saat itu, maupun petani dan pegawai negeri sipil karena
bernama sama dengan mereka yang dicatat sebagai penjahat.

4. Peristiwa Talangsari 1989

Penyerbuan militer terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari, Lampung.


Ratusan warga ditangkap, disiksa, ditahan, dan dituduh makar.

5. Peristiwa Geudong dan Pos Sattis Lain di Aceh 1989-1998

Peristiwa ini terjadi saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer, ketika militer
mengamankan wilayah sebagai reaksi atas berbagai insiden bersenjata antara militer, anggota
Gerakan Aceh Merdeka, maupun warga sipil. Panglima ABRI menggelar operasi untuk
memeriksa orang yang dianggap berhubungan atau mengetahui kelompok yang dianggap
melakukan makar.

Laporan Komnas HAM menyatakan, terjadi kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan,


perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
dan penghilangan orang secara paksa.

6. Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998

Sejumlah mahasiswa dan aktivis dari berbagai organisasi hilang setelah menunjukkan
sikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah alat teror
negara melalui aparatur keamanan dan dilakukan di luar proses hukum.

7. Kerusuhan Mei 1998

3
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Akibat
peristiwa ini, Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Sepanjang kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Medan, dan
Surakarta, terjadi penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pembunuhan, dan
kekerasan seksual. Aparat keamanan mencoba mengendalikan keamanan dengan kekerasan. Para
perusuh dihalau dengan rentetan senjata.

8. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998 & 1999

Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa
Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.

Peristiwa Semanggi I pada 11-13 November 1998 menewaskan 17 warga sipil dan
melukai setidaknya 109 orang. Saat itu, masyarakat berdemonstrasi bersama mahasiswa di
Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada momen Sidang Istimewa untuk mendesak penghapusan
dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menewaskan 11 orang mahasiswa dan


melukai 217 orang. Saat itu, mahasiswa memprotes pengesahan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dianggap memberi keleluasaan kepada tentara, yang
diduga telah banyak melanggar HAM, untuk mengamankan negara dengan pendekatan militer.

Berkas penyelidikan tiga kasus ini dijadikan satu oleh Komnas HAM. Ketiga tragedi
dianggap bertautan satu sama lain dalam konteks kebijakan pemerintah menghadapi gelombang
demonstrasi menuntut Reformasi.

Ada bukti awal yang cukup untuk menyatakan tiga kasus ini adalah pelanggaran HAM
berat: terjadi pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan
kebebasan fisik secara terencana, sistematis, dan meluas.

9. Peristiwa Simpang KKA 1999

Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten
Aceh Utara. Pasukan militer menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa memprotes
insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.

Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan akibat diduga ditembak aparat militer
setidaknya 23 orang. Setidaknya 30 warga sipil juga jadi korban penyiksaan oleh aparat.

10. Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003

Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa
Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua akibat terbunuhnya 5 anggota Brimob dan seorang warga

4
sipil di PT Vatika Papuana Perkasa. Dalam peristiwa itu tercatat empat orang tewas, satu orang
mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Kasus Wamena terjadi pada 4 April 2003 saat warga Papua sedang merayakan Paskah.
Aparat melakukan penyisiran karena sebelumnya sekelompok masa tak dikenal membobol
gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Saat penyerangan itu, dua anggota Kodim tewas.
Dalam penyisiran ke 25 kampung, dilaporkan 9 orang tewas dan 38 orang luka berat.

11. Peristiwa Paniai 2014

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Desember 2014. Warga Paniai ditembak aparat
gabungan TNI dan Polri kala memprotes pemukulan yang diduga 11 anak Papua oleh personel
militer di dekat markas militer dan polisi setempat.

Keadaan memanas saat pengunjuk rasa mulai melemparkan batu dan kayu ke sekitar
gedung markas militer dan polisi. Pasukan keamanan yang berjaga menembaki massa aksi
dengan peluru tajam hingga menewaskan empat orang korban. Setidaknya 21 orang lainnya
mengalami luka tusuk.

Hak korban pelanggaran HAM

1. Hak atas kebenaran

Negara wajib memberi informasi kepada para korban, keluarga korban, dan masyarakat
umum tentang penyebab peristiwa pelanggaran HAM. Informasi ini harus mencakup alasan,
situasi pelanggaran, kemajuan hasil investigasi dan proses hukum, serta identitas pelaku.
Misalnya, dalam kasus penghilangan paksa, negara wajib menginformasikan keberadaan dan
keadaan korban.

Hak atas kebenaran penting bagi korban serta keluarga korban pelanggaran HAM untuk
memastikan akurasi fakta dan mencegah hilangnya bukti. Masyarakat juga memiliki hak atas
informasi tentang sejarahnya sendiri sehingga mereka memahami dampak pelanggaran HAM.

2. Hak untuk mengakses keadilan

Negara bertanggung jawab menjamin hak korban untuk mengakses keadilan dengan
proses yang transparan, adil, dan tidak memihak. Negara harus melindungi korban dari gangguan
terhadap privasi mereka dan memastikan mereka aman dari intimidasi dan pembalasan sebelum,
selama, dan setelah proses pengusutan peristiwa pelanggaran HAM berat. Kepastian hukum
penting untuk memutus rantai impunitas dan menjamin hak atas kebenaran dan pemulihan bagi
korban dan keluarga korban.

3. Hak reparasi atas kerugian yang diderita

5
Negara wajib memenuhi hak atas reparasi bagi korban pelanggaran HAM dan kerugian
yang diderita korban. Reparasi termasuk:

a. Restitusi, yaitu upaya mengembalikan korban ke situasi sebelum pelanggaran HAM


berat terjadi.

b. Kompensasi, yaitu upaya mengembalikan kerusakan secara ekonomi.

c. Rehabilitasi, mencakup perawatan medis dan psikologis serta layanan hukum dan
sosial.

d. Hak atas pemulihan, termasuk informasi yang relevan tentang mekanisme reparasi
yang jelas

Negara wajib mengusahakan pengembalian situasi seperti sebelum pelanggaran HAM


terjadi dengan bertanggung jawab atas kerugian seperti hilangnya kesempatan pekerjaan,
pendidikan dan tunjangan bantuan sosial hingga bantuan psikologis.

Hak atas pemulihan termasuk langkah-langkah selain penggantian uang, seperti


permintaan maaf kepada publik serta korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, termasuk
pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta yang benar.

Negara juga harus menginformasikan kepada masyarakat umum dan, khususnya, korban
pelanggaran HAM berat, tentang hak dan pemulihan medis, psikologis, sosial, administrasi, dan
semua layanan lainnya yang berhak diakses oleh korban.

Upaya atau cara Negara mengadili suatu kasus pelanggaran HAM berat

Penuntasan kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh, termasuk pemenuhan hak


korban dan penghukuman pelaku secara efektif melalui pengadilan HAM sangat penting. Kalau
kasus pelanggaran HAM tidak diusut tuntas, pelanggaran HAM serupa akan terus berulang.

Di Indonesia, mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat diatur dalam


Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM akan melakukan
penyelidikan dan menentukan unsur pelanggaran HAM dalam suatu kasus.

Jaksa Agung selaku penyidik menentukan tersangka, membuat tuntutan, dan memproses
kasus di pengadilan. Kasus kemudian disidang di pengadilan HAM oleh 5 orang Majelis Hakim,
3 di antaranya dari tim Ad Hoc. Tim Ad Hoc dibentuk atas usul DPR dan disahkan melalui
Keputusan Presiden.

6
Tapi, pada praktiknya, pengadilan HAM belum dilaksanakan secara efektif di Indonesia.
Misalnya, pada kasus Tanjung Priok (1984), pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama memutus
bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. Tapi, para terdakwa melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas itu juga menggugurkan
kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan kepada korban.

Sayangnya, meski Indonesia kerap gagal menuntaskan pelanggaran HAM dan membawa
semua aktor pelanggaran HAM untuk diadili di dalam negeri, Indonesia juga belum meratifikasi
Statuta Roma.

Indonesia tergolong sulit menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dikarenakan


beberapa faktor yaitu

Kurangnya komitmen pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum di


beberapa negara yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik sarat
kepentingan menjadi hambatan-hambatan utama penuntasan kasus pelanggaran HAM.

Relasi kuasa pihak-pihak yang berkuasa seringkali lebih kuat hingga menempatkan
kepentingan politik di atas kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM terus terjadi, dan semakin
banyak korban menderita.

Di Indonesia, bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM (penyelidik) dan


Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat. Kejaksaan Agung kerap menyebut kurangnya bukti dalam
penyelidikan, bahkan hilangnya dokumen investigasi, sebagai faktor yang menghambat
penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Selain itu, beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat malah menjadi pejabat
pemerintah. Padahal, pelaku atau terduga pelaku tidak seharusnya terlibat aktif dalam
menentukan kebijakan publik. Misalnya, jika mereka memanipulasi penegakan hukum untuk
menguntungkan mereka atau membuat mereka bisa lolos dari hukuman, mereka jadi sulit
dihukum.

Dalam beberapa tahun terakhir upaya Indonesia untuk mencegah pelanggaran HAM berat
kembali terjadi di idonesia yaitu dengan :

1. Menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM melalui pembuatan kebijakan, legislasi,


regulasi, dan sistem pengadilan yang memadai dan efektif untuk menuntaskan kasus
pelanggaran HAM

2. Menghapus atau merevisi aturan hukum yang berpotensi melanggar HAM

3. Mereformasi sistem penegakan hukum agar berorientasi HAM

7
Masyarakat sipil juga turut melakukan upaya pencegahan pelanggaran Ham berat
kembali terjadi dengan :

1. Meminta pertanggungjawaban pemerintah atas penuntasan kasus pelanggaran HAM berat


agar keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai

2. Membantu dan mendukung korban dan keluarga korban melalui pesan solidaritas, aksi,
dan lainnya.

Kesimpulan :

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia cukup minim, Karena Indonesia sudah baik
memiliki kualitas keamanan Polisi pada setiap daerah Indonesia. Kasus pelanggaran HAM di
Indonesia sudah banyak yang tuntas,

Peran pemerintah :

1. Mengerahkan polisi untuk kasus pelanggaran HAM

2. Turut serta membantu luar negeri mengatasi kasus Pelanggaran HAM

3. Mengikut sertakan TNI membantu tuntaskan kasus HAM negara Timur Tengah

Namun meskipun sudah baik, ada beberapa kasus Pelanggaran HAM belum tuntas
khususnya jaman Orde Baru oleh era Soeharto sebagai contoh kasus Munir, kasus Penembakan
misterius, partai Politik, dan masalah Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai