Anda di halaman 1dari 10

Contoh Kasus Pelanggaran HAM di

Indonesia
» Kasus, » VPFidi
Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia (20 contoh kasus)

Sebelum kita masuk ke contoh kasusnya, ada baiknya kita mengetahui sekilas apa itu
Pelanggaran HAM,... ok

Bedasarkan Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang disebut dengan pelanggaran
HAM/hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang yang di dalamnya
termasuk aparat negara, maupuin bukan, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan ataupun mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin atas UU dan tidak mendapatkan ataupun
dikhawatirkan tidak akan memperoleh suatu penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan pada mekanisme hukum yang telah berlaku.
 Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
 Pemukulan
 Penganiayaan
 Pencemaran nama baik
 Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
 Menghilangkan nyawa orang lain
b. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
 Pembunuhan masal (genosida)
 Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
 Penyiksaan
 Penghilangan orang secara paksa
 Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
Contoh kasus pelanggaran ham (20 contoh kasus) :
1. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini berkaitan dengan gerakan di era
reformasi yang gencar disuarakan di tahun 1998. Gerakan tersebut dipicu oleh krisis moneter dan
tindakan KKN presiden Soeharto, sehingga para mahasiswa kemudian melakukan demo besar-
besaran di berbagai wilayah yang kemudian berujung dengan bentrok antara mahasiswa dengan
aparat kepolisian.
Tragedi ini mengakibatkan (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi
Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

2. Kasus Marsinah 1993


Kasus Marsinah terjadi pada 3-4 Mei 1993. Seorang pekerja dan aktivitas wanita PT Catur
Putera Surya Porong, Jatim
Peristiwa ini berawal dari aksi mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka
menuntun kepastian pada perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah
aksi demo tersebut, Marsinah malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan
hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran
HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Penyelidikan masih belum
menemukan titik terang hingga sekarang.

3. Aksi Bom Bali 2002


Peristiwa ini terjadi pada tahun 2002. Sebuah bom diledakkan di kawasan Legian Kuta, Bali oleh
sekelompok jaringan teroris.
Kepanikan sempat melanda di penjuru Nusantara akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga
banyak memicu tindakan terorisme di kemudian hari.
Peristiwa bom bali menjadi salah satu aksi terorisme terbesar di Indonesia. Akibat peristiwa ini,
sebanyak ratusan orang meninggal dunia, mulai dari turis asing hingga warga lokal yang ada di
sekitar lokasi.

4. Peristiwa Tanjung Priok (1984)


Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari
masalah SARA dan unsur politis.
Peristiwa ini dipicu oleh warga sekitar yang melakukan demonstrasi pada pemerintah dan aparat
yang hendak melakukan pemindahan makam keramat Mbah Priok. Para warga yang menolak
dan marah kemudian melakukan unjuk rasa, hingga memicu bentrok antara warga dengan
anggota polisi dan TNI.
Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan korban meninggal
dunia akibat kekerasan dan penembakan.
5. Kasus Penganiayaan Wartawan Udin (1996)
Kasus penganiayaan dan terbunuhnya Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin)terjadi di
yogyakarta 16 Agustus 1996.
Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru
dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986. Udin adalah seorang wartawan dari
harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan
sudah tewas.
6. Peristiwa Pemberontakan di Aceh Gerakan Aceh Merdeka/GAM (1976-2005)
Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh
kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005.
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain
menyebabkan tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh.
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah
personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169
orang.
Konflik antara pemerintah dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah
berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15,000 jiwa.

7. Penculikan aktivis 1997/1998


adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-
demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998 Jakarta Selatan.
Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997,
dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang
diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara
mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka
yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]Selama periode 1997/1998, KONTRAS
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah
dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus
Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
8. PELANGGARAN HAM DI TIMOR-TIMUR (1974-1999).
Timor Leste adalah negara baru yang berdiri secara resmi berdasarkan jajak pendapat tahun
1999. Dulunya, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia bernama Timor Timur,
propinsi ke-27. Pemisahan diri Timor Timur memang diwarnai dengan suatu tindak kekerasan
berupa pembakaran yang dilakukan oleh milisi yang kecewa dengan hasil referendum.
Disebutkan telah terjadi pembantaian terhadap 102.800 warga Timor Timur dalam kurun waktu
24 tahun, yakni ketika Timtim masih tergabung dengan Indonesia (1974-1999). Sekitar 85 persen
dari pelanggaran HAM, menurut laporan CAVR, dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia.
9. Kerusuhan Ambon/Maluku (1999)
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang terjadi sejak bulan Januari 1999 hingga saat ini telah
memasuki periode kedua, yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup
besar serta telah membawah penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat
di Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya.
Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali dengan terjadinya perkelahian antara salah
seorang pemuda Kristen asal Ambon yang bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir
angkot dengan seorang pemuda Islam asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan
dan sering melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" ) khususnya terhadap setiap sopir
angkot yang melewati jalur Pasar Mardika – Batu Merah.
TENTANG PERKEMBANGAN TERAKHIR KONFLIK DI AMBON menurut badan pekerja
kontras (komisi yang menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan) Sampai saat
ininja kotaumlah korban yang kami terima berjumlah tidak kurang 1.349 korban tewas, 273 luka
parah serta 321 luka ringan.
10. Konflik Berdarah Poso (1998)
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan
Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami
pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih
dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan
yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun
kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998
dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk
kepentingan masing-masing.

11. Pembantaiaan Rawagede (1947)


Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan terhadap
penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat)
oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi Militer
Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa
alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan bahwa
pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda harus
membayar ganti rugi kepada para keluarga korban pembantaian Rawagede.

12. Penembakan Misterius (1982-1985)


Diantara tahun 1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering menganggu
ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun kemungkinan pelakunya adalah
aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam). Kasus ini termasuk pelanggaran
HAM, karena banyaknya korban Petrus yang meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban
Petrus ditemukan meninggal dengan keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun,
hutan dan lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas
karena ditembak.

13. Pembantaian Timor-Timur Santa Cruz (1991).


Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang
dilakukan oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa
Cruz, Dili, Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991.
Kebanyakan warga sipil yang sedang menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa
Cruz ditembak oleh anggota militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan
mahasiswa dan warga sipil mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal.
Banyak orang menilai bahwa kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI
dengan melakukan agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin
keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri.
14. Peristiwa 27 Juli (1996)
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan
mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996.
Massa mulai melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan
ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak
bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas.
Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-
luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini telah
terbukti terjadinya pelanggaran HAM.

15. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi (1998)


Peristiwa beserta pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi
hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga sekitar yang
berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap
orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun santet dibunuh,
ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota
TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet
yang masih selamat dari amukan warga.

16. Pembantaian Massal Komunis/PKI (1965)


Pembantaian ini merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh
sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI)
menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan anggotanya yang berjumlah jutaan.
Pihak militer mulai melakukan operasi dengan menangkap anggota komunis, menyiksa dan
membunuh mereka. Sebagian banyak orang berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi
dalang dibalik pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis
meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

17. Kasus Bulukumba (2003)


Kasus Bulukumba merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003.
Dilatar belakangi oleh PT. London Sumatra (Lonsum) yang melakukan perluasan area
perkebunan, namun upaya ini ditolak oleh warga sekitar. Polisi Tembak Warga di Bulukumba.
Anggota Brigade Mobil Kepolisian Resor Bulukumba, Sulawesi Selatan, dilaporkan menembak
seorang warga Desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Senin (3 Oktober 2011)
sekitar pukul 17.00 Wita. Ansu, warga yang tertembak tersebut, ditembak di bagian punggung.
Warga Kajang sejak lama menuntut PT London mengembalikan tanah mereka.
18. Peristiwa Abepura, Papua (2000-2003)
Peristiwa ini terjadi di Abepura, Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang
membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM
menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Abepura.
19. Peristiwa perbudakan buruh panci 2013
Kampung Bayur Opak RT 03/06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten
Tangerang, terkuak setelah dua buruh yang bekerja di pabrik itu berhasil melarikan diri. Andi
Gunawan (20 tahun) dan Junaidi (22) kabur setelah tiga bulan dipekerjakan dengan tidak layak.
Dalam waktu enam bulan dia bekerja di pabrik milik Juki Hidayat itu, tidak sepeser pun uang
yang diterima para buruh.
Setiap hari, para buruh harus bekerja lebih dari 12 jam untuk membuat 200 panci. Jika tidak
mencapai target, lanjutnya, para pekerja akan disiksa dan dipukul. Para pekerja yang rata-rata
berumur 17 hingga 24 tahun ini hanya memiliki satu baju yang melekat di tubuh, karena
menurutnya baju, ponsel dan uang yang mereka bawa dari kampung disita oleh sang majikan
ketika baru tiba di pabrik tersebut. Para pekerja diiming-imingi mendapat gaji Rp 600 ribu per
bulannya. Kondisi bangunan di sana sangat memprihatinkan, tidak layak untuk ditiduri. Para
pekerja sering diancam oleh mandor-mandor dan bos Juki, akan dipukuli sampai mati, mayatnya
langsung mau dibuang di laut kalau jika macam-macam di sana.

20. Pembantaian petani di meusji 2011


Di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI, Sumsel, pertikaian warga dan perusahaan
sawit telah menelan sejumlah korban jiwa. Konflik dipicu dari bermasalahnya kerjasama plasma
antara warga desa denagn perusahaan perkebunan sawit.
Bermula dari kesepakatan warga desa Sungai Sodong, Mesuji dengan pihak perusahaan PT.
Treekreasi Margamulya (TM/ Sumber Wangi Alam (SWA), pada awal 1997, untuk
pembangunan kebun plasma. Masyarakat mendukung niatan perusahaan itu, karena bermanfaat
untuk ekonomi mereka.Dari sini kerjasama berjalan lancar tanpa ada masalah. Baru 5 tahun
kemudian muncul persoalan. Hal itu bermula dari niatan perusahaan sawit itu yang mengajukan
usulan pembatalan plasma.
Dipicu tindakan perusahaan ini Korbanpun berjatuhan dari beberapa pihak keamanan maupun
warga.
Marsinah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan


kaki untuk pemastian. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan
menambahkan catatan kaki dari sumber yang tepercaya. Tulisan yang tidak
dapat diverifikasi akan dipertanyakan serta dapat disembunyikan ataupun
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.

Untuk film tahun 2001 mengenai kasus Marsinah, lihat Marsinah (film).

Marsinah, seorang Pejuang HAM dan Penggerak Buruh Indonesia

Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah
seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan Orde Baru, berkerja pada PT. Catur Putra
Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8
Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa
Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD
Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.[1]

Daftar isi

 1Latar belakang
 2Garis waktu
 3Proses penyelidikan
 4Komite solidaritas
 5Film dan lagu
 6Pentas drama monolog Marsinah Menggugat
 7Catatan kaki
 8Pranala luar
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992
yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Imbauan tersebut tentunya disambut dengan
senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahnya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) Porong
membahas surat edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk
unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1700 menjadi Rp2250.

Garis waktu[sunting | sunting sumber]


Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari
mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan
unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan
karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari
CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Proses penyelidikan[sunting | sunting sumber]


Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari
selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami
siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai
Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan
menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah
satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput
Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak
sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Komite solidaritas[sunting | sunting sumber]


Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite yang
didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan
investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM melakukan
berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan and menghentikan intervensi militer dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS
melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong atas pemutus hubungan
kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang
dianggap sebagai dalang unjuk rasa.

Film dan lagu[sunting | sunting sumber]


 Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet Rahardjo, dengan judul
"Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Film berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan
kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu ditunda.
 Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi meluncurkan
album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini diciptakan oleh komponis MasGatuntuk
mengenang jasa-jasa Marsinah.
 Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama Marjinal, menciptakan
sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu ini
dibawakan sekaligus dalam 2 albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru mereka
bertajuk predator, masing-masing dalam versi yang berbeda.

Pentas drama monolog Marsinah Menggugat[sunting | sunting sumber]


Pada 26 November 1997 malam, pentas drama monolog Marsinah Menggugat oleh Ratna
Sarumpaet dan Teater Satu Merah Panggung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa
Timur (TBJ), Jl. Gentengkali, Surabaya, dilarang pihak kepolisian. Sebelumnya pentas sudah
dilakukan di tujuh kota, terakhir dua hari sebelumnya pentas tersebut sukses di Malang. Pentas ini
digelar oleh panitia pertunjukan dari Korp Puteri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri
PMII).
Sebelumnya pihak panitia melayangkan surat pemberitahuan ke Polda Jatim pada 12
November 1997. Menurut Petunjuk Pelaksanaan (juklak) POLRI yang dikeluarkan oleh KAPOLRI,
pertunjukan kebudayaan semacam teater atau drama, tidak memerlukan izin, hanya pemberitahuan.
Surat izin pemakaian gedung juga sudah dikeluarkan Taman Budaya Jatim tertanggal 20 November
1997.
Pukul 15.00 WIB, pihak panitia diminta menemui langsung Kasat IPP di Polwiltabes.
Pukul 16.00, pintu ditutup aparat dan dijaga ketat. Mereka yang datang untuk menonton Marsinah
Menggugat, dilarang masuk.
Sekitar pukul 19.00, para peonton sudah berdatangan. Mereka bergerombol di depan pintu masuk
ditutup dan dijaga beberapa petugas. Sementara Ratna Sarumpaet dengan beberapa panitia tetap
bertahan di panggung pertunjukan. Ia bersikeras tetap di tempat itu sampai jadwal sewa gedung
untuk pertunjukan selesai, pukul 23.00 WIB.
Pukul 19.20 Ketua PMII Jawa Timur dan Ketua Panitia Kegiatan dengan didampingi beberapa
aktivis FKMS bernegosiasi dengan aparat untuk meminta izin masuk, tetapi gagal.
Sekitar pukul 20.00, Ratna meminta maaf kepada penonton yang datang bergerombol di depan
pintu. Ratna dengan memanjat pagar, mengucapkan maafnya dan kemudian menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
Sekitar pukul 21.00, penonton yang tidak bergeming, mulai dihalau petugas. Pengamanan pintu TBJ
ditambah dengan puluhan Polisi Unit Reaksi Cepat (URC) Polwiltabes, Satuan Perintis Polresta
Surabaya, Brimob, dan beberapa aparat dari KODAM V Brawijaya serta sejumlah besar satuan
intelejen.
Setelah penonton pulang, sekitar pukul 23.00, Ratna bersama panitia keluar dan terus dikawal
petugas.[2]
2002: Tragedi Bom Bali
Penulis: AdministratorPada: Kamis, 12 Okt 2017, 11:37 WIB HUMANIORA

AP

TRAGEDI ini merupakan aksi teroris terbesar di Indonesia dan menjadi sejarah paling hitam
sepanjang 2002. Bom meledak di dua diskotek yang banyak dikunjungi turis asing di kawasan Kuta.
Korban tewas sebanyak 202 orang dan 209 lainnya luka-luka yang kebanyakan berasal dari
Australia.

Tragedi ini menyeret Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin organisasi Jemaah Islamiyah, yang memiliki
keterlibatan dalam pengeboman. Bom meledak pada pukul 23.05 di saat diskotek ramai pengunjung.

Ledakan pertama di Diskotek Paddy’s. Bom disimpan dalam tas punggung dan diledakkan dengan
cara bunuh diri. Lima belas detik kemudian bom kedua seberat 1.000 kg yang berada dalam sebuah
Mitsubshi Colt.

Mobil diparkir di depan Sari Club dan diledakkan dari jarak jauh. Horor dan kepanikan yang terjadi
sangat luar biasa. Rumah sakit lokal tidak mampu menangani korban yang jatuh serempak.

Beberapa korban dengan luka bakar parah diterbangkan ke rumah sakit di Darwin, Australia. Bekas
ledakan di depan Sari Club berupa lubang sedalam 3 kaki. Untuk mengenang para korban, didirikan
monumen di lokasi ledakan.

Anda mungkin juga menyukai