Anda di halaman 1dari 11

Disusun Oleh :

SILVIANA ARIFIATI LISTIANINGRUM (010001600343)

TEGAR RASTRATAMA (010001600350)

Sepuluh Kasus Pelanggaran HAM Berat Yang Belum Terselesaikan Hingga Sekarang,
yaitu :

1. Kerusuhan Mei 1998

Pada bulan Mei 1998, terjadi peristiwa yang mengerikan di Indonesia yang dikenal
sebagai peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Peristiwa tersebut merupakan kerusuhan
bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang terjadi pada 13 sampai 15
Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota di Indonesia.

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Kerusuhan Mei 1998 melaporkan bahwa
ditemukan beberapa korban meninggal dunia dan luka-luka akibat kerusuhan tersebut.
Banyak orang yang menderita seperti dibunuh, dibakar atau terbakar, dan luka-luka berat
lainnya. Selain itu, TGPF juga menemukan adanya kekerasan seksual pada kerusuhan Mei
1998 sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh
sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama.
Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Meskipun korban
kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus
kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis
Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial (Temuan TGPF,
Publikasi Komnas Perempuan, 1999).1

Data Tim Relawan:

 Meninggal karena terbakar/dibakar (1190 Orang)

 Meninggal akibat senjata atau lainnya (27 Orang)

 Luka – Luka (91 Orang)

1
Publikasi KOMNAS Perempuan, 1999
Data Kepolisisan Daerah:

 Meninggal (451 Orang)

 Luka – Luka (tidak tercatat)

Data Komando Daerah:

 Meninggal (463 Orang termasuk aparat keamanan)

 Luka – Luka (69 Orang)

Data Pemerintah Daerah DKI Jakarta:

 Meninggal (288 Orang)

 Luka – Luka (101 Orang)

Data Polri:

 Meninggal (30 Orang)

 Luka – Luka (131 Orang)

 Luka Bakar (27 Orang)

Akan tetapi, Kasus kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 tersebut sampai
sekarang belum terselesaikan. Adapun cara penyelesaian dengan jalur yudisial tidak
pernah dilakukan karena dengan alasan bukti dan saksi atas kasus ini sangat sulit untuk
ditemukan sekarang. Maka dari itu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sempat
mengatakan bahwa Pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan kasus 1998 dengan
cara non yudisial. Namun, hal tersebut ditentang oleh banyak pihak salah satunya adalah
Muhammad Hafiz selaku Direktur Eksekutif HRWG. Beliau mengatakan untuk
permasalahan HAM masa lalu tidak boleh diselesaikan melalui tahapan non yudisial.
Menurut Muhammad Hafiz sebeleum ke tahapan non yudisial seharusnya kasis tersebut
diungkap terlebih dahulu kebenarannya seperti siala dalang dari kerusuhan tahun1998,
alasan terjadinya kerusuhan tersebut, serta bagaimana kronologis peristiwanya secara utuh
dan semua itu harus diungkap kepada publik. 2

2
Tempo, 1 Februari 2017
2. Tragedi Trisakti

Latar belakang dari adanya Tragedi Trisakti 1998 yakni karena pada saat itu
Mahasiswa dari seluruh kamous yang ada di di Indonesia berkumpul di Grogol, Jakarta
Barat tepatnya di Kampus Universitas Trisakti. Mereka berkumpul karena ingin
melakukan aksi damai untuk menuntut persiden pada saat itu untuk turun dari jabatannya
karena disebabkan masalah ekonomi Indonesia mulai tergoyang yang terpengaruh karena
krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999. Namun, pada saat demonstrasi berlangsung
banyak terjadi negosiasi antara pihak mahasiswa dengan kepolisian untuk menlancarkan
aksi damai ini hanya untuk melakukan demonstrasi hingga depan Kantor Walikota Jakarta
Barat. Ahkirnya kedua bela pihak bersepakat dan mahasiswa melanjutkan aksi dengan
menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR. Aksi
pun berjalan dengan lancer dan tanpa ketegangan sehingga para mahasiswa mulai masuk
kedalam Kampus. Namun, pada saat sebagian mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus,
terdengar suara senjata api dari aparta keamanan sehingga menyebabkan para demonstran
panik dan berlarian ke dalam kampus hingga melompati pagar tol. Aparat keamanan tidak
hanya menembak dengan menggunakan peluru karet tapi juga dengan menggunakan
peluru tajam yang terarah. Alhasil mengakibatkan meninggalnya 6 orang pada saat itu.
ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang
memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto. Peluru itu
biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1.3 Saat itu, senjata Styer
digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus hal ini menjadikan tragedi Trisakti sebagai
salah satu pelanggaran HAM berat. Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun
kemudian juga tidak dapat mengungkap siapa penembak mahasiswa yang menggunakan
peluru tajam dan motifnya. Enam terdakwa hanya dituduh dengan sengaja tidak menaati
perintah atasan

Kasus Trisakti 1998 sampai sekarang belum terselesaikan, pemerintah sulit


menemukan siapa dalang yang memerintahkan aparat kepolisisan untuk menghujani
mahasiswa yang melakukan demonstrasi dengan peluru tajam.

3. Tragedi Semanggi 1 dan 2


Pada bulan November 1998 diadakan Sidang Istimewa untuk menentukan
Pemilu Berikutnya dan membahas agenda pemerintahan yang akan dilakukan

3
Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Rosidi Rizkiandi.
kedepannya. Dalam tragedy ini melibatkan kembali Mahasiswa yang resah karena
mereka tidak mempercayai masa kepemimpinan B.J. Habibie dengan para anggota
DPR/MPR Orde Baru dan juga Mahasiswa menentang dwifungsi ABRI/TNI maka
dari itu masyarakat begabung dengan para mahasiswa untuk turun ke jalan
melaksanakan demonstrasi. Namun jalannya demonstrasi ini tidak berjalan lancer dan
damai. Terbukti banyak yang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-
luka sebagian besar karena akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Para korban terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan
dan angota masyarakat lainnya.4
Pada tanggal 24 September 1999, kembali tantara melakukan tindakan kekerasan
kepada para demonstran yang mendesak pemerintahan tarnsisi untuk tidak
diberlakukannya Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang
dimana isinya banyak memberikan keluasan kepada militer untuk melakukan keadaan
negara sesuai kepentingan militer.
Kasus ini belum terselesaikan hingga sekarang karena dalam hal ini
pemerintah tidak memberikan hukuman kepada komandan yang memberikan perintah
atas penembakan tersebut, melaikan kepada pelaku lapangan. Dan juga walaupun
dengan adanya bukti permulaan yang cukup untuk dibawah ke Kejaksaan Agung RI
namun, Kejaung RI tetap menolak karena kasus tersebut sudah disidangkan di
Pengadilan Militer sehingga tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan.
Padahal menurut Komnas HAM, peradilan militer hanya menjerat pelaku lapangan,
sementara pelaku utama belum diadili.

4. Kasus Penembakan Misterius (Petrus)


Kasus ini dilakukan oleh sekumpulan orang yang mempunyai kewenangan dan
kekuasaan yang diberikan oleh penguasa Orde Baru untuk melakukan kejahatan
manusia dengan cara melakukan penangkapan, penahanan, bahkan warga sipil
ditemukan cacat dan hilang dengan alasan menjaga keamanan dan kesatuan NKRI.
Sekumpulan orang yang diberikan kewenangan dan kekuasaan tersebut meliputi
antara lain TNI, Polisi, Garnisun, dan Pejabat Sipil. Para pelaku melaksanakan
perintah jabatan dibawah koordinasi Pangliman Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban dibawah komando dan pengendalian Presiden Soeharto. Pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke-
4
Menanti Keadilan ata Kasus Trisakti dan Semangi, Suara Pembaruan, 12 Mei 2007
amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M
Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi
pembersihan para gali. Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S.
Memet yang punya rencana mengembangkannya. Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan
di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Akibat dari kasus PETRUS pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367
orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang
tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28
di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat
dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke
dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut,
hutan dan kebun.
Sampai sekarang kasus PETRUS belum juga terselesaikan, karena dalam hal ini sulit
bagi pemerintaha untuk menentukan kasus melalui mekanisme pengadilan atau
yudisial atas dasar kurangnya alat bukti. Dalam kasus PETRUS sulitnya menemukan
saksi dalam kasus ini sebab orang yang memerintahkan penembakan dan pelaku
penembakan sudah meninggal dunia.

5. Hilangnya aktivis pada 1997 hingga 1998

Penghilangan paksa pada masa reformasi terjadi dalam 2 gelombang. Gelombang


pertama terjadi antara Februari - Mei 1997, sementara gelombang kedua terjadi antara
Februari - Mei 1998. Korban antara lain adalah aktivis, sopir salah satu aktivis, dan
pemuda setempat yang sedang menonton kerusuhan. Para aktivis rata-rata tergabung
dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID), dan Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD).

Penghilangan paksa gelombang pertama terjadi selama Februari - Mei 1997. Saat itu, 6
orang dinyatakan hilang dan seorang kakak dari aktivis turut dibawa paksa. Dari ke-6
orang hilang tersebut, 5 orang adalah aktivis dan 1 orang adalah sopir pribadi seorang
aktivis.5

5
Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM
Dari ke-5 aktivis, Deddy dan Noval diketahui bersama sebelum hilang secara misterius. 3
aktivis lainnya, Suyat, Sonny, dan Yani dibawa paksa oleh 10-20 orang berpakaian
preman. Mereka ditutupi kepalanya, lalu dimasukkan mobil untuk dibawa ke suatu
tempat. Kakak salah satu aktivis, Suyatno, juga didatangi rumahnya, dibawa paksa oleh
aparat, untuk kemudian diinterogasi tentang keberadaan adiknya. Saat diinterogasi,
Suyatno dipukul di bagian ulu hati dan disuntik sehingga pikirannya menjadi kacau
walaupun akhirnya dilepaskan. Ke-6 orang yang dinyatakan hilang hingga sekarang masih
belum kembali.

Pada 18 Januari 1998, terjadi sebuah ledakan bom di rusun Tanah Tinggi. Menurut
Prabowo, setelah ledakan bom tersebut ia menerima daftar nama aktivis yang harus
diselidiki. Secara tidak langsung Prabowo juga menjawab pertanyaan wartawan bahwa ia
mendapat daftar nama aktivis tersebut dari Soeharto. Aktivis dalam daftar tersebut
dikabarkan akan melakukan aksi pemboman dan mengganggu Sidang Umum MPR
sehingga perlu diamankan.6

Pada gelombang ke-2 terjadi selama Februari - Mei 1998. 17 orang dinyatakan hilang. 14
orang adalah aktivis dan 3 orang adalah pemuda setempat yang sedang berada di tengah
kerusuhan Jakarta. Dari ke-14 aktivis,, hanya 9 orang kembali, 5 orang masih belum
kembali hingga sekarang, dan 1 ditemukan meninggal dunia dengan luka tembak. Dari 9
aktivis yang kembali, 3 dari mereka ternyata salah tangkap (tidak termasuk dalam daftar
aktivis yang harus diselidiki) dan bertahun-tahun kemudian bergabung ke Partai Gerindra
yang diketuai Prabowo.

Dari 9 aktivis yang sudah kembali, rata-rata mengaku dikejar, ditangkap, diborgol,
ditodong senjata, dipukul, dan ditutupi kepalanya untuk kemudian dibawa paksa ke suatu
tempat untuk diinterogasi. Mereka mengaku diinterogasi dengan cara dipukuli,
dimasukkan bak mandi, dipaksa hanya memakai celana dalam, ditidurkan di atas balok es,
disetrum, dan ada yang disekap di ruangan dengan musik kencang.

Pada 14 Mei 1998, terjadi kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta. Saat kerusuhan
terjadi, saksi bernama Rudi melihat ada sekelompok orang berbaju hijau seperti tentara,
datang dengan truk-truk besar, membawa pentungan, menyeret, dan mengangkut orang-
orang naik ke truk. Orang-orang yang diangkut itu menutupi mukanya karena takut

6
Majalah Panji, No.28 Th. III., 27 Oktober 1999
dipukul. Setelah kerusuhan terjadi, 3 pemuda dinyatakan hilang saat berada di beberapa
kerusuhan di Jakarta.

Penculikan ini dilakukan oleh seuah tim bernama Tim Mawar dari ABRI. Tim ini
dibawah komando Komandan Jenderal (Dabjeb) Kopasus, Prabowo Subianto. Menurut
Tim Ad Hoc Komnas HAM, hanya panglima ABRI (Pangab) dan Presiden yang dapat
memberikan komando langsung kepada Danjen Kopassus. Pangab saat terjadinya
penculikan gelombang pertama dan sebagian penculikan gelombang kedua adalah Faisal
Tanjung dan Pangab saatterjadinya sebagian penculikan gelomban kedua adalah Wiranto.
Sementara presiden pada saat itu adalah Soeharto.

Kasus Petrus sempat dibawa ke Pengadilan Militer namun dalam hal ini yang didakwa
adalah orang lapangannya yang melakukan kegiatan PETRUS bukan dalang atau otak
yang mengadakan PETRUS. Alhasil banyak yang menimbulkan perdebatan antara lain
takutnya apabila pemerintah tidak mengungkapkan atau mencari tau dalang dari peristiwa
ini akan kembali terulang peristiwa yang sangat keji ini. Faktor yang mugkin menjadi
penghambat untuk menyelesaikan kasus ini adalah kurangnya ingatan akan waktu pada
saat itu yang dialami oleh para saksi maupun korban karena yang kita ketahui bahwa
kasus ini sudah lama sekali sehingga tidak ada satu pun orang yang mengingat secara
utuh.

6. Kasus Wasior dan Wamena


a) Wasior
Pada 13 Juni 2001 terduga aparat Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan
kepada warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Penyerbuan itu dipicu
oleh dibunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan PT Vatika
Papuana Perkasa.
Menurut laporan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) perusahaan kayu PT VPP dianggap warga mengingkari kesepakatan yang
dibuat untuk masyarakat.Tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan
seksual, lima orang hilang dan 39 orang disiksa.
Berkas perkara ini terkahir diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) ke Kejaksaan Agung pada bulan Juli 2014, setelah beberapa kali
dikembalikan oleh Kejaksaan Agung (Juli 2013, Juni 2014) diserahkan kembali oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
b) Wamena

Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya
Paskah, Namun masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25
kampung. Penyisiran dilakukan akibat sekelompok massa tak dikenal membobol
gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena.
Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu
dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat.
Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi.

7. Kasus Talangsari Lampung

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi


dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way
Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989. Lebih dari sekitar satu Batalyon TNI dari
Korem Garuda Hitam Lampung menyerbu perkampungan Cihedeung, Desa Talangsari,
Lampung Tengah. Penyerbuan yang dilakukan selepas subuh dari tiga arah itu
mengakibatkan ratusan anggota jamaah pengajian yang dipimpin Warsidi tewas. Selain
itu Kontras mencatat 23 orang lainnya ditahan secara sewenang-wenang, 25 diadili secara
tidak adil, 78 orang saat ini tidak diketahui keberadaannya, dan 24 orang diusir dari
desanya.

Kasus Talangsari ini berawal dari ketika dibangunnya sebuah pengajian kecil di
Dusun Cihideung, Desa Talangsari III, Lampung Timur (dulu Lampung Tengah).
Pengajian itu ternyata selain mempelajari ilmu agama, memahami Al-Quran dan Hadist,
juga sering mengkritik pemerintah. Mereka mengecam pemerintah selalu melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pengajian Warsidi juga menilai pemerintah Indonesia
tidak mampu menyejahterakan rakyat, serta gagal menciptakan keadilan. Kemelaratan
terjadi di mana-mana. Selain itu hukum tidak berpihak pada rakyat kecil.7

7
Fadilasari. 2007. Talangsari 1989 (Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung). Jakarta :
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Hlm. 2
Menurut Komite Semalam, kekuatan aparat adalah enam pleton tentara, 50 orang
anggota satuan Brimob, dan dua buah helicopter. Sementara versi Mayjen Sunardi,
pasukan terdiri dari 40an anggota Polri dan Brimob, dibantu tiga pleton pasukan dari
Korem 043 Garuda Hitam Lampung.8

Jaksa Agung H.M. Prasetyo menyebut “Deklarasi Damai” bakal menjadi pertimbangan
Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut peristiwa pelanggaran HAM Talangsari.
Meski tak menjelaskan pertimbangannya, Prasetyo menjamin Kejagung tetap serius
mengusut kasus Talangsari yang buntu sejak terjadi 30 tahun lalu. Kejagung masih
menunggu berkas penyelidikan kasus Talangsari, yang sebelumnya dikembalikan pada
Komnas HAM. Jaksa Agung, pada 27 November 2018, malah mengembalikan kembali
berkas kasus pelanggaran HAM yang berat ke Komnas HAM. Tindakan bolak-balik
berkas ini sudah berulang kali dilakukan oleh Jaksa Agung. 

8. Peristiwa Pembantaian Massal 1965-1966

Peristiwa pembantaian tersebut dilakukan terhadap orang-orang yang dituduh


komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S/PKI)
di Indonesia. Pembantaian massal tersebut dimulai dari wilayah Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali hingga Sumatra. Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto merupakan
dalang dari pembataian massal ini.

Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan
pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang
berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan
saksi menunjukkan adanya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan,
pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang
secara paksa.9

8
Fadilasari. 2007. Talangsari 1989 (Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung). Jakarta :
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Hlm. 58
9
Komnas HAM. 2016. Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat
Peristiwa 1965-1966. Jakarta.
Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai
500.000 jiwa dibantai. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik,
atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Warga keturunan Tionghoa
juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh dan harta benda mereka
dijarah.

Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi 1965 itu menyisakan beberapa titik lokasi
kuburan massal di beberapa daerah seluruh Indonesia. Proses penyelidikan telah
dirampungkan oleh Komnas HAM pada 2012. Berkasnya hasil proses penyelidikan
tersebut sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan.

9. Peristiwa Jambo Keupok Aceh


Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi di desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan,
Aceh Selatan. Sebanyak 16 orang penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan,
penembakan, pembunuhan di luar proses hukum dan pembakaran serta 5 orang
lainnya turut mengalami kekerasan oleh anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan
Satuan Gabungan Intelijen (SGI).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada 16 warga
Desa Jambo Keupok meninggal akibat dibakar hidup-hidup maupun ditembak (12
orang dibakar hidup-hidup dan 4 orang ditembak) oleh Aparatur Negara bersenjata
dan 23 warga disiksa. Warga ditangkap dan dipaksa untuk memberikan keterangan
mengenai keberadaan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Para pelaku yang
diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan
Intelijen (SGI). Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke
sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali datang ke desa Jambo Keupok.

10. Peristiwa Simpang KKA Aceh


Peristiwa ini juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi
Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada
tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer
Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes
insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot
Murong, Lhokseumawe.
Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus penembakan di Simpang PT
Kertas Kraft Aceh (KKA) di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, pada
1999 silam menyatakan ada bentuk pelanggaran HAM. Komnas HAM meminta
kepada Kejaksaan Agung untuk menyelidiki lebih lanjut keputusan Komnas HAM ini.
Komnas HAM juga mengajukan permohonan dukungan untuk segera ditindaklanjuti
dan kemudian dibentuk Pengadilan HAM Adhoc untuk peristiwa Simpang KKA yang
terjadi sebelum terbitnya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Anda mungkin juga menyukai