Anda di halaman 1dari 13

zKilas Balik 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Diakui dan

Disesalkan Jokowi

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerima laporan mengenai 12


peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi masa lalu. Ia mengaku menyesalkan peristiwa pelanggaran
HAM berat masa lalu itu.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui
bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Jokowi di Istana
Negara, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Januari 2023.
Pernyataan tersebut diungkapkan setelah membaca dengan seksama laporan dari Tim Non-Yudisial
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Meski ada pembentukan tim non-yudisial, Jokowi menekankan agar
kasus pelanggaran HAM berat tetap diusut melalui jalur yudisial.
"Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu saya
dan pemerintah untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan
penyelesaian yudisial," kata Jokowi.
Sementara itu Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik sebelumnya telah meminta Jaksa Agung, Sanitiar
Burhanuddin, menindaklanjuti 12 berkas kasus pelanggaran HAM berat. Berkas itu Komnas limpahkan karena
penyelidikan kasus oleh pihaknya telah diselesaikan.
Lantas, apa saja 12 kasus pelanggaran HAM berat itu dan bagaimana bisa terjadi? Berikut Tempo sajikan kilas
balik kasusnya.

1. Peristiwa 1965-1966
Pada tahun ini telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota
maupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya, lebih dari dua juta orang mengalami
penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual,
kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan lain sebagainya.
Seperti dikutip dari laman kontras.org, dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui
telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban. Sementara beberapa riset
menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta orang.
Tidak hanya korban, keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai keluarga PKI.
Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak diantaranya yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, dikucilkan dari
lingkungan hingga kesulitan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985


Penembakan misterius atau yang lebih dikenal dengan Petrus, mulai marak di Indonesia sejak 1983. Kala itu,
Kota Yogyakarta menjadi tempat pertama bagi operasi Petrus. Orang-orang bertato atau berpenampilan seperti
preman menjadi target utama dari Petrus. Ketakutan tersebut semakin meluas ketika kabar mengenai
munculnya Petrus di berbagai daerah lain menyebar.
Korban Petrus biasanya ditemukan dengan ciri-ciri yang hampir sama. Korban Petrus umumnya memiliki tiga
luka tembak di tubuhnya. Selain luka tembak, beberapa korban Petrus sebagian besar juga ditemukan dengan
luka cekik di lehernya. Di atas mayat yang dibiarkan tergeletak, pelaku penembakan biasanya akan
meninggalkan uang Rp 10 ribu untuk biaya penguburan.
Jumlah korban dari peristiwa penembakan misterius pada 1982 sampai 1985 mencapai 10 ribu orang. Data
tersebut ia kutip dari penelitian David Bourchier yang berjudul "Crime, Law, and State Authority in Indonesia"
pada 1990, yang diterjemahkan oleh Arief Budiman. Sedangkan dari pengaduan yang diterima oleh Komnas
HAM, jumlah korban mencapai 2.000 orang lebih.

3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989


Tragedi berdarah ini terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten
Lampung Timur. Menurut laporan investigasi KontraS, seorang bocah dari kelompok Warsidi bernama Ahmad
(10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke sejumlah rumah dan membakarnya.
Secara berurutan, Ahmad diperintahkan --di bawah ancaman senjata-- untuk membakar rumah-rumah
kelompok Warsidi, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang. Bayi, anak-
anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dilaporkan ikut terlalap api
dalam kebakaran tersebut.
Sebanyak 27 orang dilaporkan tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang
dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 24 orang mengalami pengusiran.

4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989


Tragedi Rumah Geudong terjadi di sebuah rumah tradisional di Aceh yang dijadikan sebagai markas TNI di
Desa Bili, Kabupaten Pidie selama masa konflik Aceh (1989-1998). Dalam Rumah Geudong, para TNI
melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
ingin memisahkan Aceh dari Indonesia. Saat sedang menjalankan operasinya, tidak sedikit oknum anggota TNI
melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap para warga.
Para oknum itu melakukan penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau
yang diduga anggota GAM di Rumah Geudong. Peristiwa tragis itu terus berlangsung hingga 7 Agustus 1998,
di mana Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mencabut status DOM di Aceh. Dua pekan
setelahnya, tepatnya tanggal 20 Agustus 1998, Rumah Geudong dibakar oleh massa.

5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998


Penculikan aktivis 1997/1998 adalah penculikan aktivis pro-demokrasi yang terjadi antara Pemilu Legislatif
Indonesia 1997 dan jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998. Kasus penculikan aktivis 1997/1998 dilakukan
oleh tim khusus bernama Tim Mawar.
Menurut laporan konstraS, kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa, menimpa para aktivis,
pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru.
Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan
dan merongrong kewibawaan negara.
Dari kasus penculikan ini, terdapat 13 aktivis yang masih hilang dan sembilan aktivis dilepas oleh penculiknya.
Ketiga belas aktivis tersebut sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya.

6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998


Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa memilukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia, toko-toko dan rumah
mereka dijarah, dibakar dan bahkan dihancurkan. Lebih dari itu, pelanggaran HAM berat terhadap wanita
Tionghoa juga terjadi, mereka diperkosa, dilecehkan, dianiaya dan dibunuh.
Aktivis Relawan, Ita F. Nadia menganalisis alasan wanita Tionghoa ditargetkan sebagai sasaran utama
Kerusuhan Mei 1998 adalah karena mereka lemah dan tidak dapat memberikan perlawanan. Pemerkosaan
secara biadab terhadap wanita Tionghoa oleh pelaku rusuh Mei 1998 dilakukan beramai-ramai secara
bergantian dalam waktu bersamaan. Ironisnya, selain dilakukan di rumah korban, pemerkosaan juga dilakukan
di tempat-tempat umum, tidak peduli bahkan di depan orang lain.
Koordinator Investigasi dan Pendataan Tim Relawan, Sri Palupi pernah menganalisis peristiwa rusuh tersebut
dan mendapat kesimpulan bahwa Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah
lama berlangsung yang kemudian dimanfaatkan untuk memicu kericuhan akibat krisis moneter. Total korban
tewas dalam kerusuhan Mei 1998 diperkirakan lebih dari 1.188 orang, dan setidaknya 85 wanita dilaporkan
mengalami pelecehan seksual.

7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999


Aksi demonstrasi besar-besaran dilakukan berbagai elemen mahasiswa, termasuk Mahasiswa Universitas
Trisakti 12 Mei 1998. Demonstrasi dipicu mulai goyahnya ekonomi Indonesia sejak awal 1998 akibat pengaruh
krisis finansial Asia sejak 1997 dan menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Kala itu, sekitar pukul 12.30 aksi damai dilakukan dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara, tetapi
massa aksi diblokade pasukan Polri dan militer. Negoisasi dengan aparat keamanan sempat dilakukan, namun
pada 17.15 mahasiswa memutuskan bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan yang
menghujani mahasiswa dengan tembakan.
Mahasiswa panik, berlarian dan berhamburan ke sembarang arah. Naasnya, pukul 20.00 dipastikan empat orang
mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah
telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Mereka yang
tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas
tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999


Pembantaian Banyuwangi 1998 berawal dari pendataan dukun atau orang-orang yang masih memiliki kekuatan
magis oleh Purnomo Sidik, Bupati Banyuwangi kala itu. Purnomo Sidik mengirimkan radiogram kepada
seluruh jajaran aparat pemerintah dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang dianggap
dukun santet dan memberi perlindungan.
Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Radiogram berisi data orang-orang yang diduga dukun, bocor dan
diterima oleh sekelompok orang. Akhirnya, data tersebut justru memberi informasi kepada kelompok tertentu
untuk melakukan penyisiran, kekerasan, dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang diduga dukun
santet di Banyuwangi.
Pada 7 Oktober 1998, pihak kepolisian Jawa Timur mengumumkan hasil investigasi terkait jumlah korban
pembantaian dukun santet di Banyuwangi. Menurut data pihak kepolisian, terdapat 85 korban tewas, tiga orang
luka berat, dan tujuh luka ringan. Polisi juga melaporkan telah mengevakuasi 227 orang yang diduga sebagai
dukun santet. Kronologi, motif, dan pelaku sebenarnya dalam tragedi berdarah Geger Santet Banyuwangi juga
belum terungkap hingga kini.

9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999


Tragedi simpang KAA terjadi saat adanya muncul kabar seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal
001/Pulo Rungkom yang berpangkat sersan hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan rapat besar
untuk memperingati tahun baru Islam 1 Muharam. Rapat itu dianggap ceramah Gerakan Aceh Merdeka
(GAM).
Besoknya pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom datang ke Desa Cot Murong untuk mencari anggotanya yang
hilang. Saat melakukan penyisiran ke rumah-rumah, sebanyak 20 warga dianiaya oknum anggota TNI.
Disebutkan juga pasukan militer itu mengancam akan menembak warga bila anggotanya tak ditemukan. Namun
mereka tak berhasil menemukan anggotanya yang hilang.
Tanggal 3 Mei 1999 pagi hari 4 truk pasukan TNI datang ke Desa Lancang Barat yang bersebelahan dengan
Desa Cot Murong. TNI melanggar kesepakatan untuk tidak kembali datang ke desa. Warga berunjuk rasa di
Simpang KKA, mereka memprotes penganiayaan yang dilakukan TNI. Aksi warga dibalas tembakan oleh
aparat TNI satuan Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti. Koalisi NGO HAM Aceh
mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa
itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.

10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002


Pada 13 Juni 2001 terduga oknum aparat Korps Brigade Mobil (Korps Brimob) melakukan penyerbuan kepada
warga sipil di Desa Wondiboi, Wasior, Manokwari, Papua. Penyerbuan ini dipicu dari terbunuhnya lima
anggota Brimob dan satu warga sipil di markas perusahaan PT Vatika Papuana Perkasa (VPP) oleh terduga
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Penyerangan itu bukan tanpa sebab. Provokasi ini adalah buntut dari tuntutan terhadap hak ulayat masyarakat
adat ke PT VPP yang tidak diindahkan. PT VPP dianggap melanggar kesepakatan dengan masyarakat adat
sebagai pemilik hak ulayat dan kemudian terduga TPNPB-OPM memutuskan untuk menyerang PT VPP.
Aparat pemerintah merespon kejadian pembunuhan lima anggota Brimob dan satu warga sipil ini dengan
kekerasan yang meluas terhadap warga sipil di Wasior. Aparat menurunkan pasukan untuk mencari pelaku
pembunuhan tidak hanya di Desa Wondiboi lokasi peristiwa terjadi tetapi juga di desa-desa sekitar kejadian.

11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003


Pada 4 April 2003. Masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah. Masyarakat setempat
dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung dan desa. Penyisiran dilakukan oleh sekelompok massa tak
dikenal dan membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena.
Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana
(penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat. Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah
pucuk senjata dan amunisi. Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah melakukan
penyisiran di 25 kampung.
Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat. Selain itu
pemindahan paksa terhadap warga 25 kampung menyebabkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan,
serta 15 orang korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.

12. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003


Tragedi Jambo Keupok adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Jambo Keupok, Aceh Selatan,
pada 17 Mei 2003. Sebanyak 16 orang penduduk sipil dilaporkan mengalami penyiksaan, penembakan,
pembunuhan, dan pembakaran. Kronologi Peristiwa Tragedi Jambo Keupok berawal dari informasi yang
disampaikan seorang informan kepada anggota TNI bahwa Desa Jambo Keupok mejadi basis Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Isu tersebut tersebar sekitar tahun 2001-2002. Begitu mendengar kabar tersebut, aparat
keamanan segera mengambil tindakan. Mereka melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang ada di
Kecamatan Bakongan.
Dalam proses operasi, para aparat keamanan dilaporkan melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil,
seperti penangkapan, penyiksaan, dan perampasan harta benda. Puncak kejadian terjadi tanggal 17 Mei 2003
sekitar pukul 07.00 pagi. Ratusan pasukan militer datang ke Desa Jambu Keupok dengan membawa senjata
laras panjang dan senapan. Tidak peduli usia dan gender, semua warga dipaksa untuk keluar oleh pasukan
militer. Para warga diinterogasi sembari dipukul dan dipopor senjata. Pasukan militer mengintoregasi warga
satu per satu untuk menanyakan keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari.
Ketika warga menjawab tidak tahu, pasukan militer akan langsung memukul dan menendang mereka. Beberapa
warga Desa Jambu Keupok juga dipaksa mengaku sebagai anggota dari GAM. Akibatnya, 16 penduduk sipil
meninggal setelah ditembak, disiksa, bahkan dibakar hidup-hidup, serta lima orang lainnya turut mengalami
kekerasan oleh para anggota TNI, Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI).

Anda mungkin juga menyukai