Anda di halaman 1dari 6

1.

Penganiayaan Anak
TANGERANG SELATAN - Kejadian memilukan menimpa dua anak di bawah umur di
sebuah yayasan sosial di Jalan Tentara Pelajar, Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan
(Tangsel). Mereka disekap berhari-hari seraya mendapat penganiayaan dari pengurus
yayasan sosial Husnul Khotimah Indonesia.Kedua anak malang itu berinisial, SA (16) dan GP
(16), Keduanya tercatat pernah menjadi relawan di yayasan amal tersebut. Saat bertugas,
mereka berkeliling pemukiman dan mendatangi rumah satu-persatu dengan modal amplop
kosong dan brosur yayasan. Peristiwa tragis itu dimulai saat beberapa pengurus yayasan
pada 5 September 2018 lalu memergoki SA dan GP berada di wilayah Jakarta Selatan. Meski
sudah tak menjadi relawan yayasan, keduanya dan seorang remaja yang diketahui bernama
Dona Ardiana (21), terlihat tengah meminta sumbangan dengan brosur yayasan. Melihat hal
itu, pengurus yayasan bernama Dedi (25), langsung membawa ketiganya ke kantor yayasan
untuk diinterogasi. Disana, Dedi dibantu pengurus lain, yakni Abdul Rojak (33) dan Haerudin
(27), langsung melakukan penganiayaan. "Ketiga korban dibawa ke kantor yayasan lalu
diintimidasi dan dianiaya. Penganiayaan itu berupa pemukulan, mata dan mulut korban
ditutup lakban, rambutnya digunduli secara paksa. Salah satu tersangka juga mengarahkan
sepatunya ke mulut korban dengan cara paksa untuk dijilat," ujar Kapolres Tangsel AKBP
Ferdy Irawan, kepada wartawan, Senin (24/9/2018) sore. Menurut Ferdy, para tersangka
mengakui bahwa penganiayaan itu dipicu oleh ulah korban yang meminta sumbangan
mengatasnamakan yayasan. Ketiganya pun disekap selama lima hari dan diharuskan
membayar ganti rugi sebesar Rp18 juta jika ingin dilepaskan. "Keluarganya (korban) melapor
bahwa korban ini disekap oleh yayasan. Jika ingin dilepas maka harus menebusnya
berdasarkan kerugian yayasan selama namanya dicatut oleh korban. Lalu kita lakukan
penyelidikan. Dua tersangka kami tangkap dalam waktu berbeda. Sedangkan tersangka
Haerudin masih buron," katanya. Informasi yang dihimpun, para pelaku memiliki posisi
berbeda-beda di yayasan yang baru berdiri sekitar dua tahun lalu itu. Pelaku Dedi diketahui
bertugas sebagai pengurus, sedangkan Abdul Rojak sebagai pemilik dan penanggung jawab
yayasan. Sementara aeruddin yang bekerja sebagai pegawai tak tetap Dinas Perhubungan
Kota Tangsel itu berstatus teman dari Abdul Rojak. Parahnya, dari hasil penyelidikan
diketahui jika ternyata hasil penggalangan donasi amal selama ini digunakan untuk
keperluan pribadi para pelaku. Sedangkan status yayasan masih dalam penelusuran dan
menunggu penjelasan lembaga terkait (Kemenkumham).
"Berdasarkan pengakuan tersangka, rupanya donasi yang terkumpul selama ini
digunakan untuk keperluan pribadi. Per hari mereka minimal mendapat setoran Rp300 ribu
dari satu relawan, nanti hasilnya 70 persen untuk tersangka, sisanya 30 persen untuk
relawan itu," jelas Ferdy. Dua dari tiga korban yang masih dibawah umur itu kini terus
didampingi oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Kota Tangsel. Sebab penyekapan dan penganiayaan yang dialami keduanya masih
menyimpan trauma mendalam. Adapun atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal
berlapis dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
2. Kasus Denis yang Pipinya Disertika
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota DPR RI Komosi VIII, KH Maman Imanulhaq,
menilai kasus Denis Aprilian (10), anak yang disetrika oleh ibu tirinya merupakan contoh
fakta bahwa anak berkebutuhan khusus masih dianggap sebelah mata. Kasus terebut meyita
perhatian public lantaran kejamnya perlakuan ibu tiri terhadap Denis. Ia menilai, karenma
berkebutuhan khusus, Denis kerap diperlakukan semena-mena termasuk kekerasan fisik.
Maman Menduga kasus Denis bukanlah satu-satunya dari banyaknya kasus tentang
ketidakadilan hak para penyandang Disabilitas ini namun tidak muncul ke publik.
“Anak berkebutuhan Khusus rentan diperlakukan diskriminatif atau mengalami tindak
kekerasan, apalagi berusia anak-anak seperti Denis”, kata Maman, Jumat (27/3/2015)
Bercermin dari kasus Denis, smeua pihak semestinya sadar, jika siapapun, termasuk
Anak Berkebutuhan Khusus serta penyandang Disabilitas ini memiliki kesetaraan hak, wajib
belajar, dapat bekerja dan memiliki harapan masa depan yang lebih baik. Karena itu
sepatutnya di hargai dan dilindungi.
Melihat sila kedua di Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bahwa sudah
seharusnya pemerintah mencanangkan hukum yang mengatur untuk melindungi hak dan
serta menyetarakan antara manusia, tidak melihat bulu. Baik yang normal maupun yang
tidak normal. Dan adanya Undang-Undang untuk Anak Berkebutuhan Khusus dan
Penyandang Disabilitas. Sebab, mereka juga manusia, asas manusia sebagai mahluk sosial
yang butuh bantuan dari manusia lain untuk hidup.
3. Pelantaran Anak Kandung Sendiri
Pasangan suami Utomo Permono (45) dan istri Nur Indriasari (42) yang menelantarkan
kelima anak mereka resmi menyandang status tersangka. Penetapan status itu diputuskan
setelah penyidik menerima hasil analisis psikologi Utomo dan Nuri yang menunjukkan
keduanya menentarkan anaknya dengan kesadaran penuh.
Kelima anak yang ditelantarkan itu berinisial D (8) serta 4 saudarinya, C dan L (10), D
(8), Al (5), dan DA (3). Nasib D sangatlah malang. Dia mondar mandir mengendarai sepeda
selama sebulan di Perumahan Citra Gran Cibubur. Pada siang hari D mondar-mandir di
perumahan tersebut, ke rumah tetangga dan ke tempat-tempat lainnya selain rumah.
Kemudian malam harinya, D tidur di pos jaga. Selain tidak diperbolehkan masuk rumah, Dani
juga sudah tidak bersekolah sejak sebulan lalu.
“D” memang bukan anak jalanan. Tapi hidupnya sama terlantarnya dengan mereka yang
di jalanan. Entah apa yang terjadi padanya, hingga bocah tersebut mulai berani mencuri.
Dari sandal, sepatu, hingga makanan milik warga pernah diambil bocah tersebut.
Krishna Murti mengatakan, selain hasil kejiwaan pelaku, polisi juga mengantongi 2 alat
bukti, yaitu hasil visum fisik anak dan keterangan saksi ahli tentang kondisi psikis anak. Dari
hasil visum et repecentrum, kondisi fisik kelima anak yang ditelantarkan mengalami gizi
buruk. Selain itu ada bekas luka di kaki anak D (8) yang menunjukkan masa penyembuhan
lukanya lama akibat pukulan benda tumpul. 2 Hal tersebut dianggap sebagai kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) oleh penyidik.
Dengan ditetapkannya Tomo dan Nuri sebagai tersangka, maka keduanya dijerat pasal
berlapis yaitu Pasal 76B juncto 77B dan Pasal 80 juncto 76C Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 44 atau Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. “Pasal-pasal tersebut karena kedua pelaku terbukti
melakukan penelantaran dan kekerasan terhadap anak mereka dalam kurun waktu 2014-
2015,” jelas Krishna.
Saat menggeledah rumah milik pasangan suami istri UP alias T dan NS, kondisi rumah 2
lantai itu sangat memprihatinkan, berantakan dan banyak sampah. Polisi mendapati 4 anak
perempuan dalam kondisi fisik yang buruk. Mereka seperti kekurangan gizi dan tertekan.
Saat polisi dan KPAI hendak mengamankan anak-anak malang tersebut, sang ayah mencoba
menghalau dan bersikeras ia berhak melakukan perbuatan itu karena ia ayah kandung
kelima anak. Keduanya pun digelandang ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa sebagai saksi.
4. Tragedi Trisakti
Dua belas tahun lalu atau 12 Mei 1998, situasi Indonesia khususnya Ibu Kota Jakarta
sedang genting. Demonstrasi mahasiswa untuk menuntut reformasi dan pengunduran diri
Presiden Soeharto kian membesar tiap hari. Dan kita tahu, aksi itu akhirnya melibatkan
rakyat dari berbagai lapisan.
Salah satu momentum penting yang menjadi titik balik perjuangan mahasiswa adalah
peristiwa yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana,
Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie
Mereka ditembak aparat keamanan saat melakukan aksi damai dan mimbar bebas di
kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol, Jakarta Barat. Aksi yang diikuti sekira
6.000 mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya itu berlangsung sejak pukul 10.30
WIB.
Tewasnya keempat mahasiwa tersebut tidak mematikan semangat rekan-rekan mereka.
Justru sebaliknya, kejadian itu menimbulkan aksi solidaritas di seluruh kampus di Indonesia.
Apalagi, pemakaman mereka disiarkan secara dramatis oleh televisi. Keempat mahasiswa itu
menjadi martir dan diberi gelar pahlawan reformasi.
Puncak dari perjuangan itu adalah ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden
pada Kamis, 21 Mei 2008.
5. Hutang Ciptakan Ketidakadilan bagi Rakyat Miskin
Upaya pemerintah untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang yang dinilai sudah
mencapai taraf membahayakan telah memunculkan ketidakadilan bagi rakyat kecil
pembayar pajak. Pasalnya, saat ini, penerimaan pajak, baik dari pribadi maupun pengusaha,
digenjot untuk bisa membayar pinjaman, termasuk utang yang dikemplang oleh pengusaha
hitam obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal ini berarti rakyat kecil pembayar
pajak seakan dipaksa menyubsidi pengusaha kaya pengemplang BLBI. Akibatnya,
kemampuan penerimaan negara dari pajak justru kian berkurang untuk program
peningkatan kesejahteraan pembayar pajak seperti jaminan sosial, pendidikan, dan
kesehatan
6. Tragedi Kemanusiaan etnis Tionghoa (13-15 Mei 1998 )
Sebelas tahun sudah tragedi (13-15) Mei 1998 berlalu. Tragedi kemanusiaan ini
menyisakan banyak keprihatinan dan tanya bagi banyak orang, khususnya bagi para
keluarga korban yang harus kehilangan keluarga dengan cara paksa, perempuan yang
menjadi korban pemerkosaan dan etnis Tionghoa yang dijadikan korban kekejaman para
pihak yang tidak bertanggungjawab. Ratusan manusia menjadi korban, dengan amat
mengenaskan mereka terpanggang kobaran api di dalam Yogya Plaza, Kleder, Jakarta Timur.
Tragedi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun terjadi juga di kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Tragedi ini merupakan rentetan kejadian yang memilukan, dimana sehari
sebelumnya (12 Mei 1998) empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban
penembakan oleh aparat TNI pada saat menggelar aksi menuntut Reformasi. Kejadian 11
tahun silam tersebut adalah sejarah kelam bangsa ini. Namun sampai dengan saat ini tak
juga ada pertanggungjawaban pemerintah atas terjadinya tragedi Mei 1998.
7. Mempekerjakan anak di bawah umur di lingkungan sekolah
Mempekerjakan anak di bawah umur ini termasuk pelanggaran sila ke-2, karena anak-
anak diperlakukan dengan tidak semestinya dan tidak manusiawi.
Tidak sepantasnya anak di bawah umur dipekerjakan, karena tanggung jawab mereka
adalah sekolah serta belajar dengan rajin. Karena masa depan anak-anak yang gemilang
penting untuk mereka, yang sedang mereka rajut di bangku sekolah dasar. Mereka pun
harus fokus dengan pelajaran di sekolah, dan mengerjakan segala tugas yang diberikan oleh
guru.
8. Gerindra: Kasus Pembuangan Pasien Langgar Pancasila
Sekretaris Badan Kesehatan Partai Gerindra (Kesira) Batara Sirait menilai kasus
pembuangan pasien di Lampung merupakan kejahatan kemanusiaan. Aksi keji itu telah
bertentangan dengan Pancasila.
"Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan oleh negara. Kasus
pembuangan pasien yang terjadi di Lampung merupakan kejahatan kemanusiaan. Partai
Gerindra sangat menyayangkan terjadinya hal seperti itu karena bertentangan dengan
Pancasila," kata Batara dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (12/2/2014)
Ia berharap adanya penyelidikan yang komprehensif baik dari penegak hukum maupun
Komnas HAM untuk menyelidiki akar permasalahan dari kasus itu. Penyelidikan juga harus
dari 2 sisi, yaitu dari korban dan juga rumah sakit yang bersangkutan.
"Apakah memang benar ada prosedur seperti itu dalam penanganan korban yang tak
dapat membayar biaya rumah sakit? Tentu hal itu perlu diselidiki dengan seksama," tutur
Batara.
Pasien miskin bernama Suparman (60) diduga dibuang petugas Rumah Sakit Umum
Daerah Dokter Dadi Tjokrodipo pada Senin 20 Januari lalu. Ia ditemukan warga di sebuah
gubuk di pinggir jalan dengan jarum infus pada tangan dan sisa perban di kaki. Ketika itu
kondisinya sudah lemah dan sekarat.
Akhirnya, petugas Rumah Sakit Abdul Muluk membawa dan merawat kakek malang itu.
Hingga menghembuskan nafas terakhir dan jenazahnya 3 hari di ruang mayat, tidak satupun
keluarga yang mencarinya.
Polisi pun menahan 6 petugas medis dan karyawan rumah sakit itu. Empat di antaranya
mengaku membuang sang kakek mereka adalah sopir ambulans, 2 perawat, dan seorang
petugas kebersihan. Dari hasil pemeriksaan, keenam orang yang mendekam di sel tahanan
Polresta Bandar Lampung itu mengaku diperintah 2 petinggi RSUD Dadi Tjokrodipo. (Mut)
9. Kasus Korupsi
Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus
yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto ini telah bergulir sejak
2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini
ada 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan Setya Novanto yakni
Irvanto Hendra Pambudi, Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan
Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kemendagri Irman, pengusaha Andi Narogong, Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto,
Anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
10. Pembantaian Keji di Mesuji Lampung Pelanggaran HAM Terbesar 2011
Peristiwa Pembantaian keji, biadab dan tidak berprikemanusiaan terhadap warga di
daerah Mesuji Lampung Provinsi Sumatera Selatan baru-baru ini dinilai merupakan pidana
berat dan pelanggaran HAM terbesar pada tahun 2011 ini. Ironisnya, terjadi praktek
pemaksaan kehendak oleh pihak PT Silva Inhutani dan perusahaan asal Malaysia, serta
adanya proses pembiaran terjadinya aksi pembantaian secara sadis oleh aparat penegak
hukum baik aparat TNI maupun Polri.
Demikian dikatakan Ketua Umum LSM-PERINTIS, Hendra Silitonga mencermati kasus
pelanggaran HAM terberat pada tahun 2011 ini yang terjadi di Provinsi Sumsel, yang
menelan korban sedikitnya 30 tewas, serta ratusan lainnya luka-luka berat dan ringan.
Bila kronologis kasus pembunuhan berencana dan terorganisir itu sebegitu parahnya,
maka sudah sewajarnya pucuk pimpinan TNI maupun Polri di Jakarta yang tidak mampu
berbuat banyak agar segera mundur, serta oknum aparat yang terlibat dipecat secara tidak
hormat.
Dugaan pembantaian massal petani ini terkuak saat para petani mendatangi Komisi III
Bidang Hukum DPR pagi tadi. Para petani yang didampingi Mayor Jenderal (Purn) Saurip
Kadi membawa bukti rekaman video pembantaian 30 petani di Tulang Bawang Induk dan
Tulang Bawang Barat, Lampung. Dalam video itu diperlihatkan adanya pembantaian yang
dilakukan dengan keji oleh orang-orang berseragam aparat. Ada dua video yang merekam
proses pemenggalan dua kepala pria.
Sementara tampak satu pria bersenjata api laras panjang dengan penutup kepala
memegang kepala yang telah terpenggal. Selain merekam pembunuhan keji lainnya, video
lain memperlihatkan kerusakan rumah penduduk. Peristiwa ini berawal dari perluasan lahan
oleh perusahaan PT Silva Inhutani sejak tahun 2003. Perusahaan yang berdiri tahun 1997 itu
diduga menyerobot lahan warga untuk ditanami kelapa sawit dan karet.
PT Silva Inhutani sendiri tidak mengetahui adanya peristiwa keji itu. Perusahaan
membantah ada peristiwa pembantaian massal petani di lokasi perusahaannya. “Indonesia
itu negara hukum, bagaimana mungkin bisa terjadi peristiwa seperti itu?” kata Sudirman
yang mengaku sebagai staf akunting PT Silva Inhutani kepada wartawan lewat telepon, Rabu
14 Desember 2011. Sebelumnya, dua staf di perusahaan itu menyatakan Sudirman adalah
pejabat di perusahaan itu yang membawahi masalah Lampung. (sumber: Rajawalinews.com)
11. Merdeka.com - Untuk mendalami terkait kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan
Gatot Brajamusti, Polda Metro Jaya akan memeriksa DNA mantan ketua umum Parfi
tersebut. "Nanti minggu depan penyidik mau ke NTB. Agendanya untuk periksa DNA gatot.
Kita terus lengkapi pemberkasan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Awi
Setiyono kepada wartawan, Minggu (2/10).
Selain soal pemerkosaan, polisi juga masih menyelidiki seputar kasus kepemilikan senjata
api milik Gatot. Sejauh ini aparat kesulitan untuk melacak asal usul senjata api tersebut.
"Kita masih kesulitan asal senpinya, tapi terkait proses penyidikan Gatot tentang
kepemilikan senpi dan ratusan amunisi, tentu tidak ada masalah," lanjutnya. rencananya
polisi akan memanggil dua orang yang terlibat dalam penggarapan film DPO untuk
memastikan asal usul pistol milik tersangka. Kasus yang terkait dalam sila ke 2.

Anda mungkin juga menyukai