Anda di halaman 1dari 7

Pelanggaran Hak Anak Bidang Pendidikan Masih Didominasi Perundungan

Liputan6.com, Jakarta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap rincian laporan pelanggaraan
hak anak di bidang pendidikan sepanjang Januari sampai April 2019. Laporan ini merupakan hasil pengawasan KPAI,
yang bersumber dari pengaduan langsung maupun daring (online), kasus yang disampaikan melalui media sosial KPAI
dan pemberitaan media massa terkait pendidikan. Hasil pengawasan menemukan, kasus pelanggaran hak anak di bidang
pendidikan masih didominasi perundungan berupa kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Selain itu, anak korban kebijakan
juga termasuk tinggi pengaduannnya.
“Anak korban kebijakan ada 8 kasus; anak korban pengeroyokan ada 3 kasus; anak korban kekerasan seksual
sebanyak 3 kasus; anak korban kekerasan fisik sebanyak 8 kasus; anak korban kekerasan psikis dan bullying ada 12 kasus;
anak pelaku bullying terhadap guru sebanyak 4 kasus,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti
dalam keterangan rilisnya, Kamis (2/5/2019).
Contoh permasalahan pada anak korban kebijakan meliputi, diberi sanksi yang mempermalukan, tidak mendapat
surat pindah, tidak bisa mengikuti ujian sekolah dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Selain itu, siswa
dikeluarkan karena terlibat tawuran. “Permasalahan lain, anak dieksploitasi di sekolah, anak ditolak (di sekolah) karena
derita HIV, serta anak korban kekerasan seksual dikeluarkan dari sekolah,” tambah Retno.
Kekerasan fisik dan bullying
Untuk anak korban kekerasan fisik dan bully, permasalahan yang diadukan berupa anak dituduh mencuri, anak
dibully oleh teman-temannya juga anak dibully oleh pendidik. Yang tak kalah mengejutkan, anak dan temannya saling
ejek di dunia maya, lalu berlanjut ke dunia nyata yang ditandai dengan persekusi. “Ada juga permasalahan lainnya, yakni
anak korban pemukulan, anak korban pengeroyokan, dan sejumlah siswa SD dilaporkan ke polisi oleh kepala
sekolahnya,” Retno menambahkan.
Ada 15 Kasus Pelanggaran Hak Beragama di 2018, Terbanyak di Jabar
JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia yang bernaung di
bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menangani 15 kasus terkait pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sembilan kasus di antaranya terjadi di Provinsi Jawa Barat. Ketua Bidang
Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, jika dilihat dari bentuknya, pelanggaran yang
terjadi paling banyak berupa larangan beribadah dan menggunakan tempat ibadah, yakni 9 kasus. "Jadi yang paling
banyak pada tahun 2018 itu adalah larangan beribadah dan menggunakan tempat ibadah," ujar Rakhma saat memaparkan
Laporan Hukum dan HAM 2018 di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Bentuk-bentuk pelanggaran lainnya antara lain penyebaran kebencian, larangan berkumpul keagamaan, larangan
ekspresi keagamaan dan larangan pemakaman. Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad
Isnur berpendapat bahwa ada tiga faktor yang memicu kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama yaitu, regulasi
atau norma hukum, lemahnya penegakan hukum dan ujaran kebencian.
Menurut Isnur, norma hukum yang mengatur soal pendirian rumah ibadah cenderung menyulitkan kelompok
minoritas. Ia mencontohkan aturan khusus atau pembangunan rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah. Lihat Foto Ketua
Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur saat ditemui di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Persyaratan khusus tersebut meliputi, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang dan
serta dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. "Jadi dari
normanya itu bermasalah," kata Isnur. Faktor kedua, lanjut Isnur, mengenai lemahnya pengegakan hukum. Aparat
kepolisian tidak merespons dengan baik atas konflik yang terjadi.
Isnur mengatakan, ketika ada konflik agama yang terjadi, biasanya kelompok minoritas yang ditekan dan dipaksa
mengalah. Ia mencontohkan kasus pelarangan pendirian rumah ibadah yang menimpa umat GKI Yasmin di Bogor dan
HKBP Filadelfia di Bekasi. "Ketika ada penolakan dari masyarakat pemerintah bukannya memediasi atau mencari solusi
malah mengusir mereka," tuturnya.
Faktor ketiga yakni masyarakat yang mudah terpapar dengan narasi dan ujaran kebencian. Tak dimungkiri, kata
Isnur, ada kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang memiliki agenda tertentu. Mereka kerap menyebarkan narasi
yang cenderung bersifat intoleran. Sementara, Isnur menilai masyarakat mudah sekali percaya ketika terpapar dengan
narasi-narasi kebencian. "Masyarakatnya sendiri memang mudah terpapar kebencian. Jadi ketika ada sekelompok orang
yang menyebar kebencian, maka masyarakatnya mudah terpapar. Dan ada juga kelompok-kelompok yang punya agenda
tertentu yang berupaya menghalang-halangi hak beribadah orang lain," kata Isnur.
Bayi Debora dan Kisah Pilu Layanan Kesehatan
Jakarta, CNN Indonesia -- Debora Simanjorang, bayi berusia empat bulan meninggal dunia karena diduga
lambannya pelayanan kesehatan lantaran keterbatasan dana orang tuanya. Debora kembali ke pangkuan sang pencipta,
Minggu (3/9) pekan lalu setelah berjuang sekitar enam jam di ruang gawat darurat Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres,
Jakarta Barat. Kejadian pilu ini diceritakan pemilik akun Facebook Birgaldo Sinaga dalam statusnya. Birgaldo,
menuturkan bahwa Debora sesak nafas dini hari. Kedua orang tuanya Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang ke
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Birgaldo mengaku mendapat cerita langsung dari Henny setelah sebelumnya menghubunginya lewat pesan
Facebook. Dari penuturan Henny kepada Birgaldo, sebelum sesak nafas malam itu, Debora batuk berdahak. RS Mitra
Keluarga dipilih karena paling dekat dengan tempat tinggal Debora. Sekitar pukul 03.40 WIB, Debora tiba di instalasi
gawat darurat rumah sakit tersebut. Ia langsung ditangani dokter jaga IGD. Dokter saat itu memberi Debora obat
pengencer dahak. Sekitar 30 menit kemudian, dokter memanggil kedua Rudianto dan Henny. “Hasil diagnosa, dokter
mengatakan si bayi Debora harus segera dibawa ke ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit), kondisinya memburuk,”
tulis Birgaldo.
Debora harus segera dimasukan ke ruang khusus perawatan intensif untuk bayi itu guna mendapat pertolongan
maksimal. Demi keselamatan si buah hati, Rudianto dan Henny setuju. Namun untuk bisa masuk ke ruang tersebut, kata
Birgaldo, uang muka Rp19,8 juta harus disediakan. Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah
sakit swasta itu tak punya kerja sama. Orang tua Debora bingung lantaran saat itu mereka sama sekali tak membawa uang.
Rudianto segera ke ATM untuk mengais sisa-sisa tabungannya. Uang Rp5 juta ia kantongi. Namun rumah sakit tetap tak
mengizinkan Debora dibawa ke ruang khusus PICU karena uang ayahnya masih jauh dari kata cukup.
Orang tua Debora kemudian berusaha mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS agar anaknya bisa
dirawat ke ruang PICU. Namun ruangan yang dinilai bisa menyelematkan nyawa anaknya itu tak kunjung didapatkan.
Sekitar 6 jam di IGD, Debora tak bisa diselamatnya. Ia dinyatakan meninggal sekitar pukul 10.00 WIB. Terkait dugaan
lambannya pelayanan kesehatan karena biaya ini, RS Mitra Keluarga Kalideres sudah angkat suara. Dalam keterangan
laman resmi, rumah sakit menyatakan, Debora masuk ke rumah sakit dalam kondisi tak sadar dan tubuh membiru. “Pasien
dengan riwayat lahir prematur, riwayat penyakit jantung bawaan dan keadaan gizi kurang baik”.
Penanganan segera dilakukan diantaranya dengan penyedotan lendir, pemompaan oksigen, infus, suntikan dan
pengencer dahak. Seteah ditangani, kondisi Debora saat itu membaik meski masih sangat kritis. Rumah sakit kemudian
menganjurkan agar Debora dibawa ke ruang khusus berikut biaya yang harus dikeluarkan. “Ibu pasien mengurus ke
bagian administrasi, dijelaskan oleh petugas tentang biaya rawat inap dan ruang khusus ICU, tetapi ibu pasien menyatakan
keberatan mengingat kondisi keuangan," demikian tertulis di keterangan resmi rumah sakit.
Rumah sakit kemudian membantu mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS agar Debora bisa
dipindahkan dan dirawat ke ruang khusus. Sekitar pukul 09.15 WIB, rumah sakit mendapat konfirmasi bawah ada rumah
sakit bekerja sama dengan BPJS dan punya ruang khusus untuk perawatan intensif anak. Koordinasi antardokter segera
dilakukan untuk mengetahui kondisi bayi Debora. Namun saat koordinasi dilakukan, perawat memberitahukan bahwa
kondisi Debora memburuk. Dokter segera bertindak. “Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit, segala
upaya yang dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien".
Terbongkarnya Kerangkeng Manusia Bupati Langkat: Berawal dari OTT KPK hingga Sudah Berdiri 10 Tahun
Jakarta, KOMPAS.com - Penangkapan Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin oleh KPK
berujung panjang. Setelah terjerat kasus korupsi, Terbit Rencana Perangin-Angin kini juga terancam pidana karena diduga
melakukan eksploitasi orang usai ditemukan kerangkeng manusia di kediamannya. Kerangkeng manusia ini disebut
digunakan untuk 'memenjarakan' pekerja kebun kelapa sawit milik Terbit Rencana Perangin-Angin.
Mereka yang dikurung dilaporkan mengalami perbudakan karena tidak mendapat gaji saat bekerja, serta
mendapat perlakuan kurang manusiawi hingga ada penganiyaan. Terbit Rencana Perangin-Angin mengeklaim kerangkeng
manusia itu merupakan sel untuk membina pelaku penyalahgunaan narkoba. Meski begitu, Polisi menyebut kerangkeng
manusia yang dimaksud belum memiliki izin. BNN juga menegaskan kerangkeng di rumah Terbit Rencana Perangin-
Angin tidak bisa disebut sebagai tempat rehabilitasi.
Berawal dari OTT KPK
Persoalan mengenai kerangkeng manusia ini berawal saat Terbit Rencana Perangin-Angin terjaring operasi
tangkap tangan (OTT) KPK pada Selasa (18/1/2022). KPK menggagalkan transaksi uang suap dari pihak kontraktor yang
dijanjikan memenangkan tender proyek Pemkab Langkat oleh Terbit Perangin-Angin. OTT dilakukan di sebuah kedai
kopi di mana transaksi suap awalnya diberikan lewat perantara Terbit Rencana Perangin-Angin. Saat KPK hendak
menangkap politikus Golkar itu di kediamannya, Terbit sempat kabur.
Namun, Terbit Rencana Perangin-Angin akhirnya menyerahkan diri keesokan harinya. Terbit Rencana Perangin-
Angin bersama 5 orang lainnya, termasuk sang kakak, ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap proyek pekerjaan
infrastruktur di lingkungan Pemkab Langkat. Saat ini Terbit Rencana Perangin-Angin sudah ditahan, dan tengah
menjalani proses penyidikan di KPK.
Migrant Care buka suara soal kerangkeng manusia
Terbit Rencana Perangin-Angin diduga melakukan kejahatan lain berupa perbudakan orang. Hal ini berdasarkan
laporan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care). Migrant Care mengungkap adanya
kerangkeng manusia serupa penjara yang terbuat dari besi, lengkap dengan gemboknya di rumah Terbit Rencana
Perangin-Angin. Atas dugaan ini, Migrant Care melaporkan hal tersebut kepada Komnas HAM di Jakarta pada Senin
(24/1/2022). Migrant Care menyatakan, dua kerangkeng di rumah Terbit Perangin-Angin digunakan sebagai penjara bagi
para pekerja sawit yang bekerja di ladang milik mantan Ketua DPRD Langkat tersebut. "Kerangkeng penjara itu
digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di
ladangnya," kata Ketua Migrant Care Anis Hidayah.
Anis mengungkapkan, ada dua sel dalam rumah Terbit yang digunakan untuk memenjarakan sekitar 40 orang
pekerja. Jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan. Mereka disebut
bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya. Selepas bekerja, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng, sehingga tak
memiliki akses keluar. Para pekerja bahkan diduga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak, mengalami
penyiksaan, dan tak diberi gaji. Kepada Komnas HAM, Migrant Care juga melampirkan beberapa dokumentasi, termasuk
foto pekerja yang wajahnya babak-belur diduga akibat penyiksaan di kerangkeng.
"Kami laporkan ke Komnas HAM karena pada prinsipnya, itu sangat keji," ujar Anis. Adanya kerangkeng
manusia di rumah Terbit Rencana Perangin-Angin juga diakui oleh KPK. Saat menggeledah rumah salah satu kepala
daerah terkaya itu, penyidik KPK melihat dua ruang berbentuk kerangkeng. Kendati melihat kerangkeng manusia
tersebut, fokus tim penyelidik KPK adalah mencari dan menemukan Terbit Rencana Perangin-Angin untuk ditangkap
terkait dugaan suap pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. KPK
pun siap bekerja sama dengan penegak hukum lainnya untuk memberikan keterangan dan dokumentasi yang dimiliki
lembaga antirasuah tersebut. "KPK siap fasilitasi kepolisian ataupun pihak Komnas HAM apabila melakukan permintaan
keterangan, klarifikasi atau pemeriksaan terhadap tersangka TRP (Terbit Rencana Perangin-Angin) dimaksud," kata
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Komnas HAM lakukan investigasi
Atas laporan Migrant Care, Komnas HAM langsung mengirim tim investigasi ke Langkat guna melakukan
investigasi. Komnas HAM juga berkoordinasi dengan kepolisian menyangkut keberadaan kerangkeng manusia yang ada
di rumah Terbit Rencana Perangin-Angin di Langkat. Beberapa informasi dasar tentang keberadaan kerangkeng manusia
tersebut telah dikantongi oleh Komnas HAM, begitu pun sejumlah perkembangan informasi lain. Komisioner Komnas
HAM Muhammad Choirul Anam mewanti-wanti bahwa kepolisian seharusnya dapat menjelaskan keberadaan sedikitnya
40 pekerja yang diduga dieksploitasi dan dikurung dalam kerangkeng itu.
"Kami minta untuk seluruh informasi yang terkait bukti ini, tempatnya, saksinya, dan sebagainya, tidak
mengalami perubahan. Kalau mengalami perubahan, maka jangan salahkan, publik juga bertanya," jelas Anam. "Misalnya
kok saksinya awalnya di sana, sekarang pindah ke tempat asalnya yang susah diakses dan lain sebagainya. Semua orang
akan menyalahkan itu kalau ada perubahan-perubahan signifikan," tambahnya.
Sudah ada selama 10 tahun
Kerangkeng manusia yang ada di rumah Terbit Rencana Perangin-Angin sudah berdiri sejak 10 tahun lalu. Polisi
menyebut kerangkeng itu dilaporkan dijadikan tempat rehabilitasi narkoba. "Ternyata kerangkeng itu sudah ada sejak
2012. Informasi awal dijadikan tempat rehabilitasi untuk orang atau masyarakat yang kecanduan narkoba atau ada yang
dititipkan orangtuanya terkait kenakalan remaja," sebut Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi, Senin
(24/1/2022) sore.
Hadi menjelaskan, ada dua kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat yang berukuran 6x6 meter.
Kedua sel itu diisi 27 orang yang setiap hari bekerja di kebun sawit. Saat pulang bekerja, mereka akan dimasukkan ke
dalam kerangkeng lagi. "(Saat ini) mereka masih ada di situ (kerangkeng)," katanya. Menurut polisi, 27 orang tersebut
diantarkan sendiri oleh orangtua masing-masing. Bahkan, para orangtua dan menandatangani surat pernyataan.
Kasus Prita, Pengadilan terhadap Kebebasan Berpendapat
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa jadi merupakan salah satu peristiwa penting yang menjadi tonggak
sejarah dalam lembaran perjalanan penegakan salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat. "Ya, saya
melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat ibu Prita sedang diadili," kata Komisioner Sub Komisi
Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis, kepada Antara di Jakarta, Rabu (3/6). Nur Kholis menuturkan hal tersebut
ketika ditanya apakah terdapat indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pidana tentang pencemaran nama baik yang
dilancarkan RS Omni Internasional kepada Prita. Kasus Prita berawal ketika Prita pada 15 Agustus 2008 menuliskan
keluhan dalam surat elektronik (email) kepada kalangan terbatas tentang pelayanan RS Omni Internasional di Tangerang.
Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis sehingga RS Omni mengambil langkah hukum.
Dalam gugatan perdata, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan pihak RS Omni sehingga Prita menyatakan
banding. Sedangkan kasus pidananya mulai digelar pada PN Tangerang pada Kamis (4/6). Prita dalam kasus tersebut
dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah
enam tahun penjara. Dengan alasan tersebut, pihak kejaksaan menahan Prita di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009.
Setelah mendapat dukungan antara lain dari ribuan pengguna internet, derasnya pemberitaan dari berbagai media massa,
dan juga perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status Prita akhirnya diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan
kota.
Nur Kholis menegaskan, tidak layak bila seseorang yang menuliskan surat keluhan lalu mendapat ancaman
hukuman hingga enam tahun penjara. "Itu adalah hal yang berlebihan," katanya. Senada dengan Nur Kholis, Direktur
Eksekutif LSM Indonesia Resources Legal Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa (2/6) mengatakan,
pemidanaan kasus pencemaran nama baik itu adalah tindakan yang sangat berlebihan. "Sangat berlebihan bila sampai
harus dipidanakan," kata Uli. Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS Omni seharusnya
merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sosial dan politik, antara lain menetapkan hak orang
untuk menyampaikan pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat
(Pasal 19). Selain itu, Uli berpendapat bahwa Prita yang dijerat secara pidana dengan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh pihak pengadilan. "Pengadilan harus benar-
benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesengajaan untuk mempunyai niat yang jahat terhadap pihak yang
dirugikan," katanya. Nur Kholis mengemukakan, pihaknya juga akan mendalami apakah tepat atau tidak Prita dijerat
dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut.
Ibu seorang anak itu mengaku bingung mengapa Lia Eden yang terkena kasus penodaan agama mendapat vonis
dua tahun enam bulan tetapi Prita Mulyasari yang hanya menulis surat keluhan bisa diancam enam tahun. Prita memang
telah keluar dari rumah tahanan karena statusnya telah berubah menjadi tahanan kota. Tetapi, kasus yang menimpanya
masih akan disidangkan dalam pengadilan yang dianggap sejumlah orang sebagai pengadilan terhadap kebebasan
berpendapat.
Judul Berita :
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................

Hak Yang Dilanggar dan relevansinya dengan nilai-nilai pancasila:


...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................................

Upaya Penyelesaiannya:
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai