Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN


“Bayi Debora dan Kisah Pilu Layanan Kesehatan”

Oleh :
KELOMPOK 4

Didan Rahadiyan Ridhoilahi 1910912210039


Fariha Puteri Amallia 1910912220009
Inanda Kasmawardah 1910912220013
Muhammad Yopie Zenaro 1910912210016
Mutia Rahmah 1910912320021
Nensy Dian Safitri 1910912220014
Ni'ma Farida Fasya 1910912120005
Paulina 1910912320027
Talitha Nuzul Nyssa 1910912220001

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2021
BAB I
KASUS PELANGGARAN KODE ETIK KESEHATAN

“Bayi Debora dan Kisah Pilu Layanan Kesehatan”

Sumber berasal dari CNN Indonesia pada tahun 2017, dimana Debora
Simanjorang, bayi berusia empat bulan meninggal dunia karena diduga
lambannya pelayanan kesehatan lantaran keterbatasan dana orang tuanya. Debora
meninggal pada hari minggu, 3 September 2017 setelah berjuang sekitar enam
jam di ruang gawat darurat Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Kejadian pilu ini diceritakan pemilik akun Facebook Birgaldo Sinaga dalam
statusnya. Birgaldo, menuturkan bahwa Debora sesak nafas dini hari. Kedua
orang tuanya Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang ke Rumah Sakit Mitra
Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Dari penuturan Henny kepada Birgaldo, sebelum sesak nafas malam itu,
Debora batuk berdahak. RS Mitra Keluarga dipilih karena paling dekat dengan
tempat tinggal Debora. Sekitar pukul 03.40 WIB, Debora tiba di instalasi gawat
darurat rumah sakit tersebut. Ia langsung ditangani dokter jaga IGD. Dokter saat
itu memberi Debora obat pengencer dahak. Sekitar 30 menit kemudian, dokter
memanggil kedua Rudianto dan Henny. “Hasil diagnosa, dokter mengatakan si
bayi Debora harus segera dibawa ke ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit),
kondisinya memburuk,” tulis Birgaldo. Debora harus segera dimasukan ke ruang
khusus perawatan intensif untuk bayi itu guna mendapat pertolongan maksimal.
Demi keselamatan si buah hati, Rudianto dan Henny setuju. Namun untuk bisa
masuk ke ruang tersebut, kata Birgaldo, uang muka Rp19,8 juta harus disediakan.
Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah sakit
swasta itu tak punya kerja sama.
Orang tua Debora bingung lantaran saat itu mereka sama sekali tak
membawa uang. Rudianto segera ke ATM untuk mengais sisa-sisa tabungannya.
Uang Rp5 juta ia kantongi. Namun rumah sakit tetap tak mengizinkan Debora
dibawa ke ruang khusus PICU karena uang ayahnya masih jauh dari kata cukup.

1
2

Orang tua Debora kemudian berusaha mencari rumah sakit yang bekerja sama
dengan BPJS agar anaknya bisa dirawat ke ruang PICU. Namun ruangan yang
dinilai bisa menyelematkan nyawa anaknya itu tak kunjung didapatkan. Sekitar 6
jam di IGD, Debora tak bisa diselamatnya. Ia dinyatakan meninggal sekitar pukul
10.00 WIB.
Terkait dugaan lambannya pelayanan kesehatan karena biaya ini, RS Mitra
Keluarga Kalideres sudah angkat suara. Dalam keterangan laman resmi, rumah
sakit menyatakan, Debora masuk ke rumah sakit dalam kondisi tak sadar dan
tubuh membiru. “Pasien dengan riwayat lahir prematur, riwayat penyakit jantung
bawaan dan keadaan gizi kurang baik,” tutur salah satu dari pihak Rumah Sakit.
Penanganan segera dilakukan diantaranya dengan penyedotan lendir, pemompaan
oksigen, infus, suntikan dan pengencer dahak. Seteah ditangani, kondisi Debora
saat itu membaik meski masih sangat kritis. Rumah sakit kemudian menganjurkan
agar Debora dibawa ke ruang khusus berikut biaya yang harus dikeluarkan. “Ibu
pasien mengurus ke bagian administrasi, dijelaskan oleh petugas tentang biaya
rawat inap dan ruang khusus ICU, tetapi ibu pasien menyatakan keberatan
mengingat kondisi keuangan," demikian tertulis di keterangan resmi rumah sakit.
Rumah sakit kemudian membantu mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan
BPJS agar Debora bisa dipindahkan dan dirawat ke ruang khusus. Sekitar pukul
09.15 WIB, rumah sakit mendapat konfirmasi bawah ada rumah sakit bekerja
sama dengan BPJS dan punya ruang khusus untuk perawatan intensif anak.
Koordinasi antardokter segera dilakukan untuk mengetahui kondisi bayi Debora.
Namun saat koordinasi dilakukan, perawat memberitahukan bahwa kondisi
Debora memburuk. Dokter segera bertindak dan Setelah melakukan resusitasi
jantung paru selama 20 menit, segala upaya yang dilakukan tidak dapat
menyelamatkan nyawa pasien.
BAB II
ANALISA KASUS

Rumah sakit menurut KBBI yaitu gedung tempat menyediakan dan


memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.
Rumah sakit juga bisa disebut sebagai sebuah organisasi yang dijalankan oleh
tenaga medis profesional yang teroganisir baik dari saran prasarana kedokteran
yang permanen, pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang
berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh
pasien. Rumah sakit mempunyai berbagai macam jenis pelayanan kesehatan yang
dapat diunggulkan untuk mempertahankan loyalitas pasien walaupun apabila
dibandingkan dengan negara lain, kualitas pelayanan di Indonesia masih tertinggal
jauh (Sidiq dan Reka, 2017). Tetapi industri jasa pelayanan tetap berupaya untuk
memperoleh kepercayaan masyarakat dengan mengemukakan pelayanan yang
efisien dan berkualitas (Supartiningsih, 2017).
Dalam kasus rumah sakit Mitra Keluarga yang menolak pasien seorang anak
kecil bernama Debora yang menderita infeksi paru. Pasien ditolak karena orang
tua pasien belum bisa membayar uang muka ruang pediatric intensive care unit
(PICU) di mana ruang tersebut dikhususkan untuk balita karena ruangannya
hangat. Tetapi karena orang tua pasien tidak bisa membayar langsung pada saat
itu maka ditolak lah pasien tersebut. Bahkan pihak orang tua Debora memberikan
jaminan berupa Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) tapi tetap ditolak oleh
pihak rumah sakit dan karena hal tersebut Debora tidak bisa mendapatkan
perawatan secara khusus sehingga mengakibatkan pada hari yang sama Debora
meninggal dikarenakan ditolak oleh pihak rumah sakit tersebut. Padahal
berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), pasien tersebut termasuk konsumen yang harus di layani oleh penyedia
jasa yaitu rumah sakit (Scondery, 2018). Berdasarkan pemaparan kasus tersebut,
maka terlihat jelas bahwa telah terjadi ketimpangan antara perlindungan hukum
terhadap konsumen dalam tataran normatif dan perlindungan hukum terhadap
konsumen dalam tataran praktik atau pelaksanaannya di masyarakat (Sari, 2018).

3
4

Untuk kasus ini, Dinkes DKI Jakarta membentuk tim dan melakukan
investigasi Audit Medis dan Audit Manajemen RS Mitra Keluarga Kalideres,
yang diisi oleh lembaga profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (Abubakar, 2018).
Pelaksanaan Audit Medis sebagaimana yang dijelaskan di atas, hal ini bersesuaian
dengan pengertian dan tujuan Audit Medis, dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor755/Menkes/Per/Iv/2011 Tentang Penyelenggaraan
Komite Medik di Rumah Sakit, BAB I Pasal 1 Ayat 11 menyatakan bahwa,
“Audit Medis adalah upaya evaluasi secara professional terhadap mutu pelayanan
medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang
dilaksanakan oleh profesi medis.” Tujuannya ialah mengatur tata kelola klinis
(clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan
pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi serta mengatur
penyelenggaraan komite medik di setiap rumah sakit dalam rangka peningkatan
profesionalisme staf medis. Mekanisme Audit Medis dilakukan oleh profesi medis
yaitu komite medis, ketika terjadi sebuah permasalahan atau penyimpangan dalam
proses tindakan medis atau penyembuhan dari rumah sakit yaitu dokter kepada
pasien, maka hasil Audit Medis dibawa ke bagian Mitra Bestari (peer group)
untuk dinilai berdasarkan kompetensi profesi yang baik, dari hasil ini kemudian
dinilai salah atau tidak, tindakan dokter di rumah sakit oleh komite medik, etik,
dan hukum, dalam bentukan rekomendasi (Departemen Kesehatan RI, 2011).
Hasil investigasi menunjukkan bahwa dokter gawat darurat telah melakukan
penanganan gawat darurat sesuai standar profesi dan kompetensi dokter. Saat
dipindahkan ke ruang unit perawatan intensif anak (PICU), orang tua Debora
diminta membayar uang muka oleh rumah sakit. Dari pemeriksaan medis, dokter
gawat darurat di Rumah Sakit Mitra Keluarga itu dikatakan telah melakukan
pengobatan dengan baik terhadap Deborah. Tim investigasi rumah sakit tersebut
menyimpulkan direktur Mitra Keluarga tidak memahami peraturan perundang-
undangan terkait rumah sakit. Hal ini terkait dengan sikap rumah sakit yang
meminta uang muka kepada orang tua Deborah. Peraturan yang menyatakan
bahwa rumah sakit tidak boleh meminta uang muka dalam keadaan darurat telah
lama ditetapkan secara internasional. Luar negeri, pasien darurat dirawat di UGD,
5

tapi keluarga terus menandatangani kemampuan pendanaan, misalnya melalui


asuransi atau uang tunai (Hartini, 2019).
Salah satu upaya untuk mempertahankan kualitas perusahaan adalah dengan
menciptakan kepuasaan pada pasien karena kepuasan merupakan salah satu kunci
keberhasilan suatu usaha. Dengan memberi kepuasan kepada pasien, rumah sakit
dapat meningkatkan keuntungan dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas.
Ketika pasien merasa puas akan pelayanan yang didapatkan pada saat proses
transaksi dan juga puas akan barang yang mereka dapatkan, besar kemungkinan
mereka akan kembali lagi dan menggunakan jasa dari rumah sakit tersebut dan
akan merekomendasikan pada teman dan keluarganya. Sebagai salah satu tujuan
dari rujukan pelayanan kesehatan, maka rumah sakit perlu menjaga kualitas
layanannya terhadap masyarakat yang membutuhkan. Pelayanan kesehatan inilah
yang selalu dituntut oleh para pengguna jasa di bidang kesehatan agar selalu
bertambah baik sehingga pada akhirnya tujuan organisasi dalam melakukan
pelayanan yang prima dan berkualitas dapat terwujud (Harfika dan Nadiya, 2017).
Pelayanan kesehatan inilah yang selalu dituntut oleh para pengguna jasa di
bidang kesehatan agar selalu bartambah baik dan pada akhirnya tujuan organisasi
dalam melakukan pelayanan yang prima dan berkualitas dapat terwujud.
Kepuasan yang dirasakan pasien tergantung dari persepsi mereka terhadap
harapan dan kualitas pelayanan yang diberikan sumah sakit. Apabila harapan
pelanggan lebih besar dari kualitas pelayanan yang diterima maka konsumen tidak
puas. Demikian pula sebaliknya, apabila harapan sama atau lebih kecil dari
kualitas pelayanan yang diterima, maka pasien kurang puas. Kualitas pelayanan
merupakan pengukuran terhadap tingkat layanan yang diberikan atau disampaikan
sesuai dengan harapan pelanggan (Harfika dan Nadiya, 2017).
Seperti kasus yang dialami oleh bayi Debora, yang mana harapan sama atau
lebih kecil dari kualitas pelayanan yang diterima. Sehingga orang tua merasa
kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Bayi Debora
dinyatakan meninggal dunia saat berusia empat bulan diduga lambannya
pelayanan kesehatan akibat dari keterbatasan dana yang dimiliki oleh orang tua.
Kasus ini cukup menyita perhatian publik karena harus membayar uang muka
6

sebesar Rp. 19,8 juta untuk dapat masuk ruang PICU (Pramana dkk, 2018).
Masyarakat menuntut agar seorang dokter atau suatu instansi kesehatan
memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga tidak jarang
masyarakat merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang ada dan tidak
tertutup kemungkinan seorang dokter akan dituntut dimuka pengadilan
(Herniwati, dkk, 2020). Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari aspek etika profesi, hukum
adminstrasi yaitu dengan sanksi pencopotan jabatan terhadap pejabat yang
berwenang, hukum perdata dengan pembayaran ganti rugi sebagai bentuk
pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit menjalankan putusan pengadilan dan
atau hukum pidana dengan vonis hukuman seperti yang termuat pada Pasal 190
undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Maulana,
2019).
Dalam menyelidiki sebuah kasus, dilihat dari sejauh mana seorang tenaga
kesehatan mempunyai implikasi yuridis jika terjadi kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan, serta unsur-unsur apa saja yang dijadikan ukuran
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan, tidak bisa terjawab dengan hanya mengemukakan sejumlah
perumusan tentang apa dan bagaimana terjadinya kesalahan. Tetapi penilaian
mengenai rumusan tersebut harus dilihat dari dua sisi, yaitu pertama harus dinilai
dari sudut etik dan baru kemudian dilihat dari sudut hukum. Pertanggungjawaban
pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subyek hukum pidana.
Subyek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku
tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum
yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya
terhadap orang lain (korban) (Maulana, 2019).
Kasus bayi Debora ini jelas melanggar undang-undang (UU) yang telah
dibuat oleh pemerintah. Pada UU No. 36 Tahun 2009 pasal 32 ayat (2) tentang
Kesehatan menyatakan, “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka.” Kemudian disambung dengan pasal 190 ayat (1) yang berisikan tentang
7

tidak pidana bagi pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan
yang tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien gawat darurat akan
dipenjara paling lama dua tahun dan dendan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Pada UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 ayat (1)
disebutkan beberapa kewajiban rumah sakit, dua diantaranya adalah memberikan
pelayanan gawat darurat sesuai dengan kemampuan pelayanannya dan
memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan gawat
darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, serta bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Jika melanggar kewajiban
tersebut akan diberikan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, atau
denda dan pencabutan izin rumah sakit. Selanjutnya pada pasal 42 ayat (2) dalam
undang-undang yang sama dikatakan bahwa rumah sakit boleh menolak jika
pasien memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit dan
merujuknya ke rumah sakit lain. Kasus bayi Debora telah melanggar pasal 29 ayat
(1) dengan memaksa orang tua bayi Debora untuk membayar jika ingin dilakukan
tindak lanjut saat bayi Debora dalam keadaan kritis hingga menyebabkan
kematian pada bayi Debora (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah
berlaku di suatu daerah harus dipertanggungjawabkan atas kerugian yang diderita
pihak lain. Kasus bayi Debora dapat diminta pertanggungjawaban secara perdata
karena termasuk dalam kelalaian medik yang menyebabkan luka atau hilangnya
nyawa seseorang karena kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.
Pertanggungjawaban tidak terjadi hanya karena adanya perjanjian antara tenaga
kesehatan dan pasien, namun juga karena tidak melaksanakan kewajiban yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan undang-undang atau standar yang berlaku
dalam pelayanan kesehatan. Pasal 1366 KUHP perdata menyatakan bahwa,
“setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatinya.” Maka dari itu rumah sakit seharusnya bertanggung jawab atas
kematian bayi Debiora dengan mengganti kerugian yang diderita oleh keluarga
8

pasien (Romadhoni & Arief, 2018). Selain itu, pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia Pasal 13 menyatakan bahwa setiap dokter harus melakukan pertolongan
darurat sebagai tugas perikemanusiaan (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia, 2004).
Jelas terlihat bahwa tenaga kesehatan melakukan perbuatan yang melawan
hukum karena tidak melakukan tugas yang sesuai dengan profesi tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan yang tidak memenuhi standar profesi dapat
diberikan sanksi berupa pencabutan surat izin praktik atupun teguran tertulis oleh
kepala dinas kabupaten/kota (Putera, 2018). Kasus bayi Debora ini telah
melanggar banyak peraturan yang berlaku di Indonesia dan juga berlawanan
dengan etika profesi yang berlaku.
Petugas kesehatan dalam hal melayani masyarakat, juga terikat pada etika
dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan perilaku
petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga
tunduk pada ketentun hukum, aturan, dan perundang-undangan. Yang mana
apabila petugas kesehatan melanggar kode etik profesi maka akan mendapat
sanksi etika dari organisasi profesinya dan apabila juga melanggar ketentuan
perundang-undangan juga akan mendapat sanksi hukum (pidana atau perdata)
(Aningrum dkk, 2018).
Pelayanan kesehatan yang bermutu yaitu pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan kode etik dan standar
pelayanan yang telah ditetapkan (Rijal dkk, 2019). Dokter sebagai karyawan
sebuah rumah sakit memiliki peran penting dalam menciptakan pelayanan
kesehatan yang bermutu, diantaranya dalam menerapkan budaya keselamatan
pasien. Keberadaan kode etik seharusnya menjadi aspek penting dalam penerapan
budaya. Kode etik yang dimiliki oleh profesi dokter harus selalu diterapkan
sebagai upaya untuk menerapkan budaya keselamatan pasien. Pasien akan merasa
puas apabila dilayani dengan baik oleh tenaga kesehatan. Aspek etika menjadi
bagian penting dalam melakukan pelayanan kepada pasien (Nuraenah, 2020).
Teori mengenai malpraktik medis menyatakan bahwa rumah sakit harus
dapat menjamin keamanan dan kenyamanan pasien (patient safety) dan wajib
9

untuk membayar ganti kerugian apabila terjadi hal yang tidak dinginkan (misalnya
kesalahan medis) yang menyebabkan pasien cedera atau mengalami kerugian.
Untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis, rumah sakit dapat menerapkan
prinsip patient safety. Prinsip patient safety dapat meminimalisir terjadinya cedera
pada pasien akibat kesalahan tindakan medis. Kewajiban rumah sakit terkait
dengan patient safety mencakup 4 hal sebagai berikut: (1) kewajiban untuk
menggunakan perawatan yang wajar dalam pemeliharaan fasilitas dan peralatan
yang aman dan memadai; (2) kewajiban untuk memilih dan mempekerjakan
dokter yang berkompeten; (3) kewajiban untuk memantau tanggung jawab dan
pelaksanaan tugas dari tenaga kesehatan lainnya, termasuk terkait dengan pola
distribusi dan peredaran obat-obatan di rumah sakit; dan (4) kewajiban untuk
merumuskan, mengadopsi dan menegakkan aturan dan kebijakan yang memadai
untuk memastikan perawatan yang berkualitas bagi pasien (Andrianto & Andaru,
2020).
Terkait dugaan lambannya pelayanan kesehatan karena biaya, merupakan
akibat dari organisasi yang tidak memiliki budaya patient safety. Hal tersebut juga
dapat mengakibat kesalahan laten, gangguan psikologi maupun physiologi pada
staf, penurunan produktivitas, berkurangnya kepuasan pasien dan dapat
menimbulkan konflik interpersonal (Idris, 2017). Rumah Sakit Mitra Keluarga
Kalideres yang menangani pasien Debora menyatakan sudah melakukan penangan
diantaranya dengan penyedotan lendir, pemompaan oksigen, infus, suntikan dan
pengencer dahak. Seteah ditangani, kondisi Debora saat itu membaik meski masih
sangat kritis. Sehingga pihak rumah sakit menganjurkan agar Debora dibawa ke
ruang khusus yang mana pihak keluarga pasien mesti menyediakan uang muka
sebesar Rp19,8 juta. Karena pihak keluarga pasien merasa tidak mampu
membayar dan pihak rumah sakit juga tidak punya kerja sama dengan BPJS
Kesehatan, maka rumah sakit kemudian membantu mencari rumah sakit yang
bekerja sama dengan BPJS agar Debora bisa dipindahkan dan dirawat ke ruang
khusus. Namun saat koordinasi dilakukan, perawat memberitahukan bahwa
kondisi Debora memburuk. Dokter pun segera bertindak namun, Debora tak bisa
diselamatkan.
10

Dalam UU No 36 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang


sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Dalam
situasi ekonomi yang sulit dimana biaya kesehatan cenderung meningkat karena
berbagai faktor seperti pembayaran out of pocket (fee for service) secara
individual, service yang ditentukan oleh provider (Dumaris, 2018). Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit telah
mengatur secara terperinci fungsi sosial rumah sakit, antara lain pelayanan gawat
darurat tanpa uang muka. Kasus kematian bayi Debora yang diduga tidak
mendapat penanganan optimal karena terhambat masalah uang muka. Penolakan
tersebut mengakibatkan banyak berita negatif tentang rumah sakit di media,
masyarakat menganggap rumah sakit tidak mematuhi hukum, dan bersifat
komersial. Di sisi lain, rumah sakit memiliki pengalaman berupa tagihan yang
tidak dibayar oleh pasien dapat mengakibatkan peningkatan piutang dan gangguan
likuiditas rumah sakit. Jika masalah ini tidak segera mengatasi, orang akan
menghindari rumah sakit yang menerapkan kebijakan sebelumnya sehingga
jumlah pasien akan menurun dan berpengaruh terhadap kinerja keuangan rumah
sakit (Arifin & Sjaaf, 2019).
Di Indonesia pemerintah sudah menjalankan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) pada awal tahun 2014 yang mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan (PMK) No. 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan JKN.
Sistem ini dikelola oleh suatu badan yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan di bagi menjadi dua yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan bertujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (Anyaprita,
2020). Fasilitas kesehatan yang ikut serta dalam pelaksanaan JKN yaitu terbagi
menjadi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terdiri dari puskesmas,
praktek dokter, klinik pratama, dan rumah sakit kelas D Pratama serta fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) berupa klinik utama, rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus (Nomeni dkk, 2020).
11

Pemerintah selalu berupaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat


dengan menggunakan jaminan sosial. Jaminan sosial ini merupakan salah satu
bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah yang berguna
menjamin warga negara atau masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup
dasar yang layak. Program jaminan sosial ini dimulai dari Jamkesmas, Jamkesda,
ASKES dan muncul program baru pemerintah yang namanya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS kesehatan merupakan Badan Usaha
Milik Negara yang berubah menjadi Badan Hukum Publik yang ditugaskan
khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Program ini melayani berbagai lapisan dari kalangan
masyarakat. BPJS Kesehatan ditujukan untuk memberikan proteksi agar seluruh
lapisan masyarakat mendapatkan akses kesehatan secara merata (Pertiwi dan
Herbasuki, 2017).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari SJSN. Beberapa prinsip yang dianut pada JKN yakni
prinsip gotong royong, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi,
efektivitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS Kesehatan merupakan Badan
Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia
(Listiyana dan Eunike, 2017).
Peningkatan kualitas pelayanan publik pada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan sangatlah penting agar dapat meningkatkan kepuasan
terhadap masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, sistem serta harga yang terjangkau (Widiastuti, 2017). Seluruh warga
negara Indonesia wajib menjadi anggota BPJS, Sesuai pasal 14 Undang-Undang
BPJS setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di
Indonesia minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan (BPJS
Kesehatan Pusat, 2016). Target program Jaminan Kesehatan Nasional yaitu
12

cakupan kepesertaan nasional yang menyeluruh pada tahun 2019 atau


Universal Health Coverage (UHC). Untuk mencapai target tersebut, menjadi
peserta BPJS Kesehatan tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal,
namun pekerja informal juga diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan
(Pangestika dkk, 2017).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelayanan kesehatan selalu dituntut oleh para pengguna jasa di bidang
kesehatan agar selalu bertambah baik sehingga pada akhirnya tujuan organisasi
dalam melakukan pelayanan yang prima dan berkualitas dapat terwujud.
Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
terhadap pasien dapat dilihat dari aspek etika profesi, hukum adminstrasi yaitu
dengan sanksi pencopotan jabatan terhadap pejabat yang berwenang, hukum
perdata dengan pembayaran ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak
Rumah Sakit menjalankan putusan pengadilan dan atau hukum pidana dengan
vonis hukuman seperti yang termuat pada Pasal 190 undang-undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Subyek hukum pidana dalam
ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai
perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).
Kasus bayi Debora dapat diminta pertanggungjawaban secara perdata
karena termasuk dalam kelalaian medis yang menyebabkan luka atau hilangnya
nyawa seseorang karena kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.
Pertanggungjawaban tidak terjadi hanya karena adanya perjanjian antara tenaga
kesehatan dan pasien, namun juga karena tidak melaksanakan kewajiban yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan undang-undang atau standar yang berlaku
dalam pelayanan kesehatan. Kasus bayi Debora ini telah melanggar banyak
peraturan yang berlaku di Indonesia dan juga berlawanan dengan etika profesi
yang berlaku. Dalam UU No 36 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

13
14

B. Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu bagi rumah sakit pemerintah dan swasta
sebaiknya mendahulukan keselamatan nyawa pasien dengan memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien dengan baik, aman, dan bermutu tanpa adanya
unsur diskriminatif. Selain itu, dalam menyelenggarakan upaya kesehatan, di
rumah sakit harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang professional,
bertanggung jawab, memiliki dan memperhatikan kode etik, dan moral yang
tinggi sehingga mampu memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal
kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar H. 2018. Kedudukan audit medis dalam penegakan hukum tindak


pidana di bidang medis. LEX Renaissance 3(2): 263-283.
Andrianto W, & Andaru, DDA. (2020). Pola pertanggungjawaban rumah sakit
dalam penyelesaian sengketa medis di Indonesia. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 49(4), 908-922.
Aningrum SAN, Syarifuddin, Usman. 2018. Analisis Penerapan Etika Dan
Hukum Kesehatan Pada Pemberian Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit
Nene Mallomo Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Manusia
Dan Kesehatan 1(3): 189-200.
Anyaprita D, dkk. 2020. Dampak keterlambatan pembayaran klaim BPJS
kesehatan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura.
Muhammadiyah Public Health Journal 1(1): 22-31.
Arifin A, & Sjaaf AC. (2019). Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan Rumah Sakit
Sebelum dan Sesudah Kebijakan Tanpa Uang Muka. Jurnal Ilmu
Kedokteran, 12(1), 32-38.
BPJS Kesehatan Pusat. 2016. Data Nasional Kepesertaan BPJS Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2009. UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2009. UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit.
Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor755/Menkes/Per/Iv/2011 tentang penyelenggaraan
komite medik di rumah sakit. Jakarta: Depkes RI.
Dumaris, H. (2018). Analisis Perbedaan Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s
Pelayanan Rawat Jalan di RSUD Budhi Asih Jakarta Tahun 2015. Jurnal
Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 3(1).
Harfika J dan Nadiya A. 2017. Pengaruh kualitas pelayanan dan fasilitas terhadap
kepuasan pasien pada rumah sakit umum Kabupaten Aceh Barat Daya.
Jurnal Balance 14(1): 44-56.
Hartini I. 2019. Ethico-medikolegal emergency service. UNTAG Law Review
3(1): 103-108.
Herniwati, dkk. (2020). Etika profesi dan Hukum Kesehatan. Bandung: Widina
Bhakti Persada Bandung.
Idris, H. (2017). Dimensi Budaya Keselamatan Pasien. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 8(1).
Listiana I, Eunike RR. 2017. Analisis kepuasan jaminan kesehatan nasional pada
pengguna BPJS kesehatan di kota Semarang. Unnes Journal of Public
Health 6(1): 53-58.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. 2004. Kode etik kedokteran dan
pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta: Ikatan
Dokter Indonesia.
Maulana P. 2019. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit akibat kelalaian
pelayanan medis. Jurnal Syiah Kuala Law 3(3): 417-428.
Nomeni HE, Rina WS, Yoseph K. 2020. Faktor penyebab keterlambatan
pengajuan klaim pasien BPJS Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah
Soe. Media Kesehatan Masyarakat 2(2): 1-14.
Nuraenah ISP. 2020. Pengaruh etika profesi dokter, fasilitas, dan kepuasan pasien
terhadap citra RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Jurnal Ekonomi
Manajemen 15(1): 37-47.
Pangestika V, Sutopo PJ, Ayun S. 2017. Faktor – Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kepesertaan Sektor Informal Dalam BPJS Kesehatan Mandiri Di
Kelurahan Poncol, Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 5(3): 39-49.
Pertiwi M, Herbasuki N. 2017. Efektivitas Program BPJS Kesehatan Di Kota
Semarang (Studi Kasus Pada Pasien Pengguna Jasa BPJS Kesehatan Di
Puskesmas Srondol). Journal of Public Policy and Management
Review 6(2):416-430.
Pramana JA, Septo PA, dan Wulan K. 2018. Analisis upaya kepatuhan hukum
dalam memenuhi hak dan kewajiban pasien BPJS kesehatan di RSUD
Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat 6(5): 95-103.
Putera, B. 2020. Tanggung gugat rumah sakit dan dokter atas tindakan penolakan
pasien dengan alasan habisnya jam kerja sehingga kondisi pasien
mengalami gangguan psikologis ditinjau dari undang-undnag nomor 44
tahun 2009 tentang rumah sakit dan undang-undang nomor 29 tentang
praktek kedokteran serta kitab undang-undang hukum perdata. Jurnal
Pendidikan, Sosial dan Keagamaan 18(1): 1-15.
Rijal FH, Muhammad S, Niar NS. 2019. Pengaruh etika dan kinerja tenaga
kesehatan terhadap pemberian pelayanan kesehatan pasien di Puskesmas
Madising Na Mario Kota Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan
Kesehatan 2(1): 12-25.
Romadhoni dan Arief S. 2018. Pertanggungjawaban perdata rumah sakit dalam
hal penolakan pasien miskin pada keadaan gawat darurat. Privat Law 6(2):
226-230.
Sari SDR. 2018. Perlindungan hukum konsumen jasa medis atas penelantaran
pelayanan oleh rumah sakit. Journal Diversi 4(1): 52-79.
Scondery A. 2018. Tanggung jawab Rumah Sakit Mitra Keluarga Kali Deres atas
tindakan penolakan pasien yang berujung pada kematian ditinjau dari
Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Jurnal
Hukum Adigama 1(2): 1-25
Sidiq R dan Reka A. 2017. Kajian efisiensi pelayanan rumah sakit. Idea Nursing
journal 8(1): 29-34.
Supartiningsih S. 2017. Kualitas pelayanan kepuasan pasien rumah sakit: kasus
pada pasien rawat jalan. Jurnal medicoeticolegal dan Manajemen Rumah
Sakit 6(1): 9-15.
Widiastuti I. 2017. Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
kesehatan di jawa barat. Jurnal Administrasi Publik 2(2): 91-101.

Anda mungkin juga menyukai