Anda di halaman 1dari 9

Salah satunya yakni dengan menggelar diskusi publik bertajuk "Pro Kontra Kebijakan Baru

BPJS" dengan pihak terkait.


"Ini langkah inisiatif Ombudsman terhadap pro kontra dipublik dengan mengambil
investigasi ke puskesmas, rumah sakit, dokter dan juga pengguna BPJS," terang Kepala ORI
Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab, Rabu (5/9).

Menurutnya, sesuai temuan sementara, publik masih bingung dengan peraturan baru terutama
rumah sakit. 

Karena klaim yang harus diminta ke BPJS belum sepenuhnya dibayarkan, sehingga
menimbulkan dilema pada pihak rumah sakit dalam memberikan pelayanan ke pasien.

Sementara, Asisten Deputi Monitoring BPJS Bali-Nusra, Nyoman Wiwiek Yuliadewi,


mengatakan pihaknya sudah menerbitkan sekaligus memberlakukan Peraturan Direktur
Jaminan Kesehatan Nomor 2 tentang pelayanan katarak, Nomor 3 Penjaminan bayi lahir, dan
nomor 5 tentang rehabilitasi medik.

"Kami juga sudah melakukan sosialisasi. 


Jadi ini tidak mendadak. 
Mungkin mereka memerlukan waktu yang lebih banyak untuk sosialisasi. Sementara bagi
kami beberapa minggu waktu untuk sosialisasi itu cukup," ujarnya.

Demikian halnya soal klaim Rumah Sakit, Wiwiek mengatakan, klaim terjadwal dalam
jangka waktu 15 hari kerja, dan bukti klaim harus lengkap dengan berita acara. 

"Bila lewat dari 15 hari berarti ada kendala di BPJS Kesehatan, dan untuk mengatasi kendala
tersebut jalan keluarnya BPJS sudah bekerjasama dengan Bank BUMN dengan sistem suplay
chain financial yakni bank yang akan menangani klaim rumah sakit terlebih dahulu sampai
nanti BPJS menutup klaim tersebut," ujarnya. 

Menurut Wiwiek peraturan Nomor 2 tentang operasi katarak tidak ada pembatasan pada titik
berapa, yang bisa dijamin BPJS 6/20 yang fungsi pengelihatan dari pasien sudah terganggu. 

Pun soal persalinan, menurutnya yang berbeda hanya soal penjaminan bagi bayi yang lahir
sehat biaya jadi satu paket dengan sang ibu. 

Namun, jika bayi sakit dan harus dibayar dua paket anak tersendiri dan ibu tersendiri. 
Sementara tentang rehabilitasi medis, dijamin kalau ada spesialis rehab medis untuk
menjamin mutu pelayanan pada peserta JKN
Cerita sejumlah dokter yang menolak pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan karena dianggap riba telah menyebar di media sosial dalam
beberapa hari terakhir dan menimbulkan pro kontra.

Dalam sebuah unggahan misalnya seorang dokter diceritakan menolak pasien karena
menganggap bahwa layanan BPJS termasuk riba atau pinjaman yang dilebihkan – yang
dilarang dalam agama Islam.

Sistem mana yang termasuk riba dan mana yang bukan secara umum masih menjadi
perdebatan sejumlah organisasi Islam.

“Hari ini anak saya harusnya kontrol lanjutan setelah pemeriksaan yang pertama… tapi entah
mengapa dokter tersebut menolak bahkan menunjukkan buku tentang riba tersebut
(dihadapan suami saya) yang tebal banget,” begitu kisah yang banyak dibagikan di media
sosial.

“Suami saya menjelaskan bahwa BPJS adalah program pemerintah dan kami termasuk kelas
menengah dan tidak paham tentang peraturan riba tersebut, dokter tersebut malah
menyalahkan sistem pemerintahan atau BPJS,” sambungnya.

Cerita ini menuai berbagai tanggapan di internet dan banyak orang mengkritisi pilihan itu.
“Bagaimana jika yang datang pasien sudah parah, orang tidak mampu, hanya punya BPJS
untuk berobat?” tanya Kinan Fajri di Facebook. Lainnya mengatakan, “tidak punya hati
nurani.”

Tapi Donny Simatupang beranggapan, “tidak apa, itu hanya keyakinannya beliau saja. Kita
harus hormati, cari dokter alternatif lain saja.”

Lantas, bolehkah dokter menolak pasien BPJS?


Kepada BBC Indonesia, Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS Kesehatan Irfan
Humaidi mengatakan bahwa itu adalah masalah internal rumah sakit yang tidak ada sangkut
pautnya dengan BPJS.

“Kami sudah komunikasi dengan manajemen rumah sakit, prinsipnya itu tanggung jawab
rumah sakit. Tinggal rumah sakit dan dokter itu bagaimana kontraknya,” papar Irfan.

Kerjasama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit, lanjutnya, adalah kerjasama business to
business.

“Pengelolaan di dalam, siapa dokternya, siapa keuangannya, itu wewenang rumah sakit. Bagi
kami, yang penting Anda rumah sakit memastikan bahwa pelayanan bagi peserta bisa
dilayani, siapapun dokternya yang penting dokternya memiliki izin praktik,” tambah Irfan.

Mengenai anggapan bahwa layanan BPJS adalah riba, dia enggan berkomentar karena itu
adalah pendapat pribadi yang menyangkut keyakinan dan agama yang bisa jadi berbeda-beda
satu dengan yang lainnya.

“Kami tidak mau masuk dalam ranah itu, kami melaksanakan sesuai UU dan ketentuan yang
berlaku. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara A dan B, itu pilihan ya.”

BBC Indonesia mencoba menghubungi pihak rumah sakit untuk meminta keterangan terkait
salah satu dokternya yang dianggap menolak pasien.

Menurut Setyadi Hadi Santosa, Marketing Rumah Sakit Permata Pamulang, kejadian itu betul
namun terlalu dibesar-besarkan di media sosial.

“Keberpihakan kami pada pasien, karena itu solusinya pasien dipindahkan ke dokter lain.
Pelayanan yang utama. Pasien kami layani maksimal,” jelasnya.
Menurutnya, dalam perjanjian kerjasama antara rumah sakit dan BPJS, setiap dokter terlebih
dahulu dimintai komitmen hitam di atas putih, namun memang ada beberapa dokter yang
belum menyanggupi dengan berbagai faktor.

Sementara itu seperti dilansir NU Online, forum bahtsul masail pra muktamar ke-33
Nahdlatul Ulama pada 2015 lalu, menyimpulkan bahwa jaminan kesehatan nasional (JKN)
yang ditangani BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam.

“Kalau bicara halal-haram, BPJS sudah jelas halal. Tetapi harus dilihat apakah BJPS ini
mengandung mashlahah atau mafsadah? Kita tinggal memperbaiki saja mana kurangnya,”
kata Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Ahmad Muzammil kepada NU Online.

Jakarta -
Akhir-akhir ini, headline berita terasa penuh riuh membahas aturan terbaru Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tanpa diduga sebelumnya, BPJS kembali
mengeluarkan aturan terbaru yang mulai berlaku pada akhir 25 Juli lalu. Dikutip dari laman
Bpjs-kesehatan.go.id, BPJS Kesehatan lagi-lagi memperbarui peraturannya melalui Peraturan
Direktur BPJS Kesehatan pada 25 Juli 2018.

BPJS Kesehatan menerapkan implementasi baru yaitu, (1) Peraturan Direktur Jaminan
Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam
Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3
Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3)
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan
Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Adapun dasar yang digunakan BPJS Kesehatan dalam mengeluarkan aturan tersebut adalah
ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Khususnya, Pasal 24 ayat 3 yang menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan dapat
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem
pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan
kesehatan. Peraturan baru tersebut tentu menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran di
masyarakat.

Masyarakat khawatir, keluarnya aturan tersebut dapat membatasi atau bahkan menghapuskan
tiga pelayanan kesehatan tersebut. Pertama, terkait dengan pelayanan katarak, Jika
sebelumnya seluruh pasien katarak dapat dioperasi, dalam aturan terbaru dijelaskan bahwa
BPJS kesehatan menyebutkan akan tetap menjamin biaya operasi katarak bagi para penderita
katarak yang ikut serta dalam jaminan BPJS Kesehatan dengan visus (lapang pandang
penglihatan) pada kriteria tertentu dengan indikasi medis perlu mendapatkan operasi katarak.
Pasien katarak setidaknya harus memenuhi kriteria visus 6 per 18 yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan.

Penjelasan tersebut memiliki arti bahwa tidak seluruh pasien katarak yang ikut serta dalam
jaminan BPJS kesehatan akan mendapatkan tindakan operasi. Harus ada kriteria tertentu agar
pasien tersebut dapat dioperasi. Hal ini tentu saja sangat berpotensi merugikan beberapa
pasien katarak lainnya. Dikhawatirkan BPJS Kesehatan menerapkan indikator yang terlalu
tinggi kepada pasien katarak yang layak untuk dioperasi. Karena, sangat mungkin terjadi
meskipun tingkat penyakit katarak seseorang pasien menurut BPJS Kesehatan belum layak
untuk dioperasi, namun bisa jadi sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien
tersebut.

Jangan dilupakan juga hak pasien. Mereka yang dianggap belum layak dioperasi menurut
standar BPJS Kesehatan juga turut serta membayar iuran sebagai bentuk kewajiban terhadap
BPJS Kesehatan. Artinya, mereka memiliki hak yang sama dengan pasien lainnya ketika
kondisi kesehatan matanya dirasa sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Kedua, terkait dengan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat. BPJS Kesehatan tetap
menjamin semua jenis persalinan baik normal dan caesar. Namun, jika bayi membutuhkan
pelayanan atau sumber daya khusus, misalnya bayi prematur yang baru lahir perlu
penanganan melalui Neonatal Intensive Care Unit (NICU), maka tidak akan dijamin oleh
BPJS Kesehatan. Perlu digarisbawahi, layanan bayi dengan menggunakan fasilitas NICU
dijamin oleh BPJS Kesehatan pada aturan yang terdahulu. Artinya bahwa, dengan kewajiban
iuran yang sama bahkan cenderung naik, ternyata pelayanan persalinan bagi ibu hamil justru
berkurang secara kuantitas.

Ketiga, terkait rehabilitasi medik dan fisioterapi. BPJS Kesehatan mengklaim akan tetap
menjamin pelayanan rehabilitasi medik dan fisioterapi, namun dengan kriteria frekuensi
maksimal dua kali seminggu atau 8 kali sebulan. Pembatasan ini tentu akan berpotensi
menyulitkan pasien rehabilitasi medik. Ketika intensitas pelayanan dikurangi, tentu akan
memperlambat proses penyembuhan pasien.

Dapat disimpulkan bahwa tiga aturan baru yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan tidak
berarti menghilangkan atau menghapuskan tiga layanan secara keseluruhan. Tiga aturan
tersebut lebih menekankan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan katarak, persalinan, dan rehabilitasi medik/fisioterapi dengan
menambahkan kriteria atau indikator yang lebih ketat supaya pasien mendapatkan tindakan
yang sesuai kondisinya.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang etika dan kepatutan, apakah bisa dikatakan patut dan
adil ketika masyarakat peserta jaminan selalu dituntut untuk membayar iuran tepat waktu,
dan ditambah beban iuran yang semakin besar, di saat bersamaan pihak BPJS Kesehatan
justru terus menerus mengubah aturan dengan tempo yang sangat singkat, serta orientasinya
mengurangi kuantitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat?

Jika alasan perubahan peraturan dan pengurangan jenis pelayanan kesehatan disebabkan oleh
defisit yang selalu dialami oleh BPJS Kesehatan, justru hal ini akan menjadi pertanyaan baru,
bagaimana mereka mengelola jaminan sosial tersebut? Perlu diingat bahwa para sumber daya
manusia (SDM) yang mengelola BPJS Kesehatan merupakan SDM pilihan dengan gaji yang
sangat besar. Artinya, secara kompetensi mereka mestinya sudah tidak diragukan lagi, tapi
kenapa BPJS Kesehatan selalu mengklaim merugi (defisit), dan masyarakat peserta jaminan
kesehatan yang selalu menjadi korbannya?

Dengan pola peraturan yang selalu berubah seperti ini, mungkin sudah saatnya masyarakat
peserta BPJS Kesehatan mendapatkan kepastian melalui perjanjian asuransi atau
pertanggungan bersifat konsensual (adanya kesepakatan). Harus dibuat secara tertulis dalam
suatu akta antara pihak yang mengadakan perjanjian (polis) agar masyarakat lebih tenang dan
aman ketika ikut serta dalam BPJS Kesehatan.

Alternatif lain, BPJS Kesehatan bersama pemerintah harus berani membuat kontrak
peraturan, setidaknya berani menjamin peraturan tidak akan berubah dalam jangka 5 atau 10
tahun ke depan. Hal itu agar menjadi warning bagi BPJS Kesehatan untuk dapat semakin
serius mengelola jaminan kesehatan tersebut, dan para stakeholders mulai dari dokter, rumah
sakit, hingga masyarakat dapat patuh dan nyaman menjalankan peraturan tersebut.
Seorang anggota masyarakat peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS)
Kesehatan. Foto oleh Aman Rochman/AFP

JAKARTA, Indonesia — Polemik haramnya skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai menemui titik terang.

Rapat bersama BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian
Kesehatan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyepakati
sejumlah langkah yang diharapkan dapat menjadi solusi, Selasa, 4 Agustus.

Salah satunya yang membuat masyarakat dapat menarik nafas lega adalah lembaga-lembaga
tersebut dihimbau untuk tak khawatir dan tetap mendaftar serta melanjutkan kepesertaannya
BPJS Kesehatan.
Meskipun masih memiliki banyak kekurangan, anggota masyarakat mengaku hadirnya BPJS
Kesehatan telah banyak membantu mereka dalam mengakses layanan kesehatan.

(BACA: Masyarakat: BPJS Kesehatan banyak kekurangan, tapi banyak manfaat)

Foto hasil rapat bersama yang beredar di media sosial.

Sementara itu, pihak-pihak yang hadir dalam rapat juga bersepakat untuk membentuk tim
gabungan guna mendalami hasil keputusan ijtima yang sebelumnya menyatakan bahwa
skema jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan tak sesuai syariat Islam karena mengandung
gharar, riba, dan maisir.

(BACA: Mengharamkan BPJS Kesehatan, MUI dinilai konsisten)

Saat dihubungi oleh Rappler, Wakil Ketua MUI Ma'ruf Amien mengonfirmasi kebenaran dari
pernyataan sikap ini. "Iya, memang," kata Amien, Selasa.

OJK: Informasi MUI bisa jadi tak lengkap

Terkait dengan akar munculnya polemik, salah satu Komisioner OJK yang hadir dalam rapat
gabungan itu, Firdaus Djaelani, mengatakan bahwa bisa jadi MUI menerima informasi yang
tak lengkap.

"Investasi yang haram itu tidak benar, negara dan masyarakat membayar premi BPJS
Kesahatan kan tidak disimpan," kata Firdaus
"Kalau ada yang harus dicairkan dalam bentuk klaim dari rumah sakit ya harus saat itu juga.
MUI mungkin belum mendapatkan informasi seperti ini. Kami juga kurang sosialisasi,"
ujarnya.

"Yang pasti uang yang dihimpun dalam premi tidak ada yang diinvestasikan kemudian
hasilnya dinikmati dalam jangka panjang," kata Firdaus. — Rappler.com

Anda mungkin juga menyukai