Yang pertama, ucap Harli, persoalan BPJS Kesehatan sudah muncul sejak proses
aktivasi kartu. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa
aktif sepekan setelah pendaftaran diterima. "Padahal sakit menimpa tanpa terduga
dan tak mungkin bisa ditunda," ujar Harli di Jakarta, Ahad, 9 Agustus 2015.
Selanjutnya, rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga
disebut Harli terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu
fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski
sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tutur Harli, menyulitkan
orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh.
Masalah lain, menurut Harli, adalah rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan
karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta
wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas.
Sumber : https://nasional.tempo.co/read/690357/4-masalah-paling-dikeluhkan-
dalam-pelayanan-bpjs-kesehatan/full&view=ok
Pemutusan kontrak dengan 92 rumah sakit bisa berdampak pada lebih dari 1 juta
peserta BPJS Kesehatan tidak mendapatkan layanan maksimal.
Memasuki tahun ini, masyarakat dikejutkan dengan isu banyaknya peserta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang ditolak berobat di sejumlah rumah sakit.
Alasannya, rumah sakit ini sudah tidak lagi bekerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pembenahan mutu pelayanan
kesehatan menjadi penyebab BPJS Kesehatan memutus kontrak dengan rumah sakit
tersebut, sehingga tidak bisa lagi menerima pasien JKN. Sejak 1 Januari 2019, BPJS
Kesehatan sudah memutuskan kontrak kerja sama dengan 92 rumah sakit di
berbagai daerah. Banyak masyarakat menganggap pemutusan kontrak ini terkait
dengan kondisi keuangan BPJS Kesehatan.
Sejak didirikan, BPJS Kesehatan memang menghadapi defisit arus kas. Pada 2014,
defisitnya mencapai Rp 3,8 triliun dan membengkak menjadi Rp 9,75 triliun pada
2017. Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 10,9 triliun.
Saban tahun pemerintah harus menyuntikkan dana untuk menutup defisit tersebut.
Sepanjang tahun lalu saja, dana yang sudah dikeluarkan pemerintah mencapai Rp
10 triliun. Sebagian besar dana ini digunakan untuk membayar klaim rumah sakit
dari peserta JKN. (Baca: BPJS Bantah Kerja Sama dengan Rumah Sakit Disetop
Karena Defisit) Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris membantah
kondisi keuangan menjadi penyebab berhentinya kerja sama dengan sejumlah
rumah sakit. "Kami sampaikan informasi tersebut tidak benar, bukan di situ
masalahnya,” ujarnya di Jakarta, Senin (7/1). Menurutnya, sampai saat ini
pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan oleh BPJS
Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari
pihak ketiga, seperti perbankan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dia
menjelaskan pemutusan kontrak dilakukan karena rumah sakit tersebut tidak
memenuhi persyaratan kerja sama yang telah diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ada syarat kredensial yang
harus dipenuhi, untuk menjamin agar rumah sakit bisa memberikan pelayanan
kesehatan yang baik bagi peserta JKN
Kesimpulan : Terjadinya pemutusan kontrak antara pihak rumah sakit dengan bpjs
dikarenakan terkait dengan kondisi keuangan bpjs .
Berbagai Masalah yang bikin BPJS Kesehatan Nunggak Rp 9 T
"Dampak dari hal itu, BPJS menerima iuran masyarakat sangat terbatas sementara
tagihan dari rumah sakit begitu besar. Defisit yang terjadi menjadi begitu luar biasa
yang semuanya dibebankan kepada pemerintah dalam bentuk subsidi," ungkapnya.
Piter pun menjelaskan guna mencegah tunggakan kembali terjadi, BPJS Kesehatan
seharusnya menaikkan besaran iuran. Hal ini juga mesti dilakukan bersamaan
dengan meningkatkan kedisiplinan oleh masyarakat.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa mengurangi jumlah pelayanan yang
ditanggung serta menertibkan oknum rumah sakit, dokter yang dengan sengaja
memberikan pelayanan melebihi kebutuhan peserta.
Walaupun begitu, Piter menyadari hal tersebut masih sulit dilakukan. Pasalnya,
akan ada risiko protes dari masyarakat yang akan merasa keberatan bila solusi
diterapkan.
"Agak susah dilakukan. Ada risiko adanya protes dari masyarakat," tutup
dia.(ang/ang)
Sumber : https://finance.detik.com/moneter/d-4569410/berbagai-masalah-yang-
bikin-bpjs-kesehatan-nunggak-rp-9-t
Salah satu pendorong meningkatnya belanja sosial karena ada pembayaran untuk
penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 24,3 triliun yang disetorkan kepada BPJS
Kesehatan. Pembayaran tersebut setara 90,9 persen dari pagu anggaran untuk
periode Januari-November 2019.
Dia memerinci, selain hal itu, BPJS juga harus membayar utang kepada rumah sakit
yang telah jatuh tempo per 8 Juli 2019 sebesar Rp 7,1 triliun. Untungnya, kata dia,
jumlah klaim yang harus dibayar turun menjadi Rp 6,5 triliun per 14 Juli 2019.
Ia mengatakan, BPJS sangat berharap defisit Rp 28 triliun tuntas pada akhir tahun.
"Sehingga, pada 2020 persoalannya bukan lagi tentang defisit. Kami berharap
regulasi urun biaya segera dikeluarkan Kemenkes," ujar dia.
Sebelumnya pada 2017, BPJS Kesehatan juga mengalami defisit. Kala itu angkanya
sebesar Rp 9,7 triliun.
Ganggu pelayanan
Direktur Utama Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti
mengungkapkan, keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan tak hanya
menggangu pelayanan, tapi juga keuangan. Ia mengatakan, RSCM bahkan harus
meminjam dana ke bank.
"Kami direpotkan sekali kasus-kasus keterlambatan atau kurang bayar dari BPJS
Kesehatan. Padahal, 80 persen pasien kami adalah peserta JKN-KIS, sedangkan
biaya operasional sangat besar," kata dia.
"Kami harus kencangkan ikat pinggang supaya program JKN-KIS tetap berjalan.
Namun, di sisi lain, kami juga harus mendapatkan obat, alat kesehatan, dan juga
bisa membayar karyawan non-PNS," ujarnya.
Akhirnya, RSCM harus meminjam dana kepada bank dengan pembayaran bunga
yang dibayarkan pihak BPJS Kesehatan. Namun, Lies menyebut, pihaknya tetap
mengalami kerugian. "Bank meminta Rp 180 juta, sedangkan BPJS Kesehatan
(bayar) Rp 114 juta. Kami rugi," katanya.
"Tetapi, yang didiskusikan selalu apa komplikasinya? Tetapi, kita tidak pernah
membicarakan bagaimana caranya supaya diberikan zat besi yang tidak ada sampai
sekarang," kata dia.
Sumber : https://nasional.republika.co.id/berita/putb2f415/bpjs-kesehatan-
diprediksi-tekor-rp-28-triliun
"Berbagai macam sumber yang menyumbangkan defisit akan kita terus periksa.
Kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit, tapi lebih kepada
fundamental perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang berkelanjutan,"
kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7) malam.
"Berbagai macam sumber yang menyumbangkan defisit akan kita terus periksa.
Kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit, tapi lebih kepada
fundamental perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang berkelanjutan,"
kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7) malam.
Tata kelola tagihan biaya kesehatan terhadap BPJS Kesehatan, menurut dia,
menjadi salah satu hal penting untuk menangani defisit. Selain itu, hubungan antara
BPJS Kesejatan dan Kementerian Kesehatan dalam mendefinisikan kategori rumah
sakit dan strategi penggunaan dana iuran dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional
juga perlu diperbaiki. "Salah satu yang sedang dibahas di lingkungan pemerintah
termasuk mengenai besaran iuran peserta," kata Sri.
Selain itu, BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit sebesar Rp 9,1
triliun untuk periode 2018. Sementara, pada 2019, defisit BPJS mencapai Rp 19
triliun. Tak hanya itu, utang klaim rumah sakit yang jatuh tempo per tanggal 14 Juli
2019 sebesar Rp 6,5 triliun.
Pemerintah terus menyuntikkan dana untuk menalangi defisit tersebut. Pada 2015,
pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan sebesar Rp 5 triliun, kemudian Rp 6,9
triliun pada 2016. Pada 2017, suntikan dananya sebesar Rp 3,7 triliun.
Pada akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan mengungkap defisit senilai Rp 16,5 triliun.
Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan pencairan dana cadangan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp 4,993 triliun.
Langkah lain juga turut dilakukan, yaitu percepatan pelunasan tunggakan iuran dari
pemerintah daerah dan pemotongan pajak rokok untuk menutupi defisit BPJS
Kesehatan. Pemerintah melalui Kemenkeu dan kementerian/lembaga terkait juga
menggencarkan langkah promotif preventif atau pencegahan penyakit dengan
minimal 50 persen dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).
Sejauh ini, berbagai kebijakan itu belum berhasil menekan defisit BPJS. Dana iuran
yang disebut lebih rendah dari aktuaria menjadi salah satu alasan yang kerap
disampaikan pihak-pihak terkait. Kendati demikian, hingga pertengahan tahun ini
belum ada langkah konkret dan terobosan soal hal tersebut.
Sumber : https://nasional.republika.co.id/berita/pv4ejo415/apa-yang-membuat-
bpjs-kesehatan-terus-defisit