Anda di halaman 1dari 13

4 Masalah Paling Dikeluhkan dalam Pelayanan BPJS Kesehatan

Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Harli


Muin mengatakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang pelaksanaannya
dipercayakan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih
jauh dari makna keadilan. Dia menilai penerapan BPJS Kesehatan masih memiliki
persoalan dalam banyak hal.

Yang pertama, ucap Harli, persoalan BPJS Kesehatan sudah muncul sejak proses
aktivasi kartu. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa
aktif sepekan setelah pendaftaran diterima. "Padahal sakit menimpa tanpa terduga
dan tak mungkin bisa ditunda," ujar Harli di Jakarta, Ahad, 9 Agustus 2015.

Selanjutnya, rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga
disebut Harli terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu
fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski
sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tutur Harli, menyulitkan
orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh.

Masalah lain, menurut Harli, adalah rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan
karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta
wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas.

Persoalan keempat, kata Harli, banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran


biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Harli menilai,
sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya
menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat,
dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.

Harli mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem dan pelaksanaan BPJS


Kesehatan. "Agar pelayanan kesehatan yang layak dapat segera terpenuhi."

Sumber : https://nasional.tempo.co/read/690357/4-masalah-paling-dikeluhkan-
dalam-pelayanan-bpjs-kesehatan/full&view=ok

Kesimpulan : kesehatan masih jauh dari makna keadilan


Pembenahan Layanan BPJS Kesehatan yang Membuat Resah

Pemutusan kontrak dengan 92 rumah sakit bisa berdampak pada lebih dari 1 juta
peserta BPJS Kesehatan tidak mendapatkan layanan maksimal.
Memasuki tahun ini, masyarakat dikejutkan dengan isu banyaknya peserta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang ditolak berobat di sejumlah rumah sakit.
Alasannya, rumah sakit ini sudah tidak lagi bekerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pembenahan mutu pelayanan
kesehatan menjadi penyebab BPJS Kesehatan memutus kontrak dengan rumah sakit
tersebut, sehingga tidak bisa lagi menerima pasien JKN. Sejak 1 Januari 2019, BPJS
Kesehatan sudah memutuskan kontrak kerja sama dengan 92 rumah sakit di
berbagai daerah. Banyak masyarakat menganggap pemutusan kontrak ini terkait
dengan kondisi keuangan BPJS Kesehatan.
Sejak didirikan, BPJS Kesehatan memang menghadapi defisit arus kas. Pada 2014,
defisitnya mencapai Rp 3,8 triliun dan membengkak menjadi Rp 9,75 triliun pada
2017. Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 10,9 triliun.
Saban tahun pemerintah harus menyuntikkan dana untuk menutup defisit tersebut.
Sepanjang tahun lalu saja, dana yang sudah dikeluarkan pemerintah mencapai Rp
10 triliun. Sebagian besar dana ini digunakan untuk membayar klaim rumah sakit
dari peserta JKN. (Baca: BPJS Bantah Kerja Sama dengan Rumah Sakit Disetop
Karena Defisit) Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris membantah
kondisi keuangan menjadi penyebab berhentinya kerja sama dengan sejumlah
rumah sakit. "Kami sampaikan informasi tersebut tidak benar, bukan di situ
masalahnya,” ujarnya di Jakarta, Senin (7/1). Menurutnya, sampai saat ini
pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan oleh BPJS
Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari
pihak ketiga, seperti perbankan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dia
menjelaskan pemutusan kontrak dilakukan karena rumah sakit tersebut tidak
memenuhi persyaratan kerja sama yang telah diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ada syarat kredensial yang
harus dipenuhi, untuk menjamin agar rumah sakit bisa memberikan pelayanan
kesehatan yang baik bagi peserta JKN

Sumber : Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Pembenahan


Layanan BPJS Kesehatan yang Membuat Resah"
, https://katadata.co.id/telaah/2019/01/11/pembenahan-layanan-bpjs-kesehatan-
yang-membuat-resah

Kesimpulan : Terjadinya pemutusan kontrak antara pihak rumah sakit dengan bpjs
dikarenakan terkait dengan kondisi keuangan bpjs .
Berbagai Masalah yang bikin BPJS Kesehatan Nunggak Rp 9 T

Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat


tunggakan BPJS Kesehatan ke rumah sakit mencapai Rp 9,1 triliun di 2018. Hal ini
dikarenakan adanya permasalahan data peserta yang digunakan oleh lebih dari satu
orang.

Menurut Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah


pada dasarnya ada beberapa faktor lain yang menyebabkan tunggakan hingga Rp 9
triliun. Hal pertama, karena jumlah iuran peserta yang tergolong kecil sehingga
pemerintah harus mensubsidi sisanya.

Kemudian, ketidakdisiplinan peserta membayar iuran, cakupan pelayanan


kesehatan yang luas, hingga adanya oknum rumah sakit yang memberikan
pelayanan lebih dari yang dibutuhkan. Alhasil, beban dari semua lagi-lagi mesti
ditanggung oleh pemerintah.
"Permasalahan BPJS Kesehatan muncul disebabkan beberapa faktor, utamanya
juga karena masyarakat memanfaatkan sepenuhnya fasilitas yang diberikan BPJS
dan adanya oknum rumah sakit dan dokter yang ditengarai memberikan pelayanan
melebihi yang dibutuhkan pasien BPJS," ungkap dia kepada detikFinance, Rabu
(29/5/2019).

"Dampak dari hal itu, BPJS menerima iuran masyarakat sangat terbatas sementara
tagihan dari rumah sakit begitu besar. Defisit yang terjadi menjadi begitu luar biasa
yang semuanya dibebankan kepada pemerintah dalam bentuk subsidi," ungkapnya.

Piter pun menjelaskan guna mencegah tunggakan kembali terjadi, BPJS Kesehatan
seharusnya menaikkan besaran iuran. Hal ini juga mesti dilakukan bersamaan
dengan meningkatkan kedisiplinan oleh masyarakat.

Ia mencontohkan, cara meningkatkan disiplin dengan memberikan sanksi bila mana


peserta telat membayar iuran.
"Bagaimana mengatasinya? Alternatifnya, adalah pertama menaikkan besarnya
iuran dan meningkatkan kedisiplinan masyarakat membayar iuran. Untuk
meningkatkan kedisiplinan ini bisa lewat sosialisasi dan edukasi yang terus
menerus, salah satu alternatif bisa memberikan sanksi untuk yang tidak disiplin
bayar iuran," jelas dia.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa mengurangi jumlah pelayanan yang
ditanggung serta menertibkan oknum rumah sakit, dokter yang dengan sengaja
memberikan pelayanan melebihi kebutuhan peserta.

Walaupun begitu, Piter menyadari hal tersebut masih sulit dilakukan. Pasalnya,
akan ada risiko protes dari masyarakat yang akan merasa keberatan bila solusi
diterapkan.

"Agak susah dilakukan. Ada risiko adanya protes dari masyarakat," tutup
dia.(ang/ang)

Sumber : https://finance.detik.com/moneter/d-4569410/berbagai-masalah-yang-
bikin-bpjs-kesehatan-nunggak-rp-9-t

Kesimpulan : Bpjs menunggak hingga 9 T dikarenakan adanya permasalahan data


peserta yang digunakan oleh lebih dari satu orang.
BPJS Kesehatan Diprediksi Tekor Rp 28 Triliun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit anggaran Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan kian membesar tahun ini. Tidak
main-main, angka defisit BPJS Kesehatan pada 2019 diperkirakan mencapai Rp 28
triliun.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan persoalan defisit anggaran BPJS


Kesehatan harus tuntas tahun ini. Dengan demikian, tahun depan tidak ada lagi
masalah defisit dan tunggakan ke rumah sakit dan perusahaan farmasi oleh BPJS
Kesehatan.

Kemenkeu menyiapkan langkah strategis untuk mengatasi hal ini. Pernyataan


Kemenkeu ini menyikapi masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan yang tahun ini
masih merongrong.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, BPJS Kesehatan dan


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah diminta Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) untuk melalukan sejumlah langkah strategis. Kedua
lembaga tersebut, menurut Askolani, diberikan masukan agar bisa mengatasi
masalah keuangan.

Hasil dari langkah-langkah yang ditempuh bakal dijadikan bahan evaluasi


pemerintah untuk menentukan kebijakan. "Kita akan koordinasikan dengan lintas
kementerian lembaga dan BPJS Kesehatan agar bisa selesaikan ini dengan
komprehensif," kata Askolani kepada Republika, Rabu (1/7).

Kendati begitu, Askolani tak menjelaskan rencana terdekat Kemenkeu untuk


menolong kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Hal yang pasti, kata dia, persoalan
defisit mesti diselesaikan secepatnya.

"Kita akan melakukan review atas langkah-langkah pengendalian agar dapat


menyelesaikan potensi defisit pada tahun ini," ujar dia. Askolani juga tak menjawab
secara tegas ketika ditanya mengenai ketersediaan dana talangan untuk menambal
defisit BPJS Kesehatan pada tahun ini. "Nanti dilihat kondisinya," jawab dia
singkat.

Mengutip laporan terakhir Kemenkeu, belanja pemerintah pusat sepanjang


semester I 2019 telah mencapai Rp 342,34 triliun. Pengeluaran itu salah satunya
berasal dari belanja sosial sebesar Rp 70,94 triliun atau naik 56,4 persen dari
pencairan belanja sosial periode sama tahun lalu.

Salah satu pendorong meningkatnya belanja sosial karena ada pembayaran untuk
penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 24,3 triliun yang disetorkan kepada BPJS
Kesehatan. Pembayaran tersebut setara 90,9 persen dari pagu anggaran untuk
periode Januari-November 2019.

Tahun lalu, pemerintah memberikan dana talangan sekitar Rp 5 triliun untuk


mengurangi defisit BPJS Kesehatan. Agar defisit tak semakin membengkak,
pemerintah rencananya bakal menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk
golongan penerima bantuan iuran yang saat ini sebesar Rp 23 ribu per bulan.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat dikonfirmasi soal besarnya defisit BPJS


Kesehatan tahun ini menyerahkan sepenuhnya kebijakan pemberian dana talangan
untuk BPJS Kesehatan kepada Kemenkeu. "Soal dana talangan, itu adalah
wewenangnya Kemenkeu," kata Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan
Kemenkes Kalsum Komaryani.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati


menambahkan, Kemenkes akan menggelar rapat untuk membahas defisit BPJS
Kesehatan. Kendati demikian, ia belum bisa memastikan kapan rapat tersebut
digelar.

Ihwal perkiraan defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 28 triliun, diungkapkan Asisten


Deputi Direksi Bidang Pengelolaan Faskes Rujukan BPJS Kesehatan Beno Herman
di sela-sela diskusi "Defisit BPJS Kesehatan dan dampaknya pada keberlangsungan
pelayanan Rumah Sakit”, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa
(16/7).
Ia menjelaskan, perkiraan jumlah defisit tersebut dihitung berdasarkan iuran yang
diterima BPJS Kesehatan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan. Ia
mengungkapkan, BPJS Kesehatan ternyata belum membayar klaim Rp 9,1 triliun
selama 2018 dan terbawa dalam laporan keuangan 2019. "Jadi, kalau kita hitung
lagi defisit BPJS Kesehatan yang riil 2019 itu Rp 19 triliun. Tetapi, kumulatifnya
(utang 2018 dan 2019) sekitar Rp 28 triliun," ujar Beno.

Dia memerinci, selain hal itu, BPJS juga harus membayar utang kepada rumah sakit
yang telah jatuh tempo per 8 Juli 2019 sebesar Rp 7,1 triliun. Untungnya, kata dia,
jumlah klaim yang harus dibayar turun menjadi Rp 6,5 triliun per 14 Juli 2019.

Menurut Beno, cara mengatasi defisit Rp 28 triliun adalah dengan menerapkan


bauran kebijakan. Ia menyebut Kemenkes bersedia memberikan sekitar Rp 6 triliun
untuk mengatasi defisit.

Kendati demikian, Kemenkes disebut menetapkan syarat-syarat, di


antaranya review kelas rumah sakit. Dengan begitu, ia mengakui tidak semua angka
defisit akan dibayarkan pemerintah.

Ia mengatakan, BPJS sangat berharap defisit Rp 28 triliun tuntas pada akhir tahun.
"Sehingga, pada 2020 persoalannya bukan lagi tentang defisit. Kami berharap
regulasi urun biaya segera dikeluarkan Kemenkes," ujar dia.

Sebelumnya pada 2017, BPJS Kesehatan juga mengalami defisit. Kala itu angkanya
sebesar Rp 9,7 triliun.

Ganggu pelayanan

Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persi Daniel Budi


Wibowo mengungkapkan, banyak rumah sakit (RS) yang menjadi mitra BPJS
Kesehatan mengalami hambatan dalam melayani pasien peserta Jaminan Kesehatan
Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) akibat keterlambatan pembayaran
piutang BPJS Kesehatan.
"Banyak RS tidak bisa melayani peserta JKN-KIS karena tidak bisa memberikan
obat. Banyak layanan kesehatan yang tertunda," ujarnya, Selasa (16/7).

Direktur Utama Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti
mengungkapkan, keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan tak hanya
menggangu pelayanan, tapi juga keuangan. Ia mengatakan, RSCM bahkan harus
meminjam dana ke bank.

"Kami direpotkan sekali kasus-kasus keterlambatan atau kurang bayar dari BPJS
Kesehatan. Padahal, 80 persen pasien kami adalah peserta JKN-KIS, sedangkan
biaya operasional sangat besar," kata dia.

Ia menambahkan, RSCM juga harus menghentikan beberapa pelayanan. Ada pasien


yang harus dipulangkan karena tidak jadi dioperasi lantaran tidak ada obat bius.

"Kami harus kencangkan ikat pinggang supaya program JKN-KIS tetap berjalan.
Namun, di sisi lain, kami juga harus mendapatkan obat, alat kesehatan, dan juga
bisa membayar karyawan non-PNS," ujarnya.

Akhirnya, RSCM harus meminjam dana kepada bank dengan pembayaran bunga
yang dibayarkan pihak BPJS Kesehatan. Namun, Lies menyebut, pihaknya tetap
mengalami kerugian. "Bank meminta Rp 180 juta, sedangkan BPJS Kesehatan
(bayar) Rp 114 juta. Kami rugi," katanya.

Direktur Rumah Sakit Sari Asih Ciledug Ni'matullah Mansur mengibaratkan


permasalahan defisit BPJS Kesehatan bagaikan pasien yang mengidap anemia
defisiensi, yaitu kekurangan zat besi.

"Tetapi, yang didiskusikan selalu apa komplikasinya? Tetapi, kita tidak pernah
membicarakan bagaimana caranya supaya diberikan zat besi yang tidak ada sampai
sekarang," kata dia.

Padahal, ia mengklaim, RS-nya sudah maksimal melakukan penghematan. Namun,


upaya itu sulit kalau iuran premi JKN-KIS tidak dinaikkan, sementara defisit yang
dialami BPJS Kesehatan semakin besar. n dedy darmawan nasution/ rr laeny
suluystiawati, ed: satria kartika yudha

Sumber : https://nasional.republika.co.id/berita/putb2f415/bpjs-kesehatan-
diprediksi-tekor-rp-28-triliun

Kesimpulan : Pemerintah rencananya bakal menaikkan iuran peserta BPJS


Kesehatan.
Apa yang Membuat BPJS Kesehatan Terus Defisit?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan meninjau capaian


kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan semester I 2019
dan proyeksi hingga akhir tahun. Pihaknya menegaskan bakal memeriksa secara
mendetail sumber-sumber yang menyumbangkan defisit kepada perseroan.

Ia menyampaikan, hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan


(BPKP) terhadap BPJS Kesehatan telah disampaikan kepada Kementerian
Keuangan. Hasil tersebut akan menjadi dasar pemerintah dalam menangani
masalah BPJS Kesehatan.

"Berbagai macam sumber yang menyumbangkan defisit akan kita terus periksa.
Kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit, tapi lebih kepada
fundamental perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang berkelanjutan,"
kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7) malam.

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengakui, koordinasi antarlingkungan


kementerian/lembaga sudah mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil
dalam mengelola BPJS Kesehatan di tengah kondisi defisit. Secara umum, kata dia,
BPKS telah merekomendasikan untuk perbaikan tata kelola perseroan serta
pendataan peserta BPJS Kesehatan.

Ia menyampaikan, hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan


(BPKP) terhadap BPJS Kesehatan telah disampaikan kepada Kementerian
Keuangan. Hasil tersebut akan menjadi dasar pemerintah dalam menangani
masalah BPJS Kesehatan.

"Berbagai macam sumber yang menyumbangkan defisit akan kita terus periksa.
Kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit, tapi lebih kepada
fundamental perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang berkelanjutan,"
kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7) malam.

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengakui, koordinasi antarlingkungan


kementerian/lembaga sudah mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil
dalam mengelola BPJS Kesehatan di tengah kondisi defisit. Secara umum, kata dia,
BPKS telah merekomendasikan untuk perbaikan tata kelola perseroan serta
pendataan peserta BPJS Kesehatan.

Tata kelola tagihan biaya kesehatan terhadap BPJS Kesehatan, menurut dia,
menjadi salah satu hal penting untuk menangani defisit. Selain itu, hubungan antara
BPJS Kesejatan dan Kementerian Kesehatan dalam mendefinisikan kategori rumah
sakit dan strategi penggunaan dana iuran dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional
juga perlu diperbaiki. "Salah satu yang sedang dibahas di lingkungan pemerintah
termasuk mengenai besaran iuran peserta," kata Sri.

Kendati demikian, sebelum memutuskan perubahan besaran iuran BPJS Kesehatan,


Sri memastikan tarif iuran harus tetap terjangkau. Sebab, walau bagaimanapun,
partisipasi masyarakat dalam sistem kesehatan nasional menjadi salah satu unsur
yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, BPJS Kesehatan sebagai penghimpun
dana harus memiliki sistem yang dapat diandalkan.

Diketahui bersama, BPJS Kesehatan memprediksi bakal mengalami defisit


anggaran hingga Rp 28 triliun pada akhir tahun 2019. Prediksi tersebut diperoleh
berdasarkan total besaran iuran yang diterima perseroan dikurangi dengan biaya
pelayanan kesehatan para peserta.

Selain itu, BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit sebesar Rp 9,1
triliun untuk periode 2018. Sementara, pada 2019, defisit BPJS mencapai Rp 19
triliun. Tak hanya itu, utang klaim rumah sakit yang jatuh tempo per tanggal 14 Juli
2019 sebesar Rp 6,5 triliun.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejauh ini enggan berkomentar banyak


mengenai kabar memberikan suntikan dana Rp 6 triliun untuk membantu BPJS
Kesehatan mengatasi defisit keuangan yang diprediksi mencapai Rp 28 triliun pada
akhir 2019. "Maaf, belum bisa di-share (kabar suntikan dana Rp 6 triliun dari
Kemenkes). Nanti tunggu saja," kata Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan
Kemenkes Kalsum Komaryani saat dihubungi Republika, Selasa (23/7).
Persoalan defisit BPJS Kesehatan ini adalah kejadian berulang. Pada 2014, saat
program ini mulai berjalan, terjadi defisit keuangan sebesar Rp 3,3 triliun. Pada
2015, defisit melonjak menjadi Rp 5,7 triliun, lalu Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp
9,75 triliun pada 2017.

Pemerintah terus menyuntikkan dana untuk menalangi defisit tersebut. Pada 2015,
pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan sebesar Rp 5 triliun, kemudian Rp 6,9
triliun pada 2016. Pada 2017, suntikan dananya sebesar Rp 3,7 triliun.

Pada akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan mengungkap defisit senilai Rp 16,5 triliun.
Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan pencairan dana cadangan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp 4,993 triliun.

Langkah lain juga turut dilakukan, yaitu percepatan pelunasan tunggakan iuran dari
pemerintah daerah dan pemotongan pajak rokok untuk menutupi defisit BPJS
Kesehatan. Pemerintah melalui Kemenkeu dan kementerian/lembaga terkait juga
menggencarkan langkah promotif preventif atau pencegahan penyakit dengan
minimal 50 persen dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).

Sejauh ini, berbagai kebijakan itu belum berhasil menekan defisit BPJS. Dana iuran
yang disebut lebih rendah dari aktuaria menjadi salah satu alasan yang kerap
disampaikan pihak-pihak terkait. Kendati demikian, hingga pertengahan tahun ini
belum ada langkah konkret dan terobosan soal hal tersebut.

Sumber : https://nasional.republika.co.id/berita/pv4ejo415/apa-yang-membuat-
bpjs-kesehatan-terus-defisit

Kesimpulan : bpjs mengalami defisit dikarenakan terjadinya tunggakan setiap tahun

Anda mungkin juga menyukai