Anda di halaman 1dari 6

DASAR ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

KENAIKAN IURAN BPJS KESEHATAN

DISUSUN OLEH:

AULIA ARADIA NISYA

K011211072

KESEHATAN MASYARAKAT B

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah pandemi wabah virus corona (Covid-19),
pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Padahal,
sebelumnya dalam putusan pada 31 Maret 2020, Mahkamah Agung (MA) sudah
membatalkan kenaikan iuran yang dibuat pemerintah pada 2019.

Kebijakan kenaikan iuran baru ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Dalam Pasal 34 Perpres yang ditandatangani pada 5 Mei 2020 itu disebutkan tarif
BPJS Kesehatan 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta kelas I naik dari Rp 80.000 jadi
Rp 150.000 per bulan.

Iuran peserta kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Ketentuan
ini berlaku mulai 1 Juli 2020 (iuran BPJS 2020).

Sementara iuran peserta kelas III segmen peserta pekerja bukan penerima upah
(PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) jadi Rp 42.000 per bulan.

Namun, di dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020


disebutkan, peserta hanya cukup membayarkan iuran sebesar Rp 25.500 saja
karena sisanya sebesar Rp 16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat.

Sedangkan untuk tahun 2021, iuran peserta mandiri kelas III menjadi Rp 35.000 dan
selisih sisanya sebesar Rp 7.000 dibayarkan oleh pemerintah.

Pada 2020, para peserta JKN-KIS kelas III tetap membayar iuran Rp 25.500 per
bulan, sama seperti semula. Kekurangan iuran Rp 16.500 ditanggung pemerintah
pusat sebagai bantuan kepada peserta PBPU dan BP.

Naik lalu dibatalkan MA

Pada Oktober 2019 lalu, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan. Tarif baru ini berlaku pada 1 Januari 2020.
Dalam Perpres tersebut, ada kenaikan untuk peserta mandiri untuk semua kelas.
Kelas I mengalami kenaikan menjadi Rp 160.000 dari sebelumnya Rp 80.000, lalu
kelas II naik menjadi Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000, dan kelas III menjadi
Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 25.500.  

Kendati demikian, kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini tak berlangsung lama. MA
membatalkan kenaikan tarif setelah lembaga peradilan tertinggi ini mengabulkan
judicial review Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam putusannya (BPJS batal naik), MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1
Januari 2020. Judicial review ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah
(KPCDI) yang selama ini sangat bergantung pada BPJS Kesehatan.

Demi selamatkan defisit BPJS Kesehatan

Dikutip dari Antara, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan
bahwa Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang salah satu ketentuannya
mengatur mengenai besaran iuran akan membuat pembiayaan program Jaminan
Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak defisit pada tahun 2020.

"Proyeksinya kalau nanti Perpres 64 ini berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang
lebih bisa diseimbangkan antara cash in dan cash out," kata Fachmi.

Fachmi menerangkan, BPJS Kesehatan menanggung tunggakan klaim ke rumah


sakit untuk tahun anggaran 2019 yang dibebankan pada tahun 2020 sebesar Rp
15,5 triliun.

Fachmi menjelaskan, kewajiban pembayaran klaim tersebut perlahan-lahan telah


dilunasi oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit hingga tinggal menyisakan utang
yang jatuh tempo sebesar Rp 4,8 triliun.

Dengan adanya subsidi pemerintah kepada peserta mandiri kelas III yang
dibayarkan di muka kepada BPJS Kesehatan sebesar RP 3,1 triliun, utang jatuh
tempo tersebut bisa segera diselesaikan.

DIrut BPJS Kesehatan menerangkan, apabila pemerintah tidak menerbitkan Perpres


Nomor 64 Tahun 2020 yang memperbaiki struktur iuran peserta, dikhawatirkan bisa
terjadi defisit keuangan pada BPJS Kesehatan yang akan berdampak pada
keberlanjutan program JKN-KIS.

"Kalau tidak diperbaiki struktur iuran sebagaimana keputusan seperti sekarang, itu
akan terjadi potensi defisit. Dan tentu kita tidak ingin program ini tidak
berkelanjutan," kata Fachmi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Drama Iuran BPJS Kesehatan:
Naik, Dibatalkan MA, lalu Dinaikkan Lagi", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2020/05/14/134615526/drama-iuran-bpjs-
kesehatan-naik-dibatalkan-ma-lalu-dinaikkan-lagi?page=all.
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris
Tanggapan saya
BPJS merupakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang direncanakan
oleh Presiden Jokowi, dibangun atas semangat gotong royong, dengan hadirnya
BPJS kita saling membantu satu sama lain, agar seluruh warga Indonesia
mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik. Namun, saya tentu sangat
keberatan dengan rencana kenaikan iuran BPJS, karena besarnya premi yang naik
sebesar seratus persen.
Kita ketahui bahwa defisit merupakan alasan BPJS untuk menaikan tarif iuran,
namun menurut saya defisit bukan datang dari iuran yang murah, tapi dari
manajemen tata kelolanya saja yang belum tepat. Tata kelola dan manajemen data
dari keikutsertaan peserta perlu diperbaiki, karena sejatinya BPJS harus
mengefisiensikan tata kelolanya, bukan malah menaikkan iuran BPJS.
Menurut saya, Isu kenaikan iuran BPJS terlalu mengagetkan dan menambah
beban masyarakat, karena niat awal mereka untuk ikut serta dalam program BPJS
adalah untuk mengurangi biaya pengobatan dan ketika tarif iuran BPJS naik ini akan
jadi masalah baru bagi pengguna BPJS terutama pada kalangan kelas III. Mereka
sangat keberatan dengan kebijakan ini. Karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-
hari saja mereka mati-matian untuk mencari nafkah, apalagi dengan kenaikan iuran
BPJS yang harus mereka bayar tiap bulan. Apalagi kalau dalam satu keluarga ada
beberapa orang yang mengikuti program BPJS ini otomatis mereka harus membayar
iuran yang mahal.
Dengan adanya kenaikan iuran BPJS ini mungkin akan membuat beberapa
masyarakat akan malas atau bahkan tidak mau lagi membayar iuran. Dan bahkan
bisa saja masyarakat akan berpaling dan lebih memilih asuransi swasta. Padahal
selama ini BPJS dinilai cukup untuk membantu pelayanan kesehatan yang lebih
baik.
Kenaikan iuran BPJS yang banyak menuai pro dan kontra dalam masyarakat,
tentunya pemerintah sebagai seorang pemimpin harus mampu mengambil langkah-
langkah yang tepat sebelum mengambil sebuah kebijakan, agar kebijakan tersebut
dapat diterima dengan baik oleh kalangan masyarakat.
Tidak hanya itu pemerintah harus mampu melihat keadaan yang seperti kita
ketahui sekarang, ekonomi masyarakat sedang menurun akibat pandemi covid-19.
Perlunya membangun koalisi masyarakat untuk menyelesaikan suatu kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan. Pemerintah
harus mencari cara yang efektif, tetap memikirkan masyarakat namun juga tidak
merugikan Negara.
Sebagai masyarakat, kita juga tentu harus bersikap yang tidak serta merta
memikirkan diri sendiri tetapi juga memikirkan bangsa kita, contoh pada alasan
masyarakat yang merasa rugi dengan membayaran iuran BPJS karena mereka tidak
dapat mengklaim kembali iuran yang telah mereka bayarkan tersebut, hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih belum paham dengan prinsip
kegotongroyongan yang dianut oleh BPJS Kesehatan yaitu kegotongroyongan
antara yang mapan membantu yang kekurangan, yang sehat membantu yang sakit,
yang muda membantu yang tua , dan yang beresiko rendah membantu yang
beresiko tinggi sama seperti dengan amanat UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.
Tak hanya Pemerintah yang bertanggung jawab untuk masalah ini tetapi juga
pelayanan kesehatan seperti puskesmas juga rumah sakit yang banyak mengklaim
bahwa pelayanan terhadap peserta BPJS masih sangat buruk. Rumah sakit dan
Puskesmas dinilai menomor duakan peserta BPJS dibandingkan peserta Umum,
tidak sedikit rumah sakit yang menolak pasien BPJS kesehatan, dengan dalih
perawatan sudah penuh. Etika pelayanan kesehatan harus diterapkan dan tidak
membeda-bedakan antara peserta BPJS dengan peserta umum. Pemimpin Rumah
sakit ataupun puskesmas juuga harus bias memanajemen seluruh pelayanan
kesehatan dengan baik agar memberikan kepuasan terhadap masyarakat.
Dengan demikian, Semua kalangan baik dari kalangan pemerintah, masyarakat
bahkan rumah sakit tentunya memiliki peranan masing-masing yang harus mereka
penuhi. Agar tentunya semua kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh dapat
berdampak positif bagi kesejahteraan bersama.

Anda mungkin juga menyukai