Anda di halaman 1dari 3

Kenaikan Tarif BPJS di Era Corona

Dengan beredarnya berbagai UU yang kontroversial ditengah pandemi seperti Perppu


No. 1 Tahun 2020, Perppu No. 2 Tahun 2020, RUU Minerba, dan yang paling
fenomenal Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua
atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Munculnya kembali
Perpres ini seakan menambah daftar panjang kebijakan yang terlihat kurang pro-rakyat.
Hal ini menjadi salah satu contoh betapa pemerintah seharusnya memperhatikan banyak
aspek di tengah pandemi Covid-19 dikarenakan berbagai sektor termasuk yang
terpenting sektor kesehatan dan ekonomi. Sektor kesehatan menjadi yang utama dalam
hal penanganan pandemi ini baik itu PSBB, karantina wilayah, dan mematuhi anjuran
pemerintah lainnya seperti social distancing, phsyical distancing, penggunaan masker
dan hand sanitizer. Namun disisi lain, sektor ekonomi juga tidak kalah penting baik itu
pembagian bansos, bantuan langsung tunai, hingga kartu pra kerja.

Akan tetapi, fokus kepada iuran BPJS menjadi hal yang tidak kalah memprihatinkan.
Putusan sebelumnya yang tercantum pada 1 April dibatalkan dengan putusan
Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HUM/2020. Menyoal putusan tersebut, pemerintah
yang diwakili Menko PMK, Muhadjir Effendy pada waktu itu sangat menghormati
putusan MA. Bahkan sesuai prinsipnya, pemerintah ingin agar keberlangsungan
Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN terjamin dan layanan kesehatan terpenuhi serta
dapat diberikan sebagai bentuk negara hadir. Berdasarkan keputusan MA, iuran BPJS
Kesehatan yang sejak Januari lalu naik kembali ke tarif semula dari kenaikan iuran yang
ada. Berlaku bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan
Pekerja (BP) dimana kelas III dari Rp 42.000 kembali menjadi Rp 25.500, kelas II dari
Rp 110.000 menjadi Rp 51.000, dan kelas I semula Rp 160.000 menjadi Rp 80.000.
Tentu, hal ini lebih berpihak kepada rakyat kelas yang berpenghasilan rendah terutama
pengguna kartu BPJS di kelas III.
Kajian Perpres No 64 Tahun 2020

Dalam pasal Perpres tersebut dijelaskan bahwa kenaikan iuran terjadi di kelas I dan II
mandiri. Hal ini akan dimulai pada Juli 2020. Selain itu, dalam pasal 34 juga dijelaskan
mengenai perubahan subsidi oleh pemerintah. Untuk di tahun 2020, subsidi bagi kelas
III mandiri hanya Rp 16.500 sementara di tahun 2021 subsidinya bahkan lebih kecil
senilai Rp 7.000. Adapun besaran denda adalah lima persen dari perkiraan biaya paket
Indonesian Case Based Groups berdasarkana prosedur awal untuk setiap iuran per
bulan yang tertunggak dengan ketentuan dari jumlah bulan tertunggak paling banyak 12
bulan. Besar denda paling tinggi adalah sebesar Rp 30.000.000. Sementara itu, untuk
tahun 2020, denda hanya dibebankan sebesar 2,5 persen saja dengan ketentuan yang
sama. Menyoal besaran denda yang cukup besar bagi pengguna kartu BPJS kelas III,
tentu ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar mengevaluasi dan mengkaji apakah
sudah tepat sasaran denda yang diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Padahal putusan MA tentang iuran BPJS tersebut bersifat final dan mengikat (binding).
Ada empat poin dimana kenaikan iuran BPJS ini tidak terlalu penting dinaikkan dimasa
pandemi ini. Pertama, pasal 31 UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dimana tafsirannya bahwa
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah karena tidak memiliki
kekuatan mengikat. Peraturan perundang-undangan yang dibatalkan berarti tidak dapat
digunakan lagi. Kedua, jika sudah dibatalkan, tidak boleh dibuat lagi karena
substansinya dalam konteks ini, yaitu kenaikan iuran. Ketiga, dengan dikeluarkannya
Perpres No 64 Tahun 2020 akan mengurangi tingkat kepercayaan atau level of trust
masyarakat kepada pemerintah. Alih-alih, pemerintah mengikuti putusan MA. Namun,
pemerintah malah kembali menaikkan iuran BPJS dengan eskalasi yang lebih besar.
Perpres No 64 Tahun 2020 akan kembali menuai kontroversi karena diuji kedua kalinya
di MA melalui mekanisme judicial review. Masyarakat tentu akan menanti konsistensi
MA dalam mengeluarkan putusan tersebut. Lebih jauh lagi, ini akan menjadi preseden
buruk bagi pemerintah ditengah gejolak pandemi. Keempat, kenaikan iuran BPJS belum
dapat menyelesaikan masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Ketidaktepatan Kalkulasi

Kenaikan iuran ini dipercaya tidak melalui kalkulasi yang tepat terhadap neraca
keuangan BPJS pasca adanya kenaikan yang cukup signifikan. Muncul dugaan bahwa
kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan defisit neraca BPJS Kesehatan
sementara saja tanpa adanya proses yang detail dan komprehensif dilakukan
berdasarkan kesanggupan data pengguna BPJS Kesehatan. Bilamana iuran naik, maka
kelas I dan II bisa saja berpindah ke kelas III dan orang enggan untuk membayar iuran.
Bahkan, diprediksi banyak orang tidak mau menjadi peserta mandiri. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kolektivitas dan pendapatan BPJS Kesehatan. Berkaca kepada
pengalaman sebelumnya, seharusnya pemerintah hanya fokus kepada penanganan
pandemi Covid-19 dengan memutar otak untuk mencegah terjadinya siklus ekonomi
yang lebih buruk.

Seolah ini menjadi pertanyaan besar mengenai kebermanfaatan dari adanya kenaikan
iuran BPJS. Oleh karena itu, isu iuran BPJS menjadi barang yang mahal ditengah
pandemi Covid-19. Rasanya agak bertentangan dengan prinsip bahwa faktor kesehatan
dan faktor ekonomi merupakan garda terdepan dalam hal penanganan di era pandemi.
Melihat kenaikan iuran BPJS, pemerintah haruslah memikirkan prioritas dan mana yang
bukan prioritas apalagi masyarakat merasa berkeberatan menyoal besaran iuran BPJS
yang tidak sesuai dengan krisis ekonomi ditengah pandemi yang belum tahu kapan
selesainya. Tentu, hal ini harus memenuhi unsur adagium “salus populi suprema lex
esto” atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Ricky Donny Lamhot Marpaung


Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Pemerhati Hukum Tata Negara

*) Dipublikasikan di website Pinter Politik.com


https://www.pinterpolitik.com/kenaikan-bpjs-di-era-corona/

Anda mungkin juga menyukai