Anda di halaman 1dari 11

Reporter: 

Barratut Taqiyyah Rafie, Bidara Pink, Grace Olivia, Herlina KD | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2020 menjadi tahun yang cukup sulit, tak hanya bagi Indonesia tetapi
juga untuk negara-negara lain di dunia. Bagaimana tidak, harapan adanya perbaikan ekonomi di tahun
ini pasca kesepakatan perdagangan fase satu antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang
menghentikan sementara perang dagang antara kedua negara seolah tenggelam dan muncul berbagai
ketidakpastian baru akibat munculnya wabah virus corona atau yang dikenal dengan coronavirus disease
2019 (Covid-19).

Virus yang berasal dari China dan menyebar luas ke berbagai negara ini berhasil memporak-porandakan
ekonomi dunia dan memicu munculnya krisis baru.

Berbeda dengan krisis tahun 2009 yang bersumber dari keruntuhan sektor keuangan, kali ini krisis
datang dari sektor kesehatan dan keamanan masyarakat akibat adanya pandemi virus corona yang
hingga Sabtu (28/3) sudah menginfeksi 615.519 orang di seluruh dunia, dengan total kematian 28.717
orang dan 135.735 orang sembuh. Di Indonesia, data hingga Sabtu (28/3) jumlah orang yang terinfeksi
mencapai 1.115 orang, 102 orang meninggal dan 59 orang sembuh.

Semakin banyaknya jumlah orang yang terinfeksi virus corona membuat pemerintah menerapkan
berbagai himbauan untuk menjaga jarak antara masyarakat alias social distancing. Mulai dari imbauan
bekerja di rumah bagi pekerja dan karyawan yang memungkinkan, meliburkan sekolah hingga
membatasi kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Kondisi ini tentu berdampak pada perputaran roda perekonomian di dalam negeri. Tak hanya itu,
perekonomian secara global otomatis juga terganggu.

Berbagai lembaga internasional bahkan telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global
tahun ini. International Monetary Fund (IMF) misalnya, menyebutkan penyebaran virus corona yang
terbilang cepat akan menghapus harapan pertumbuhan ekonomi tahun 2020.

Baca Juga: IMF proyeksi resesi ekonomi global pada 2020


Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, akibat virus ini, sepertiga dari 189 negara
anggota IMF akan terimbas.

Georgieva mengatakan IMF saat ini memprediksi pertumbuhan ekonomi global 2020 akan berada di
bawah level 2,9% dan perkiraan revisi akan dikeluarkan dalam beberapa minggu mendatang.

Perubahan pandangan ini akan merepresentasikan lebih dari penurunan 0,4 poin persentase dari tingkat
pertumbuhan 3,3% 2020 yang IMF perkirakan pada Januari berdasarkan meredanya ketegangan
perdagangan AS-China.

"Pertumbuhan tahun ini akan jatuh di bawah level tahun lalu," kata Georgieva. Dia menolak untuk
mengatakan apakah krisis kesehatan yang meningkat dapat mendorong ekonomi dunia ke dalam resesi.

Georgieva dan Presiden Bank Dunia David Malpass menggarisbawahi pentingnya tindakan terkoordinasi
untuk membatasi dampak ekonomi dan manusia dari virus.

Reuters menyebut, IMF menyediakan dana senilai US$ 50 miliar dalam dana darurat untuk anggota yang
mencakup pinjaman berbunga sangat rendah, sehingga dapat membantu negara-negara miskin dalam
menghadapi pandemi corona.

"Ini adalah durasi wabah yang saat ini sulit untuk diprediksi," katanya kepada Reuters. Dia
menambahkan bahwa efektivitas langkah-langkah mitigasi akan memainkan peran kunci dalam
menentukan dampak ekonomi.

Melambatnya ekonomi global tentu akan berdampak pada ekonomi di dalam negeri. Di Indonesia,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan telah menyusun berbagai skenario pertumbuhan
ekonomi tahun ini di tengah ancaman virus corona.

Menurut Sri Mulyani, efek wabah virus corona terhadap ekonomi diperkirakan masih dapat diatasi
sehingga ekonomi tumbuh di atas 4% pada tahun ini. Namun, dengan skenario yang lebih berat,
ekonomi Indonesia diproyeksi hanya akan tumbuh 2,5% dan bahkan 0%.
Sementara itu, Bank Indonesia juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari
semula 5%-5,4% menjadi hanya 4,2%-4,6%.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan revisi pertumbuhan ekonomi ini tidak terlepas dari
efek penyebaran wabah virus corona atau Covid-19. "Covid-19 juga memberikan tantangan bagi
Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan," kata Perry dalam telekonferensi
Kamis (19/3).

BI juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3% menjadi 2,5% dengan risiko
yang cenderung bisa ke bawah.

Demi memperkecil efek virus corona bagi perekonomian, pemerintah telah merilis berbagai stimulus
fiskal yang ditujukan bagi masyarakat dan sektor-sektor yang terdampak. Ke depan, pemerintah masih
akan terus mengeksplorasi berbagai langkah yang bisa dilakukan untuk membendung efek covid-19
terhadap perekonomian.

Beberapa stimulus fiskal yang telah digelontorkan pemerintah antara lain, pada paket stimulus pertama
difokuskan untuk meredam risiko pada sektor pariwisata yaitu hotel, restoran, dan kawasan wisata di
daerah-daerah. 

Pada paket stimulus berikutnya, pemerintah memberikan insentif pajak untuk meredam dampak wabah
virus corona. Sebagai payung hukumnya, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 23 tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah
Virus Corona. 

Kemenkeu memberikan empat jenis insentif pajak terkait ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21,
PPh pasal 22 impor, PPh pasal 25 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).  

Pertama, insentif PPh Pasal 21 akan diberikan kepada para pemberi kerja dari klasifikasi 440 lapangan
usaha yang tercantum dalam  lampiran PMK 23/2020 dan merupakan perusahaan Kemudahan Impor
Tujuan Ekspor (KITE).
Melalui insentif ini, pemerintah akan menanggung PPh Pasal 21 dari pegawai dengan penghasilan bruto
tetap dan teratur, yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 200 juta dalam setahun. 

Untuk mendapatkan insentif ini, pemberi kerja dapat menyampaikan pemberitahuan untuk
pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 kepada Kepala KPP terdaftar. Insentif pemerintah ini akan diberikan
sejak Masa Pajak April 2020 hingga September 2020.

Kedua, insentif PPh Pasal 22 Impor yang dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang. WP yang dapat dibebaskan dari pungutan
ini adalah usaha yang sesuai dengan kode klasifikasi pada lampiran PMK 23/2020 dan telah ditetapkan
sebagai Perusahaan KITE.

Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 harus diajukan oleh WP secara tertulis
kepada Kepala KPP tempat WP Pusat terdaftar. Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh
berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 September 2020.

Ketiga, pemerintah memberikan insentif pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran
yang seharusnya terutang. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dilakukan dengan
menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran secara tertulis kepada Kepala KPP
tempat WP terdaftar. 

Grace Olivia, Herlina KD | Editor: Herlina Kartika Dewi

Jika WP memenuhi kriteria insentif tersebut, maka pengurangan besarnya angsuran akan berlaku
sampai dengan Masa Pajak September 2020.

Terakhir, insentif PPN bagi WP yang memiliki klasifikasi lapangan usaha terlampir di PMK 23/2020 dan
telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE. Selain itu, Pengusaha Kena Pajak (PKP) ini adalah WP yang
PPN lebih bayar restitusinya paling banyak Rp 5 miliar. 
Dengan syarat ini, WP dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai
PKP berisiko rendah. Jika PKP tersebut memenuhi syarat, maka Surat Pemberitahuan Masa PPN yang
diberikan pengembalian pendahuluan berlaku untuk Masa Pajak sejak PMK 23/2020 diundangkan
sampai dengan Masa Pajak September 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020.

Selain stimulus fiskal, pemerintah juga memberikan beberapa stimulus non fiskal untuk mendorong
kegiatan ekspor impor. Antara lain, penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan
(Lartas) untuk aktivitas ekspor, penyederhanaan dan pengurangan Lartas untuk aktivitas impor bahan
baku sektor tertentu, seperi produk besi baja, garam industri, gula. tepung dan bahan baku industri
manufaktur.

Pemerintah juga mempercepat proses ekspor dan impor untuk traders yang memiliki reputasi baik.

Baca Juga: Gubernur BI sebut Sri Mulyani tengah dalam proses pengajuan APBNP ke DPR

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, kebijakan stimulus yang
kedua ini terdiri dari stimulus fiskal maupun non fiskal dengan estimasi alokasi anggaran sebesar Rp 22,9
triliun. Sebelumnya,dalam paket kebijakan stimulus ekonomi yang pertamatotal alokasi anggaran yang
digelontorkan sebesar Rp 10,3 triliun.

Tak hanya itu, pemerintah juga terus memberikan stimulus lanjutan. Untuk menopang konsumsi rumah
tangga miskin, pemerintah juga akan menyediakan jaring pengaman sosial dengan berbagai tahapan.
Mulai dari pemberian bantuan lewat Program Keluarga Harapan (PKH) bagi setidaknya 10 juta penerima
manfaat dan bantuan sosial (bansos) untuk 15 juta penerima manfaat. Pemerintah juga tengah mengkaji
untuk menaikkan nilai manfaat yang akan diberikan untuk setiap keluarga penerima.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK) melalui BPJS Ketenagakerjaan dengan pemberian pelatihan dan pemberian santunan Rp 1
juta per kepala.

Insentif juga akan diberikan untuk menangani wabah Covid-19 khususnya di bidang kesehatan.
Termasuk biaya perawatan bagi pasien yang positif Covid-10, pengadaan peralatan penunjang para
medis seperti alat pelindung diri (APD), test kid, serta obat-obatan lainnya. Bagi tenaga medis yang saat
ini berada di garda terdepan dalam memerangi wabah Covid-19, terutama mereka yang bekerja di
rumahsakit rujukan juga akan diberikan insentif.

Pemerintah telah memutuskan untuk memberikan insentif bagi para tenaga medis, dari mulai dokter
spesialis, dokter umum dan dokter gigi, perawat serta tenaga medis lainnya dengan besaran tertentu,
mulai Rp 5 juta per bulan untuk tenaga medis lainnya, hingga yang terbesar Rp 15 juta untuk dokter
spesialis.

Guna menjaga stabilitas sistem keuangan, Menkeu yang juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) juga telah mepersiapkan dan menyempurnakan protokol manajemen krisis jika sewaktu-waktu
dibutuhkan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman
mengatakan Kemenkeu pun telah memiliki langkah-langkah penanganan yang sesuai dengan protokol
manajemen krisis.

“Dalam kondisi terburuk, kita sudah punya KSSK. Kami juga punya first line dan second line of defense
yang menjadi payung jika kondisi ekonomi semakin memburuk. Namun tentu itu tidak kami harapkan
terjadi,” kata Luky beberapa waktu lalu.

Salah satu langkah penanganan tersebut adalah Bonds Stabilization Framework (BSF). BSF merupakan
kerangka kerja jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi dampak krisis pada pasar surat
berharga negara (SBN) domestik.

Dengan menempuh BSF, pemerintah dalam jangka pendek akan melakukan pembelian SBN di pasar
sekunder, sedangkan dalam jangka menengah pemerintah membentuk bond stabilization fund.

Untuk menopang likuiditas dunia usaha, pemerintah kini tengah menjajaki penerbitan Recovery Bond.

Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan Recovery


Bond rencananya akan diterbitkan dalam denominasi rupiah. Surat utang ini nantinya akan dibeli oleh
Bank Indonesia (BI) atau investor swasta lain sehingga mengalirkan dana segar untuk pemerintah.

Kemudian dana dari surat utang tersebut akan disalurkan oleh pemerintah untuk dunia usaha melalui
skema kredit khusus.
“Skema kredit khusus ini nantinya kami buat seringan mungkin bagi pengusaha untuk membangkitkan
kembali usahanya,” jelas Susi.

Namun, ada dua syarat bagi perusahaan yang hendak memanfaatkan skema kredit khusus tersebut.
Pertama, perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerjanya sama sekali.

Baca Juga: Pemerintah berencana terbitkan Recovery Bond untuk sokong likuiditas korporasi

Kedua, kalaupun perusahaan terpaksa melakukan PHK, perusahaan harus mempertahankan 90% dari
jumlah pekerjanya tanpa melakukan pemotongan gaji.

Restrukturisasi kredit

Di sektor keuangan, OJK juga mengeluarkan beberapa kebijakan countercyclical melalui POJK tentang
stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran covid-19. POJK
ini berisi antara lain:

Bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang
terkena dampak penyebaran covid-19, termasuk debitur UMKM.

Kebijakan stimulus ini, terdiri dari penilaian kualitas kredit hanya berdasarkan ketepatan pembayaran
pokok dan atau bunga untuk kredit hingga Rp 10 miliar.

Bank bisa melakukan restrukturisasi untuk seluruh kredit tanpa melihat batasan plafon kredit atau jenis
debitur, termasuk debitur UMKM. Kualitas kredit yang dilakukan restrukturisasi ditetapkan lancar
setelah direstrukturisasi.

Perubahan anggaran
Berbagai langkah ini tentu akan berdampak pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Tak hanya dari sisi belanja, tetapi juga dari sisi pembiayaan.

Untuk mengakomodasi pembengkakan anggaran penanganan Covid-19, Menteri Keuangan Sri Mulyani
telah merelaksasi defisit APBN 2020 dari asumsi awal 1,76% terhadap PDB atau Rp 307,2 triliun menjadi
2,5% dari PDB atau sekitar Rp 432,2 triliun. Dengan begitu, proyeksi tambahan defisit anggaran
mencapai Rp 125 triliun.

Lantaran berbagai insentif terus bergulir yang akan beferek ke anggaran, pemerintah kini tengah
menyiapkan postur APBN perubahan dengan kemungkinan pelebaran defisit anggaran yang melebihi
batas yang ditetapkan Undang-Undang (UU) No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu sebesar
3% terhadap PDB.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual Selasa (24/3) lalu, Sri Mulyani mengungkapkan saat ini
fokus pemerintah adalah kesehatan dan keselamatan masyarakat dan mengurangi risiko ekonomi bagi
masyarakat dan dunia usaha terutama dari kemungkinan kebangkrutan. Karenanya, pemerintah saat ini
tidak akan memaksakan agar defisit di bawah 3% sesuai UU.

Baca Juga: Indonesia siapkan quantitative easing hadapi krisis akibat wabah virus corona

Menurutnya, landasan hukum untuk APBN Perubahan 2020 akan diputuskan langsung oleh Presiden
Joko Widodo. Kemungkinan besar melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) sesuai rekomendasi yang disampaikan oleh Badan Anggaran DPR.

Menkeu juga menegaskan KSSK yang beranggotakan Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia,
OJK dan LPS juga telah berkomunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik Banggar maupun
Komisi XI untuk membahasnya.

Perubahan pada APBN 2020 memang dibutuhkan karena berbagai faktor. Pertama, landasan indikator
makroekonomi yang menjadi dasar perhitungan anggaran telah mengalami perubahan besar. Mulai dari
asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak, hingga suku bunga.
Kedua, perubahan besar juga terjadi pada alokasi anggaran seiring dengan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 4 Tahun 2020 yang meminta adanya realokasi dan refocussing belanja pada APBN untuk
penanganan Covid-19 di Indonesia.

Belanja kementerian dan lembaga, serta transfer ke daerah mengalami perubahan signifikan seiring
dengan respons kebijakan pemerintah untuk menanggulangi wabah Covid.

Begitu pula dengan paket-paket kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah, menurut Sri Mulyani,
membutuhkan landasan hukum baru bagi APBN agar pemerintah dapat mengakomodasi keluarnya
paket-paket stimulus yang dibutuhkan selanjutnya

BI juga lakukan aksi

Di sisi moneter, BI juga melakukan berbagai langkah untuk mendukung stimulus fiskal yang telah
digelontorkan pemerintah guna meredam efek virus corona terhadap perekonomian.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berakhir Kamis (19/3) BI kembali memangkas suku bunga BI 7
day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5% dan suku bunga deposit facility sebesar
25 bps menjadi 3,75% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%.

Selain itu, Bank Indonesia juga telah menetapkan tujuh langkah kebijakan sebagai kelanjutan stimulus
yang sudah digelontorkan BI sebelumnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah
penyebaran virus corona.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah ini dilakukan demi memperkuat bauran kebijakan yang
diarahkan untuk mendukung upaya mitigasi risiko untuk mendorong momentum pertumbuhan
ekonomi.

Baca Juga: Kata Gubernur BI: beda krisis 1997/1998, tahun 2008 dan kondisi saat ini

Ketujuh langkah kebijakan BI tersebut adalah:


Pertama, BI akan memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas rupiah
baik di pasar spot, domestic non deliverable forward (DNDF) maupun pembelian SBN di pasar sekunder.

Kedua, BI akan memperpanjang tenor repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari
dalam jumlah berapapun untuk memperkuat pelonggaran likuiditas rupiah perbankan. Kebijakan ini
telah berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.

Ketiga, BI akan menambah frekuensi lelang forex swap tenor satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan 12
bulan dari tiga kali seminggu menjadi setiap hari guna memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang.
Kebijakan ini berlaku efektif mulai 19 Maret 2020.

Keempat, BI akan memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan
likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan
Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di
dalam negeri.

Kelima, mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening rupiah dalam negeri (Vostro) bagi
investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih
banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia. Kebijakan ini berlaku efektif paling lambat
pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.

Keenam, memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam rupiah sebesar 50 basis poin
(bps) yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor,
ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain.
Kebijakan ini berlaku efektif sejak 1 April 2020.

Ketujuh, memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran
Covid-19 melalui:

ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta
menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai.
mendorong penggunaan pembayaran nontunai dengan menurunkan biaya Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI), dari perbankan ke Bank Indonesia yang semula Rp 600 menjadi Rp 1 dan dari nasabah
ke perbankan semula maksimum Rp 3.500 menjadi maksimum Rp 2.900, berlaku efektif sejak 1 April
2020 sampai dengan 31 Desember 2020; dan

mendukung penyaluran dana nontunai program-program Pemerintah seperti Program Bantuan Sosial
PKH dan BPNT, Program Kartu Prakerja, dan Program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah.

"Berbagai langkah kebijakan Bank Indonesia tersebut ditempuh dalam koordinasi yang sangat erat
dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memitigasi dampak COVID-19 sehingga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga, serta momentum pertumbuhan ekonomi
dapat dipertahankan," kata Perry dalam telekonferensi hasil rapat Dewan Gubernur BI Kamis (19/3).

Baca Juga: BI yakin cadangan devisa masih cukup untuk stabilkan rupiah

Hingga Selasa (24/3), BI menyatakan telah melakukan injeksi likuiditas di pasar uang dan perbankan
hampir Rp 300 triliun, yakni melalui pembelian SBN Rp 168 triliun, repo Rp 55 triliun dan dari penurunan
GWM sebesar Rp 75 triliun.

Ke depan, Perry bilang, BI akan terus menempuh berbagai langkah dengan menggunakan berbagai
instrumen yang ada untuk memperkuat dan menstabilisasi pasar valas dan pasar keuangan. "BI bersama
pemerintah dan OJK juga akan menyediakan berbagai aspek yang berkaitan dengan penyediaan
pembiayaan perbankan," jelasnya

Materi 2

Anda mungkin juga menyukai