Anda di halaman 1dari 18

Analisis Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Pariwisata

Selama Pandemi Covid-19

(Studi Kota Pekanbaru)

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Proposal
Tugas Akhir Pada Program Studi Akuntansi

DISUSUN OLEH:

RIDHO PRAMANA AJI

170301054

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudah hampir satu tahun kita berhadapan dengan virus yang sangat
berbahaya yaitu Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Virus Corona mulai
terdeteksi pertama kali di negara China tepatnya daerah Wuhan pada awal
Desember 2019 . World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa virus
corona yang tengah merebak saat ini dikatakan sebagai pandemi global (Kompas,
2020). Pertanggal 26 November 2020 virus ini sudah tersebar ke 220 negara
termasuk Indonesia dengan kasus positif 511.836 jiwa, sembuh 429.807 jiwa, dan
meninggal 16.225 jiwa (covid19.go.id).
Merespon pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia mulai menerapkan
pembatasan dengan social distancing dan pyshical distancing sejak awal Maret
2020 (Hadiwardoyo, 2020). Upaya tersebut ditujukan kepada masyarakat agar
dapat dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut
menimbulkan gangguan pada rantai nilai dunia usaha sehingga banyak usaha pada
berbagai sektor dan skala usaha yang berhenti operasi sementara atau permanen
(Budastra, 2020). Ganguan pada rantai dunia usaha tersebut menyebabkan
berbagai dampak pada perekonomian Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati mengatakan setidaknya pandemi Covid-19 memberi tiga dampak besar
bagi perekonomian Indonesia. Pertama, membuat konsumsi rumah tangga atau
daya beli masyarakat jatuh sangat dalam. Padahal konsumsi menopang ekonomi
sampai dengan 60 persen. Kedua, adanya ketidakpastian berakibat pada
melemahnya investasi. Ketiga, melemahnya ekspor membuat harga komoditas,
minyak, batu bara dan CPO menjadi turun (Situmorang, 2020).
Merosotnya konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat
mengakibatkan goncangan pada sektor-sektor dalam perekonomian. Hal ini
selaras dengan pernyataan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia yang
menyebut berbagai sektor industri di dalam negeri terdampak oleh pandemi
Covid-19 (Bayu, 2020). Budastra (2020) lebih lanjut menjelaskan bahwa sektor
dalam perekonomian yang terdampak pada tahap awal adalah sektor pariwisata
dan sektor jasa transportasi, kemudian diikuti oleh sektor industri pengolahan,
sektor perdagangan, dan sektor jasa lainnya.
Hal tersebut mengharuskan Pemerintah harus mengeluarkan strategi
kebijakan baru di bidang ekonomi/moneter/fiskal. Peranan pemerintah dalam
meningkatkan pembangunan ekonomi serta memacu pertumbuhan ekonomi
terutama di negara yang sedang berkembang dilakukan melalui kebijakan
ekonomi/moneter/fiskal khususnya perpajakan. Masyarakat dipengaruhi secara
signifikan oleh ekonomi, mulai dari berkurangnya pendapatan (pedagang dll) dan
juga pemotongan gaji dan PHK karyawan baik publik maupun swasta. Karena itu
kebijakan relaksasi perpajakan sebagai akibat Pandemi Virus Corona (Aulawi,
2020).
Penerimaan pajak turun akibat kondisi ekonomi melemah, dukungan
insentif pajak dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh). Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) juga turun dampak jatuhnya harga komoditas, pandemi
Covid-19 telah mengancam sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan
berbagai aktivitas ekonomi domestik. Dari sisi pengeluaran, dampak yang
diakibatkan Covid-19 ini sangat besar. Mengatasi permasalahan yang timbul
akibat Covid-19 ini diharapkan tidak terlalu menekan defisit APBN. Oleh sebab
itu, dibutuhkan strategi yang dapat membantu mengatur perekonomian saat ini.
Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah ternyata sangat
besar perananannya dalam menanggulangi dampak Covid-19.(Dina Eva Santi
Silalahi: 2020)
Membantu usaha-usaha yang terkena dampak Covid-19 untuk bangkit,
pemerintah memberikan fasilitas insentif pajak yang dapat dimanfaatkan pelaku
usaha sektor tertentu. Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi nasional. Salah satunya dengan memberikan
insentif pajak bagi dunia usaha. Pemerintah telah menganggarkan insentif Covid-
19 sebesar Rp 2,4 triliun, namun sampai dengan saat ini pemanfaatnnya masih
belum maksimal. Hingga Juni 2020 baru 200.000 Wajib Pajak UMKM yang telah
memanfaatkan fasilitas insentif pajak dari total 67 juta UMKM yang terdaftar.
Pajak sebagai salah satu instrumen pemulihan ekonomi memiliki dua peran
penting, yaitu sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi
serta untuk memenuhi target penerimaan pajak. Pemerintah memberikan insentif
pajak untuk mendukung keberlangsungan usaha selama pandemi Covid-19
(pajak.go.id).
PP 29 tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah (PP) tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease (Covid-
19) terbit tanggal 10 Juni 2020. PMK 86/PMK.03/2020 tentang insentif pajak
untuk Wajib Pajak Terdampak pandemi corona virus disease 2019 terbit tanggal
16 Juli 2020. Dan yang terbaru yaitu PMK 110/PMK.03/2020 yang terbit tanggal
14 Agustus 2020 (pajak.go.id).
Peraturan mengenai insentif pajak pun terus mengalami perbaikan.
Bermula dari PMK 23 yang hanya mengatur empat bentuk insentif pajak menjadi
PMK 44 dengan penambahan bentuk insentif menjadi lima bentuk insentif yang
dapat dimanfaatkan hingga bulan September 2020. PMK 44 sudah tidak berlaku
lagi dan berganti PMK 86 yang terbit 16 Juli 2020. Dalam PMK 86 tidak
menambah bentuk insentif pajak, hanya memperpanjang jangka waktu
pemanfaatan hingga Desember 2020 dan mempermudah persyaratan pengajuan
insentif pajak dengan menghapus syarat Surat Keterangan. PMK 86 berganti
menjadi PMK 110. PMK 110 menambah diskon angsuran Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dari 30% menjadi 50% (pajak.go.id).
Pandemi ini telah menghentikan laju pertumbuhan ekonomi di sektor
pariwisata nasional dalam lima tahun terakhir dengan catatan setoran pajak sektor
pariwisata konsisten tumbuh double digit sejak 2015 dengan pertumbuhan paling
tinggi pada 2018 sebesar 23%. Dimana penerimaan pajak turun ini berasal dari
hampir semua kompenen pendukung kegiatan pariwisata seperti transportasi,
akomodasi, dan jasa agen perjalanan. Satu-satunya sektor usaha yang masih
tumbuh positif penerimaan pajaknya adalah dari segmen kebudayaan, hiburan,
dan rekreasi. Disini pemerintah berperan untuk memberikan akses luas bagi
pelaku usaha pariwisata dalam mengakses insentif pajak.
Kepala Subdirektorat Dampak Kebijakan Direktorat Potensi, Kepatuhan,
dan Penerimaan Pajak DJP Eureka Putra mengatakan bahwa hingga bulan
Agustus 2020, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 7,6 triliun atau mengalami
penyusutan sebanyak 27%. Penurunan ini terjadi sejak bulan Februari 2020. Dit
ingkat internasional, Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) pun
mengatakan, sektor pariwisata internasional kehilangan sekitar US$ 460 miliar
atau sekitar Rp 6.800 triliun pada paruh pertama tahun 2020 (pajak.go.id).
Pemerintah telah menggelontorkan insentif pajak dalam rangka
mendukung dunia usaha terhadap dampak ekonomi yang disebabkan corona virus
disease 2019 (Covid-19). Sayangnya belum banyak wajib pajak yang
memanfaatkan insentif pajak ini. Hingga Mei 2020, realisasi insentif pajak baru
mencapai 6,8% dari anggaran atau setara Rp8,2 triliun. Padahal, cara untuk
mendapatkan insentif pajak ini sangat mudah. wajib pajak hanya perlu
menyampaikan pemberitahuan secara daring pada laman resmi Direktorat
Jenderal Pajak www.pajak.go.id dan menyampaikan laporan realisasi paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir untuk PPh Pasal
21 DTP dan PPh final UMKM DTP. Sedangkan, laporan realisasi pembebasan
PPh Pasal 22 Impor dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 wajib disampaikan
setiap tiga bulan sekali. Pelaporan realisasi juga dilakukan secara daring di
www.pajak.go.id pada menu eReporting.
Kondisi pandemi Covid-19 ini telah berdampak buruk terhadap pariwisata,
bahkan ketidakpastian bisnis dan ekonomi menjadi momok yang sangat
menakutkan bagi para pelaku UKM dan hampir seluruh sektor usaha menerima
imbas negatif dari ketidakpastian bisnis, termasuk ada sebagian usaha yang mulai
berhenti beroperasi yang akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Sehingga
penulis tertarik untuk mencari informasi yang lebih mendalam terkait insetif pajak
dalam merespon kebutuhan sektor usaha untuk menghadapi pandemi Covid-19.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan insentif pajak bagi pariwisata pada pandemi Covid-
19?
2. Bagaimana peran insentif pajak bagi pariwisata pada pandemi Covid-19?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kebijakan insentif pajak bagi pariwisata pada
pandemi Covid-19
2. Untuk mengetahui peran insentif pajak bagi pariwisata pada pandemi
Covid-19

1.4 Manfaat Penelitian


a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan mahasiswa akuntansi UMRI dan menambah wawasan.
Penelitian ini memperkaya pengentahuan maupun sebagai referensi bagi
penelitian serupa di masa yang akan datang. Hasil penelitian jika
memuaskan dapat digunakan sebagai referensi untuk menambah
pengetahuan mengenai perpajakan.

b. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada pelaku
usaha tentang insentif pajak pada masa pandemi Covid-19.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi merupakan salah satu teori dasar yang digunakan dalam dunia
usaha untuk menjelaskan hubungan agensi (agency relationship) antara
prisipal sebagai pemilik perusahaan dan agen sebagai pengelola perusahaan.
Teori agensi (agency theory) dikembangkan tahun 1970-an pada tulisan
Jansen & Meckling, (1976) yang berjudul “Theory of the frim: Managerial
behavior, agency costs, and ownership structure” menjelaskan bahwa:
“Agency relationship as a contract under which one or more person (the
principals) engage another person (the agen) to perform some service on
their behalf which involes delegating some decision making authority to
the agen”
Teori ini menjelaskan hubungan agensi yang merupakan suatu kontrak
dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintahkan orang lain agen
untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang
kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Menurut
Eisenhardt (1989) dalam Midiastuty, et al., (2016), menyatakan bahwa teori
agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu pada umumnya manusia
cenderung mementingkan dirinya sendiri (self interest), manusia memiliki
keterbatasan daya pikir tentang persepsi masa depan (bounded rationality) dan
manusia cenderung menghindari risiko (risk averse).
Dalam kaitan teori agensi dengan variabel dalam penelitian ini di mana
dalam insentif pajak. Pada teori agensi, dalam hal ini pemerintah sebagai
pihak prinsipal dan perusahaan sebagai pihak agen masing-masing memiliki
kepentingan yang berbeda dalam hal pembayaran pajak. Perusahaan sebagai
agen berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar
pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis perusahaan. Upaya yang
dilakukan perusahaan adalah dengan melakukan manajemen laba agar bisa
meminimalkan pembayaran pajak dengan menggunakan cara yang legal,
sehingga akan terlihat laba yang stabil.
2.2 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H di kutip dari buku (Siti
Resmi, 2017) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbale balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2.1.2 Ciri-Ciri Pajak
Berdasarkan buku Siti Resmi (2017) ciri-ciri pajak adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan
untuk membiayai public investment.
2.1.3 Fungsi Pajak
Berdasarkan buku Siti Resmi (2017) fungsi pajak adalah:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah
satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran,
baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,
pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk
ke kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi
dan intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempuranaan
peraturan berbagai jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan
sebagainya.
2. Fungsi Regularend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar
bidang keuangan.
2.1.4 Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak yang dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu pengelompokkan menurut golongan, menurut sifat, dan
menurut lembaga pemungutnya (Resmi, 2017):
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau
dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus
menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Tidak Langsung, pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak
ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu
kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan
terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau
jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Menurut Sifat
a. Pajak Subjektif, pajak yang pengenaannya memperhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang
memperhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Objektif, pajak yang pengenaannya memperhatikan
objeknya, baik berupa benda, keadaan, perbuatan, maupun
peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi
Subjek Pajak (Wajib Pajak) dan tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungut
a. Pajak Negara (Pajak Pusat), pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,
baik daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah
tingkat II (pajak kabupaten/kota), dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak
Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009.
Conoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan.
2.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak
Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas
pemungutan pajak, dan sistem pemungutan pajak.
1. Stelsel Pajak
a. Stelsel Nyata (Riil)
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada objek yang sesungguhnya terjadi (untuk PPh, objeknya
adalah penghasilan).
b. Stelsel Anggapan (Fiktif)
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal
di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili
atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak
dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
diperolehnya, baik dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia.
b. Asas Sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak
atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang
yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan
pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.
c. Asas Kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan
dengan kebangsaan suatu negara.
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Officia Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan
aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak
yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem
ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak
sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan.
b. Self Assessment Sytem
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenag Wajib
Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang
setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta
kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya
berada di tangan Wajib Pajak.
c. With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga
ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan
perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk
memotong serta memungut pajak, menyetor, dan
mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang
tersedia.
2.1.6 Pengertian Insentif Pajak
Insentif pajak merujuk pada ketentuan khusus dalam peraturan
perpajakan dapat berupa pengecualian dari objek pajak, kredit, perlakuan
tarif pajak khusus atau penangguhan kewajiban perpajakan. Bentuk
insentif fiskal itu sendiri dapat berupa pembebasan pajak dalam periode
tertentu, dapat dikurangkannya sebuah biaya atas jenis pengeluaran
tertentu atau pengurangan tarif impor atau pengurangan tarif bea dan
cukai (UN & CIAT, 2018).
Cambridge Dictionary mengartikan insentif pajak sebagai “a
reduction in taxes that encourages companies or people to do something
that will help the country's economy”. Secara umum insentif pajak dapat
diartikan sebagai ketentuan khusus dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang umumnya berdampak pada
berkurangnya jumlah pajak yang seharusnya dibayar ke negara.
Ketentuan ini diberikan oleh negara dalam rangka membantu
perekonomian negara. Dalam penelitian ini akan dibahas insentif pajak
pada sektor pariwisata, serta bagaimana manfaat insentif tersebut dan
adakah alternatif solusi dalam mengatasi kebutuhan sektor pariwisata
akibat adanya pandemi COVID-19.
2.1.7 Peluasan Insentif Pajak
Ada lima jenis insentif pajak yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha,
antara lain:
1. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP),
2. PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah,
3. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor,
4. Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%,
5. Pengembalian pendahuluan PPN sebagai PKP berisiko rendah bagi
WP yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi paling
banyak 5 miliar rupiah.

2.3 Pariwisata
2.3.1 Pengertian Pariwisata
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pariwisata diartikan
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi.
Dalam Bab I Pasal 1 Undang-undang RI nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan dijelaskan bahwa:
a. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
b. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
c. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
d. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Menurut Daly dan Gereff dalam Nhamo et al (2020), terdapat dua
tipe perjalanan wisata yaitu wisata untuk tujuan rekreasi (wisata
rekreasi) dan wisata untuk tujuan bisnis (wisata bisnis). Wisata rekreasi
dapat diartikan sebagai setiap perjalanan yang dilakukan turis untuk
memperoleh kesenangan. Bentuk wisata rekreasi contohnya wisata alam,
wisata petualangan, dan wisata kebudayaan. Sedangkan wisata bisnis
adalah sebuah perjalanan untuk kepentingan profesional, termasuk
didalamnya bertemu dengan klien, perjalanan untuk melihat potensi
investasi, dan perjalanan untuk mengikuti konferensi. Dalam penelitian
ini akan dibahas secara integral bagaimana kebutuhan sektor pariwisata
selama pandemi COVID-19 baik untuk wisata rekreasi.
2.3.2 Sektor Pariwisata
Sektor pariwisata adalah sekumpulan unit produksi dalam industri
berbeda yang menyediakan barang dan jasa yang khususnya dibutuhkan
para pengunjung. Dalam rangka pembangunan daerah sektor pariwisata
memegang peranan yang menentukan dan dapat sebagai katalisator
untuk meningkatkan pembangunan sektor-sektor lain secara bertahap.
Keberhasilan pengembangan sektor kepariwisataan, berarti akan
meningkatkan perannya dalam penerimaan daerah, dimana
kepariwisataan merupakan komponen utama (Wahab, 2003: 16).
Pembangunan sektor pariwisata meyangkut aspek sosial budaya,
ekonomi dan politik (Spillane, 1994:14). Hal ini sejalan dengan yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan
kepariwisataan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
memperluas dan meretakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja,
mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan
mendayagunakan objek dan daya tarik wisata di Indonesia serta
memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antar
negara.
Sektor pariwisata juga sangat berperan terhadap membantu
peningkatan perekonomian, khususnya melalui pendapatan pajak dan
retribusi. Pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan pemerintah
dalam mengembangkan dan membayar sektor pariwisata. Barang dan
jasa yang biasanya dibutuhkan oleh para pengunjung dapat berupa
sarana dan prasarana pendukung objek wisata.
2.3.3 Usaha dalam Sektor Pariwisata
Usaha dalam sektor pariwisata atau dapat juga disebut sebagai Usaha
Pariwisata, secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan). Definisi Usaha
Pariwisata dalam UU Kepariwisataan adalah usaha yang menyediakan
barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata. Dalam Bab VI Pasal 14 UU
Kepariwisataan, usaha pariwisata meliputi, antara lain:
1. daya tarik wisata;
2. kawasan pariwisata;
3. jasa transportasi wisata;
4. jasa perjalanan wisata;
5. jasa makanan dan minuman;
6. penyediaan akomodasi;
7. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
8. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan
pameran;
9. jasa informasi pariwisata;
10. jasa konsultan pariwisata;
11. jasa pramuwisata;
12. wisata tirta; dan
13. spa.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang akan
menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif merupakan data yang berupa
kata-kata dari seseorang bersama dengan perilakunya yang dapat
berbentuk lisan atau tertulis yang dapat diamati. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada (Denzin dan Lincoln: 1987). Dengan metode
tersebut peneliti dapat melihat gambaran serta memperoleh informasi
tentang insentif pajak terhadap pariwisata selama pandemi Covid-19 di
Pekanbaru, secara lebih mendalam dan menyeluruh.
3.2 Tempat dan Waktu Peneletian
Penelitian ini dilakukan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Riau yang beralamat di Jalan Jend. Sudirman No.247, Simpang Empat,
Kec. Pekanbaru Kota, Kota Pekanbaru, Riau, 28116, dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru yang beralamat di Jalan
Arifin Ahmad No. 39, Tangkerang Barat, Marpoyan Damai, Tangkerang
Tengah, Ke. Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau, 28289. Kedua
tempat ini dipilih karena sesuai dengan pembahasan penelitian. Waktu
penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
3.3 Subjek dan Objek
1. Subjek
Subjek penelitian adalah orang yang diamati sebagai sumber
informasi dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif ini pemilihan
informasi dilakukan oleh peneliti dipilih berdasarkan kriteria tertentu,
yaitu memiliki wawasan luas mengenai insentif pajak dan pariwisata.
Adapun informan yang dipilih peneliti sebagai berikut:
a. Kepala Kanwil DJP Riau
b. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru
2. Objek
Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi problematikan
penelitian (Arikunto, 2005). Dalam penelitian ini yang menjadi objek
penelitian adalah kebijakan insentif pajak terhadap pariwisata selama
pandemi Covid-19
3.4 Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat secara langsung oleh
peneliti dari tempat penelitian. Data primer dapat berupa kata- kata dan
tindakan, sumber tertulis, foto, dan data statistik. Data diperoleh
melalui wawancara, dokumentasi, maupun observasi yang dilakukan di
Kanwil DJP Riau dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Pekanbaru. Dari penelitian ini, data primer dapat peneliti peroleh dari
wawancara langsung peneliti dengan objek penelitian ditambah dengan
data statistik dari Kanwil DJP Riau dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Pekanbaru sebagai pendukung atau untuk memperkuat
penelitian. Selain itu data primer dapat diperoleh juga melalui
observasi atau pengamatan langsung di Kanwil DJP Riau dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung data primer yang tidak
didapat secara langsung oleh peneliti melalui sumber utama penelitian
tersebut.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik wawancara, kepustakaan, dokumentasi
adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkip, buku, majalah, surat kabar, prasasti, notulen rapat, lenger,
agenda, laporan dan sebagainya. Data yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dengan metode pengambilan data berikut ini:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan cara Tanya jawab langsung
dengan pihak yang berkepentingan dengan penelitian dan jenis data
yang dibutuhkan. Menurut Sigiyono (2012: 137) wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, dan juga apabila ingin mengetahui hal-hal dari
responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya
sedikit/kecil. Dimana pihak yang dimaksud pada penelitian ini
adalah personal yang berhubungan dengan insentif pajak dan
pariwisata.
b. Studi Kepustakaan
c. Studi Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan dengan cara melihat atau
menganalisis dokumen dokumen perusahaan. Hasil penelitian dari
observasi atau wawancara, akan lebih kridibel atau dapat dipercaya
kalau di dukung oleh sejarah pribadi kehidupan masa kecil,
sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobografi
(Sugiyono, 2011: 329). Teknik dokumentasi ini merupakan
metode pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen
pajak berupa jumlah Wajib Pajak yang terdaftar.
3.6 Teknik Analisis Data
Menganalisis data yang telah diperoleh melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi maka penulis menggunakan teknik analisis
kualitatif. Analisis data kualitatif Bogdan dan Biklen dalam Lexy (1982:
248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengordinasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain. Penelitian kualitatif juga tidak terlepas dari
penemuan data kuantitatif.

Anda mungkin juga menyukai