Anda di halaman 1dari 4

Resky Ramadhan Rusdi

A031191052

INSENTIF PAJAK SELAMA MASA PANDEMI COVID19

Pemerintah menetapkan aturan terkait kelanjutan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak
pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan tersebut merupakan langkah
tepat pemerintah dalam menekan dampak pandemi Covid-19. Fasilitas pajak penghasilan
dapat menjaga daya beli masyarakat dan menguatkan arus kas perusahaan. Selain itu,
berbagai insentif pajak diharapkan dapat menarik investor ke Indonesia.

Perpanjangan insentif tersebut tepat karena berdasarkan data World Health Organization
(WHO) sampai 5 Februari 2021, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 104 juta jiwa dan
membunuh lebih dari 2,2 juta jiwa secara global. Di Indonesia, orang yang terkonfirmasi
positif Covid-19 lebih dari 1,1 juta jiwa dan 31 ribu jiwa terkonfirmasi meninggal dunia.

Selain itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan penyebaran virus ini.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan sejak awal pandemi sampai
sekarang. Menyebabkan orang kehilangan pekerjaan, kegiatan ekonomi melambat, dan
pengusaha gulung tikar.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuktikan informasi tersebut dengan


melakukan survei pada Mei 2020. Lembaga penelitian ini merilis hasil survei dampak
pandemi Covid-19 pada pekerja. Survei dilakukan terhadap 1.112 pekerja di seluruh
Indonesia. Data survei menunjukkan 2% pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dengan pesangon, 15% pekerja mengalami PHK tanpa pesangon, dan 65% pekerja
dapat bekerja dari rumah. Pekerjaan yang paling terdampak adalah sektor perdagangan,
rumah makan, akomodasi, dan sektor jasa.

Kemudian Agustus 2020, Badan Pusat Statistik mengeluarkan Laporan Perekonomian


Indonesia yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi -3,0%.
International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara
berkembang akan berada pada masa yang cukup sulit, terkontraksi sekitar 1,0%.

Data di atas menunjukkan bahwa tahun 2020 menjadi tahun penuh tantangan karena harus
berjibaku di antara pembangunan ekonomi dan penanganan Covid-19, bukan rahasia lagi
bahwa pembatasan karena Covid-19 telah mempengaruhi sektor ekonomi dalam angka yang
masif. Pemerintah telah berusaha menekan dampak dengan mengeluarkan berbagai kebijakan
fiskal. Salah satunya adalah kebijakan insentif pajak.

Hampir setahun kebijakan insentif pajak diterapkan. Insentif pajak merupakan salah satu
program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama tahun 2020 dan dilanjutkan tahun 2021
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2021 tentang insentif pajak
untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Aturan insentif pajak pertama kali ditetapkan 27 April 2020 melalui PMK No.
44/PMK.03/2020 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus
Disease 2019. Kemudian 16 Juli 2020, aturan ini dicabut dan diganti dengan PMK No.
86/PMK.03/2020. Pemerintah terus mengamati dan menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi.

Terbukti pada 14 Agustus 2020, pemerintah merubah lagi aturan tersebut melalui PMK No.
110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
Virus Disease 2019. Perubahan terus menerus merupakan upaya pemerintah dalam menjaga
stabilitas ekonomi, meningkatkan produksi pelaku usaha, dan meningkatkan peredaran usaha
wajib pajak.

Kucuran insentif pajak yang terus berlanjut diharapkan dapat menarik investor dan menjaga
keseimbangan perekonomian negara. Brodzka dalam jurnal Tax Incentives in Emerging
Economies mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang dapat menarik investor dan
memperkuat pertumbuhan ekonomi adalah insentif pajak.

Insentif pajak tidak hanya dilaksanakan oleh Indonesia, beberapa negara melakukan
penyesuaian sistem pajak untuk menekan dampak pandemi. Beberapa negara Asia seperti
Jepang, Korea, Vietnam, dan India menerapkan kebijakan perpajakan selama Covid-19.

Insentif Pajak sepanjang Pandemi

Terdapat lima insentif pajak dalam PMK No. 86/PMK.03/2020, yaitu PPh Pasal 21
Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Final UMKM DTP, pembebasan PPh Final Pasal 22
Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN sebagai PKP
berisiko rendah bagi wajib pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi
paling banyak Rp5 miliar.

Kemudian perubahan dalam PMK No. 110/PMK.03/2020, yaitu PPh Final DTP pada sektor
padat karya tertentu, PPh Final Jasa Konstruksi DTP dalam Program Percepatan Peningkatan
Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI). PMK ini berlaku sejak diundangkan sampai dengan masa
pajak Desember 2020.

Fasilitas pajak lainnya, yaitu pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%. Insentif pajak
ini sampai dengan Desember 2020 sejak masa pajak pemberitahuan disampaikan atau masa
pajak Juli 2020 wajib pajak yang telah melakukan pemberitahuan. Dalam PMK No.
9/PMK.03/2021 mengatur tentang perpanjangan insentif yang telah ditetapkan dalam PMK
No. 110/PMK.03/2020 sampai dengan 30 Juni 2021.

Cara di atas menunjukkan bahwa pemerintah tetap konsisten memberikan fasilitas pajak pada
sektor-sektor yang berdampak pada masyarakat luas. Dengan harapan dampak perekonomian
selama pandemi berkurang. Masyarakat juga dapat mempertahankan usahanya dan dapat ikut
serta memutar roda perekonomian.

Dampak Insentif Pajak

Pengaruh stimulus fiskal mampu menjaga kestabilan penerimaan pajak. Meskipun


terkontraksi, penerimaan pajak dari bulan ke bulan menunjukkan peningkatan. Data realisasi
penerimaan pajak dapat dilihat dari laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) Kita Kementerian Keuangan tahun 2020.

Terlihat bahwa pada awal-awal aturan ini diterapkan, yaitu Mei 2020, penerimaan pajak
mengalami perlambatan karena kegiatan sosial dibatasi dan pemanfaatan fasilitas insentif
perpajakan. Realisasi penerimaan pajak bulan ini sebesar 35,54% dari target.

Sebulan kemudian, pengaruh stimulus fiskal masih dirasakan. Semua jenis pajak mengalami
kontraksi pada semester satu. Namun, pelonggaran PSBB menunjukkan adanya perbaikan
penerimaan. Realisasi pajak bulan Juni sebesar 44,35%.
Perlu diingat bahwa fasilitas perpajakan merupakan bagian dari skema PEN. Meskipun ini
menjadi salah satu faktor yang menekan angka penerimaan perpajakan, tetapi realisasi
penerimaan Juli 2020 menunjukkan peningkatan menjadi 50,21%. Lalu bulan Agustus 2020
realisasi penerimaan sebesar 56,47%. Tidak dapat dipungkiri bahwa Covid-19 membuat
transaksi perdagangan internasional dan perekonomian Indonesia semakin lambat.

Pada September 2021, realisasi penerimaan pajak menunjukkan tren positif, yaitu sebesar
62,61%. Walaupun penerimaan menjadi lambat, tetapi insentif pajak mampu menjaga daya
beli masyarakat dan produktivitas usaha. Pada triwulan empat 2020, capaian penerimaan
pajak mengalami peningkatan menjadi 68,98%. Diikuti peningkatan pada bulan-bulan
berikutnya, yaitu November sebesar 77,19%. Kemudian penerimaan pajak hingga 31
Desember 2020 sebesar 89,25% dari target.

Realisasi penerimaan pajak memang tidak 100%. Namun, tren positif jelas terlihat dari awal
aturan ini diterapkan. Hal itu menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih terkondisikan
meski lambat dan produktivitas usaha masih berjalan meski tidak maksimal.

Di tengah kondisi ketidakpastian dan kejadian-kejadian luar biasa yang mengguncang


masyarakat global, kajian terkait perpanjangan atau penetapan kebijakan fiskal harus
dilakukan secara terus menerus agar tidak menguntungkan salah satu pihak. Semangat
bangkit dan kuat di tengah pandemi terlihat dari sikap pemerintah yang hati-hati dalam
memperbaiki setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dan sikap masyarakat yang selalu bekerja
sama untuk menyukseskan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tanpa adanya
kerja sama kedua belah pihak, tren positif penerimaan pajak tidak akan tercapai.

Anda mungkin juga menyukai