Anda di halaman 1dari 9

Memulihkan Penerimaan Pajak Pasca Pandemi Covid-19

Charoline Cheisviyanny
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri
Padang Email:
charoline.cheisviyanny@gmail.com

INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK


Diterima
The pandemy of Covid-19 causes an economic growth slowdown in
Pertama
Indonesia, which gives an impact on tax revenue reduction. The
[25062020]
reduction is getting worse because of tax incentive offered by the
government. This research aims to offer some solutions to recover tax
Dinyatakan Diterima
revenue pasca Covid-19 pandemy. This research is an explorative
[14072020]
research with a quantitative approach. The data used was the annual
reports of companies listed in BEI. This research used purposive
KATA KUNCI:
sampling method to select samples and got 219 samples for 2017 and
withholding tax, final tax, tax audit, tax dispute,
217 samples for 2018. The proposed suggestions in recovering tax
tax revenue
revenue are: (1) optimalization of withholding tax mechanism, (2) final
tax imposition for non SMEs, and (3) efficiency of cost-of-collection.
KLASIFIKASI JEL:
These suggestions need further dan depth reviews before
H2
implemented.

Pandemi Covid-19 menyebabkan perlambatan pertumbuhan


ekonomi Indonesia, yang berdampak pada menurunnya jumlah
penerimaan pajak, ditambah lagi banyaknya insentif pajak yang
diberikan pemerintah kepada wajib pajak. Tujuan penelitian ini
adalah menawarkan beberapa solusi untuk memulihkan penerimaan
pajak pasca pandemi Covid-19. Penelitian ini merupakan penelitian
eksploratif dengan pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan
adalah annual report perusahaan yang terdaftar di BEI. Sampel dipilih
dengan menggunakan purposive sampling method dan didapat 219
sampel untuk tahun 2017 dan 217 sampel untuk tahun 2018. Saran
yang diusulkan untuk memulihkan penerimaan pajak adalah: (1)
Optimalisasi mekanisme withholding tax, (2) Pengenaan PPh final
untuk wajib pajak non UMKM, dan (3) Efisiensi biaya pemungutan
pajak. Usulan ini membutuhkan kajian yang mendalam sebelum
diimplementasikan.
Halaman 21
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

1. PENDAHULUAN inklusi pajak. Program ini bertujuan agar semua lapisan


1.1. Latar Belakang masyarakat memahami pajak sehingga dapat
menimbulkan kesadaran pajak. Suryo Utomo, Direktur
Pandemi covid-19 memberikan dampak yang luar Jenderal Pajak yang baru dilantik tanggal 1 November
biasa kepada seluruh negara di dunia, termasuk 2019, menegaskan kembali tentang rencana
Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan peningkatan basis pajak ini dengan mengeluarkan
ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pada program “Pengawasan Berbasis Kewilayahan” yang
kuartal I/2020 yaitu sebesar 2,97%. Kepala BPS, belum sempat dilaksanakan karena pandemi ini.
Suhariyanto, mengatakan bahwa dibandingkan kuartal Direktur Jenderal Pajak juga menerbitkan Keputusan
IV/2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat DJP Nomor KEP-75/PJ/2020 yang memuat tentang
minus 2,41%. Perlambatan ini tidak hanya dialami oleh reshaping organisasi DJP dan mulai berlaku tanggal 1
Indonesia, namun juga semua negara di dunia (Fitriani, Maret 2020. Artinya, pemerintah sudah matang dalam
2020). program peningkatan basis pajak ini. Oleh karena itu,
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap penulis tidak membahas hal ini.
melambat sampai akhir tahun 2020, ditambah lagi Pembahasan akan difokuskan pada peningkatan
penerimaan dari sektor pajak diperkirakan akan penerimaan pajak melalui pengoptimalan WHT dan
tergerus sampai Rp. 388 Trilyun (Siregar, 2020). Salah efisiensi biaya pengumpulan pajak. Penulis
satu penyebabnya adalah insentif pajak yang diberikan menawarkan alternatif kebijakan lain melalui
pemerintah. Walaupun begitu, penulis juga menyadari mekanisme WHT. Jadi, tujuan dari penelitian ini adalah
bahwa kebijakan tersebut memang harus diambil menawarkan beberapa solusi yang dapat digunakan
untuk membantu pelaku usaha. Insentif pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dan
diberikan selama enam bulan, dari bulan April sampai mengurangi biaya pengumpulan pajak. Solusi ini
dengan September 2020, dengan harapan ekonomi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
sudah mulai pulih pada kuartal IV/2020. membuat kebijakan pajak pasca pandemi Covid-19.
Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk
memulihkan penerimaan pajak pasca pandemi covid-
19 ini? Saat ini, di masa setelah Pembatasan Sosial 2. KERANGKA TEORI
Berskala Besar (PSBB), banyak perusahaan baru mulai 2.1 Sistem Pemungutan Pajak Withholding Tax (WHT)
kembali menggeliat dengan omset yang mungkin
belum normal seperti kondisi sebelum pandemi. WHT merupakan sistem pemungutan pajak yang
Dengan kondisi ini, tidak mungkin mengharapkan memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk
penerimaan pajak akan pulih dalam waktu dekat. sebagai pemungut atau pemotong pajak. Penunjukan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di Indonesia ada dua pemungut atau pemotong pajak diatur dalam
yaitu “laba bersih” untuk DPP Pajak Penghasilan (DPP keputusan Menteri Keuangan, misalnya Peraturan
PPh) dan “omset” untuk DPP Pajak Pertambahan Nilai Menteri Keuangan (PMK) Nomor 231/PMK.03/2019
(DPP PPN). Kedua jenis pajak ini memiliki hubungan tentang pemungut pajak atau Peraturan Menteri
langsung. Jika omset meningkat, maka laba bersih juga Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK.010/2019 tentang
akan meningkat. Untuk meningkatkan laba, hanya ada pemungut PPh 22 impor. Berhasil atau tidaknya
dua cara yaitu meningkatkan omset dan mengurangi pelaksanaan pemungutan pajak banyak bergantung
biaya operasional. Dalam kondisi abnormal seperti ini pada pihak ketiga yang ditunjuk. Hal ini yang
dimana banyak perusahaan mengalami penurunan membedakan sistem WHT dengan official assessment
omset, sementara beberapa biaya operasional bersifat system yang bergantung pada fiskus dan dengan self
tetap, maka otomatis laba juga akan menurun. Kondisi assessment system yang bergantung pada wajib pajak
ini menyebabkan penerimaan pajak dari PPh dan PPN sendiri (Resmi, 2017:11).
juga akan menurun. Hal ini terbukti dengan data Di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU
penerimaan pajak sampai dengan 30 April 2020 hanya PPh), pengenaan PPh dengan mekanismes WHT
terealisasi Rp. 376,67 Trilyun atau hanya 30% dari terlihat di beberapa pasal yaitu Pasal 4 Ayat 2, Pasal 15,
target APBN (Siregar, 2020). Pasal 17 Ayat 2C, Pasal 21/26, Pasal 22, dan Pasal
Di sisi lain, jika kita bicara dari sisi fiskus, 23/26. UU PPh juga mengatur tentang cara pelunasan
pemulihan penerimaan pajak hanya bisa dilakukan juga pajak yang berasal dari luar Indonesia. UU ini
dengan dua cara yaitu meningkatkan penerimaan pajak menganut azaz domisili dan azaz sumber serta
serta mengurangi biaya pengumpulan pajak (cost of menganut prinsip world-wide income, sehingga
collection). Biaya pengumpulan pajak dapat berupa penghasilan wajib pajak baik yang diperoleh atau
biaya terkait dengan Account Representative (AR), diterima dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
biaya pelaksanaan pemeriksaan, biaya penyelesaian akan dikenakan pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 24 UU
sengketa pajak, dan lainnya (Cheisviyanny, 2020). PPh (Budi, 2017:358-359). Mekanisme WHT juga diatur
Tulisan ini akan membahas pemulihan penerimaan dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) beserta
pajak dari sisi fiskus ini. Peningkatan penerimaan pajak aturan terkaitnya.
dapat dilakukan dengan meningkatkan basis pajak dan Secara empiris, mekanisme WHT efektif dalam
mengoptimalkan mekanisme withholding tax (WHT). meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan
Peningkatan basis pajak sebenarnya sudah dirancang pajak. Keunggulan lainnya adalah dapat mengurangi
sejak tahun 2017 pada saat pencanangan program biaya pemungutan pajak bagi pemerintah dan
membantu dalam pengelolaan anggaran karena arus
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

kas masuk lebih cepat diterima. Di sisi lain, mekanisme


ini menimbulkan biaya kepatuhan bagi wajib pajak 2. Biaya pengumpulan pajak (cost of collection)
sehingga membebani arus kas wajib pajak. Pajak yang Biaya pengumpulan pajak merupakan biaya yang
sudah dipotong atau dipungut melalui mekanisme dikeluarkan oleh fiskus terkait dengan upaya
WHT dapat dijadikan kredit pajak yang mengurangi mengumpulkan penerimaan pajak dari wajib pajak.
pajak terutang akhir tahun, kecuali untuk pemotongan Biaya ini dapat berupa biaya gaji pegawai pajak,
PPh final (Kristiaji dan Awwaliatul, 2020: 12). biaya pelatihan pegawai pajak, biaya
penyelenggaraan pemeriksaan dan/atau sengketa
2.2 PPh Final pajak, biaya pengadaan dan perawatan IT, biaya
pelaksanaan program-program perpajakan, dan
Rezim PPh final sudah diperkenalkan di Indonesia lain-lain.
sejak berlakunya UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, yang telah mengalami empat kali 3. METODE PENELITIAN
perubahan. Hingga amandemen terakhir, yaitu UU No Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif
36 Tahun 2008, penerapan PPh final di Indonesia sudah dengan pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif yang
mengalami perluasan. Kristiaji dan Awwaliatul (2020) digunakan adalah annual report perusahaan yang
merumuskan taksonomi PPh final atas lima kelompok terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2017 dan
yaitu: 2018. Metode pemilihan sampel adalah purposive
1. PPh final yang dikenakan atas penghasilan subjek sampling method yaitu pemilihan sampel berdasarkan
pajak luar negeri (SPLN). kriteria. Kriteria yang digunakan adalah:
2. PPh final yang didorong atas pemisahan 1. Perusahaan yang berada pada sektor perdagangan
penghasilan dari modal dan penghasilan dari dan manufaktur. Hal ini sesuai dengan pernyataan
pekerjaan. dari Menteri Keuangan, Sri Muyani, yang
3. PPh final sebagai pendukung kebijakan menyebutkan ada 3 (tiga) sektor yang setidaknya
presumptive tax. akan mulai bangkit di sekitaran bulan Oktober
4. PPh final yang menjamin keberlangsungan sistem 2020 yaitu sektor pariwisata, perdagangan, dan
pemajakan berbasis keluarga. manufaktur (Djumena, 2020). Perusahaan di sektor
5. PPh final yang lebih didorong untuk tujuan pariwisata termasuk dalam sektor perdagangan.
kesederhaan, kepatuhan, dan penerimaan. 2. Perusahaan yang memiliki data lengkap untuk
PPh final memiliki beberapa keunggulan antara tahun 2017 dan 2018.
lain: (1) lebih mudah diterapkan di negara yang belum 3. Perusahaan yang membayar pajak untuk tahun
memiliki sistem administrasi yang canggih dan dimana 2017 dan 2018.
masyarakatnya belum memiliki pengetahuan pajak 4. Perusahaan yang memiliki omset di atas Rp. 50
yang mumpuni dan (2) lebih gampang dilakukan Milyar, yang menggunakan tarif tunggal 25%.
pengawasan sehingga dapat menjaga penerimaan Dari keempat kriteria diatas, maka didapatkan 219
negara. Namun di sisi lain, ada beberapa tinjauan kritis sampel untuk tahun 2017 dan 217 sampel untuk tahun
yang ditujukan kepada PPh final ini yaitu: 2018.
1. Dapat meningkatkan biaya kepatuhan dan Data yang diambil dari annual report adalah data
membuka peluang agresifitas pajak. tentang omset dan pajak terutang. Data ini digunakan
2. Menciptakan tax gap yaitu kesenjangan antara untuk menghitung besaran pajak efektif atas omset,
potensi dari basis pajak secara ekonomi dengan yang dibayar oleh perusahaan selama 2017 dan 2018.
realisasinya. Hasil perhitungan pajak efektif digunakan sebagai dasar
3. Mengesampingkan prinsip ability to pay dan memberikan argumen dan menawarkan solusi bagi
mendistorsi progresivitas sistem pajak. fiskus dalam masa pemulihan pasca pandemi covid-19
4. Mempengaruhi daya saing. ini. Penulis juga melakukan studi literatur untuk
5. Sebagai bagian dari mekanisme WHT, PPh final meyakini bahwa solusi yang diberikan dapat
mengaburkan self assessment system. diimplementasikan dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Bertentangan dengan prinsip membatasi
kekuasaan dalam mengenakan pajak. 4. HASIL PENELITIAN
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tulisan ini
2.3 Biaya Pajak akan berfokus pada peningkatan penerimaan pajak dan
Biaya pajak ada 2 (dua) macam yaitu: efisiensi biaya pengumpulan pajak. Sebelumnya,
1. Biaya kepatuhan (cost of compliance) penulis sangat menyadari bahwa kedua usulan ini
Biaya kepatuhan merupakan biaya yang masih sangat mentah, sehingga perlu kajian yang
dikeluarkan wajib pajak untuk memenuhi mendalam sebelum bisa diterapkan.
kewajiban perpajakannya. Biaya ini dapat berupa
biaya untuk menyetor dan melaporkan pajak, 4.1 Peningkatan Penerimaan Pajak
biaya untuk menyimpan arsip pajak, biaya untuk Ada dua usulan terkait dengan cara meningkatkan
membayar gaji bagian pajak dan/atau honor penerimaan pajak yaitu: (1) mengoptimalkan
konsultan pajak, biaya untuk menghadapi mekanisme WHT dan (2) mengenakan pajak final
pemeriksaan dan/atau sengketa pajak, biaya untuk kepada wajib pajak non UMKM. Untuk itu,
membayar sanksi administrasi, dan lain-lain. pembahasan akan dibagi menjadi dua subbagian untuk
membahas dua hal tersebut.
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

maksimal. Kedepan, AR perlu sangat intens dalam


4.1.1 Mengoptimalkan mekanisme WHT mengedukasi wajib pajak tentang mekanisme WHT ini.
Saran pertama yang penulis ajukan untuk Untuk itu, AR perlu memahami proses bisnis wajib
meningkatkan penerimaan pajak adalah pajak agar bisa menjelaskan transaksi apa saja yang
mengoptimalkan mekanisme WHT. Walaupun perlu dipungut atau dipotong pajaknya.
mekanisme WHT sudah diperkenalkan sejak lama, Optimalisasi mekanisme WHT ini juga dapat
namun pelaksanaannya di lapangan masih belum dilakukan dengan menambah objek pajaknya. Namun
optimal. Padahal kontribusi WHT terhadap penerimaan yang jauh lebih penting adalah edukasi kepada wajib
pajak sangat besar yaitu sekitar 80%. Kurangnya pajak baik pihak yang memotong maupun pihak yang
sosialisasi merupakan salah satu penyebab kurang dipotong. Optimalisasi ini juga akan mendukung usul
optimalnya pelaksanaan WHT, sehingga banyak kedua berikut ini.
pemungut atau pemotong pajak yang belum
memahami kewajibannya 4.1.2 Mengenakan pajak final kepada wajib pajak
Beberapa tahun terakhir, contohnya, banyak non UMKM
koreksi dilakukan terhadap biaya pengiriman barang Saran kedua yang penulis ajukan untuk
seperti ongkos angkut dan sejenisnya. Koreksi meningkatkan penerimaan pajak adalah mengenakan
dilakukan karena biaya ini harusnya dipotong PPh 23 pajak final kepada wajib pajak non UMKM seperti
sebesar 2%, namun pemotong pajak tidak melakukan pengenaan PPh final untuk UMKM saat ini. Sebelumnya
pemotongan. Contoh lain, sebelum tahun 2015, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu dasar
pembelian kepada petani tidak dipungut PPh 22. pemikiran diajukannya usulan ini.
Aturan tersebut diubah pada tahun 2015, bahwa Dalam Bagian Penjelasan Pasal 4 Ayat 2 UU PPh
semua pembelian hasil perkebunan dipungut PPh 22. disebutkan bahwa mekanisme pengenaan PPh final ini
Tidak semua wajib pajak mengetahui perubahan dimunculkan dengan 5 (lima) pertimbangan, yaitu:
aturan ini dan tetap tidak memungut PPh 22 atas 1. Perlu adanya dorongan dalam rangka
pembelian kepada petani. Akibatnya, pada saat perkembangan investasi dan tabungan
pemeriksaan, pembelian kepada petani tersebut masyarakat.
dikoreksi. 2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak.
Kondisi ini tidak bisa dianggap kesalahan wajib 3. Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib
pajak semata, namun juga menjadi tanggung jawab pajak maupun DJP.
fiskus, khususnya AR. AR sebagai konsultan pajak wajib 4. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya.
pajak seharusnya menyampaikan informasi ini, namun 5. Memerhatikan perkembangan ekonomi dan
kadang AR pun tidak memahami aturan perpajakan moneter.
yang terkait dengan proses bisnis wajib pajak Atas dasar pertimbangan ini kemudian DJP
binaannya. Peran AR juga dirasa kurang maksimal mengenakan PPh final untuk beberapa jenis
dalam memberikan edukasi kepada wajib pajak. Dari penghasilan termasuk penghasilan yang diterima oleh
beberapa kali interaksi penulis dengan AR, penulis perusahaan konstruksi, perusahaan real estate, dan
merasa pengetahuan pajak/akuntansi dan kemampuan perusahaan yang menyewakan tanah dan/atau
komunikasi AR masih perlu ditingkatkan. Silahkan baca bangunan. Seperti juga halnya dalam Bagian Penjelasan
tulisan penulis di DDTC news yang berjudul Pasal 15 UU PPh, DJP menggunakan pertimbangan
“Mengurangi Biaya Pengumpulan Pajak”. praktis untuk menghindari kesukaran dalam
Subroto (2020, 265) mengatakan bahwa praktik menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
administrasi perpajakan Indonesia didominasi oleh golongan wajib pajak tertentu, maka DJP juga
rezim target yang sangat kuat. Rezim target ini telah mengenakan PPh final untuk beberapa subjek pajak
menjadi budaya organisasi DJP, tepatnya menjadi luar negeri.
shared values. Pencapaian target penerimaan telah Hal yang sama juga terjadi pada Peraturan
dijadikan sasaran dan perhatian utama bagi sebagian Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang
besar anggota organisasi yang membentuk perilaku merupakan aturan pengganti dari PP Nomor 46 Tahun
kelompok dan bertahan dalam jangka waktu yang 2013. Dalam Bagian Penjelasan PP ini dijelaskan bahwa
lama, bahkan ketika anggota organisasi berubah PP Nomor 23 Tahun 2018 ini diterbitkan dengan
(Kotler, 1996 dalam Subroto, 2020: 265). Rezim target beberapa pertimbangan yaitu:
membentuk administrasi pajak yang jauh dari 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
pelayanan dan kewajaran, cenderung mengabaikan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto
pendekatan manusiawi karena wajib pajak dianggap tertentu.
objek untuk mencapai target, bukan mitra, apalagi 2. Memberlakukan jangka waktu tertentu sebagai
customer (Subroto, 2020: 269-270). masa pembelajaran bagi wajib pajak untuk dapat
Seyogianya AR perlu memahami bahwa setiap menyelenggarakan pembukuan
wajib pajak memiliki beragam karakter yang sebelum dikenakan PPh dengan aturan umum.
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain tingkat 3. Menyesuaikan tarif (dari tarif 1% menjadi tarif
pendidikan, budaya, dan bahasa. Jika AR mampu 0,5%) untuk mendorong masyarakat berperan
berkomunikasi dengan baik ditambah dengan serta dalam kegiatan ekonomi formal.
pengetahuan pajak dan akuntansi yang mumpuni, 4. Memberikan keadilan bagi wajib pajak yang telah
maka AR dapat menjalankan perannya secara mampu melakukan pembukuan.
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

Penulis mengajukan usulan untuk mengenakan


PPh final kepada perusahaan non-UMKM hanya untuk pengenaan tarif atas laba kotor dan laba bersih dan
beberapa tahun ke depan (situasional), kalau bisa menemukan bahwa dalam komponen laba kotor dan
dimulai dari pelaporan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak laba bersih terdapat lebih banyak kemungkinan
2020. Dasar pemikiran pengajuan usulan ini adalah perencanaan pajak yang agresif, misalnya terkait
karena pasca pandemi covid-19 ini, wajib pajak sedang deductable versus non deductable expense atau terkait
berfokus pada proses pemulihan usaha. Prinsip dengan pengakuan unrealized gain/loss yang sekarang
kemudahan dan kesederhanaan yang ditawarkan oleh diwajibkan oleh SAK-IFRS.
mekanisme PPh final akan sangat membantu wajib Lalu, berapa tarif pajak yang akan dikenakan?
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat
mereka. Teknisnya, wajib pajak tetap melaksanakan dulu tren pembayaran pajak. Penulis mengambil data
pembukuan. Untuk tahun pajak 2020, PPh 25 yang perusahaan go public karena lebih gampang diperoleh,
sudah disetor dan semua kredit pajak selama tahun walaupun mungkin tidak dapat digeneralisir karena
2020 dianggap sebagai setoran PPh final. Kekurangan perusahaan besar di Indonesia hanya menguasai 0,1%
pembayaran pajak akan dihitung pada saat pelaporan pangsa pasar. Dari hasil olahan data (lihat di lampiran),
SPT Tahunan. Penulis langsung menyebutkan diperoleh bahwa secara rata-rata persentase pajak
‘kekurangan’ karena usulan peningkatan tarif ini pasti terhadap omset adalah sebesar 2,21% untuk tahun
akan menyebabkan SPT Tahunan menjadi kurang 2017 dan sebesar 2,19% untuk tahun 2018. Maka,
bayar. Untuk tahun pajak 2021, PPh final dibayar tiap usulan tarif pajak yang diajukan adalah sebagai berikut:
bulan mengikuti mekanisme PPh final untuk UMKM.
Berbeda dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang Tabel 1. Usulan tarif pajak
menghentikan mekanisme WHT terhadap pelaku Jenis WP Besaran Tarif PPh Keterangan
UMKM melalui Surat Keterangan Bebas (SKB), usulan omset Final
pengenaan PPh final bagi non-UMKM tetap dengan WP < Rp. 0,5% Sudah diatur
mekanisme WHT yang sudah berjalan sekarang. UMKM 4,8M/tahun dalam PP
Pemungutan atau pemotongan pajak tetap dilakukan 23/2018
seperti biasa. Pajak yang sudah dipotong atau dipungut WP non 4,8M- 1-3%
tersebut bisa dijadikan pengurang pembayaran PPh UMKM 50M/tahun
final. Hal ini sejalan dengan usulan yang pertama, >Rp. 3-5%
sekaligus bisa dijadikan kontrol untuk mencegah 50M/tahun
agresifitas pajak.
Pengenaan PPh final akan sangat membantu Berikutnya, untuk mengantisipasi kritikan yang
mengurangi sengketa pajak karena mengabaikan mengatakan bahwa PPh final mendorong perencanaan
kondisi perusahaan yang mengalami kerugian atau pajak yang agresif, setidaknya ada 2 (dua) hal yang
lebih bayar. Tentu akan ada kritik atas kebijakan ini. perlu dilakukan oleh DJP yaitu (1) Memperketat kontrol
Kritik yang rutin muncul adalah pengenaan pajak atas terhadap penggunaan e-faktur dan (2) Mengawasi
omset dianggap tidak tepat karena pengenaan pajak perubahan aset pribadi wajib pajak. Semua wajib pajak
seharusnya dikenakan atas laba usaha. PPh final juga non UMKM seharusnya sudah dikukuhkan sebagai
dianggap tidak mencerminkan keadilan pajak, Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena memiliki omset di
contohnya perusahaan rugi tetapi tetap bayar pajak atas Rp. 4,8 milyar/tahun. Sebagai PKP, wajib pajak
(Subroto, 2020:364-365). PPh final tidak bisa harus menggunakan e-faktur untuk melaporkan
diterapkan dalam jangka waktu yang panjang. Namun omsetnya setiap bulan. Jika AR melakukan kontrol rutin
keunggulannya, PPh final merupakan cara cepat untuk terhadap e-faktur, maka bisa mencegah agresifitas
mengumpulkan penerimaan pajak. pajak. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh
Penulis sudah mempertimbangkan kelemahan dan Bawono Kristiaji, partner DDTC, bahwa kebijakan
keunggulan dari PPh final dan memiliki 3 (tiga) perpajakan pasca covid-19 di berbagai negara lebih
argumentasi. Pertama, penerapan PPh final untuk banyak berkaitan dengan sektor PPN, misalnya dalam
wajib pajak non UMKM ini hanya bersifat jangka bentuk peningkatan tarif, perluasan basis, maupun
pendek, bisa satu sampai dua tahun, sampai pembenahan sistem perpajakan (Setiawan, 2020).
perekonomian membaik dan penerimaan pajak pulih. Lebih lanjut, kenaikan atau penurunan omset pasti
Kedua, memberikan kesempatan kepada wajib pajak berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan aset
non UMKM untuk lebih berkontribusi bagi negara. Hal pemegang saham. Hal ini juga bisa dijadikan dasar
ini senada dengan yang diungkapkan oleh Sandiaga evaluasi untuk mencegah agresifitas pajak.
Uno di Jakarta bulan Juni yang lalu. Sandiaga
mengatakan bahwa pemerintah perlu mengumpulkan 4.2 Efisiensi Biaya Pengumpulan Pajak
pajak dari perusahaan besar yang selama ini telah Efisiensi biaya yang paling mungkin bisa dilakukan
menikmati keuntungan dari pasar Indonesia yang adalah dengan mengurangi pemeriksaan dan sengketa
besar. Pajak dari perusahaan besar itu kemudian pajak. Bapak Hestu Yoga Saksama, Direktur
didistribusikan dalam bentuk bantuan modal usaha Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
kepada UMKM atau dalam bentuk dana tunai kepada DJP, mengatakan bahwa wajib pajak perlu didorong
masyarakat yang terimbas langsung karena pandemi melakukan self correction sehingga tidak perlu
ini (Oktaveri, 2020). Ketiga, penulis sudah mengkaji
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

dilakukan pemeriksaan1. Disinilah peran AR sangat


dibutuhkan, untuk memberikan edukasi kepada wajib kondisi saat ini, sehingga pemerintah dapat membuat
pajak jika ada laporan SPT yang tidak akurat. Jika AR kebijakan yang memberikan win-win solution untuk
dapat berperan secara maksimal, jumlah pemeriksaan wajib pajak dan untuk pemulihan penerimaan pajak
dapat dikurangi, maka otomatis jumlah sengketa pajak pasca pandemi Covid-19.
juga berkurang.
Tahun depan diprediksi banyak wajib pajak yang DAFTAR PUSTAKA
melaporkan SPT rugi atau bahkan lebih bayar karena Budi, Prianto. (2017). Buku Pintar Pajak. Jakarta: PT
penurunan kegiatan ekonomi selama pandemi covid- Pratama Indomitra Konsultan.
19 akan berdampak pada penurunan omset dan laba Cheisviyanny, Charoline. (2012). Tinjauan atas Pajak
perusahaan. SPT rugi dan SPT lebih bayar merupakan Penghasilan (PPh) 25 bagi Pelaku Bisnis dan
objek pemeriksan pajak. Sementara di sisi lain, negara Implikasinya terhada Pemeriksaan Pajak
membutuhkan penerimaan pajak. Hal ini sangat Penghasilan. Prosiding pada Seminar Nasional
berpotensi menimbulkan sengketa pajak yang juga Manajemen Bisnis di Indonesia (SNMBI), 01
berpengaruh terhadap tingginya biaya pengumpulan November 2012, hal 475-492, ISBN : 978-602-
pajak. Penerapan PPh final seperti yang disarankan 18867-1-7
penulis sebelumnya bisa mengurangi jumlah Cheisviyanny, Charoline. (2020). Mengurangi Biaya
pemeriksaan dan sengketa pajak. Pengumpulan Pajak. www.news.ddtc.co.id.
Data 2019 memperlihatkan tren sengketa pajak Djumena, Erlangga. (2020). Mulai 2021, Pemerintah
yang terus mengalami kenaikan sejak tahun 2017. Pada Buru Wajib Pajak Badan dengan Kriteria Ini.
tahun 2017 ada 5.553 berkas sengketa pajak lalu naik Diakses melalui
menjadi 7.813 berkas di tahun 2018 dan naik lagi https://money.kompas.com/read/2020/05/18
menjadi 12.882 berkas di tahun 2019. Berkas tahun /040400526/mulai-2021-pemerintah-buru-
2019 merupakan yang tertinggi sejak lima tahun wajib-pajak-badan-dengan-kriteria-ini tanggal
terakhir1. Bisa dibayangkan berapa banyak biaya yang 18 Juni 2020.
harus dikeluarkan untuk menangani sengketa pajak ini. Fitriani, Feni Freycinetia. (2020). Parah! Pertumbuhan
Sementara tingkat kemenangan DJP di pengadilan Ekonomi Indonesia Hanya 2,9 Persen Kuartal
pajak hanya 40%. Salah satu penyebabnya karena I/2020. Diakses
kualitas koreksi pemeriksaan yang masih banyak melalui
menyalahi aturan sehingga melemahkan posisi DJP1. https://ekonomi.bisnis.com/read/20200505/9
Artinya, pengetahuan pajak bagian pemeriksa juga /1236510 /parah-pertumbuhan-ekonomi-
perlu ditingkatkan. indonesia-hanya-29-persen-kuartal-i2020
Jadi, untuk memulihkan penerimaan pajak pasca tanggal 18 Juni 2020.
pandemi ini, AR harus lebih maksimal dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak (Kep-DJP) Nomor
mengontrol e-faktur, melakukan penelitian (analisis) KEP-75/PJ/2020 tentang Penetapan
terhadap laporan keuangan wajib pajak, pengawasan Perubahan Tugas dan Fungsi Kantor Pelayanan
terhadap rekening koran/bank, dan pengawasan Pajak Pratama.
terhadap aset pribadi wajib pajak. Sedangkan efisiensi Kristiaji, B. Bawono dan Awwaliatul Mukarromah.
biaya pemeriksaan dan sengketa pajak dapat (2020). Meninjau Konsep dan Relevansi PPh
dialokasikan untuk pelatihan AR/bagian pemeriksaan, Final di Indonesia. DDTC Working Paper 2220.
program ekstensifikasi, dan pengawasan berbasis Oktaveri, John Andhi. (2020). Saran Sandiaga Uno
kewilayahan. untuk Pemerintah: Kumpulkan Pajak dari
Perusahaan Besar dan Bantu UMKM. Diakses
melalui
5. KESIMPULAN DAN SARAN https://ekonomi.bisnis.com/read/20200617/9
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
/1253977/saran-sandiaga-uno-untuk-
pemulihan penerimaan pajak pasca covid-19 dapat
pemerintah-kumpulkan-pajak-dari-
dilakukan melalui: (1) Pengoptimalan mekanisme WHT,
perusahaan-besar-dan-bantu-umkm- tanggal
(2) Pengenaan PPh Final kepada wajib pajak non
18 Juni 2020.
UMKM, dan (3) Efisiensi biaya pengumpulan pajak.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
Usulan ini tentu perlu dikaji lebih dalam karena akan
199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan
berdampak cukup signifikan terhadap praktik
Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor
perpajakan.
Barang Kiriman.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara
Hasil penelitian ini akan memberikan implikasi Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok
terhadap kebijakan dan praktik perpajakan di Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan
Indonesia. Keterbatasan pengetahuan dan literatur Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan
yang penulis pahami menyebabkan tulisan ini masih dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan
memerlukan kajian yang lebih dalam. Paling tidak, Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah.
tulisan ini dapat memberikan early warning tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018
1 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
www.news.ddtc.co.id
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto


Tertentu.
Resmi, Siti. (2017). Perpajakan: Teori dan Kasus. Buku
1. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.
Setiawan, Sakina Rakhma Diah. (2020). Pandemi Covid-
19, Bagaimana Sektor Perpajakan? Diakses
melalui
https://money.kompas.com/read/2020/05/18
/223948426/pandemi-covid-19-bagaimana-
sektor-perpajakan?page=all tanggal 18 Juni
2020.
Siregar, Boyke P. (2020). Kekurangan Penerimaan
Pajak Hingga Akhir Tahun Hampir Rp. 388 T.
Diakses

melalui
https://www.wartaekonomi.co.id/read287037
/kekurangan-penerimaan-pajak-hingga-akhir-
tahun-hampir-rp388-triliun tanggal 18 Juni
2020.
Subroto, Gatot. (2020). Pajak dan Pendanaan
Peradaban Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Surat Edaran Nomor SE-07/PJ/2020 tentang Kebijakan
Pengawasan dan Pemeriksaan Wajib Pajak
dalam Rangka Perluasan Basis Pajak.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pajak
Penghasilan.
www.news.ddtc.co.id
MEMULIHKAN PENERIMAAN PAJAK PASCA Jurnal Pajak Indonesia Vol.4, No.1, (2020), Hal.21-
PANDEMI COVID-19
Charoline Cheisviyanny Halaman

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai