Anda di halaman 1dari 6

A.

PENDAHULUAN

Pada tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-l9). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) membawa risiko bagi
kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban jiwa bagi yang terinfeksi di
berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia. Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi
besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi
hanya 1,5 % (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Perkembangan
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas
perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung
kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas
ekonomi.
Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 baik sisi
Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN
Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya.
Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran
2020 dari sisi Pendapatan Negara.
Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja
untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha.
Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 terutama
sisi Pembiayaan.
Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) telah berdampak pula
terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan
penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makro-
ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah maupun
koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang selanjutnya disebut
KSSK, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan
tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan
dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya
penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-
langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan
dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan
lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka
penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan,
jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh
karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang
kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan
langkah-langkah dimaksud.
Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di
atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain:
a. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
c. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup
lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kegentingan yang memaksa, sesuai
dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Berdasarkan norma konstitusional di atas, maka ketika Presiden merasa terdapat suatu
kejadian yang dianggap genting dan harus ditangani dengan segera, maka berdasarkan
subjektifitasnya Presiden dapat menetapkan Perppu. Namun, pada persidangan DPR
berikutnya, Perppu tersebut harus disidangkan untuk disetujui atau ditolak. Adapun
kegentingan yang mendorong Pemerintah menetapkan Perppu stabilitas keuangan ini tentu
karena pandemi yang tidak pernah diduga sebelumnya telah menginfeksi seluruh provinsi di
Indonesia. Maka, sangatlah rasional pemerintah mempertimbangkan bahwa pandemi yang
menyebabkan darurat kesehatan masyarakat ini, juga telah melumpuhkan kegiatan dunia
usaha dan berdampak pula terhadap penurunan penerimaan negara serta peningkatan
pengeluaran untuk kebutuhan belanja negara yang pada intinya menghambat pertumbuhan
ekonomi nasional.
Guna memulihkan kondisi ekonomi yang menurun akibat pandemi Corona, Negara
memerlukan anggaran tambahan yang belum dianggarkan dalam APBN 2020. Tentu saja
karena virus dengan sebutan Covid-19 ini tidak pernah disangka akan melanda Indonesia
pada tahun anggaran 2020. Adanya kebutuhan akan anggaran tambahan ini dianggap sebagai
keadaan yang mendesak untuk melakukan realokasi dan refocusing anggaran pada APBN
tahun anggaran 2020. Dengan begitu pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun
2020.
Sorotan masyarakat terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak terlepas dari
keberadaan pasal 27. Pasal ini menjadi kontroversial karena mengatur tiga hal pokok yang
dianggap bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Pertama, mengenai ketentuan
kerugian negara. Kedua, KSSK tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketiga,
tindakan/keputusan berdasarkan Perppu tersebut bukan merupakan objek Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Keseluruhan dari ketentuan tersebut dianggap bersifat memberikan memberikan
'imunitas sempurna' untuk pejabat-pejabat yang oleh Perppu ini diberikan kewenangan
melakukan tindakan atau keputusan. Kedua ketentuan tersebut juga menutup hak warga
negara 'memperkarakan' negara. Dengan keberadaan hak imunitas hukum oleh pejabat
negara dalam ini anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat
atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta
Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya mendapatkan penentangan yang sangat
keras dihadapan prinsip equality before the law. Dikaitkan disini bahwa perlu
pembahasan yang sangat serius terhadap dasar berlakunya Perppu No. 1 Tahun 2020 ini,
terutama terhadap ketentuan ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana negara dan
pemerintah ataupun pejabat tinggi negara sebagai pelaksananya memiliki tanggung jawab
terhadap setiap perbuatannya didepan hukum. Dengan begitu penulis mengaitkan perbuatan
yang termasuk dalam ketentuan pidana pada Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 ini, dengan
konsep-konsep dan teori-teori tanggung jawab hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan maka rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab pidana negara dan pemerintah selaku pelaksana dalam
Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 terkait Pengelolaan Keuangan Negara dalam
PenangananPandemi Corona Virus Disease 2019?

C. PEMBAHASAN
 Analisis Ketentuan Pidana dalam Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020
Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 merupakan ketentuan penutup yang menyatakan
terkait peetanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan keuangan oleh Pemerintah dan
KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) beserta lembaga keuangan lainnya. Pasal
27 Perppu No. 1 Tahun 2020 memiliki 3 (tiga) ayat, dimana antara pasal yang satu
dengan yang lain memiliki kesinambungan. Berikut adalah isi dari ayat-ayat tersebut.1
1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan
di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang
keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem
keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari
biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan
merupakan kerugian negara.
2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat
atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang
berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika
dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

1
Pasal 27 Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 merupakan Ketentuan Penutup yang
menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2011 ketentuan penutup tersebut mengatur tentang pemberian
kewenangan organ atau kelengkapan dan Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif).
3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan
yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Ketentuan tersebut menjadikan adanya permasalahan terutama terdapat frasa


yang menyebabkan imunitas terhadap para pejabat negara, bukan hanya pejabat
negara akan tetapi pelaksana pengelola keuangan negara. Ketentuan tersebut rawan
akan adanya tindakan-tindakan penyelewengan yang dilindungi dalam ketentuan
tersebut. Salah satunya adalah ketentuan ayat 1 yang menyatakan bahwa seluruh
biaya yang dikeluarkan Pemerintah/ KSSK tidak dapat dikategorikan sebagai
kerugian negara namun merupakan “biaya ekonomi.” Beberapa kalangan
menganggap pengecualian tersebut untuk menghilangkan salah satu unsur esensial
dalam tindak pidana korupsi yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang
diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Pemberantasan tindak pidana korupsi
(UU Tipikor). Sehingga, pasal ini dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk
melancarkan suatu tindak pidana korupsi. Jika dilakukan analisa terhadap Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”2. Dan pasal 3
UU Tipikor yang menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara....” Maka berlandaskan pemahaman bahwa pasal 2 dan 3 UU
Tipikor telah bergeser dari delik formil ke delik materil, dapat dipahami adanya
kerugian negara yang menjadi salah satu unsur tindak pidana korupsi haruslah
merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Permasalahan dalam ketentuan berlanjut pada ayat 2 Pasal tersebut yang
menyatakan bahwa pejabat maupun pegawai segala tindakan yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan dalam rangka pemberantasan COVID-19 ini tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas
didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
2
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
undangan. Segala tindakan dalam rangka pengelolaan keuangan yang didasarkan
pada frasa “Iktikad baik” ini memiliki arti yang luas, sehingga perlu batasan yang
mengatur lebih tentang pengertian itikad baik dalam ketentuan tersebut. Itikad baik
dalam hukum perdata merupakan asas pelaksanaan dalam membuat suatu perikatan
yang bersumber dari Undang-Undang maupun Perjanjian. Immanuel Kant, seorang
ahli filsafat Jerman (1724-1820) berpendapat bahwa sesuatu itu yang secara absolut
baik, adalah keinginan baik (good will) itu sendiri. Teoritisi hukum memiliki
perbedaan pendekatan yang berbeda dalam mengalisis hukum, keadilan dan moral.
Ada yang mendukung hubungan hukum, keadilan dan moral, ada yang
memisahkannya, tergantung kepada kepercayaan dan nilai masing-masing individu.3
Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang berasal dari
ajaran bona fides dalam Hukum Romawi.4 (kalo pidana kaitkan dengan sifat
melawan hukumnya) Dalam hukum pidana dikatakan suatu tindakan (memerlukan
pembuktian) bahwa tindakan tersebut merupakan bukan tindak pidana, tetapi
merupakan tindakan yang didasari oleh itikad baik.

3
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI, Jakarta, hal. 130-133.
(selanjutnya disebut Ridwan Khairandy III).S
4
Reinhard Zimmerman and Simon Whitttaker, 2000, Good Faith in European Contract Law. Cambridge
University Press, hal. 12.

Anda mungkin juga menyukai