Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

EKONOMI DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN


MEP : 122
DOSEN PENGASUH : dr.Saiful Batubara,M,Pd

Oleh

IFZAL
19.15.067
PEMINATAN : AKK

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KESEHATAMASYARAKAT


INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA
DELITUA
2020
JAWAB

1.Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


untuk kebijakan keuangan dan stabilitas keuangan terhadap pageblug virus
corona. Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, sejumlah kebijakan
diambil seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun
2020 untuk penanganan Covid-19. Untuk keperluan tersebut, pemerintah
mengucurkan anggaran sebesar Rp450,1 triliun yang selanjutnya akan
diperuntukkan kepada sejumlah bidang penanganan mulai dari sisi kesehatan
hingga dampak ekonomi yang ditimbulkannya.

Besaran belanja wajib yang dapat disesuaikan oleh Pemerintah dalam Perppu 1
tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau
dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan antara lain:

a. Anggaran kesehatan sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan


dan belanja negara di luar gaji, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
b. Anggaran untuk desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sebesar 10% (sepuluh persen) dari dan di luar dana
Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa; dan
c. Besaran Dana Alokasi Umum terhadap Pendapatan Dalam Negeri Bersih
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spendingl sebagaimana dimaksud


dalam pasal 2 ayat (1) huruf b Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ini
tidak dilakukan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 2O% (dua
puluh persen) dalam tahun berjalan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Terhadap daerah yang dilanda maupun yang belum dilanda pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dapat menggunakan sebagian atau seluruh belanja
infrastruktur sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Dana Transfer Umum
(DTU) untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), baik
untuk sektor kesehatan maupun untuk jaring pengaman sosial (social safety net)
dalam bentuk penyediaan logistik beserta pendistribusiannya dan/atau belanja lain
yang bersifat mendesak yang ditetapkan Pemerintah.

Presiden Joko Widodo menandaskan, “Saya mengharapkan dukungan dari DPR


RI. Perppu yang baru saja saya tanda tangani ini akan segera diundangkan dan
dilaksanakan. Dalam waktu yang secepat-cepatnya, kami akan menyampaikan
kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang (UU),”.
Artinya Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ini akan menjadi
Undang-Undang.

Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo.

Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly.

Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87.

Penjelasan Atas Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485.
Agar setiap orang mengetahuinya.

Pertimbangan dalam Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara


dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
adalah:

a. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang


dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan
telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin
besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan
kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah
berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi
nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara
dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk
melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan
fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety
net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan
masyarakat yang terdampak;
c. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah
berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang
ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik
sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward
looking) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera
mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka
penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan
melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan
melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring
pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta
memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan;
e. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan
hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil
kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
danlatau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan;

Dasar Hukum

Dasar hukum Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan


peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat


dalam persidangan yang berikut.

Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Pasal 22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam


Satu Naskah

Penjelasan Umum Perppu 1 tahun 2020

Penjelasan Atas Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Pada tahun 2O2O ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban
jiwa bagi yang terinfeksi di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga secara nyata telah
mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian
sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan
ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya
1,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu.

Perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi


mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa
penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai
4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan
seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas
ekonomi.

Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam


postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020
baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan.
Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya
aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak
berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan
Negara.

Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi


risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa
peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan
menjaga aktivitas usaha. Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi
APBN Tahun Anggaran 2020 terutama sisi Pembiayaan.

Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak pula
terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan
dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah
penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada
ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi
bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam KSSK, sehingga
diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan
tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.

Penyebaran pandemi Corona Vints Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan


dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena
menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan
kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan
negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan,
yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna
mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan,
perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman
sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh
karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan
landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk
pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.

Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi


tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa
dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara
lain:

a. karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum


secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
c. kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
untuk diselesaikan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kegentingan yang memaksa, sesuai


dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.

Isi Perppu 1/2020

Berikut adalah isi Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
(bukan format asli):

JAWAB

2. masyarakat seolah bergerak sendiri dengan caranya. Mengumpulkan donasi dari


berbagai sumber, kemudian membagikannya.

Justru langkahnya tertinggal oleh kelompok, komunitas, organisasi atau pun


individu masyarakat yang merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam
meminimalisir dampak COVID-19

KAPOL.ID – Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banjar,


Ramdhani Bin Rasikun, memandang Pemkot Banjar lamban bergerak menangani
wabah Covid-19 di wilayahnya. Terutama soal kebijakan anggaran.

Menurutnya, masyarakat seolah bergerak sendiri dengan caranya. Mengumpulkan


donasi dari berbagai sumber, kemudian membagikannya.

“Justru langkahnya tertinggal oleh kelompok, komunitas, organisasi atau pun


individu masyarakat yang merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam
meminimalisir dampak COVID-19,” katanya.

Kita bisa lihat, lanjutnya, banyak relawan yang justru tidak mengandalkan
anggaran negara mereka sudah lebih dahulu turun tangan. Mulai dari membagikan
sembako, masker dan beberapa kebutuhan lainnya yang terkait dengan
penanganan wabah.

Terkait tengah dilakukannya pembahasan anggaran COVID-19 yang tengah


dilakukan Pemkot Banjar, pihaknya menyebut masyarakat harus mengetahui
sumber dan penggunaan anggaran tersebut. Perlu transparansi anggaran dalam hal
ini. Pihaknya menyayangkan pemerintah langkahnya yang kalah dari relawan
dengan menggalang dana dari para donatur.Sudah saatnya Pemkot hadir untuk
masyarakatnya. Apa perlu di imbau agar masyarakat untuk lakukan doa bersama
agar Pemkot lepas dari kemalasan in

Tentunya kekhawatiran ini akan membawa dampak psikologis bagi pejabat


daerah yang sekarang ini masih menangani  wabah COVID-19. Jangan sampai
ada ungkapan “menangani bencana tetapi akhirnya terkena bencana korupsi”.
Pemerintah sendiri untuk mengatasi kekhawatiran ini sudah mengeluarkan
berbagai regulasi, baik Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease (Covid-19), Instruksi Presiden RI No. 4 Tahun 2020 tentang
Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),
Keputusan Presiden RI No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan peraturan menteri-
menteri teknis lainnya

Seperti kita ketahui bahwa pemerintah daerah dalam mengatasi pendemi covid-
19 diminta untuk melakukan percepatan penanganan dan pencegahan covid-19
yaitu melakukan refocusing anggaran dan realokasi anggaran melalui optimalisasi
Belanja Tidak Terduga (BTT) yang diprioritaskan pada 3 hal :

1) penanganan kesehatan dan hal-hal lain terkait kesehatan;

2) penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah


masing-masing tetap hidup; dan
3) penyediaan jaring pengamanan sosial (JPS)/social safety net.

Tentunya ketiga prioritas diatas mempunyai resiko terjadinya


penyimpangan/fraud, dari pengadaan barang/jasa baik alkes, APD, rehabilitasi
ruang isolasi, sembako, penyaluran JPS sampai bantuan modal jaring pengaman
ekonomi (JPE). Dalam hal pengadaan barang/jasa di masa darurat pendemi, Ketua
LKPP dengan Surat Edaran No.3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) menegaskan bahwa didalam masa darurat covid-19, pengguna
anggaran memerintahkan kepada pejabat pembuat komitmen (PPkom) untuk
melaksanakan proses pengadaan barang/jasa dengan melalui penyedia atau
swakelola.

Penekanan dalam surat edaran ini yang ditunggu-tunggu oleh pejabat daerah
mengenai kewajaran harga, yang berpotensi menjerat mereka dengan delik tindak
pidana korupsi. Dalam surat edaran tersebut penyedia diminta menyiapkan bukti
kewajaran harga. Pertanyaannya, bagaimana kita membuktikan harga tersebut
wajar atau tidak? Bagaimana dengan penyedia yang nakal, curang yang sengaja
mempermainkan harga sehingga berindikasi markup? Belum lagi mekanisme
pembayaran yang bisa saja dengan dalih “darurat” penyedia butuh pembayaran
lunas sebelum barang diterima? Banyak sekali resiko fraud/curang yang perlu
diwaspadai di tengah kondisi darurat semacam ini. Berbicara fraud, biasanya
dipicu oleh penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan (abuse of power) yang
dilakukan oleh pejabat yang memiliki posisi yang tinggi dan strategis yang
dimulai pada saat penyusunan anggaran yang menguntungkan pihak tertentu atau
setidaknya membuka celah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan pihak tertentu (Tedi Rustandi, 2017). KPK (2017)
mengemukakan tiga sektor strategis yang dikenal sangat rawan korupsi, yaitu
pendidikan, kesehatan, dan perijinan. World Bank (2016) memberikan contoh
skema korupsi pada pengadaan barang yaitu :

1) Permintaan pembayaran, dimana seorang pejabat pemerintah menuntut suap


(bribe) atau pembayaran kembali (kickback) dari perusahaan atau individu, atau
perusahaan atau individu menawarkan suap dengan imbalan memenangkan
kontrak. Dalam kebanyakan kasus, pejabat yang korup akan mengijinkan
pembayar suap untuk menaikan harga guna menutup biaya suap atau
mempertahankan keuntungan.

2) Untuk memastikan bahwa kontrak akan diberikan kepada pemberi suap, pejabat
pemerintah memanipulasi proses penawaran (bid-rigging) untuk menyingkirkan
pesaing.

3) Untuk mendapatkan kembali biaya suap (mempertahankan keuntungan), dan


untuk memanfaatkan hubungan yang korup, perusahaan (biasanya dengan
sepengetahuan dan keterlibatan pejabat pemerintah) akan menaikan harga,
melakukan penagihan untuk pekerjaan yang tidak dilakukannya, dan atau
mengganti produk standar (gagal memenuhi spesifikasi kontrak).

Dengan kata lain, pengguna anggaran ataupun pejabat pembuat komitmen


(PPkom) yang menangani pengadaan barang/jasa dalam penanganan wabah
covid-19 harus mampu mengidentifikasi resiko yang berpotensi terjadinya
fraud/curang, baik yang dilakukan oleh penyedia maupun dari internal perangkat
daerah sendiri. Karena pada dasarnya terjadinya korupsi, bukan saja sistem atau
pengawasan yang buruk, tetapi seringkali adalah niat jahat (mens rea) dan
perbuatan jahat (actus reus). Niat jahat dan perbuatan jahat ini sejalan dengan teori
penyebab korupsi yang dikemukan oleh Jack Bologna denga teori GONE, teori
Fraud Thriangle-nya Donald R Cressey, dan Teory Willingness and Opportunity.

Untuk mengatasi ketakutan dan kekhawatiran para pelaksana dalam


menangani pengadaan barang/jasa termasuk resiko penyimpangan dalam
penyaluran JPS dan JPE, sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi dengan
beberapa kebijakan terkait penanganan covid-19, pertama, pengawalan
akuntabilitas keuangan oleh BPKP kepada pemerintah pusat dan daerah, dengan
membentuk tim teknis pengawalan. Ditingkat daerah, Kepala BPKP sudah
mengeluarkan surat No. S-336/K/2020 tgl 23 maret 2020 kepada Gubernur se
Indonesia, dan tim teknis di perwakilan BPKP akan melakukan pendampingan
kepada pemda dalam hal akuntabilitas keuangan penanganan covid-19; kedua,
asistensi oleh APIP (aparat pengawasan intenal pemerintah) dalam hal ini
Inspektorat yang berorientasi pada mitigasi risiko dan pencegahan terjadinya
penyimpangan. APIP diminta melakukan asistensi kepada perangkat daerah yang
menangani pengadaan barang/jasa penanganan covid-19 dan secara periodik
melaporkan kepada irjen kemendagri sesuai  Surat Inspektur Jenderal
Kementerian Dalam Negeri Nomor 700/859/IJ  tanggal 26 Maret 2020;  ketiga,
pengamanan dan pengawalan pembangunan strategis terkait alokasi APBN dan
APBD dalam rangka penanggulangan Covid-19 oleh kejaksaan sesuai surat JAM
Intelejen No. R-TI-03/D/Dek/03/2020 tgl 30 maret 2020 dan dipertegas lagi
dengan surat JAM Intelejen No. B-563/D/Dpp/04/2020 tgl 20 April 2020. Ada
dua hal substansi pengawalan oleh kejaksaan yakni pola pengamanan dalam
bentuk koordinasi dalam hal memberikan pendapat hukum (legal opinion) dan
dukungan fungsi penyelidikan /pengamanan terkait distribusi dan penyaluran
anggaran perlindungan sosial; keempat, penguatan koordinasi antara APH dengan
APIP apabila ada laporan aduan masyarakat adanya penyimpangan penggunaan
anggaran pengendalian covid-19 agar kejaksaan mengedepankan koordinasi
dengan APIP maupun instansi terkait untuk memastikan kebenaran laporan
masyarakat. Hal ini ditegaskan juga adalam surat Irjen Kemendagri Nomor
700/859/IJ  tanggal 26 Maret 2020 bahwa APIP harus meningkatkan koordinasi
dengan Aparat Penegak Hukum dalam rangka sinergi pengawalan pelaksanaan,
penatausahaan, dan pertanggungjawaban Belanja Tidak Terduga penanganan
Covid-19.,  dan kelima, KPK telah mengeluarkan surat edaran No 8 Tahun 2020
tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam rangka
Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi, telah mengeluarkan 8 larangan dalam pengadaan barang/jasa diantaranya
tidak berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat.

Dari aspek kebijakan tentunya upaya-upaya preventif terjadinya fraud


maupun korupsi sudah dikeluarkan pemerintah sehingga pelaksana tidak usah
khawatir untuk melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan untuk
penanganan covid. Untuk mencegah terjadinya fraud maka pimpinan perangkat
daerah harus mampu mengidentifikasi resiko fraud disetiap tahapan, melakukan
mitigasi resiko, patuh terhadap regulasi yang sudah diterbitkan oleh pemerintah,
sering berkoordinasi dengan APIP dan APH, dan terakhir komitmen untuk tujuan
mulia menyelamatkan masyarakat dari dampak wabah covid-19. Apabila nanti
kita mendengar ada bencana korupsi penyimpangan anggaran penanganan covid-
19 akan menjadi sebuah pertanyaan besar kenapa masih saja terjadi. Kita
kembalikan ke niat para pelaksana apakah bertujuan mulia untuk membantu
menangani wabah ini atau justru niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus
reus) dengan memanfaatkan situasi dan kondisi darurat ini. Jika terbukti ada niat
jahat tentunya APH tidak akan main-main dalam memproses delik aduan tindak
pidana korupsi.

Anda mungkin juga menyukai