Anda di halaman 1dari 3

NAMA : LELY ANGGRAINI

NIM : 181010250109
KELAS : 06HUKP001

JUDUL : PENGATURAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI


PADA MASA PANDEMI COVID 19
IDENTIFIKASI MASALAH
Korupsi merupakan suatu tindak pidana dimana para oknum seperti pejabat maupun badan-badan
ataupun lembaga negara menyalahgunakan wewenang untuk melakukan kecurangan seperti pemalsuan,
penggelapan serta penyuapan terhadap dana yang dialokasikan pemerintah untuk kepentingan negara.
Tindak pidana korupsi memberikan dampak buruk pada negara, karena memberikan kerugian terhadap
keuangan negara yang berdampak pada melemahnya sektor-sektor perekonomian negara, sehingga
mengakibatkan tidak maksimal tercapainya tujuan negara. Pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tepatnya pada Pasal 2
Ayat (1) menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Pidana mati sempat mendapat pertentangan oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap hak seseorang untuk hidup. Namun berdasarkan konklusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 122/PUU-XIII/2015 mengenai uji materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjatuhan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana korupsi tidaklah bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak untuk hidup. Demikian juga
dimuat dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia, tepatnya pada penjelasan Pasal 9 Ayat (1)
menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati dalam keadaan tertentu tidak melanggar hak untuk hidup.
Pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa adanya kemungkinan
penjatuhan pidana mati sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberatan tersebut
diberikan apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun penjelasan dari
keadaan tertentu pada Pasal 2 Ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi:
a. Penanggulangan keadaan bahaya;
b. Bencana alam nasional;
c. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
d. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana
nonalam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional, maka Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seharusnya dapat menjadi instrumen dalam menegakkan hukum
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana yang dialokasikan untuk
penanganan Covid-19. Namun, penjelasan keadaan tertentu pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai belum cukup tegas dan jelas karena masih bersifat multi
tafsir, sehingga menimbulkan keraguan dalam penerapannya.
Selain itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk
Pandemi Covid-19. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini disahkan menjadi Undang-
Undang oleh DPR pada tanggal 15 Mei 2020 yang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Undang-Undang tersebut dibentuk dengan dalih memberikan fondasi kepada Pemerintah dalam
mengambil langkah-langkah dan keputusan besar demi kehidupan masyarakat ditengah pandemi Covid-
19 ini. Namun, terdapat kekaburan norma di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, tepatnya pada
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang merumuskan merumuskan:
1) “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka
pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan
belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan,
kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan
bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan
merupakan kerugian negara”.
2) “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin
Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika
dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan”.
3) “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada
peradilan tata usaha negara”.
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 menyatakan bahwa seluruh biaya yang
dikeluarkan oleh Komite Stabilitas Sitem Keuangan tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara
namun merupakan “biaya ekonomi”. Pengecualian tersebut dapat menghilangkan salah satu unsur
esensial dalam tindak pidana korupsi yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, Pasal ini
dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk melancarkan suatu tindak pidana korupsi.
Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa Komite Stabilitas Sitem Keuangan dan pejabat terkait tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad
baik. terdapat frasa “iktikad baik” yang menjadi tolak ukur dari pasal tersebut. Menurut Pasal 24f
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, iktikad baik adalah keputusan dan atau tindakan yang ditetapkan
dan atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Penjelasan iktikad baik sebagai tolak ukur bagi pejabat atau lembaga terkait untuk dapat dituntut
masih menimbulkan multitafsir serta keraguan dalam penerapannya.
Selain itu, Pasal 27 Ayat (3) menyatakan bahwa Pada pasal ini menyatakan bahwa segala
tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek
gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 telah menyebabkan konflik norma terhadap
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bunyi Pasal tersebut secara keseluruhan menimbulkan kesan
seolah-olah memberikan Impunitas bagi Komite Stabilitas Sitem Keuangan dan pejabat terkait
penyelenggara Bantuan Sosial yang melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana
penanggulangan Covid-19 dari jeratan pidana mati pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Konflik norma tersebut kemudian menjadi ketidak pastian hukum sehingga
Undang-Undang tersebut gagal dalam mencapai keadilan.
RUMUSAN MASALAH
Untuk melakukan penelitian skripsi diatas maka penulis merumuskannya dalam beberapa pertanyaan
berikut ini:
1. Bagaimana pengaturan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada masa
pandemi?
2. 2. Bagaimana akibat hukum dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terhadap
penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?

Anda mungkin juga menyukai