0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pidana mati terhadap pelaku korupsi selama pandemi Covid-19. Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menimbulkan konflik norma dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan memberikan impunitas bagi pelaku korupsi dana pandemi. Dokumen ini juga merumuskan masalah penelitian mengenai pengaturan pidana mati selama pandemi dan akibat hukum Und
Deskripsi Asli:
Judul Asli
LELY ANGGRAINI_IDENTIFIKASI MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pidana mati terhadap pelaku korupsi selama pandemi Covid-19. Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menimbulkan konflik norma dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan memberikan impunitas bagi pelaku korupsi dana pandemi. Dokumen ini juga merumuskan masalah penelitian mengenai pengaturan pidana mati selama pandemi dan akibat hukum Und
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pidana mati terhadap pelaku korupsi selama pandemi Covid-19. Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menimbulkan konflik norma dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan memberikan impunitas bagi pelaku korupsi dana pandemi. Dokumen ini juga merumuskan masalah penelitian mengenai pengaturan pidana mati selama pandemi dan akibat hukum Und
JUDUL : PENGATURAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA MASA PANDEMI COVID 19 IDENTIFIKASI MASALAH Korupsi merupakan suatu tindak pidana dimana para oknum seperti pejabat maupun badan-badan ataupun lembaga negara menyalahgunakan wewenang untuk melakukan kecurangan seperti pemalsuan, penggelapan serta penyuapan terhadap dana yang dialokasikan pemerintah untuk kepentingan negara. Tindak pidana korupsi memberikan dampak buruk pada negara, karena memberikan kerugian terhadap keuangan negara yang berdampak pada melemahnya sektor-sektor perekonomian negara, sehingga mengakibatkan tidak maksimal tercapainya tujuan negara. Pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tepatnya pada Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pidana mati sempat mendapat pertentangan oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak seseorang untuk hidup. Namun berdasarkan konklusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 122/PUU-XIII/2015 mengenai uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidaklah bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak untuk hidup. Demikian juga dimuat dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia, tepatnya pada penjelasan Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati dalam keadaan tertentu tidak melanggar hak untuk hidup. Pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa adanya kemungkinan penjatuhan pidana mati sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberatan tersebut diberikan apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun penjelasan dari keadaan tertentu pada Pasal 2 Ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi: a. Penanggulangan keadaan bahaya; b. Bencana alam nasional; c. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas; d. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana nonalam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional, maka Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seharusnya dapat menjadi instrumen dalam menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19. Namun, penjelasan keadaan tertentu pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai belum cukup tegas dan jelas karena masih bersifat multi tafsir, sehingga menimbulkan keraguan dalam penerapannya. Selain itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Pandemi Covid-19. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini disahkan menjadi Undang- Undang oleh DPR pada tanggal 15 Mei 2020 yang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Undang-Undang tersebut dibentuk dengan dalih memberikan fondasi kepada Pemerintah dalam mengambil langkah-langkah dan keputusan besar demi kehidupan masyarakat ditengah pandemi Covid- 19 ini. Namun, terdapat kekaburan norma di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, tepatnya pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang merumuskan merumuskan: 1) “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. 2) “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. 3) “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”. Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 menyatakan bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Komite Stabilitas Sitem Keuangan tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara namun merupakan “biaya ekonomi”. Pengecualian tersebut dapat menghilangkan salah satu unsur esensial dalam tindak pidana korupsi yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, Pasal ini dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk melancarkan suatu tindak pidana korupsi. Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa Komite Stabilitas Sitem Keuangan dan pejabat terkait tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik. terdapat frasa “iktikad baik” yang menjadi tolak ukur dari pasal tersebut. Menurut Pasal 24f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, iktikad baik adalah keputusan dan atau tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penjelasan iktikad baik sebagai tolak ukur bagi pejabat atau lembaga terkait untuk dapat dituntut masih menimbulkan multitafsir serta keraguan dalam penerapannya. Selain itu, Pasal 27 Ayat (3) menyatakan bahwa Pada pasal ini menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 telah menyebabkan konflik norma terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bunyi Pasal tersebut secara keseluruhan menimbulkan kesan seolah-olah memberikan Impunitas bagi Komite Stabilitas Sitem Keuangan dan pejabat terkait penyelenggara Bantuan Sosial yang melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana penanggulangan Covid-19 dari jeratan pidana mati pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Konflik norma tersebut kemudian menjadi ketidak pastian hukum sehingga Undang-Undang tersebut gagal dalam mencapai keadilan. RUMUSAN MASALAH Untuk melakukan penelitian skripsi diatas maka penulis merumuskannya dalam beberapa pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana pengaturan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada masa pandemi? 2. 2. Bagaimana akibat hukum dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?