Anda di halaman 1dari 35

Delik korupsi dalam

rumusan undang
undang
Kelompok 7
Dosen pengampu : Agustina, S.H., M.H
Latar belakang delik
korupsi dalam
perundang undangan
korupsi
>>>
01
Delik korupsi yang
dirumuskan oleh
pembuatan undang-
undang
Delik korupsi yang dirumuskan oleh
pembuat undang-undang adalah delik-delik
yang memang dibuat dan dirumuskan secara
khusus sebagai delik korupsi oleh para
pembuat undang-undang.
02
Delik korupsi yang
diambil dari KUHP

Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari


KUHP. Yang dimaksud dengan delik korupsi
yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah
delik-delik yang diambil dari KUHP yang
diadopsi menjadi delik korupsi sehingga delik
tersebut di dalam KUHP menjadi tidak berlaku
lagi.
Dengan demikian sebagai konsekuensi diambilnya delik tersebut dari KUHP adalah ketentuan delik
tersebut di dalam KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain, apabila perbuatan
seseorang memenuhi rumusan delik itu maka kepadanya akan diancamkan delik korupsi sebagaimana
diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan lagi sebagaimana delik
itu di dalam KUHP. Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undangundang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara lebih terinci penarikan delik korupsi secara mutlak dari KUHP adalah sebagai berikut:

<<<>>>
<<<>>>
Sejarah perundang-
Undangan korupsi di
indonesia

>>>
01
Delik korupsi
dalam KUHP

>>>
KUHP merupakan suatu sistem dimana segala Pasal serta
bab yang ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Sehingga
ditarik 19 buah Pasal untuk dimasukkan dalam sistem yang
lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi yang masuk dalam delik
jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP,
sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik
jabatan seperti Pasal 210 (orang yang menyuap pegawai
negeri atau lazim disebut activeomkoping), berada dalam bab
lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP. 68 Perincian
delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut
dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan
biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran
sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
02 PERATURAN
PEMBERANTASAN
KORUPSI PENGUASA
PERANG PUSAT
(ANGKATAN DARAT
DAN LAUT)

>>>
Penting untuk diketahui dari peraturan perundangan-undangan
tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai
istilah-istilah korupsi sebagai istillah hukum dan member batasan
pengertian korupsi sebagai berikut:
“perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara”.
Kemudian peraturan penguasa militer ini digantikan dengan
Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor: Prt/
Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16
April 1958. Bagian yang menarik dari peraturan penguasa perang pusat
(AD/AL) tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada
bagian 1 Pasal 1 yang juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa
perbuatan korupsi terdiri atas:
a.Perbuatan korupsi pidana
b.Perbuatan korupsi lainnya (Pasal1)
03 Undang-undang No. 24
(PRP) Tahun 1960
Tentang Pemberantas
Tindak Pidana Korupsi

>>>
Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 ini pada
awalnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang yang kemudian disahkan menjadi
undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan semua
Undang-undang darurat dan semua peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang sudah ada
sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-
undang.
04 Undang-undang No. 3
Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

>>>
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dirumuskan
sebagai berikut:
1) Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan
perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan atau perekonomian Negara;
2) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara;
3) Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415,
416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;
4) Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud pada Pasal 2
dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau
oleh sipemberi hadiah atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini;
5) Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah menerima
pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;
6) Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut
dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini. Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
05 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

>>>
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 tahun 2001 Pasal 12c Ayat 2 dan UU Nomor 30 tahun 2002, Pasal 16
menyebutkan, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara
sebagai berikut : Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaanya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir
sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan
dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
Undang-Undang Nomor
06 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

>>>
Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya
kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman
penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana
korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium"
dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
07 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

>>>
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara;

2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar


rupiah).

.
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:

1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;

2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;

3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);

4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi
telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara
lain:
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang
asas pembuktian terbalik
08 Undang-Undang No. 7
Tahun 2006 tentang
Pengesahan United
Nation Convention
Against Corruption
(UNCAC) 2003

>>>
Pokok-pokok yang maendorong lahirnya KONVENSI

Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-


Bangsa diawali sejak tahun
2000 di mana Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa dala sidangnya ke-55 melalui
Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember
2000 memandang perlu dirumuskannya
instrumen hukum internasional antikorupsi
secara global.
ARTI PENTING KONVENSI BAGI INDONESIA

Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:

- untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan
mengembalikan aset-aset hasiltindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

- meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;

- meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik,
penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

- mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup
bilateral, regional, dan multilateral; dan

- harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
POKOK-POKOK ISI KONVENSI

Lingkup Konvensi pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan)
bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut:

- Bab I : Ketentuan Umum, memuat Pernyataan Tujuan; Penggunaan Istilah-istilah;


Ruang lingkup Pemberlakuan; dan Perlindungan Kedaulatan.

- Bab II : Tindakan-tindakan Pencegahan, memuat Kebijakan dan Praktek


Pencegahan Korupsi; Badan atau Badan-badan Pencegahan Korupsi; Sektor
Publik; Aturan Perilaku Bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan
Pengelolaan Keuangan Publik; Pelaporan Publik; Tindakan-tindakan yang
Berhubungan dengan Jasa-jasa Peradilan dan Penuntutan; Sektor Swasta;
Partisipasi Masyarakat; dan Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucian
Uang.
POKOK-POKOK ISI KONVENSI
Bab III : Kriminalitas dan Penegakan Hukum, memuat Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Nasional,
Penyuapan Pejabatpejabat Publik Asing dan Pejabat-pejabat OrganisasiOrganisasi Internasional
Publik; Penggelapan, Penyalahgunaan atau Penyimpangan lain Kekayaan oleh Pejabat Publik;
Memperdagangkan Pengaruh; Penyalahgunaan Fungsi; Memperkaya Diri Secara Tidak Sah;
Penyuapan di Sektor Swasta; Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta; Pencucian Hasil-Hasil
Kejahatan Penyembunyian; Penghalangan Jalannya Proses Pengadilan; Tanggung Jawab Badan-
badan Hukum; Keikutsertaan dan Percobaan; Pengetahuan, Maksud dan Tujuan Sebagai Unsur
Kejahatan; Aturan Pembatasan; Penuntutan dan Pengadilan, dan Saksi-saksi; Pembekuan, Penyitaan
dan Perampasan; Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban; Perlindungan bagi Orang-orang yang
Melaporkan; Akibat-akibat Tindakan Korupsi; Kompensasi atas Kerugian; Badan-badan Berwenang
Khusus; Kerja Sama dengan Badan-badan Penegak Hukum; Kerja Sama antar Badan-badan
Berwenang Nasional; Kerja Sama antara Badan-badan Berwenang Nasional dan Sektor Swasta;
Kerahasian Bank; Catatan Kejahatan; dan Yurisdiksi.
POKOK-POKOK ISI KONVENSI

BAB V : Pengembalian Aset, memuat Pencegahan dan Deteksi Transfer Hasil-hasil Kejahatan;
Tindakan-tindakan untuk Pengembalian Langsung atas Kekayaan; Mekanisme untuk
Pengembalian Kekayaan melalui Kerja Sama Internasional dalam Perampasan; Kerja
Sama Internasional untuk Tujuan Perampasan; Kerja Sama Khusus; Pengembalian dan
Penyerahan Aset; Unit Intelejen Keuangan; dan Perjanjian-perjanjian dan Pengaturan-
pengaturan Bilateral dan Multilateral
BAB VI : Bantuan Teknis dan Pertukaran Informasi, memuat Pelatihan dan Bantuan Teknis;
Pengumpulan, Pertukaran, dan Analisis Informasi tentang Korupsi; dan Tindakantindakan
lain; Pelaksanaan Konvensi melalui Pembangunan Ekonomi dan Bantuan Teknis.
- BAB VII : Mekanisme-mekanisme Pelaksanaan, memuat Konferensi
Negara-negara Pihak pada Konvensi; dan Sekretariat
POKOK-POKOK ISI KONVENSI

BAB VIII : Ketentuan-ketentuan Akhir, memuat Pelaksanaan Konvensi;


Penyelesaian Sengketa; Penandatanganan, Pengesahan, Penerimaan,
Persetujuan, dan Aksesi; Pemberlakuan; Amandemen; Penarikan
Diri; Penyimpanan dan Bahasa-bahasa.
Thanks
Mirnawati C20122182
Lela Kurnia C20122184
Gabrella Fredricka Natsir C20122187
Nur Hidayanti C20122181
Nursakinah C20122183
Eris Hizkia Balla C20122185
Muh. Rangga Saputra C20122186

DO YOU HAVE ANY QUESTIONS ???

Anda mungkin juga menyukai