Anda di halaman 1dari 48

KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT


PP. No. 43 TAHUN 2012

Lorem ipsum dolor sit Lorem ipsum dolor sit


amet amet

2017 2018 2019

Oleh : Lorem ipsum dolor sit


amet
KASAT RESMOB
AUDIE CARMY WIBISANA
KOMBES POL NRP 75060708
KOORDINASI, PENGAWASAN DAN
PEMBINAAN PENYIDIKAN
BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PP. No. 43 TAHUN 2012 DAN PERKAP 20 Tahun 2010

KOMBES POL AUDIE CARMY WIBISANA


Dasar:
1. Undang-undang Dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undamg untuk melakukan penyidikan.

Dan dipertegas lagi pada pasal 6 ayat (1) huruf b yang berbunyi
penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang
Dasar:
2. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 pasal 1 ayat (5)
Pengertian Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tentang Tata
Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan
Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil, dan bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa bahwa yang
dimaksud dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam
lingkup undang-undang yang mejadi dasar hukumnya masing-
masing.
Kewenangan dan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS)
Kewenangan pejabat penyidik ditetapkan dalam pasal 7 KUHAP (Undang-undang No. 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Kewengan tersebut antara lain;

❑ Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana,
❑ melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian, menyuruh berhenti
seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,
❑ melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
❑ melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret
seseorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan
pemeriksaan perkara,
❑ mengadakan penghentian penyidikan dan mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.dari redaksi pasal 7 ayat (1) ditas adalah kewenangan yang
diatur dalam pasal tersebut adalah kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud
pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, yaitu POLRI,

Sedangkan kewenangan penyidik sebagaimana yang dinaksud pasal 6 ayat (1)


huruf Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menurut ketentuan pasal 7 ayat (2)
diatur dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing
yang dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi penyidik Polri.
Kriteria Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
Pengertian tindak pidana korupsi (Tipikor)
Secara bahasa korupsi berasal dari kata Belanda yaitu corruption (korruptie)
yang artinya kebusukan, keburukan, kebejatan ketidak jujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikutib oleh Andi Hamzah yang
disimpulkan oleh Poerdarwminta dalam kamus bahasa Indonesia:
Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang suap dan sebagainya. Dan bila ditinjau secara yuridis korupsi adalah
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dan atau setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain suatu korporasi,
menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
2. Dasar hukum pelanggaran tindak pidana korupsi (Tipikor)
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (wetboek van strafrecht) 1 Januari 1918, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (wetboek van strafrecht ) sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan
diundangkan dalam staatblad 1915 Nomor 752, tanggal 15 Okotober.

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(KUHP) diatur dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425,dan 435, yang telah diadopsi oleh Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 dan diharmonisasikan dalam pasal-pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
dan 13, yang selanjutnya juga diadopsi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 dan diharmonisasikan dalam pasal-pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 A, 12
B, dan 23.
2. Dasar hukum pelanggaran tindak pidana korupsi (Tipikor)
b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
mencakup perbutan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara langsung ataupun
tidak langsung dapat merugikan negara dan perekonoian negara.

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat di dalam Bab I
tentang Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut: 15 1)

Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:


a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau
diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
b) Barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;

c) Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209,


210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 Kuhap.

d) Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan sesuatu kewenangan
yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;

e) Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-sin
gkatnya setelah memnerima pemberian atau janji yang diberikan kepada
seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak
melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib
3. Macam-macam tindak pidana korupsi (Tipikor) Merujuk pada UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Ruang lingkup Tipikor dapat dikelompokan kedalam beberapa
rumusan delik sebagai berikut;
a. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dapat
merugikan keuangan negara/perekonomian negara (pasal 2 dan 3 UU
No. 31 Tahun 1999)
b. Kelompok delik/ Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal
Penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima
suap) (pasal 5, 6, 11, 12, dan 12 B UU No. 20 Tahun 2001)
c. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal
Penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun 2010)
d. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal
Pemerasan dalam jabatan (pasal 12 E dan f UU No. 20 Tahun 2001)
e. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berkaitan
dengan perbuatan curang (pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001
f. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi dalam hal pengadaan (pasal 12 huruf I UU No. 20
Tahun 2001).17
g. Gratifikasi (pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001) Selain definisi tindak pidana yang telah
dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III Undang –
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
diatas:
❑ Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21)
❑ Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (pasal 22 jo. pasal
28)
❑ Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (pasal 22 jo. Pasal 29)
❑ Saksi atau saksi ahli yang memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22
jo. pasal 35)
❑ Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan palsu (pasal 22 jo. pasal 36)
❑ Saksi yang membuka identitas pelapor (pasal 24 jo. pasal 31)
4. Sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor)
Pidana mati;
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan pasal 2 ayat
(2) Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam
keadan tertentu.
Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana terebut dilakukan pada waktu negara dalam keadan
bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu
terjadi bencana alam nasional, sebagaimana pengulangan tindak
pidana korupsi, atau pada saat negara dalam kedaan krisis
ekonomi (moneter)
4. Sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi
(Tipikor)
Pidana penjara.
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugukan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Pidana tambahan
1) Perampsan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang yang tidak bergeraj yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pdana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama


dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 tahun.

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan


seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana
GUGATAN PERDATA KEPADA AHLI WARISNYA
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakuakn pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penuntut umum segera menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang pengadilan tersebut kepada
jaksa pengacara negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan kepada
ahli warisnya
Kriteria Alat Bukti Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada dasarnya
dilakukan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku,
yakni Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo.
Undang-undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi20, dan Undang undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1. Keterangan saksi (pasal 1 angka 27 Kuhap)
2. Keterangan Ahli (Bab I tentang ketentuan umum Kuhap, pasal 1 angka
28)
3. Surat (pasal 184 ayat (1) huruf c )
4. Petunjuk (pasal 188 ayat (1) Kuhap )
5. Keterangan terdakwa (pasal 189 ayat (1) Kuhap, pasal 189 ayat (3) dan
ayat (4) Kuhap)
Selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa, khusus perkara
tipikor juga dapat diperoleh dari:
1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; tetapi
tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, telegram,
teleks, dan faksimili;
2) 2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, dan tanda, angka, atau proforasi yang
mempunyai makna.
Pembuktian dalam Kasus Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor)

Sistem pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)


selain berdasarkan kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana juga berdasarkan kepada hukum
pidana formil sebagai mana diatur didalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

1.Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik


terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang
berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan
asas praduga takbersalah dan menyalakan diri sendiri.

2. Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut


undang-undang (negatife wettelijk)

Terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 huruf
a “yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi dan pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.

b. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan


tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 huruf a “yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta) rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi dan
pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak


melakukan
tindak pidana korupsi.

b. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak


melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti
T H A N K

Y O U
BAB I
PERKAP 20 Tahun 2010

• Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat Negara
1 yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri;

• Penyidik adalah pejabat Polri yang diangkat dan diberi wewenang khusus oleh
2 undangundang untuk melakukan peyidikan;

• Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku
3 Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam
lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing;
PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
• Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
4 mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;

• Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri


5 dengan PPNS dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang
menjadi dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional;

• Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap


6 pelaksanaan penyidikan oleh PPNS untuk menjamin agar seluruh kegiatan
penyidikan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


• Pembinaan teknis yang selanjutnya disebut pembinaan
adalah proses kegiatan yang dilakukan secara berhasil guna
7 dan berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan PPNS
di bidang teknis dan taktis penyidikan;

• Bantuan Penyidikan adalah bantuan yang diberikan oleh


8 Penyidik Polri kepada PPNS berupa bantuan teknis, taktis
dan upaya paksa serta konsultasi penyidikan;

• Bantuan Teknis adalah bantuan pemeriksaan ahli dalam


9 rangka pembuktian secara ilmiah (Scientific Crime
Investigation);

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


• Bantuan Taktis adalah bantuan personel Polri dan peralatan Polri dalam
10 rangka mendukung pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh PPNS;

• Bantuan upaya paksa adalah bantuan yang diberikan oleh penyidik Polri
kepada PPNS berupa kegiatan penindakan secara hukum dalam rangka
11 penyidikan baik kepada PPNS yang memiliki kewenangan maupun yang
tidak memiliki kewenangan penindakan;

• Laporan kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh PPNS tentang adanya
suatu peristiwa pidana yang sedang dan telah terjadi, baik yang ditemukan
12 sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang;

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


• Gelar Perkara adalah kegiatan penyidik dan PPNS untuk
memaparkan perkara dan tindakan yang akan, sedang
13 dan telah dilakukan penyidikan, guna memperoleh
kesimpulan;

• Keadaan tertentu adalah keadaan luar biasa yang


14 memerlukan penanganan secarakhusus.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


PRINSIP – PRINSIP KOORDINASI (psl 2)

Kemandirian
Legalitas
Kebersamaan
Akuntabilitas
Transparansi
Efektif dan
Efisien
Kewajiban
PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
Tujuan Dari Lahirnya
Peraturan Kapolri

Sebagai pedoman bagi penyidik dalam


melaksanakan koordinasi, pengawasan
dan pembinaan penyidikan terhadap
PPNS dalam menjalankan fungsi,
peran, tugas dan tanggung jawab
penyidikan.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

TUGAS DAN WEWENANG


( PENYIDIK )

(1) Penyidik karena kewajibannya mempunyai


wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud
(3) pada
Koordinasi, ayat (1)
pengawasan danpenyidik
pembinaan bertugas melakukan
penyidikan
koordinasi,
sebagaimanapengawasan
dimaksud pada dan pembinaan
ayat (2) dilaksanakan penyidikan
oleh:
yanga. pengemban
dilakukan fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri pada tingkat
oleh PPNS.
Mabes Polri;
b. pengemban fungsi Korwas PPNS Dit Reskrim pada tingkat
Polda; dan
c. pengemban fungsi Korwas PPNS Satreskrim pada tingkat
Polrestabes/Polresmetro/Polres?/Polresta
BAB II

TUGAS DAN
WEWENANG
PPNS

PPNS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam


peraturan perundang undangan yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi, pengawasan dan
pembinaan Penyidik.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


BAB III
KOORDINASI

1. Penyidik melakukan koordinasi terhadap


pelaksanaan tugas penyidikan yang
2.dilakukan
Koordinasioleh PPNS. dilakukan sejak PPNS
memberitahukan dimulainya penyidikan
3. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk
kegiatan: kepada Penuntut Umum melalui penyidik.
a. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh PPNS;
b. memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada
PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara;
c. menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum;
d. penghentian penyidikan oleh PPNS;
e. tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang
penyidikannya dilakukan oleh PPNS;
f. rapat secara berkala; dan
g. penyidikan bersama. PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
Labfor Identifikasi

Psikologi

Bantuan Tehnis Dalam


Rangka Penyidikan

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Peralatan
yang
diperlukan

Pengerahan
Penyidik kekuatan

Bantuan Taktis
dalam Rangka
Penyidik yang
dilakukan oleh
PPNS

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Pemanggilan saksi/tersangka di
luar wilayah hukum
kewenangan PPNS dan di luar
negeri;
BANTUAN Perintah membawa
UPAYA saksi/tersangka
PAKSA
DALAM Penangkapan
RANGKA
PENYIDIKAN Penahanan
OLEH PPNS
Penggeledahan

Penyitaan

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


 BANTUAN KONSULTASI DALAM RANGKA PENYIDIKAN :

a. teknis dan taktis penyelidikan, untuk mencari dan mengumpulkan bahan


keterangan;

b. teknis dan taktis penindakan sesuai dengan kewenangan PPNS;

c. teknis pemeriksaan;

d. petunjuk administrasi penyidikan;


e. petunjuk aspek yuridis;

f. teknis penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum;

g. teknis penyerahan tersangka dan barang bukti; dan

h. teknis pembuatan statistik kriminal.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


a. Kabareskrim Polri melalui Pejabat pengemban fungsi
Korwas PPNS;

b. Dir Reskrim Polda melalui pejabat pengemban fungsi


Korwas PPNS; dan

c. Kapoltabes/Kapolresmetro/Kapolres/kapolresta melalui
Kasat Reskrim

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Tata cara Permohonan pemeriksaan labfor diajukan
secara tertulis oleh pimpinan instansi PPNS kepada
Kepala Laboratorium Forensik (Ka Labfor) melalui
pengemban fungsi Korwas setempat dengan
menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan,
dengan dilampiri:

Laporan Kejadian Laporan Kemajuan

Berita acara penemuan, penyitaan,


penyisihan, pembungkusan, dan
penyegelanbarang bukti.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Pemeriksaan identifikasi ,meliputi:
a. pemeriksaan perbandingan sidik jari
laten dengan sidik jari pembanding;
b. pembuatan sinyalemen file foto daftar
pencarian orang;
c. pembuatan foto tempat kejadian perkara,
barang bukti dan tersangka;
d. pembuatan lukisan sketsa raut wajah
pelaku kejahatan berdasarkan keterangan
saksi; dan
e. pembuatan foto rekonstruksi.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Motivasi melakukan
tindak pidana
Pemeriksaan
Psikologi,
meliputi :
Profil psikologi saksi
dan/atau tersangka

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Bantuan
penyidikan

Bantuan
lainnya
Korwas
terhadap
PPNS
Bantuan
Bantuan
upaya
peralatan
paksa

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


TATA CARA
PENGHENTIAN PENYIDIKAN

a. Sebelum PPNS menghentikan penyidikan,


dilaksanakan gelar perkara bersama penyidik;
b. Dalam hal hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa
syarat penghentian penyidikan telah terpenuhi, maka
diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan
(SP3) dan surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. PPNS mengirimkan surat pemberitahuan penghentian
penyidikan kepada:
1. penuntut umum melalui penyidik; dan
2. tersangka atau keluarga dan/atau penasehat
hukumnya.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Dalam Hal Tukar Menukar
Informasi
a. PPNS menemukan dan/atau menerima
informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang
diduga tindak pidana di luar kewenangan
PPNS, maka diteruskan kepada penyidik;

b. Penyidik menemukan dan/atau menerima


informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang
diduga tindak pidana yang juga menjadi
wewenang PPNS, maka penyidik dapat
melakukan proses penyidikan atau
meneruskan kepada
PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PENYIDIKAN BERSAMA
MANAKALA DILAKUKAN PENYIDIKAN BERSAMA, MAKA
DILAKUKAN RAPAT KOORDINASI DENGAN BAHASAN :

a. membentuk Tim Penyidik;


b. menyusun rencana penyidikan:
1. menentukan pasal yang dipersangkakan;
2. menentukan cara bertindak;
3. menentukan waktu kegiatan;
4. menentukan pelibatan personel; dan
5. menentukan sarana, prasarana dan anggaran;
c. menganalisis dan mengevaluasi kegiatan dan hasil;
d. pengendalian.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Dalam hal Pengawasan pengemban fungsi Korwas PPNS melakukan
melalui kegiatan:

a. menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang


dilaksanakan PPNS;
b. meminta dan meneliti laporan kemajuan penyidikan dari PPNS;
c. bersama PPNS meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang
dilaksanakan oleh PPNS dan meneruskan kepada Penuntut
Umum;
d. atas dasar permintaan pimpinan instansi PPNS melaksanakan
supervisi bersama ke jajaran PPNS yang bersangkutan;
e. melakukan pendataan jumlah, instansi dan wilayah penugasan
PPNS, penangananperkara oleh PPNS serta bantuan penyidikan
dari penyidik; dan
f. analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


Pendataan PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2) huruf e, dilaksanakan oleh:

a. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat


Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta, untuk
instansi PPNS di tingkat Kabupaten/Kota;

b. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polda,


untuk
instansi PPNS di tingkat Provinsi; dan

c. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri, untuk


instansi PPNS di tingkat Pusat.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 ayat (2) huruf f meliputi:

a. penanganan perkara oleh PPNS;


b. hambatan penanganan perkara oleh PPNS; dan
c. hambatan Polri dalam melaksanakan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS.

Penyidik melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap


pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan oleh PPNS
setiap 6 (enam) bulan sekali.
BAB V
PEMBINAAN

(2) Pembinaan sebagaimana


(1) Penyidik wajib dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan pembinaan dilakukan melalui:
penyidikan kepada
a. Pendidikan dan Latihan
PPNSPenyidik wajib
(Diklat) fungsi teknis
melaksanakan pembinaan
penyidikan; dan
penyidikan kepada PPNS
b. peningkatan kemampuan.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Anda mungkin juga menyukai