Anda di halaman 1dari 82

TINDAK PIDANA KORUPSI:

PENGATURAN DAN
PERKEMBANGANNYA DALAM
KUHP NASIONAL

Muhammad Iftar Aryaputra

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Semarang
Riwayat Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

KUHP: Pasal 209, 210, 387, PERPPU No. 24 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 3
388, 415, 416, 417, 418, 419, tentang Pengusutan, Tahun 1971 tentang
420, 423, 425, dan 435 KUHP Penuntutan dan Pemberantasan Tindak
(sudah tidak berlaku berdasar
Pemeriksaan Tipikor Pidana Korupsi
Pasal 43B UU 20/2001)

UU No. 31 Tahun 1999


Pasal 603-606 KUHP
sebagaimana diubah dengan
Nasional
UU No. 20 Tahun 2001
Bagian I:
Tindak Pidana
Korupsi dalam
UU PTPK
UU PTPK: UU 31/1999
sebagaimana diubah dengan UU
No. 20/2001

Ketentuan Ketentuan
hukum pidana materiil hukum pidana formil

Mengatur tentang asas, Mengatur prosedural


tindak pidana, pidana penegakan terhadap
hukum pidana materiil,
mulai: penyelidikan
sampai upaya hukum
SUBYEK HUKUM DALAM
UU PTPK

• Subyek hukum dalam UU PTPK adalah setiap orang .


• Setiap orang diartikan sebagai orang perseorangan atau
termasuk korporasi (Pasal 1 butir 3 UU No. 31 Tahun
1999);
• Korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik berbentuk
badan hukum atau bukan (Pasal 1 angka 1).
• Dalam UU PTPK, perseorangan dapat dikualifikasikan juga
sebagai “pegawai negeri” dan “penyelenggara negara”
Siapa yang dimaksud Pegawai Negeri?
Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31
Tahun 1999, pegawai negeri adalah
mereka:

SUBYEK a) Sebagaimana diatur dalam UU


Kepegawaian;
HUKUM b) Sebagaimana dimaksud KUHP (Pasal
DALAM 92 KUHP);
c) Orang yang menerima gaji atau
UU PTPK upah dari keuangan negara atau
daerah;
d) Orang yang menerima gaji atau
upah dari korporasi yang menerima
bantuan keuangan negara atau
daerah;
e) Orang yang menerima gaji atau
upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyrakat.
SUBYEK HUKUM
DALAM UU PTPK

Penyelenggara Negara :
Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 angka 1 UU
28 Tahun 1999).
Penyelenggara negara menurut UU 28/1999:
a. Pejabat negara pada lembaga tertinggi
negara;
b. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
c. Menteri;
d. Gubernur;
e. Hakim;
Penyelenggara f. Pejabat lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lain. Misal: Kepala
Negara: Perwakilan Republik Indonesia di LN sbg
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh), Wakil Gubernur, dan
Bupati/Walikotamadya;
g. Pejabat yang mempunyai fungsi strategis
dalam penyelenggaraan negara sesuai
ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Penyelenggara Negara juga meliputi Pejabat yang
mempunyai fungsi strategis dalam penyelenggaraan
negara diartikan sebagai pejabat yang tugas dan
wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan
negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yaitu:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer,
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
PEMBAGIAN TINDAK
PIDANA DALAM UU PTPK

Tindak Pidana
Tindak Pidana
yang Berhubungan
Korupsi  Pasal 2,
dg Korupsi 
3, 5-13
Pasal 21-24
• Ps 21: Sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung terhadap peradilan
tersangka/terdakwa/para saksi dalam
tipikor (Ps 21);
TINDAK • Ps 22: Tidak memberikan keterangan
PIDANA yang benar atas:
1. Harta bendanya, harta benda
YANG suami/istri, anak, setiap orang, atau
BERHUBU korporasi, terkait tipikor;
2. Gubernur BI yang tidak memberi
NGAN keterangan kepada aparat hukum
tentang keadaan keuangan
DENGAN tersangka/terdakwa;
3. Orang yang tidak mau memberikan
KORUPSI keterangan sebagai saksi atau ahli
dalam perkara tipikor, kecuali ayah,
ibu, kakek, nenek, saudara kandung,
istri atau suami, anak, dan cucu dari
terdakwa.
TINDAK
PIDANA 3. Ps 23: Melakukan delik sebagaimana
diatur dalam Pasal 220, 231, 421, 422,
YANG 429 atau 430 KUHP.
BERHUBU 4. Ps 24: Saksi yang menyebut nama atau
NGAN alamat pelapor, atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dapat
DENGAN diketahuinya identitas pelapor.
KORUPSI
TINDAK PIDANA
KORUPSI
1. Korupsi terkait kerugian negara (Pasal
2, 3)
2. Korupsi terkait suap (Pasal 5, 6, 11, 12
huruf a, b, c, d, 13)
3. Korupsi terkait penggelapan dalam
jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a, b, c)
4. Korupsi terkait pemerasan (Pasal 12
huruf e, f, g)
5. Korupsi terkait perbuatan curang (Pasal
7, 12 huruf h)
6. Korupsi terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan barang
atau jasa (Pasal 12 huruf i)
7. Korupsi terkait dengan menerima
gratifikasi (Pasal 12 B, C)
Formulasi Tindak Pidana
Korupsi dalam UU PTPK
Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum


melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Bag. Inti (bestandeel) Pasal 2 ayat (1)

• Bag. Inti delik dalam Pasal 2 ayat (1):


a. memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi,
b. dengan cara melawan hukum,
c. dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
• “setiap orang” pada dasarnya bukan merupakan
bagian dari bagian inti delik, tetapi dalam
penuntutan, “setiap orang” ikut dibuktikan oleh PU
sebagai unsur delik;
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “memperkaya diri sendiri,


orang lain atau korporasi”
• apa yang dimaksud dengan memperkaya? tidak ada
satupun undang-undang yang memberikan pengertian
memperkaya. Bahkan UU No. 31 Tahun 1999 juga
tidak memberikan definisi tentang memperkaya;
• Menurut KBBI, memperkaya diartikan dengan
menjadikan lebih kaya;
• Memperkaya yang dilarang apabila memperkaya itu
dilakukan dengan melawan hukum.
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “memperkaya diri sendiri, orang


lain atau korporasi” menurut Adami Chazawi, ada beberapa
kriteria perbuatan memperkaya yang dilarang oleh UU No.
31 Tahun 1999, yaitu:
• Pelaku/orang lain/suatu korporasi memperoleh
sejumlah kekayaan dalam bentuk materi (uang);
• Ada kerugian yang dialami negara;
• Dilakukan dengan cara tidak sah/ilegal;
• Kekayaan yang didapat dari sumber yang tidak sah tidak
seimbang/lebih banyak dari kekayaan yang didapat dari
sumber yang halal;
• Perbuatan itu dilakukan dengan menyalahgunakan
kewenangannya.
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “dengan cara melawan hukum”


• Menurut Sudarto, suatu perbuatan dikatakan melawan
hukum, apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan
undang-undang/diformulasikan dalam UU;
• Dalam teori hukum pidana, melawan hukum dapat
dibagi menjadi dua bentuk, yaitu melawan hukum
formil dan melawan hukum materiil;
• Dengan demikian, unsur melawan hukum dalam Pasal 2
ayat (1) dimaknai sebagai melawan hukum formil atau
materiil (vide penjelasan Pasal 2 ayat (1));
• Dalam perkembangannya, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
No. 31 Tahun 1999 dinyatakan inkonstitusional dan tidak
memiliki kekuatan mengikat oleh MK melalui Putusan
No. 003/PUU-IV/2006.
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “dengan cara melawan


hukum”
• Dengan demikian, pasca Putusan MK No. 003/PUU-
IV/2006, unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat
(1) harus dimaknai sebatas melawan hukum formil;
• Hal ini berarti, suatu perbuatan dianggap sebagai
korupsi apabila dirumuskan dalam UU (UU No. 31
Tahun 1999).
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “dapat merugikan keuangan negara atau


perekonomian negara”
• Kerugian negara: kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 15 UU No. 15 Tahun 2006
tentang BPK;
• Definisi yang sama tentang kerugian negara juga ditemukan
dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
• Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU PTPK: “Yang dimaksud dengan
“secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.”
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “dapat merugikan keuangan


negara atau perekonomian negara”
• Frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) mengindikasikan
bahwa Pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil
(menitikberatkan pada perbuatan);
• Dengan demikian, unsur kerugian keuangan/
perekonomian negara bisa berupa potential loss atau
actual loss;
• Dalam perkembangannya kata “dapat” dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, oleh
MK melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Catatan tentang Pasal 2 ayat (1)

Penjelasan tentang unsur “dapat merugikan keuangan


negara atau perekonomian negara”
• Pasca Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, dengan
demikian, harus ada kerugian
keuangan/perekonomian negara yang nyata (actual
loss);
• Dengan demikian Pasal 2 ayat (1) sekaligus Pasal 3
bukan lagi menjadi delik formil, namun menjadi
delik materiil (delik yang menitikberatkan pada
akibat/akibatnya harus ada).
Catatan tentang Pasal 2 ayat (2)

• Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan.
•Keadaan Tertentu (Penjelasan di UU No. 20 Th 2001):
“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter,
dan pengulangan tindak pidana korupsi (recidive)”
Catatan tentang Pasal 2 ayat (2)

Dengan demikian, menurut Pasal 2 ayat (2), pidana mati


bisa dijatuhkan dalam hal seseorang melakukan tindak
pidana korupsi yang unsur-unsurnya sebagaimana ditulis
dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan dalam keadaan sebagai
berikut:
a. Negara berada dalam keadaan bahaya;
b. Terjadi bencana alam nasional;
c. Terjadi kerusuhan sosial yang meluas;
d. Dalam penanggulangan krisis ekonomi dan moneter;
e. Pengulangan tindak pidana (recidive).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Catatan tentang Pasal 2 ayat (2)

Bag. Inti Delik Pasal 3:


a. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan (unsur obyektif);
b. Dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi (unsur
subyektif);
c. dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (unsur obyektif).
Catatan Terhadap Pasal 3

1. Mengenai masalah subyek hukumnya:


• “setiap orang” dalam Pasal 3 TIDAK BISA dimaknai korporasi;
• Hal ini dikarenakan Pasal 3 mensyaratkan subyek hukum yang
melekat padanya suatu jabatan atau kedudukan, dengan
demikian hal ini tidak bisa diterapkan untuk korporasi;
2. Mengenai masalah sanksi pidananya:
• Sanksi pidana yang diancamkan dalam Pasal 3 yaitu penjara (SU
atau maks 20 tahun min 1 tahun) dan/atau denda (min 50 juta
maks 1 M)
• Dibandingkan dengan ancaman sanksi dalam Pasal 2 ayat (1),
ancaman sanksi pidana Pasal 3 lebih ringan.
Catatan Terhadap Pasal 3

• Di sisi lain, Pasal 52 KUHP: Bilamana seorang pejabat


karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu
melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,
kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya
karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
• Dilihat dari nilai kepatutan, Pasal 3 seharusnya
dipandang lebih tercela daripada Pasal 2 ayat (1), atau
setidak-tidaknya dipandang sama tercelanya. Dengan
demikian, harusnya sanksi pidana dalam Pasal 3 lebih
berat atau setidak-tidaknya sama dengan Pasal 2 ayat (1).
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 5
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) huruf a
• Merupakan adopsi dari Pasal 209 ke-1 KUHP.
• Dikenal sebagai suap aktif.
• Subyek hukum: setiap orang (mengacu pada Pasal 1 butir 3 UU No.
31 Tahun 1999, berarti meliputi orang perorang atau korporasi).
• Ancaman sanksi pidana: pidana penjara (min. 1 (satu) tahun dan
maks. 5 (lima) tahun) dan/atau pidana denda (min. Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan maks. Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)).
• Unsur tindak pidana:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu;
b. ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara;
c. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 5 ayat (1) huruf b
• Merupakan adopsi dari Pasal 209 ke-2 KUHP.
• Dikenal sebagai suap aktif.
• Subyek hukum: setiap orang
• Ancaman sanksi pidana: pidana penjara (min. 1 (satu)
tahun dan maks. 5 (lima) tahun) dan/atau pidana denda
(min. Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan maks.
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)).
• Unsur tindak pidana:
a. memberi sesuatu;
b. ditujukan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara
c. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya
Pasal 5 ayat (2)
• Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 bukan pasal adopsi
dari KUHP, melainkan sebagai ketentuan baru yang
diformulasikan sebagai pelengkap dari suap aktif (Pasal 5
ayat (1)).
• Dikenal sebagai suap pasif.
• Subyek hukum: pegawai negeri atau penyelenggara negara.
• Ancaman sanksi pidana: pidana penjara (min. 1 (satu) tahun
dan maks. 5 (lima) tahun) dan/atau pidana denda (min. Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan maks. Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)).
• Unsur tindak pidana:
a. menerima pemberian atau janji;
b. sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a dan b.
Catatan Terhadap Pasal 5
Formulasi Pasal 5 mirip sekali dengan Pasal 12 huruf a
dan b. Menurut Adami Chazawi, perbedaannya terletak
pada:
• Pasal 5 ayat (2): tidak diperlukan bagaimana sikap
atau gambaran batin pegawai negeri/penyelenggara
negara sebelum/ketika akan menerima sesuatu.
• Pasal 12 huruf a dan b: jelas dicantumkan unsur
keadaan batin pegawai negeri/penyelenggara negara
yang menerima sesuatu, yaitu dengan kesengajaan
(mengetahui) atau alpa (patut menduga). Dengan
kata lain, bentuk delik dalam Pasal 12 huruf a dan b
adalah delik pro parte dolus pro parte culpa.
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 ayat (1) huruf a
• Subyek: setiap orang (orang perorangan atau korporasi)
• Unsur delik (delict bestandel):
a. memberi atau menjanjikan sesuatu
b. ditujukan kepada hakim;
c. dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili
• Sanksi Pidana:
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 6 ayat (1) huruf b
• Subyek: setiap orang (orang perorangan atau korporasi)
• Unsur delik (delict bestandel):
a. memberi atau menjanjikan sesuatu;
b. ditujukan kepada advokat yang menghadiri sidang
pengadilan;
c. dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
• Sanksi Pidana:
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 6 ayat (2)
• Subyek: hakim atau advokat
• Unsur delik (delict bestandel):
a. Menerima pemberian atau janji;
b. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
atau huruf b.
• Sanksi Pidana:
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Catatan Pasal 6 ayat (2)
• Pasal 6 terdiri atas 2 ayat;
• Pasal 6 ayat (1) merupakan ketentuan suap aktif, sedangkan
Pasal 6 ayat (2) merupakan ketentuan suap pasif;
• Pasal 6 ayat (1) merupakan ketentuan yang diambil dari
Pasal 210 KUHP.
• Ketentuan Pasal 6 ayat (2) mirip dengan Pasal 12 huruf c dan
d.
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan
yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku
atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
3. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
Pasal 12
4. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
5. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
6. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
Pasal 12
7. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
8. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang
berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
9. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 A

• Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak
pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
• Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan idana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).

•Catatan: Delik Korupsi (kecuali yang diatur dalam Pasal 2 dan 3)


apabila nilai kerugian di bawah 5 juta, ancaman pidananya lebih ringan
Pasal 12 B (Delik Menerima
Gratifikasi)
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 12 B

Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah


pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib
menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Catatan tentang Pasal Gratifikasi
• Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya
dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1), yaitu suatu
pemberian dalam arti luas yang meliputi:
1. Pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya;
2. Pemberian itu diterima di dalam maupun luar negeri;
3. Pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.
• Dilihat dari formulasinya, gratifikasi bukan merupakan
jenis/kualifikasi delik. Yang dijadikan delik adalah perbuatan
“menerima” gratifikasinya;
• Pasal 12 B ayat (1) hanya memuat ketentuan mengenai :
1. Batasan gratifikasi;
2. Jenis-jenis gratifikasi;
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

• Gratifikasi dianggap suap apabila :


1. Diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2. Berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
• Syarat penerima gratifikasi dapat dipidana :
1. Si penerima harus berkualifikasi sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
2. Pemberian tersebut ada hubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
3. Penerima tidak melaporkan gratifikasi kepada KPK
• Ada 2 jenis gratifikasi, yaitu :
• Gratifikasi I : nilainya lebih dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
dan
• Gratifikasi II : nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

• Pasal 12 B ayat (2) UU PTPK mengatur ancaman pidana untuk


penerima gratifikasi (tidak mengatur ancaman pidana bagi pemberi
gratifikasi!), yaitu :
• Penjara Seumur Hidup;
• Penjara minimal 4 tahun/maksimal 20 tahun; dan
• Denda minimal Rp. 200.000.000,- / maksimal Rp. 1.000.000.000,-
• Dengan melihat ancaman pidana dalam Pasal 12 B ayat (2) di atas,
maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima
gratifikasi jenis I atau jenis II. Perbedaan gratifikasi jenis I dan jenis
II hanya terletak pada prosedural pembuktian saja. Hal ini
menunjukkan adanya logika inkonsistensi dalam UU PTPK
(bandingkan dg Psl 12 A ayat (1) dan (2);
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

Gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan berdasarkan Surat Edaran


Ketua KPK No. B-143/01-13/01/2013, yaitu:
• Gratifikasi yang diperoleh dari hadiah langsung/undian,
diskon/rabat, voucher, point rewards, atau souvenir yang
berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan;
• Gratifikasi yang diperoleh karena prestasi akademis atau non
akademis (kejuaraan/lomba/kompetisi) dengan biaya sendiri
dan tidak terkait dengan kedinasan;
• Gratifikasi yang diperoleh dari keuntungan/bunga dari
penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi
yang berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan;
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

Gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan berdasarkan Surat Edaran Ketua


KPK No. B-143/01-13/01/2013, yaitu:
• Gratifikasi yang diperoleh dari kompensasi atas profesi di luar
kedinasan, yang tidak terkait dengan tupoksi dari pegawai negeri
atau penyelenggara negara, tidak melanggar konflik kepentingan
dan kode etik pegawai, dan dengan ijin tertulis dari atasan langsung;
• Gratifikasi yang diperoleh dari hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus dua derajat atau dalam garis keturunan ke
samping satu derajat sepanjang tidak mempunya konflik
kepentingan dengan penerima gratifikasi;
• Gratifikasi yang diperoleh dari hubungan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus satu derajat atau dalam garis keturunan ke
samping satu derajat sepanjang tidak mempunyai konflik
kepentingan dengan penerima gratifikasi;
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

Gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan berdasarkan Surat Edaran Ketua


KPK No. B-143/01-13/01/2013, yaitu:
• Gratifikasi yang diperoleh dari pihak yang mempunyai hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud poin 5 dan 6 terkait dengan hadiah
perkawinan, khitan anak, ulang tahun, kegiatan
keagamaan/adat/tradisi dan bukan dari pihak-pihak yang
mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi;
• Gratifikasi yang diperoleh dari pihak lain terkait dengan musibah
atau bencana, dan bukan dari pihak-pihak yang mempunyai konflik
kepentingan dengan penerima gratifikasi;
• Gratifikasi yang diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan, seperti
rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan lain
sejenis yang berlaku secara umum berupa seminar kit, sertifikar, dan
plakat/cinderamata; dan
Catatan tentang Pasal Gratifikasi

Gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan berdasarkan Surat


Edaran Ketua KPK No. B-143/01-13/01/2013, yaitu:
• Gratifikasi yang diperoleh dari acara resmi kedinasan
dalam bentuk hidangan/sajian/jamuan berupa makanan
dan minuman yang berlaku umum.
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut,dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Ketentuan tentang Pengembalian Kerugian
Keuangan/Perekonomian Negara
Pasal 4:
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Penjelasan:
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-
unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan
pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya
merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Setiap orang yang melanggar
ketentuan Undang-undang yang
secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam
Ketentuan Pasal Undang-undang ini.
14 UU No. 31
Tahun 1999 Contoh aplikasi dari ketentuan
Pasal 14 UU No 31 Tahun 1999
ada pada Pasal 36A ayat (4) UU
No. 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan tentang Percobaan, Pembantuan, dan
Permufakatan Jahat dalam
UU No. 31 Tahun 1999
Pasal 15:
Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP


tentang ancaman pidana maksimal bagi percobaan
melakukan kejahatan.
Ketentuan tentang Pidana Tambahan
dalam UU No. 31 Tahun 1999
Pasal 18:
• perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
• pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
• penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun;
• pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Ketentuan tentang Korporasi dalam
UU No. 31 Tahun 1999
Pasal 20:
(1)Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
(2)Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3)Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,
maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4)Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
Ketentuan tentang Korporasi dalam
UU No. 31 Tahun 1999

Pasal 20:
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilann
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya
pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3
(satu pertiga).
Alat Bukti dalam Peradilan
Tindak Pidana Korupsi
Pasal 26A :
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi
juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b.dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara,
Pembalikan Beban Pembuktian dalam
TP Korupsi (omkering van
het bewijslat/ Reversal burden of proof)
• Pasal 66 KUHAP : Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.
• Pasal 8 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan : Demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa
melakukan penuntutan dengan keyakinan
berdasarkan alat bukti yang sah.
Pembalikan Beban Pembuktian dalam
TP Korupsi (omkering van
het bewijslat/ Reversal burden of proof)
PASAL 37 UU PTPK :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak,
dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
Pembalikan Beban Pembuktian dalam
TP Korupsi (omkering van
het bewijslat/ Reversal burden of proof)
PASAL 37 UU PTPK :
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya,
maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Pembalikan Beban Pembuktian dalam
TP Korupsi (omkering van het bewijslat/
Reversal burden of proof )
PENJELASAN PASAL 37 UU PTPK :
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari
ketentuan Kitab Undang-undang ukum Acara Pidana yang
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti
melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan
pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas,
karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM TATARAN APLIKATIF
(LAW IN CONCRETO)
Pasal 1 butir 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK:

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian


tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, pemberantasan tipikor pada dasarnya
mengandung dua strategi, yaitu strategi pencegahan (non
penal) dan pemberantasan (penal). Baik strategi non penal
maupun penal, pada hakikatnya keduanya merupakan
bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy).
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM TATARAN APLIKATIF
(LAW IN CONCRETO)
Ada tiga lembaga terkait dalam penegakan hukum tindak
pidana korupsi:
• Penyidik : Kepolisian, Kejaksaan, KPK (Densus Anti Korupsi?)
• Penuntut Umum : Kejaksaan, KPK
• Pengadilan : Pengadilan Tipikor

Prosedur penanganan perkara:


• Hasil penyidikan dari Kepolisian atau Kejaksaan, diteruskan
ke proses penuntutan melalui Penuntut Umum pada
Kejaksaan.
• Hasil penyidikan KPK, diteruskan ke proses penuntutan
melalui Penuntut Umum KPK.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM TATARAN APLIKATIF
(LAW IN CONCRETO)
TUGAS KPK :

• koordinasi dengan instansi yang berwenang


melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
• melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
• melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM TATARAN
APLIKATIF (LAW IN CONCRETO)
Delik Korupsi yang ditangani KPK:

Berdasarkan Pasal 11 UU No. 30/2002 tentang KPK, kewenangan


KPK adalah untuk menyidik TPK yang :

1. Dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara, aparat


penegak hukum, atau orang yg berhubungan dg pegawai
negeri, penyelenggara negara, aparat penegak hukum;
2. Nilainya lebih dari 1 Milyar; dan/atau
3. TPK yang mendapat perhatian dari masyarakat
Bagian II:
Tindak Pidana
Korupsi dalam KUHP
Nasional
KUHP Nasional Mencabut Beberapa
Pasal dalam UU PTPK

Dengan berlakunya KUHP Nasional  Pasal 2 ayat


(1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 dalam
UU PTPK dinyatak tidak berlaku
Pasal 603

Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.
Catatan:
kategori I satu juta rupiah; kategori IIsepuluh juta rupiah; kategori III
lima puluh juta rupiah; kategori IV dua ratus juta rupiah; kategori V
lima ratus juta rupiah; kategori VI dua miliar rupiah; kategori VII lima
miliar rupiah; dan kategori VIII lima puluh miliar rupiah.
Pasal 604

Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri


sendiri, orang lain, atau Korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan
paling banyak kategori VI.
Pasal 605

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling
banyak kategori V, Setiap Orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewaj ibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud pada ayat (l), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda
paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Pasal 606

(1)Setiap Orang yang memberikan hadiah atau janji kepada


pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.
(2)Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.

Anda mungkin juga menyukai