Anda di halaman 1dari 30

Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Pemberantasan
korupsi di Indonesia
merupakan salah satu alinea ke-4
upaya pemerintah
dalam mengemban
amanat Undang-
Undang Dasar NKRI
Tahun 1945

Membentuk Pemerintahan
Negara Indonesia untuk
memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957

Dasar hukum TAP MPR Nomor I/MPR/1998 tentang


pemberantasan Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
korupsi di Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980


tentang Pidana Suap

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999


tentang Penyelenggara Negara yang Bersih,
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,


Diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK)

Dasar hukum
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5
pemberantasan
tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
korupsi di
Korupsi
indonesia
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2
tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957

militer mengganggap tidak ada kelancaran


dalam usaha memberantas perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara
sehingga perlu ada tata kerja yang dapat
menerobos kemacetan usaha pemberantasan
korupsi

Tujuan diadakannya peraturan


penguasa perang ini agar perbuatan
korupsi yang saat itu merajalela
dapat diberantas dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya
TAP MPR Nomor I/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Dengan adanya amendemen UUD 1945 dan dipertegas


dengan adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Urutan Perundangan-undangan disebutkan
bahwa jenis dan hierarki perundangan-undangan adalah
UUD 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah

Ketetapan MPR tidak


lagi masuk dalam
hierarki peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan:


a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan,
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara;

b. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau


orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980
tentang Pidana Suap

Pasal 2
Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk
supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum
Pasal 3
Barang siapa menerima sesuatu atau janji,
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat
menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji
itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya,
yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan
umum.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih,
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Undang-undang tersebut memuat prinsip-prinsip atau asas-asas


kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan
akuntabilitas, yang dijabarkan dalam penjelasan pasal 3, sbb :

a. asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggara negara;

b. asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan


keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara;

c. asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan


umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
d. asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara;

e. asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan


keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;

f. asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang


berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

g. asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap


kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Diubah dengan
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa
ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
Pasal 22
Apabila seseorang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).

Pasal 23
Hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sediki Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) bagi yang melakukan korupsi.
Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK)

Lembaga negara yang dalam melaksanakan


tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Undang-undang tersebut memuat


tugas, fungsi, dan kewenangan KPK
dalam pemberantasan korupsi.
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5
tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi

Ditujukan pada seluruh Pejabat Pemerintah yang termasuk dalam


kategori penyelenggara sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi
dan nepotisme untuk segera melaporkan kepada komisi pemberantasan
korupsi

Salah satu instruksi presiden ini ditujukan kepada Menteri


Pendidikan Nasional untuk menyelenggarakan pendidikan yang
berisikan substansi penanaman semangat dan perilaku
antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan formal dan
nonformal
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2
tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014

Inpres ini memuat sepuluh Instruksi Presiden dalam


menyusun aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi
tahun 2014 dengan berpedoman pada visi dan misi serta
fokus kegiatan jangka menengah strategi nasional
pencegahan dan pemberantasan korupsi 2012–2014
disesuaikan dengan kondisi setiap Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah.
Menurut perspektif hukum, defnisi korupsi telah gamblang
dijelaskan dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-
pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak
pidana korupsi (tipikor).
Dari ke-30 jenis tersebut, kemudian dikelompokkan lagi menjadi
Tujuh Tindak Pidana Korupsi.
menjadi mahasiswa di PTN tersebut. Ibu
tersebut menjanjikan suatu imbalan jika
anaknya diterima.
5. Perbuatan Curang
Contoh Kasus
UU No 20 Tahun 2001
Simak video berikut
http://bit.do/fLFST

Agar Bisa lebih memahami


Matriks yang digunakan
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai