Pertama, pada masa orde lama, pendekatan yang dilakukan pada awalnya
menekankan pada kebijakan penegakan hukum dengan cara mengefektifkan
penegakan hukum dengan menggunakan instrumen hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil yang ada pada saat itu, yaitu mengefektifkan penerapan pasal-pasal
tindak pidana yang terkait dengan penyelenggaraan negara oleh pegawai negeri yang
berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara. Pada masa ini, tema besarnya
adalah penyelamatan keuangan negara.
Kemudian setelah dievaluasi, problem efektivitas pemberatasan tindak pidana korupsi
untuk menyelamatkan keuangan negara tersebut membutuhkan prosedur hukum acara
pidana yang lebih efektif, maka pilihan kebijakan hukum yang ditempuh adalah
mengatur hukum acara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, masa Orde Baru. Pada masa ini telah dilakukan evaluasi produk hukum pada
masa Pemerintahan Orde Lama. Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi muncul Tahun 1971 ketika Pemerintah Orde Baru hendak
melaksanakan pembangunan yang dirancang secara periodik, jangka pendek (lima
tahun) dan jangka panjang (25 tahun). Persoalan korupsi diantisipasi dengan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai langkah penyempurnaan dan penguatan terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada masa Orde Baru telah menempuh kebijakan hukum di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan menerbitkan hukum pidana yang secara khusus
mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam bidang hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Kebijakan ini hendak menempatkan tindak pidana
korupsi sebagai suatu tindak pidana yang khusus dan memerlukan perhatian dan
penanganan secara khusus, kemudian dikenal dengan hukum pidana khusus.
Kekhususan dari hukum pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam
hukum pidana khusus sebagai tindak pidana yang dalam bahasa kebijakan hukum
disebut kejahatan luar biasa (extra ordinary/serious crimes) yang penanganannya
memerlukan dukungan hukum pidana yang khusus (extra ordinary criminal law) yang
menyimpangi dari ketentuan umum hukum pidana, baik di bidang hukum pidana
formil maupun hukum pidana materiil.
Substansi hukum pidana materiil tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibedakan menjadi tiga yaitu; pertama, ketentuan
umum (genus) tindak pidana pidana korupsi dimuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3; kedua,
ketentuan khusus tindak pidana korupsi dimuat dalam rumusan tindak pidananya
merujuk kepada pasal- pasal KUHP yang ancaman pidana diperberat; dan, ketiga,
ketentuan tambahan, yaitu tindak pidana yang terkait dengan penegakan tindak pidana
korupsi, perluasan tindak pidana korupsi dan subjek hukum tindak pidana korupsi
Ketiga, masa Reformasi. Pada masa reformasi ini perubahan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tidak dilakukan dan dirancang melalui kajian ilmiah yang mendalam
sehingga menghasilkan undang- undang tindak pidana korupsi yang kurang sempurna.
Hal ini ditandai dengan beberapa kelemahan mendasar dari undang-undang yang
mengatur tindak pidana korupsi:
1. Tidak diaturnya ketentuan peralihan (hukum transisi) dalam Undang- Undang 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menghapus Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baru
kemudian, setelah ada kritik, ketentuan peralihan dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Dimasukkannya kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan negara...”
dengan maksud untuk mengubah rumusan delik materiil menjadi delik formil, telah
menimbulkan problem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, karena
menurut doktrin masuknya kata “dapat” tersebut telah mengganggu dan bertentangan
dengan asas kepastian hukum dan pengalaman sejarah diberlakukannya Undang-
undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang
juga menggunakan kata “dapat” yang diikuti dengan keadaan hukum dalam praktik
penegakannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak-hak
hukum tersangka/ terdakwa dan kemudian dicabut melalui Undang-Undang Nomor
27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
3. Memperberat ancaman pidana dan memasukkan ancaman minimum khusus yang
relatif tinggi/berat, yaitu 4 tahun penjara dan ancaman minimum denda tanpa
memberi rambu-rambu penerapannya menimbulkan problem dalam praktik
penegakan hukum dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi,
karena masing-masing pelaku dalam tindak pidana penyertaan memiliki peran yang
berbeda-beda yang dinilai terlalu berat jika dikenakan
Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu perbuatan
merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi di
masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya, undang-undang
antikorupsi bermunculan dengan berbagai macam perbaikan di sana-sini.
UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan
dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain:
Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman
Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi
pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas
penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi. TAP
MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara,
untuk menciptakan kepercayaan publik.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN
Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai
komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU
no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini
dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah
tindakan tercela bagi penyelenggara negara.
Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan pasal-
pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi
menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap
menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian
keuangan negara.
5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sesuai amanat UU tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun.
UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya
Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal peningkatan
sinergitas antara KPK, kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara tindak
pidana korupsi.
7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam UU ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional
Pencegahan Korupsi (Stranas PK)
Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-
2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.
Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang
memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan
kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya
dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi
Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK
dalam bentuk program dan kegiatan.
Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan
Negara, dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.
Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap
instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut
sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan
korupsi.
Proses peradilan tindak pidana korupsi sebenarnya sama dengan tindak pidana yang lain yaitu
dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan dan
tahap pelaksanaan putusan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur
mengenai tugas dan wewenang serta masing-masing lembaga yang harus melaksanakannya,
namun perselisihan dan ketidak harmonisan tugas dan kewewenangan antar lembaga dalam
sistem peradilan pidana masih kerap terjadi. Perselisihan itu bahkan sangat meruncing sehingga
menimbulkan sinisme di masyarakat. Misalnya saja masyarakat mengkritik tentang adanya
rebutan kewenangan menyidik perkara tindak pidana korupsi antara polisi dan KPK dalam kasus
cicak dan buaya, bahwa dua lembaga penegak hukum tersebut oleh sebagian masyarakat dinilai
merupakan wujud perebutan kekuasaan dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi disebutkan
bahwa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang itu”. Hal ini berarti hukum acara yang berlaku dalam perkara tindak pidana
korupsi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak
independen pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 43 ayat 1). Kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi sebagai dasar hukumpembentukan Komisi Pemberantas
Ide pembentukan Pengadilan Tindak PidanaKorupsi muncul dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 dimuatdalam Bab VII tentang Pemeriksaan di SidangPengadilan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62.
Pasal 53
Dengan undang-undang ini dibentuk PengadilanTindak Pidana Korupsi yang bertugas danberwenang memeriksa dan m
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)dibentuk dan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak
1. Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan Undang-udang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dimuatdalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
UndangNomor 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang organik dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengaturlebih lanjut penggunaan kekuasaan kehakiman.Akibat teknik pembentu
kan perundang-undangan yang demikian ini, Pengadilan Tipikor tidak memperoleh mandat Undang-
Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjadi alasan ketidakabsahan Pengadilan Tipikor
memutus tindak pidana korupsiyang penuntutannya diajukan oleh KPK. Hal iniberarti bahwa Pengadilan Tipikor hanya
melayanikebutuhan hukum KPK, pada halpembentukannya diatur dalam Undang-UndangNomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Model pengaturan yang demikian ini, dapat
harus dijalankan olehpara hakim di Pengadilan Tipikor dalam rangkamenegakkan hukum dan keadilan danmengesanka
3. Ketentuan yang mengatur pembentukanPengadilan Tipikor yang ditempatkan sebagaibagian dari lembaga pemberan
Pengadilan Tipikor yang harus menghukumterdakwa tindak pidana korupsi demi pemberantasan tindak pidana
Tipikor yang demikian ini tidaksesuai dengan prinsip penyelenggaraan peradilandalam rangka penyelenggaraan kekua
Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut telah diuji materiil dan
hasil pengujian materiiltersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal
19 Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak PidanaKorupsi yang dimuat dalam Pasal 53-
299
Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk hukum baru yaitu Undang-
Undang Nomor46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak PidanaKorupsi dan ketentuan Pasal 39 telah mencabutberlakuny
a Pasal 53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Pengadilan Tipikor ini berbeda dengan Pengadilan Tipikor
sebelumnya yang hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
1. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khususdi lingkungan peradilan umum PengadilanTipikor sebagai pengadil
merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Berarti tidak adalagi pengadilan umum atau
khusus lain yangmemiliki wewenang memeriksa dan mengadiliperkara tindak pidana korupsi selain pengadilan khusus
Undang Nomor 46 Tahun 2009 yang berada padapengadilan umum. Berbeda dengan sebelumnya,Pengadilan Tipikor ha
2. Pengadilan Tipikor diberi wewenang untukmengadili dan memutus perkara tindak pidanakorupsi dan tindak pidana
pencucian uang yangtindak pidana asalnya dari Tindak PidanaKorupsi. Kewenangan Pengadilan Tipikordiperluas bukan
hanya berwenang mengadiliperkara tindak pidana korupsi tetapi juga diberiwewenang memeriksa, mengadili dan mem
utusperkara tindak pidana pencucian uang yangtindak pidana asalnya adalah tindak pidanakorupsi.
3. Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunyapengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
diberi wewenang untukmemeriksa, mengadili dan memutus perkaratindak pidana korupsi. Perkara tindak pidanakorup
si tidak lagi diproses melalui pengadilanganda seperti sebelumnya yaitu PengadilanUmum yang memeriksa, mengadili,
dan memutusperkara tindak pidana korupsi yangpenuntutannya diajukan penuntut umum darikejaksaan dan Pengadila
n Tipikor di PengadilanJakarta Pusat yang penuntutannya diajukan olehKPK, melainkan menjadi satu-satunya
danmemutus perkara yang penuntutannya diajukanoleh penuntut umum, baik penuntut umum yangberada di bawah m
anajemen
299
1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi pengadilan khusus yang mengadili (semua) perkara tindak
pidana korupsi. Sebagaipenyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalampenegakan hukum dan keadilan telah membawa
perubahan ke arah yang positif, yaitu penegakan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan
memberi peluang penyelenggaraan peradilan yang adil (fair trial) dan non-diskriminatif.
yang mengadili semua perkaratindak pidana korupsi, maka semua perkara tindak pidana korupsi memiliki kedudukan
acara pidana yangsama. Tidak lagi diperbolehkan adanya prosedurhukum acara pidana yang berbeda terhadapsemua te
rsangka/terdakwa perkara tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa dan diajukan kePengadilan Tipikor, meskipun
3. Di hadapan Pengadilan Tipikor, penuntut umumbaik di bawah manajemen kejaksaan maupun di bawah manajemen
KPK memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang istimewa atau diistimewakan, tetapi semua perkara tindak pidana
pidana yangmenjadi prioritas untuk diperiksa, diadili, dandiputus oleh pengadilan. Keberadaan PengadilanTipikor ini te
lah menggeser kedudukan penuntut umum pada KPK (karena telah menjadi
a. Mengajukan perkara pidana tindak pidanakorupsi di seluruh wilayah Pengadilan Tipikoryang ada di seluruh wila
b. Tunduk kepada prosedur beracara pidanakhusus pada Pengadilan Tipikor sebagaimana yang diatur dalam
c. Perkara tindak pidana korupsi yangpenuntutannya diajukan oleh penuntut umumpada KPK menjadi sama kedud
ukannyadenganperkara tindak pidana korupsi yangpenuntutannya diajukan oleh penuntut umumpada kejaksaan da
d. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur kewenangan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan yangdilakukan KPK sebagai kompetensipenanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK
bukanlah kompetensi
absolut, karenaperkara tindak pidana korupsi tersebut dapatjuga ditangani oleh penyidik polisi danpenyidik jaksa,
dan penuntutannya dapatdilakukan oleh penuntut umum padakejaksaan. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 11:
Pasal 11
a korupsi yang :
dan orang lain yang adakaitannya dengan tindak pidana korupsi yangdilakukan oleh aparat penegak hukum ataupe
nyelenggara negara;
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
menjadi kehilangan ‘jiwa’ hukumnya dan tidak lagi memiliki sifat eksepsionalitas prosedur penegakan hukumnya
sebagai suatu tindakpidana korupsi yang memiliki kualifikasi khusus yang memerlukan proses peradilan yang khusus.
KPK adalah super body dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.5 Dikatakan demikian
karena lembaga ini diberikan wewenang yang luar biasa untuk memberantas korupsi. Dalam
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan
dalam perkara tindak pidana korupsi.
Dengan demikian apabila seorang penyelenggara negara telah ditetapkan sebagai tersangka oleh
KPK, maka kecil kemungkinan ia bisa lepas dari jeratan hukum. Sebagian orang juga beranggapan
bahwa KPK tidak mengenal asas praduga tak bersalah.
Penyelenggara negara menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah 1.
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, 2. Pejabat negara pada Lembaga Tinggi Negara,
3. Menteri, 4. Gubernur (yang dimaksud dengan “Gubernur” menurut penjelasan pasal ini adalah
wakil Pemerintah Pusat di Daerah), 5. Hakim (Yang dimaksud “Hakim” dalam penjelasan pasal ini
meliputi Hakim di semua tingkatan Pengadilan), 6. Pejabat Negara yang lain yang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Yang dimaksud “Pejabat Negara yang lain” dalam
ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/
Walikotamadya), dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
(Yang dimaksud “Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” dalam penjelasan pasal ini adalah
pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang meliputi : 1. Direksi, Komisaris dan Pejabat
Struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; 2. Pimpinan
Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan
Tinggi Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan dilingkungan Sipil, Militer dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; dan Pemimpin
dan bendaharawan proyek.
Menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan ketentuan tersebut,
jelas bahwa KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi yang melibatkan semua orang termasuk Penyelenggara Negara.
Mekanisme hukum acara yang dipakai oleh KPK tetap didasarkan pada
KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
1. Tahap Penyelidikan
Penyelidik adalah Penyelidik
pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Segala kewenangan yang berkaitan dengan
penyelidikan yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penyelidik pada KPK. (Pasal 38 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK).
Dalam hal penyelidik menemukan bukti permulaan yang cukup berupa sekurang-kurangnya 2
(dua) buah alat bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Penyelenggara negara,
dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja ditemukan bukti permulaaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada KPK, (Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang KPK). Namun jika bukti permulaan yang cukup itu tidak ditemukan, penyelidik
melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan. (Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK).
Dalam hal KPK berpendapat bahwa suatu perkara itu diteruskan ke level penyidikan, KPK dapat
melaksanakan penyidikan itu atau melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian
atau kejaksaan. (Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK). Kepolisian
atau kejaksaan yang menerima pelimpahan tersebut wajib melaksanakan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK. (Pasal 44 ayat (5) Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002).
2. Tahap Penyidikan
Penyidik adalah penyidik pada
KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Segala kewenangan yang berkaitan dengan
penyidikan yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penyidik KPK. (Pasal 44 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK).
Berbeda halnya dengan kepolisian dan kejaksaan, persyaratan administratif berupa izin tertulis
dari Presiden untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan termasuk juga untuk melakukan
penahanan terhadap
Penyelenggara Negara tidak berlaku bagi KPK. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 46 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang berbunyi “Dalam hal seseorang
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang
diatur dalam peraturan perundang- undangn lain, tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini”.
Penjelasan pasal ini menyatakan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban
memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Selain itu, dalam melaksanakan tugas penyidikan ini, KPK berwenang memerintahkan kepada
presiden untuk memberhentikan sementara Penyelenggara Negara yang berstatus tersangka
tersebut dari jabatannya. Hal ini didasarkan pada Ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari
jabatannya”.
Di satu pihak, ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 Tentang
komisi Pemberantasan Korupsi menghendaki bahwa seorang Penyelenggara negara dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya walaupun statusnya masih sebagai „tersangka‟.
Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan
penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
Untuk kepentingan penyidikan, Penyelenggara negara yang telah ditetapkan sebagai tersangka
tindak
pidana korupsi itu wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga 4. mempunyai hubungan
dengan tindak
pidana korupsi dilakukannya.
3. Tahap Penuntutan
Yang bertindak sebagai penuntut
umum adalah Jaksa KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK serta fungsinya melakukan
penuntutan tindak pidana korupsi. Segala kewenangan yang berkitan dengan penuntutan yang
diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penuntut umum pada KPK (Pasal 38 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2002).
Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas
perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima
pelimpahan berkas perkara dari KPK untuk diperiksa dan ditindaklanjuti.
Dengan dilimpahkannya berkas perkara atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan
seorang Penyelenggara Negara, maka statusnya tersebut berubah menjadi “terdakwa”.
Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 53 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 menyatakan “Dengan
Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi”.
Ini berarti berkas atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan seorang Penyelenggara
Negara, dilimpahakan oleh Penuntut Umum KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum, Untuk pertama kali Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tersebut dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah
hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Perkara tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan penyelenggara negara tersebut diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Adapun hakim
memeriksa dan mengadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas 2 (dua) orang Hakim
Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc.
Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi,
perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Hakim yang
memeriksa dan mengadili di Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi terdiri atas 2 (dua) orang
Hakim Pengadilan Tinggi dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc.
Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana korupsi dimohonkan kasasi kepada
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90
(Sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah
Agung. Pemeriksaan perkara itu dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang
terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc.
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan uraian pada bagian ini, penulis mencoba menarik kesimpulan bahwa mekanisme
penyelesaian perkara bagi Penyelenggara Negara yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi
dapat ditempuh melalui sistem peradilan pidana yang memiliki dua jalur, yakni:
1. Jalur Biasa (Ordinary Track)
Yang dimaksud dengan jalur biasa adalah mekanisme penyelesaian perkara bagi Penyelenggara
Negara yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi melalui jalur pengadilan umum dengan
hukum acara yang dipergunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam Hal ini yang dapat
bertindak sebagai penyidik adalah Kepolisian, Kejaksaan. Kepolisian dan kejaksaan berwenang
untuk melakukan penghentian
penyidikan terhadap perkara korupsi yang melibatkan Penyelenggara Negara. Yang bertindak
sebagai penuntut umum dalam hal ini adalah Jaksa dari instansi kejaksaan setempat yang
berwenang atau Jaksa dari instansi kejaksaan setempat yang berwenang. Sedangkan hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah hakim biasa yaitu hakim pengadilan negeri
setempat yang bertugas dan berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan terhadap Penyelenggara Negara, baik
penyidik polri, penyidik Jaksa, maupun penyidik Tim tastipikor terlebih dahulu harus meminta
persetujuan tertulis dari Presiden. Walaupun ada jalur biasa (Ordinary Track) yang ditawarkan
oleh Undang-Undang, penulis berpendapat tidak perlu dipergunakan kedepannya untuk perkara
korupsi, sehingga diperlukan penyempitan wewenang Polri dan Kejaksaan melalui perubahan
pada Rancangan undang-undang terbaru Polri dan kejaksaan untuk tidak menyidik perkara
korupsi lagi.