PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA
Tindak pidana korupsi bukanlah tindak pidana baru di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Istilah tindak pidana korupsi telah
digunakan sejak diberlakukannya “Peraturan Pemberantasan Korupsi
Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1950”.
Namun perbuatan korupsi yang diatur di dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia pada hakikatnya telah dikenal dan diatur di dalam
kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP). Hal ini terbukti dengan
diadopsinya beberapa ketentuan hukum pidana dalam KUHP menjadi delik
korupsi.
A. SEJARAH PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan untuk
memberantas tindak pidana korupsi sebagai berikut.
1. Delik korupsi dalam KUHP
2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor
Prt/Peperpu/013/1950”.
3. Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
6. Undang- Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
7. Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
8. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9. Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
10. Undang- Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
11. Peraturan Pemerinrah No. 71 Tahun 2000 tentang Peranserta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
12. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
1. Delik Korupsi dalam KUHP
KUHP diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan Belanda. KUHP
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. KUHP telah diubah, ditambah dan diperbaiki
oleh beberapa undang-undang nasional seperti UU No. 1 Tahun 1946, UU No. 20 Tahun
1946, dan UU No. 73 Tahun 1958 dan Undang-undang pemberantasan yang mengatur
lebih jhusus beberapa ketentuan yang ada dalam KUHP. Delik korupsi yang ada di
dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada kaitannya dengan jabatan. Delik
Undang- Undang No. 28 Tahun 1999 mempunyai judul yang sama dengan TAP
MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lahirnya Undang-undang ini
memperkenalkan terminologi tindak pidana baru atau kriminalisasi atas
pengertian Kolusi dan Nepotisme.
Dalam Undang-undang ini diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana yaitu
permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara
negara atau anatara penyelenggara nrgara dan pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme didefinisikan setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara. Dalam perjalanan Undang-undang ini tidak banyak digunakan karena
terlalu luasnya ketentuan tindak pidana yang diatur serta adanya kebutuhan
untuk menggunakan undang-undang yang lebih spesifik dan tegas khusunya
mengenai pemberantasan korupsi.
7. Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pasal 11
Tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 11 adalah tindak pidana yang
diambil dari Pasal 418 KUHP. Pasal ini secara terbatas hanya dapat
diterapkan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai subjek
hukum tindak pidana korupsi yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Perbuatan yang dilarang menurut Pasal 11 adalah menerima hadiah, atau
janji pemberian karena kekuasaan atau wewenang yang berhubungan
dengan jabatan atau menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji
ada hubungan dengan jabatannya.
Prinsipnya pegawai negeri atau penyelenggara negara dilarang menerima
hadiah.
Pasa12
Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 adalah tindak pidana
korupsi yang secara terbatas hanya dapat diterapkan kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara sebagai subjjek hukum tindak pidana
korupsi yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Serupa Pasal
11 pegawai negeri atau penyelenggara negara dilarang menerima
hadiah atau janji. Pasal 12 secara khusus diatur sebagai perbuatan
menerima hadiah atau janji karena berbagai alasan, termasuk dengan
cara memaksa seperti seorang pegawai negeri memperlambat perizinan,
dsb.
Pasal 6.
Delik korupsi yang diatur dalam Pasal 6 merupakan pemberatan (delik
berkualifisir) dari Pasal 5. delik korupsi berupa suap dibagi 2, yaitu delik
memberi suap Pasal 6 ayat(1) dan delik korupsi menerima suap ayat (2).
Pasal 7
Yang dimaksud perbuatan curang adalah perbuatanyang tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan
umum atau peraturan serta kesepakatan yang berlaku. Misal mengrangi
kualitas atau kuantitas bangunan, barang, dsb.
Adapun unsur sengaja dimaksud pelaku mengetahui perbuatannya
membiarkan perbuatan curang merupakan perbuatan melawan hukum.
Pasal 8
Penggelapan datur dalam Pasal 372 KUHP
Pasal 9
Tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 9 ditujukan kepada perbuatan
yang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang degan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi seperti pembukuan akuntansi, daftar inventaris.
Pasal 10
Perbuatan korupsi yang diatur dalam Pasal 10 terdiri atas 3
perbuatan:
a. Pegawai negeri yang dengan sengaja menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakainya suatu
barang, akta, atau suatu daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikusai karena jabatannya.
b. Pegawai negeri yang membiarkan orang lain melakukan
perbuatan yang diatur dalam Pasal 10 huruf a.
c. Pegawai negeri yang membantu orang lain melakukan
perbuatan yang dilarang oleh Pasal 10 huruf a.
D. GRATIVIKASI
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun
1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 memperkenalkan suatu
perbuatan yang dikenal sebagai grativikasi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B. Pasal 12 B ayat (1) disebutkan pengertian grativikasi adalah
pemberian dalam arti luas, meliputi pmberian uang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.
Grativikasi hanya ditujukan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagai peneria pemberian. Pemberian akan
dianggap suap bila dapat dibuktikan bahwa diberikan berhungan
dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Sifat pidana gratifikasi akan hapus bila dilaporkan penerimaan
grativikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.