PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia sudah menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan, adapun upaya yang
dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia sudah di mulai pada saat penetapan Peraturan
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan pemilikan
Harta Benda selang 2 (dua) tahun sejak berlakunya P4 AD kemudian dicabut dengan di
pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi (LN No. 72 Tahun 1960) 1,
namun tetap masih mengacu pada pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengaturan pemberantasan korupsi melalui
Perpu tersebut terbukti masih lemah dan tidak efektif karena korupsi masih di pandang sebagai
kejahatan biasa, bukan sebagai kejahatan yang sangat merugikan, untuk meningkatakan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 19 Tahun 1971) sebagai pengganti Perpu
tahun 19602. Di dalam Undang-undang tersebut telah ditetapkan korupsi sebagai tindak pidana
yang berdiri sendiri dan tidak lagi merupakan salah satu jenis kejahatan sebagaimana di atur
1
Orpa G. Manuain, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Koorporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis
program magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2005, Semarang
2
Romli Atmasasmita , Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju,
2004, Jakarta, hlm 5-6
dalam KUHP dan pembaruan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut ialah telah
ditetapkan kerugian keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi3.
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 140 Tahun 1999)
yang menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Di dalam UU No.31 Tahun 1999
1. Tindak pidana korupsi telah dirumuskan secarah formil, yaitu meskipun hasil korupsi
telah dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dituntut dan
sidang pengadilan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi jika ia dapat
membuktikannya dan hakim yakin atas bukti-bukti yang diajukannya, maka terdakwa
dibebaskan. Sebaliknya jika ia tidak dapat membuktikannya dan hakim yakin terdakwa
bersalah atas perbuatanya maka ia dijatuhi pidana , yang bervariasi , paling singkat satu
tahun sampai dengan tiga tahun, dan paling lama antara sepuluh tahun atau limabelas
dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan ini maka perbuatan suap sudah merupakan
delik formil.
4. Penyitaan atas harta terdakwa dapat dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah
3
Ibid, hlm. 6
4
Ibid, hmm. 8-9
Kemudian dengan UU No. 20 Tahun 2001 perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( LN No. 134 Tahun 2001) sebagai penyempurnaan
Secarah jujur harus diakui bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya semata-
mata bertumpu pada langkah penegakan hukum yang bersifat represif melainkan juga tergantung
dari pelaksanaan langka preventif yang efektif. Langkah preventif yang dimaksud adalah dengan
mempersiapkan tatanan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) langkah
tersebut sudah mulai dilaksanakan dengan diberlakukanya Undang-undang No.28 tahun 1999
tentang penyelenggaran Negara yang bersih dan berwibawa. Undang-undang No.28 tahun 1999
disusun untuk dijadikan perangkat hukum secara moralistik dapat mencegah penyelengara
Di samping itu, tindak pidana korupsi merupakan ancaman serius yang tidak saja
menyerang sendi-sendi perekonomian nasional suatu Negara, namun dampaknya juga sangat
pidana korupsi bukan merupakan tanggung jawab satu negara saja, namun merupakan tanggung
kerjasama internasional. Negara-negara di dunia harus bekerja sama dalam memberantas tindak
pidana korupsi, karena kejahatan ini selain bersifat extraordinary crime juga bersifat borderless
(tidak memandang batas-batas Negara) dan transnational (lintas Negara). Oleh Karena itu
penanganannya juga harus secara global dan transnasional. Namun kerjasama ini tidak semata-
mata hanya menghukum para koruptor sehingga menciptakan efek jera (deterrent effect) namun
juga diusahakan semaksimal mungkin agar kerugian Negara dapat diselamatkan (asset recovery).
5
Ibid, hlm 9
Untuk menyelamatkan aset (asset recovery) dalam penanganan tindak pidana korupsi, Setiap
Negara harus membuka hubungan kerja sama yang lebih luas, tidak hanya dalam penegakan
hukum pelaku tetapi juga dalam mengembalikan asset hasil korupsi yang
dilarikan/disembunyikan di wilayah Negara lain. Hal tersebut sejalan dengan Konvensi PBB
Menentang Korupsi 2003, yang mengatur tentang pemulihan aset (asset recovery). Dalam
Konvensi tersebut telah diatur bahwa pengembalian asset adalah prinsip yang mendasar, dan
negara-negara peserta harus melakukan usaha seluas-luasnya untuk bekerja sama dan memberi
bantuan dalam usaha penyelamatan aset. Hal ini berarti tujuan yang paling mendasar dari
Konvensi PBB Menentang Korupsi ini adalah bagaimana mengembalikan aset-aset Negara
dalam rangka pemulihan ekonomi. Sebagaimana disebutkan di atas, usaha-usaha asset recovery
terutama untuk asset yang berada di negara lain, membutuhkan kerja sama diantara negara-
negara terkait. Salah satunya adalah dengan perjanjian bantuan hukum timbal balik masalah
Melihat upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah nasional dan internasional
banyaknya pemberitaan di media masa tentang pemberian remisi atau pengurangan masa
hukuman kepada Narapidana korupsi rakyat Indonesia kembali mempertanyakan lagi bagaimana
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (LN No.69 Tahun 1999).
2. Perturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
6
http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan
kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
yaitu narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), adapun jenis- jenis
remisi yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi yaitu :7
a. Remisi umum
b. Remisi khusus
c. Remisi tambahan
Pemberian remisi terhadap narapidana korupsi ini berkiatan juga dengan mewujudkan tujuan
Pemasyarakatan seperti dalam pasal 1 yaitu untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
Saat ini peraturan yang mengatur tentang pemberian remisi terhadap narapidana adalah
Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999 tentang
Sebagaimana yang kita tahu,tindak pidana korupsi digolongkan kejahatan luar biasa dengan
remisi yang diberikan pemerintah terhadap narapidana kasus korupsi tentu saja akan muncul
pendapat-pendapat masyarakat mengenai remisi dan akibatnya terhadap narapidana itu sendiri,
7
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
serta pengaruhnya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berdasarkan masalah tersebut penulis
terpidana korupsi ?
b. Kegunaan Penelitian
Penulisan yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat baik bagi penulis maupun
pembaca seperti :
1. Bagi ilmu pengetahuan khususnya Hukum Pidana, penulisan ini bisa dijadikan sebagai
kesadaran untuk berpartisipasi dalam proses pengakan hukum yang dilakukan pemerintah
Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas I A Kupang dan masyarakat di wilaya kota Kupang
2. Spesifikasi Penelitian.
Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang
datanya diperoleh dilapangan, yang ditunjang dengan penelitian hukum normatif, yaitu
4. Aspek Penelitian
Aspek yang diteliti menyangkut dampak dari pemberian remisi terhadap terpidana korupsi
meliputi:
1. Tentang dampak pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi barkaitan dengan
diberikan Remisi.
1. Terpidana : 2 orang
2. Masyarakat: Masyarakat Terpelajar 4 Orang
Masyarakat Awam 3 Orang
4. Informan
1. Pegawai lapas 1 orang
6. Tehnik pengumpulan data
1. Wawancara
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dalam penelitian ini maka peneliti akan
melakukan wawancara secara langsung dengan responden yang sudah ditentukan untuk
secara sistematis.
Pengolahan Data yaitu semua data yang diperoleh akan diolah sebagai berikut:
Analisis data yaitu: data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kulitatif dengan
1. Tindak pidana
1.1. Pengertian tindak pidana menurut para ahli
Tindak pidana atau dikenal dengan istilah strafbaarfeit dalam bahasa belanda walaupun
secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaarfeit. Terjemahan strafbaarfeit ke dalam bahasa
Indonesia diterjamahkan dengan istilah misalnya tindak pidana, delik, peristiwa pidana,
1. Menurut Pompe strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun
dengan tidak sengaja tidak telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perluh demi terpeliharanya tertib hukum dan
Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata
8
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, refika Aditama, 2011, Bandung hlm 96-97
9
PAF. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Banddung, 1997, hlm. 182
1.2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Sementara itu menurut Leobby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana
meliputi :11
Tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Kejahatan dan pelanggaran.
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebut oleh Undang-undang. KUHP dalam
buku II memuat delik-delik yang disebut kejahatan dan dalam buku III delik-delik yang disebut
pelanggaran. Secara ilmu pengetahuan, kedua jenis tersebut dibedakan dalam dua pendapat
yaitu:12
10
Erdianto Effendi, Ibid, hlm 98
11
Ibid, 99
12
http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/15/jhptump-a-wahyuoktri-711-2-babii.pdf
Menurut perbedaan yang bersifat kualitatif didapati 2 (dua) jenis delik, ialah:
a. Rechtsdelicten
b. Wetdelicten
a) Rechtsdelicten
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan. Misalnya
b) Wetdelicten
Wetdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru didasari sebagai suatu tindak pidana,
mengancamnya dengan pidana. Misalnya memparkir mobil disebelah kanan jalan. Delik-delik
semacam ini disebut pelanggaran. Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada
kejahatan yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam Undang-undang Pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan dan
sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan.
Pendapat ini hanya meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi,
ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan.
Teori pemidanaan dibagi dalam tiga teori yaitu : Teori Pembalasan, Teori Tujuan, Teori
Gabungan.
1. Teori Pembalasan
Teori ini dikenal sejak akhir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh ahli-ahli filsafat
Jerman. Pokoknya, yang dianggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah pembalasan
(Belanda: vergelding, Jerman: vergeltung). Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap
perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Akan tetapi tentang maksud dari pembalasan itu
para ahli dari teori ini tidak pula sepaham, yang dapat pula diperinci atas 4 teori:14
a. Teori Immanuel Kant.
13
http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf
14
H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, 2015: Malang hlm.53-54
Menurut kant kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan. Ia mencontohkan apabila
seseorang melakukan tindak pidana, maka pidana akan merupakan tuntutan mutlak
dari hukum dan kesusilaan. Oleh karena Kant mendasarkan teorinya atas kesusilaan
(zedelijkheid), maka teorinya dinamakan: Teori pembalasan bersifat etis (de ethise
vergeldingstheorie).
b. Teori Hegel
Hegel berpendapat bahwa hukum (keadilan) itu merupakan kenyataan yang dalam
keadilan yang dalam istilah Hegel disebut “anti these”. Ketidak adilan itu bersifat
nyata, karena itu harus ditiadakan, dan ini hanya dapat dilaksanakan dengan
melkukan ketidak adilan pula, yaitu dengan menjatuhkan tindak pidana, karena
pidana pun merupakan ketidakadilan. Cara berpikir Hegel ini dalam dunia filsfat ini
Maka agar masyarakat puas, si pelanggar itu harus dipidana. Mempidana masyarakat
pikirannya kepada estetika, maka disebut: Teori pembalasan berdasarkan estetika (de
wakil Tuhan di dunia. Bila seseorang melakukan kejahatan bararti dia melanggar
ketertiban tuhan yang ada dalam masyarakat. Maka agar ketertiban itu dapat
dipertahankan kembali, si penjahat itu mesti dipidana yang setimpal. Teori ini
dinamakan: Teori pembalasan ke- Tuhanan (Theologis/religious vergeldingstheorie)
Teori Tujuan atau Teori Relatif mendasarkan pandangan kepada maksud dari pemidanaan,
Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori absolut (mutlak), dalam teori
absolut tindak pidana dihubungkan dengan kejahataan, maka pada teori relatif ditujuhkan kepada
hari-hari yang akan datang yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat, agar
Teori relatif atau teori atau teori tujuan yang tertua adalah teori pencegahan umum. Diantara
teori pencegahan umum ini yang tertua adalah yang bersifat menakut-nakuti. Menurut teori ini
bahwa untuk melindungi ketertiban umum (masyarakat) terhadap suatu tindak pidana maka
pelaku yang tertangkap harus dijadikan contoh dengan pidana yang sedemikian rupa sehingga
Sedangkan teori relatif yang lebih modern dengan teori pencegahan khusus. Teori ini
berpandangan bahwa tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari pelaku tindak
pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi15.
3. Teori gabungan
Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori tujuan, penganut teori
gabungan antara lain adalah Binding. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan
15
Erdianto Effendi , ibid, hlm.142
bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan mendatang, karena pemidanaan
harus dapat memberi kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun pada masyarakat16.
Secara keilmuan, bentuk pidana bentuk pidana dapat dibedakan berdasarkan objek yang
dapat dipidana. SR. Sianturi membagi bentuk-bentuk pidana kedalam beberapa bentuk, yaitu :17
haraga suatu barang yang tidak belum dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya.
Dalam sistem hukum Islam, pidana badan dan dan pidana jiwa merupakan merupakan pidana
yang paling dikenal. Sedangkan dalam hukum pidana barat pidana penjara menjadi pilihan yang
lebih banyak dimasukan dalam pasal-pasal KUHp maupun ketentuan pidana diluar KUHP.
Dalam sistem huku adat Indonesia, pidana kemerdekaan juga tidak terlalu dikenal.
Selain pidana tersebut, hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang berbentuk perintah,
1. Perintah untuk menempatkan seeorang sakit/ cacat jiwa dalam rumah sakit jiwa (Pasal 44
16
Ibid, hlm 143
17
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Ahaem-petehaem, Jakarta, 1986,
hlm. hlm. 452
18
Erdianto Effendi, Ibid 146
2. Pendidikan paksa dan pengembalian seorang anak yang belum cukup umur kepada orang
Bentuk pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam pasal 10 terdiri dari pidana pokok dan
Bentuk-bentuk pidana diatas akan diberikan sesuai dengan perbuatan pidana apa yang dilkukan
oleh pelaku.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Coruptio- corruptus, dalam bahasa Belanda disebut
Corruptus, dalam bahasa Inggris disebut Corruption, dan dalam bahasa sansekerta yang tertuang
dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harafia corrupt menunjukan kepada perbuatan yang
rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan uang20.
Secara harafia, tindak pidana korupsi berasal dari kata ‘’tindak pidana’’ dan kata ‘’korupsi’’.
Tindak pidana merupakan istiah teknis-yuridis dari bahasa belanda ‘’stafbaarfei’' atau ‘’delict’’
dengan pengertian sebagai perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja
dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya, dalam pengertian lain menurut Vito
Tanzi, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam
19
KUHP Pasal 10
20
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36079/5/Chapter%20III-V.pdf
pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sector swasta
Pendapat Vito Tanzi tersebut sejalan dengan pandangan Asean Development Bank yang
menformulasikan korupsi sebagai ‘’penyalahgunaan jabatan publik dan swasta untuk keuntungan
pribadi’’ lebih jauh dikatan bahwa korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sector
publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum , memperkaya diri
mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau mebujuk orang lain untuk
Secara yuridis pengertian korupsi, baik arti maupun jeninya diatur dalam 30 pasal dan telah
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi. Dalam pengertian yuridis, pengertian
korupsi tidak hanya terbatas pada perbutan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, tetapi juga meliputi perbuatan-perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, yang merugik masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu
ber berdasarkan jenisnya tindak pidana korupsi dapat di kelompokan sebagai berikut
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perokonomian Negara
(sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 jo UU NO.20
maupu pasif atau passive omkoping (yang disuap) serta gratifikasi (sebagai mana yang diatur
dalam pasal 5 ayat 1dan 2, pasal 6 ayat 1dan 2, pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta
pasal 12B ayat 1 dan 2, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
21
Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasinal Pencegahan Serta Pemberantasannya, Referensi, Jakarta
2013
3. Kelompok delik penggelapan (sebagaimana diatur dalam pasal 8, pasal 10 huruf a UU No.
31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi).
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevvelarij, extortion), (sebagaimana diatur
dalam pasal 12 huruf e dan f UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan 2, pasal 12 huruf g dan i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
Di samping kelompok delik yang telah diuraikan di atas, dalam ketentuan UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga di atur
mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu :
1 Setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau
tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi pasal 21.
2 Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, atau pasal 36 yang
dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar
pasal 22.
3 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 (pasal 24).
2.2. Penyebab Terjadinya Korupsi
Apa bila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa
dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pulah dikatakan sebagai, keinginan, niat, atau kesadaran
untuk melakukan.
korupsi
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa tindakan preventif dan pemberantasan korupsi
mencakup :
1. Adanya perturan perundang-undangan yang monopolistik yang hanya menguntungkan
pihak tertentu;
2. Kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai;
3. Tidak efektifnya Judicial Review oleh Mahkama Agung;
4. Peraturan kurang disosialisasikan;
5. Sanksi terlalu ringan;
6. Penerapan yang tidak konsisten dan pandang bulu;
7. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.
3. Masyarakat
dalam bahasa inggris atau juga komunitas. Secara etimologis “ community” berasal dari
kommunitat yang berakar pada comunete atau comman. Community mempunyai dua arti:22
1. Sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan
komunitas melibatkan manusia. Wilayah dan tempat tinggal juga menjadi elemen dalam
pembangunan masyarakat. Tetapi., tidak semua penulis menambahkan wilayah, tanah, atau batas
wilayah dalam definisi komunitas mereka. Wilkinson berpendapat bahwa komunitas adalah
manusia yang hidup bersama dalam ekologi setempat dengan batasan wilayah yang bias. Tetapi
beliau menulis kebiasaan batasan adalah tidak relevan apabila dijadikan salah satu pencaharian
22
http:/file.upi.edu/direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/19111091987031001-
MUSTOFA_KAMIL/pengertian_masyarakat.pdf
karakteristik utama dari suatu komunitas atau lingkungan. Thomas Hobber mengemukakan
bahwa komunitas adalah sebuah proses alamiah dimana orang-orang yang hidup bersama untuk
memaksimalkan kepentingan mereka, Hobbes merasa bahwa kepentingan diri sendiri dapat
Pendapat lain mendengar bahwa komunitas di identikan sebagai pemukiman kecil penduduk,
bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan lainnya :23
pengertian :
1. Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,
yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara
kelompok social lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut
ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini
sangant dirasakan.
3. Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu
Bedasarkan pengertian diatas dapatlah disebutkan kelompok masyarakat yang dicirikan menurut
lain.
2. Menurut lingkungan tempat tinggalnya seperti masyarakat hutan, pantai/pesisir.
3. Menurut tingkat kehidupan ekonomi seperti masyarakat miskin yang dibedakan dengan
masyarakat kaya.
4. Menurut tingkat pendidikan seperti masyarakat terpelajar, intelek/ berpengetahuan yang
dibedakan dengan masyarakat awam.
5. Menurut penataan lingkuangan /pemukiman masyarakat seperti masyarakat desa, kota ,
metropolitan.
6. Menurut lingkungan pergaulan agama seperti ulama, santri, gereja.
7. Menurut tingkat kehidupan social seperti masyarakat maju, tertinggal dan sebagainya.
8. Menurut jenis kelamin yang dibedakan antara perempuan dengan laki-laki.
Dari contoh pengelompokan masyarakat seperti di atas dalam konteks pemberdayaan masyarakat
maka focus perhatian lebih ditujukan kepada kelompok masyarakat yang masih
perlu diberdayakan mengingat kondisi masyarakat tidak berdaya. Konsep komunitas masyarakat
yang baik (good community) mengandung Sembilan nilai (the competent community):25
1. Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu dengan yang lain berdasar hubungan pribadi.
2. Komunitas memiliki otonomi, kewenangaan,dan kemampuan mengurus kepentingan
sendiri.
3. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri.
4. Distribusi kekayaan yag merata, setiap orang berkesempatan yang sama dan bebas
nenyatakan kehendaknya.
5. Kesempatan setiap anggota untuk berpatisipasi aktif dalam mengurus kepentingan bersama.
6. Komunitas member makna kepada anggotanya sejauh manakah pentingnya komunitas bagi
seorang anggota.
7. Di dalam komunitas dimungkinkan adanya heterogenitas dan perbedaan pendapat.
8. Di dalam komunitas, pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin pada
yang berkepentingan.
9. Di dalam komunitas bisa terjadi konflik, namun komunitas memiliki kemampuan untuk
managing conflict.
H.Roesmidi dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kumpulan
individu-individu semata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia
25
Ibid
hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk karena hubungan anggota-
terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut dengan sistem kemasyarakatan.
Emile Durkheim menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif
secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Cara yang
baik untuk mengerti tentang masyarakat adalah dengan menelaah ciriciri pokok dari masyarakat
itu sendiri. Sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka
1. Manusia yang hidup bersama Secara teoritis, jumlah manusia yang hidup bersama itu ada dua
orang. Di dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, tidak ada suatu ukuran yang mutlak
atau angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada.
2. Bergaul selama jangka waktu cukup lama.
3. Adanya kesadaran, bahwa setiap manusia merupakan bagian dari satu kesatuan.
4. Remisi
Remisi menurut Pasal 1 ayat 6 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana
yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang
26
Ibid
27
PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Menurut Pasal 34 ayat 1 PP No.99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.32
Tahun 1999, setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.
1. Narapidana dan Anak Pidana (Pasal 14 ayat 1 huruf i dan Pasal 22 ayat 1 UU No. 12 Tahun
2. Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil
menjalankan pidananya serta Narapidana dan Anak Pidana Asing (Pasal 11 Keputusan
Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999,
Pidana
3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan
dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,
28
Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Remisi.
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat
baik.
Pasal 34A Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999
tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan ;
1. Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
danwww.hukumonline.com
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau
Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme.
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan
secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4.2. Jenis-jenis remis
Jenis-ienis remisi menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999
1. Dalam Pasal 2
a. remisi umum, yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu
agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang
dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang
bersangkutan.
2. Pasal 3 ayat 1 yaitu: Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambah
dengan remisi tambahan apabila Narapidana atau Anak Pidana yang bersangkutan
Pemasyarakatan.
BAB III
narapidana setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan. Pengertian remisi dalam
Kamus Besar Bahasa Indoesia diartikan sebagai pengampunan hukuman yang diberikan kepada
orang yang terhukum. Menurut Andi Hamzah, remisi adalah sebagai pembebasan hukuman
untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup menjadi hukuman terbatas yang di
Pengertian Remisi Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan; “Remisi
adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana
yang memenuhi syarat- syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan”.
Remisi merupakan hak dari narapidana yang dijelaskan dalam pasal 14. UU No. 12 Tahun
29
Andi Hamzah, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Rafika Aditama,
Bandung, hlm 136
(1) Narapidana berhak :
dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Supaya dapat mengetahui tentang dampak remisi terhadap narapidana kasus korupsi
peneliti melakukan penelitan di LAPAS KLAS II A KUPANG adapun jumlah narapidana kasus
korupsi dan yang mendapatkan remisi atau tidak mendapatkan remisi serta keteranganya akan
Tabel 1
remisi remisi
PP No.28/2006
Tata Cara
Pelaksanaan Warga
Binaan
Pemasyarakatan
- 20 orang PP No.99/2012
perubahan kedua
1999
Sumber: LAPAS KLAS II A KUPANG
Sesuai dangan tabel 1 remisi diberikan pada Narapidana kasus korupsi pada saat ini yang
terjadi di LAPAS KLAS II A KUPANG sesuai dengan ketentuan PP No.28 Tahun 2006 dan PP
No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan
yang merupakan perubahan pertama dan kedua PP No.32/1999. Menurut Pasal 34 ayat 1 PP
No.99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.32 Tahun 1999, setiap narapidana dan
1. Narapidana dan Anak Pidana (Pasal 14 ayat 1 huruf i dan Pasal 22 ayat 1 UU No. 12
2. Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil
Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999, setiap narapidana
3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan
dengan:
c. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
predikat baik.
Pasal 34A Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP
32/1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan ;
1. Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau
Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme.
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan
korupsi yang semakin diperketat dengan tamabahnya satu point yaitu: “dengan membayar lunas
denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana
karena melakukan tindak pidana korupsi’’ dengan ketetuan yang ditambah ini, menunjukan
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi, untuk mengetahui dampak yang timbul
akibat pemberian remisi terhadap narapidana korupsi penelitih melakukan wawancara terhadap 2
orang narapidana kasus korupsi LAPAS KLAS II A KUPANG yaitu Syamsudin H Abdullah dan
Allan D. Modjo.
Syamsudin H. Abdullah narapidana korupsi yang masuk LAPAS pada tanggal 05-05-2011
dan telah mendapatkan remisi, sesuaidengan ketentuan PP No. 28 Tahun 2006, berikut adalah
Jenis-jeni remisi
Hari raya 17
Nama Jenis Masa Jumlah
keagamaan Agusutus Dasawarsa
kelamin penahanan remisi
1945
Syamsudin 3 kali 2 kali 1 kali
Abdullah
Sumber : LAPAS KLAS II A KUPANG
Sedangkan Allan D. Modjo adalah narapidana yang masuk LAPAS pada tanggal 10-06-2013
dengan lama pidana 3 tahun dan tidak mendapakan remisi akibat ketentuan tambahan yang
terdapat dalam PP No 99 Tahun 2012 yaitu membayar denda dan uang ganti rugi yang
diputuskan pengadilan, berikut adalah hasil wawancara dengan Syamsudin HA. dan Allan D
modjo yaitu:
d. Hasil wawancara dengan Syamsudin HA.
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
2) sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
pendapatnya tentang remisi, dan apa alasan sehingga narapidana kasus korupsi layak untuk
mendapatkan remisi. Allan D Modjo berpendapat tentang remisi adalah hak setiap waraga
binaan termaksud narapidana kasus korupsi yang telah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995
dan mengenai alasan mengenai mengapa ia merasa layak untuk mendapatkan remisi yaitu
pembatasan remisi yang dilakukan pemerintah melalui PP No. 99 Tahun 2012 tentu
Undang-undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah, hal ini diperkuat dengan asas lex
superior derogat lex inferiori (Undang-undang yang lebih tinggi dapat mengesampingkan
Mengenai hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU
Hierarki perturan perundang-undangan dan diperkuat dengan asas lex superior derogat lex
inferiori, alasan tersebutlah yang membuat Allan D Modjo menolak pembatasan pemberian
Pemasyarakatan, yang perlu diperhatikan adalah isi dari ketentuan dalam tersebut. PP 99
Tahun 2012 tidak diuraikan tentang menghilangkan remisi untuk narapidana kasus korupsi
pemasyrakat.
Adapun alasan lain sehingga ia layak mendapatkan remisi adalah karena telah menyadari
Uraian tentang hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan dampak yang timbul bila
narapidana korupsi tidak mendapatkan korupsi adalah dampak negatif karena apabila narapidana
telah menyadari kesalahannya dan telah mengikuti semua proses pembinaan di LAPAS namun
tak kunjung mendapatkan remisi melainkan narapidana lain mendapatkan remisi bisa timbulnya
rasa kecewa terhadap aturan yang berlaku, hal ini tentu akan berpengaruh tehadap proses
pemsyarakatan.
Hasil wawancara lain dilakukan dengan salah satu petugas lapas Jefri Sine dengan beberapa
pertanyaan, tentang mengapa narapidana kasus korupsi yang masuk LAPAS KLAS II A
KUPANG setelah diberlakukan PP No. 99 Tahun 2012 serta bagaimana respon dan sikap
narapidana korupsi setelah mendapatkan remisi, serta mengapa narapidana kasus korupsi di
LAPAS KLAS II A KUPANG tidak mendapatkan remisi. Mengenai respon dan sikap narapidana
kasus korupsi setelah mendapatkan remisi, mereka merasa senang karena mendapatkan remisi
dengan alasan sudah menyadari kesalahan yang dilakukan mereka, dan alasan lainnya adalah
rindu untuk kembali berkumpul bersama keluarga dan menjadi lebih senang menjalani semua
program binaan yang diberikan oleh pihak LAPAS. Mengenai narapidana yang tidak
mendapatkan remisi ada 20 orang warga binaan yang tidak mendapatkan remisi karena tidak
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan, ketentuan ini
terdapat dalam PP No.99 Tahun 2012.
Sesuai dengan hasil wawancara dengan petugas LAPAS yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat kita simpulkan bahwa dampak remisi kepada narapidana kasus korupsi di LAPAS KLAS
II A KUPANG yaitu berdampak positif bagi narapidana yang mendapatkan remisi dan dampak
negatif bagi narapidana yang tidak mendapatkan remisi. Hal ini dapat kita lihat dengan lebih
jelas dalam tabel berikut:
Tabel 3
terpenuhi. narapidana.
Mereka menjadi lebih antusias untuk Bisa timbulnya rasa cemburu karena
mengikuti program warga binaan yang mereka dijerat dengan tindak pidana
pemasyarakatan.
dengan mengeluarkan PP No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, hal ini menunjukan bahwa pemeritah serius untuk memberantas
Berbicara tentang remisi berarti berkaitan juga dengan pemidanan dalam hal ini dengan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan
atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada
pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi
pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi
Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar
pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai
tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi,
Teori ini memunculkan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
khusus (speciale preventif) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general
preventif) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama
pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk
melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan
30
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,, 2007, hlm. 11.
menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual
pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang.
Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan
kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di
masyarakat31.
Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,
karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai
satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan
sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.
Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
Melihat uraian sebelumnya tentang ketentuan pemberian remisi kepada narapidana korupsi
yaitu melalui PP No. 99 Tahun 2012, ini membuktikan bahwa pemerintah sangat serius untuk
memberikan sanksi pidana terhadap narapidana korupsi agar tidak mengulangi perbuatannya
setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Melihat ketentuan tersebut juga berkaitan dengan
teori pemidanaan yaitu teori relatif atau tujuan (Doel Theorien). Teori relatif ini berasas pada tiga
tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Hal ini yang mebuat remisi
yang diberikan kepada narapidana kasus korupsi sangat berkaitan dengan upaya pemerintah
31
Zainal Abidin, Ibid, hlm. 11
32
http://diglib.unila.ac.id/2287/8/BAB%2011.pdf
B. Dampak yang Timbul Dalam Masyarakat Karena Pemberian Remisi Terhadap
Remisi yang diberikan kepada narapidana kasus korupsi dapat menimbulkan berbagai
pandangan masyarakat dimana korupsi merupakan kejahatan luar biasa hal ini menibulkan
perhatian besar oleh masyrakat untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang remisi yang
diberikan kepada narapidana kasus korupsi peneliti melakukan wawan cara terhadap beberapa
Tabel 4
remisi terhadap
remisi
Hery L Masiswa remisi yang diberikan
kepada narapidana korupsi
seharusnya ditiadakan
mengingat korupsi
merupakan tindak pidana
luar biasa. Hal ini juga untuk
memberi efek jera kepada
narapidana
Narapidana korupsi tetap
mendapatkan remisi karena
Jemris L Mahasiswa
itu merupakan hak setiap
warga binaan, apalagi
mereka kalau mereka sudah
menyadari kasalahan yang
mereka perbuat
Remisi seharusnya tetap
diberikan karena tidak baik
Sarvulus L PNS
juga seorang narapidana
terlalu lama dalam penjara,
bisa saja dia merasa tertekan
berada dalam penjara dan
remisi merupkan hak setiap
Narapidana
Remisi kepada narapidana
korupsi tidak perlu diberikan
Agus L Wiraswasta
karena perbuatan tersebut
sangat merugikan Negara
Adi L Tukang ojek Terserah pemerintah mau
Linda P Ibu diberikan atau tidak remisi
rumahtangga tersebut intinya penjatuhan
Jovi L Sopir Angkot pidananya yang berat,
jangan hanya satu atau dua
tahun saja.
Sumber : Hasil wawancara dengan masyrakat di kota Kupang
Selain dari hasil wawancara yang di jelaskan dalam tabel kita juaga dapat melihat
Remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi medapat penolakan dari ICW ( Idonesia
Corruption Watch ) dengan statement “terhadap tindak pidana khusus sepertinarkoba, dan
kemudian khususnya tindak pidana korupsi pemerintah tidak memberikan obral kepada
mereka-mereka dengan tndak pidana khusus tersebut. Latar belakangnya tentu disebabkan
tindak pidana ini serius dan memberi dampak yang luas kepada masyarakat, sehingga
kemudian alasan perintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan Ham, melakukan opera
remisi dengan logika over capacity terhadap Lembaga Pemasyarakatan itu tidak tepat,”
ucap koordinator korupsi politik ICW Donald Faris dan ada pula pendapat seorang
mahasiswa yang dimuat media online “kalau pengobralan remisi itu dalam artian karena
ada kepentingan khusus, itu tidak setuju,” pendapat lain pun muncul dari seorang
wiraswasta “tidak setuju, karena koruptor itu menyengsarakan rakyat Indonesia, makan
Uraian dalam tabel dan hasil kutipan dari media online diatas menjelaskan bahwa dampak
yang timbul dalam masyarakat adalah timbulnya pro dan kontra terhadap remisi yang diberikan
terhadap narapidana kasus korupsi. Hal ini tentu harus sangat diperhatikan oleh pemerintah
dengan meberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya remisi dalam proses
pemsyarakatan.
33
Kompas.com,icw kritik pemberian remisi bagi koruptor pada peringatan HUT RI, 12 Agustus 2015
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuaraikan. Maka disimpulkan bahwa dampak
1. Remisi yang diberikan terhadap narapidana kasus korupsi berdampak positif bagi
narapidana itu sendiri karena dengan remisi mebuat narapidana senang, hal itu juga
membantu narapidana dalam proses menjalani masa pemasyrakatan dan dengan melihat
upaya pemerintah dalam memperketat ketentuan dalam PP No.99 Tahun 2012 untuk
memberikan terhadap narapidana kasus korupsi, hal ini berkaitan juga dengan tujuan
pemidanaan yaitu dalam teori tujuan (relatif), teori ini memunculkan tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventif) yang ditujukan
kepada pelaku yang dimaksudkan agar narapidana sadar atas kesalahan yang dilakukan
masyarakat atau orang lain takut dan tidak mencoba melakukan tindak pidana tersebut.
Melihat upaya tersebut membuktikan pemerintah serius untuk menidak para narapidana
korupsi. Sebagai contoh di LAPAS KLAS II A KUPANG narapidana korupsi yang masuk
setelah diberlakukan PP No.99 Tahun 2012 tidak mendapatkan remisi karena tidak
kasus korupsi yang masuk sebelum berlakunya PP No.99 Tahun 2012 tetap mendapatkan
remisi sesuai ketentuan PP No.28 Tahun 2006 tentang Pemasyaraktan, berkaitan dengan
itu juga secara umum narapidana kasus korupsi yang tidak mendapatkan remisi di
LAPAS KLAS II A KUPANG akibat tidak membayar denda dan uang pengganti sesuai
dengan putusan pengadilan seperti yang tercantum dalam pasal 34A PP No.99 tahun
2012 tentu hal ini berdampak negatif bagi narapidana korupsi yang tidak mendapatkan
remisi karena dapat menimbulkan kecemburuan karena meraka dipidana dengan tindak
2. Dampak yang timbul dalam masyarakat akibat remisi yang diberikan kepada narapidana
kasus korupsi adalah timbulnya penolakan dan penerimaan dari masyarakat. Sebagian
masyarakat menolak remisi yang diberikan terhadap narapidana korupsi karena korupsi
narapidana korupsi karena remisi merupakan hak dari setiap warga binaan, dan sebagian
masyarakat tidak peduli dengan pemberian remis terhadap narapidana korupsi akann
B. SARAN
1. Sesuai dengan yang terjadi di LAPAS KLAS II A KUPANG sebagian narapidana kasus
korupsi tidak mendapatkan remisi karena ketentuan mebayar lunas denda dan uang
pengganti yang dijelaskan dalam pasal 34 PP No.99 Tahun 2012 hal ini tentu akan
menggangu prose pembinaan yang diberikan pihak LAPAS yang jelaskan dalam tabel 4.
Remisi tetap perlu diberikan terhadap narapidana kasus korupsi selama fungsi dan tujuan
pemasyarakatan itu terpenuhi setelah fungsi dan tujuan pemasyarakatan tercapai maka
narapidana berhak mendapatkan remisi, dan karena korupsi merupakan kejahatan luar
biasa maka yang perlu dibatasi adalah jumlah remisi yang diberikan, dalam kaitannya
tahanan yang lebih lama dari pada tindak pidana yang lain.
2. Dampak yang terjadi dalam masyarakat karena remisi yang diberikan kepada narapidana
kasus korupsi yaitu timbunya penolakan dengan alasan korupsi merupakan kejahatan luar
biasa, supaya memberikan efek jera, dan karena korupsi menyengsarakan rakyat.
Penolakan yang timbul ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena itu perlunya
agar masyarakat dapat lebih mengerti dan memahami kenapa remisi perluh tetap