Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Korupsi di Indonesia sudah menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan, adapun upaya yang

dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia sudah di mulai pada saat penetapan Peraturan

Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat (selanjutnya disebut P4 AD) Prt/peperpu/013/1958

tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan pemilikan

Harta Benda selang 2 (dua) tahun sejak berlakunya P4 AD kemudian dicabut dengan di

keluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960 tentang

pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi (LN No. 72 Tahun 1960) 1,

namun tetap masih mengacu pada pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengaturan pemberantasan korupsi melalui

Perpu tersebut terbukti masih lemah dan tidak efektif karena korupsi masih di pandang sebagai

kejahatan biasa, bukan sebagai kejahatan yang sangat merugikan, untuk meningkatakan

efektivitas pemberantasan korupsi pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 19 Tahun 1971) sebagai pengganti Perpu

tahun 19602. Di dalam Undang-undang tersebut telah ditetapkan korupsi sebagai tindak pidana

yang berdiri sendiri dan tidak lagi merupakan salah satu jenis kejahatan sebagaimana di atur

1
Orpa G. Manuain, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Koorporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis
program magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2005, Semarang
2
Romli Atmasasmita , Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju,
2004, Jakarta, hlm 5-6
dalam KUHP dan pembaruan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut ialah telah

ditetapkan kerugian keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi3.

Sejalan dengan itu pemerintah melaksanakan perubahan–perbuhan atas undang- undang

No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 140 Tahun 1999)

yang menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Di dalam UU No.31 Tahun 1999

terdapat beberpa pembaruan mendasar yaitu :4

1. Tindak pidana korupsi telah dirumuskan secarah formil, yaitu meskipun hasil korupsi

telah dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dituntut dan

diajukan kesidang pengadilan dan dapat di pidana.


2. Dianutnya sistem pembuktian terbalik murni yang mewajibkan kepada terdakwa di muka

sidang pengadilan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi jika ia dapat

membuktikannya dan hakim yakin atas bukti-bukti yang diajukannya, maka terdakwa

dibebaskan. Sebaliknya jika ia tidak dapat membuktikannya dan hakim yakin terdakwa

bersalah atas perbuatanya maka ia dijatuhi pidana , yang bervariasi , paling singkat satu

tahun sampai dengan tiga tahun, dan paling lama antara sepuluh tahun atau limabelas

tahun atau pidana mati.


3. Pemberian uang di atas jumlah tertentu ( Rp 10.000.000,-) harus dianggap suap kecuali

dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan ini maka perbuatan suap sudah merupakan

delik formil.
4. Penyitaan atas harta terdakwa dapat dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah

dijatuhkan putusan pengadilan dan tidak dibatasi oleh masa kadaluarsa.

3
Ibid, hlm. 6
4
Ibid, hmm. 8-9
Kemudian dengan UU No. 20 Tahun 2001 perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( LN No. 134 Tahun 2001) sebagai penyempurnaan

kembali perumusan tindak pidana korupsi.

Secarah jujur harus diakui bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya semata-

mata bertumpu pada langkah penegakan hukum yang bersifat represif melainkan juga tergantung

dari pelaksanaan langka preventif yang efektif. Langkah preventif yang dimaksud adalah dengan

mempersiapkan tatanan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) langkah

tersebut sudah mulai dilaksanakan dengan diberlakukanya Undang-undang No.28 tahun 1999

tentang penyelenggaran Negara yang bersih dan berwibawa. Undang-undang No.28 tahun 1999

disusun untuk dijadikan perangkat hukum secara moralistik dapat mencegah penyelengara

Negara terjerumus ke dalam tindak pidana korupsi5.

Di samping itu, tindak pidana korupsi merupakan ancaman serius yang tidak saja

menyerang sendi-sendi perekonomian nasional suatu Negara, namun dampaknya juga sangat

mempengaruhi sistem perekonomian internasional serta melemahkan nilai-nilai demokrasi dan

nilai-nilai keadilan di semua Negara. Berdasarkan kenyataan tersebut, pemberantasan tindak

pidana korupsi bukan merupakan tanggung jawab satu negara saja, namun merupakan tanggung

jawab bersama Negara-negara di dunia yang dalam penegakan hukumnya membutuhkan

kerjasama internasional. Negara-negara di dunia harus bekerja sama dalam memberantas tindak

pidana korupsi, karena kejahatan ini selain bersifat extraordinary crime juga bersifat borderless

(tidak memandang batas-batas Negara) dan transnational (lintas Negara). Oleh Karena itu

penanganannya juga harus secara global dan transnasional. Namun kerjasama ini tidak semata-

mata hanya menghukum para koruptor sehingga menciptakan efek jera (deterrent effect) namun

juga diusahakan semaksimal mungkin agar kerugian Negara dapat diselamatkan (asset recovery).
5
Ibid, hlm 9
Untuk menyelamatkan aset (asset recovery) dalam penanganan tindak pidana korupsi, Setiap

Negara harus membuka hubungan kerja sama yang lebih luas, tidak hanya dalam penegakan

hukum pelaku tetapi juga dalam mengembalikan asset hasil korupsi yang

dilarikan/disembunyikan di wilayah Negara lain. Hal tersebut sejalan dengan Konvensi PBB

Menentang Korupsi 2003, yang mengatur tentang pemulihan aset (asset recovery). Dalam

Konvensi tersebut telah diatur bahwa pengembalian asset adalah prinsip yang mendasar, dan

negara-negara peserta harus melakukan usaha seluas-luasnya untuk bekerja sama dan memberi

bantuan dalam usaha penyelamatan aset. Hal ini berarti tujuan yang paling mendasar dari

Konvensi PBB Menentang Korupsi ini adalah bagaimana mengembalikan aset-aset Negara

dalam rangka pemulihan ekonomi. Sebagaimana disebutkan di atas, usaha-usaha asset recovery

terutama untuk asset yang berada di negara lain, membutuhkan kerja sama diantara negara-

negara terkait. Salah satunya adalah dengan perjanjian bantuan hukum timbal balik masalah

pidana atau Mutual Legal Assistance in criminal matters (MLA) Agreement.

Melihat upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah nasional dan internasional

untuk memberantas korupsi rakyat Indonesia sangat mengapresiasinya namun dengan

banyaknya pemberitaan di media masa tentang pemberian remisi atau pengurangan masa

hukuman kepada Narapidana korupsi rakyat Indonesia kembali mempertanyakan lagi bagaimana

keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Pemberian remisi diatur di dalam:6

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (LN No.69 Tahun 1999).
2. Perturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan

Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (LN No.61 Tahun 2006).

6
http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan

kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.


4. Peraturan Mentri No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi,

Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang

Bebas, Dan Cuti Bersyarat (BN No. 832 Tahun 2013).


Remisi adalah hak dari setiap narapidana seperti yang tercantum dalam pasal 14 ayat (1) huruf i

yaitu narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), adapun jenis- jenis

remisi yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang

Remisi yaitu :7
a. Remisi umum
b. Remisi khusus
c. Remisi tambahan
Pemberian remisi terhadap narapidana korupsi ini berkiatan juga dengan mewujudkan tujuan

sistem pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun1995 tentang

Pemasyarakatan seperti dalam pasal 1 yaitu untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
Saat ini peraturan yang mengatur tentang pemberian remisi terhadap narapidana adalah

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sebagaimana yang kita tahu,tindak pidana korupsi digolongkan kejahatan luar biasa dengan

remisi yang diberikan pemerintah terhadap narapidana kasus korupsi tentu saja akan muncul

pendapat-pendapat masyarakat mengenai remisi dan akibatnya terhadap narapidana itu sendiri,

7
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
serta pengaruhnya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berdasarkan masalah tersebut penulis

mengambil judul : Dampak Pemberian Remisi Terhadap Terpidana Korupsi.


B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang maka untuk merumuskan atau mengidentifikasi persoalan

hukum dalam rumusan masalah sebagai berikut :


1. Apa dampak dari pemberian remisi kepada terpidana korupsi dalam kaitannya dengan

upaya untuk memberantas korupsi ?


2. Bagaimana dampak yang timbul dalam masyarakat karena pemberian remisi terhadap

terpidana korupsi ?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN


a. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian remisi terhadap terpidana korupsi dan terhadap

upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia.


2. Untuk mengetahui dampak yang timbul dalam masyarakat seperti pandangan atau

pendapat mereka tentang pemberian remisi terhadap terpidana korupsi

b. Kegunaan Penelitian

Penulisan yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat baik bagi penulis maupun

pembaca seperti :

1. Bagi ilmu pengetahuan khususnya Hukum Pidana, penulisan ini bisa dijadikan sebagai

acuan dalam memperluas pengetahuan hukum masyarakat serta memberikan sumbangan

pemikiran bagi hukum pidana


2. Bagi masyarakat penulisan ini diharapkan dapat membuka pemikiran dan meningkatkan

kesadaran untuk berpartisipasi dalam proses pengakan hukum yang dilakukan pemerintah

untuk mewujudkan cita-cita Negara yang bersih dari korupsi


3. Bagi institusi terkait dalam proses pemberian remisi, untuk menjadi pertimbangan dan

masukkan dalam memberikan remisi kepada terpidana korupsi.


D. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas I A Kupang dan masyarakat di wilaya kota Kupang
2. Spesifikasi Penelitian.
Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang

datanya diperoleh dilapangan, yang ditunjang dengan penelitian hukum normatif, yaitu

penelitin yang berdasarkan aturan hukum yang berlaku.

3. Jenis dan sumber data


1. Data primer: yaitu data yang diperoleh langsung dilokasi penelitian.
2. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literature yang berkaitan

dengan obyek penelitian.

4. Aspek Penelitian
Aspek yang diteliti menyangkut dampak dari pemberian remisi terhadap terpidana korupsi

meliputi:
1. Tentang dampak pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi barkaitan dengan

upaya memberantas koruptor.


2. Dampak yang akan timbul dalam masyarakat apabila narapidana kasus korupsi tetap

diberikan Remisi.

5. Populasi, Sampel, Dan Responden


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yakni dilakukan di LAPAS klas II A KUPANG terhadap

terpidana kasus korupsi dan dikalangan masyarakat wilayah kota kupang.


2. Sampel
Tehnik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah porepose sampling (sampel

penunjukan) yakni dari populasi yang akan ditunjuk.


3. Responden

Responden dalam data penelitian ini adalah:

1. Terpidana : 2 orang
2. Masyarakat: Masyarakat Terpelajar 4 Orang
Masyarakat Awam 3 Orang
4. Informan
1. Pegawai lapas 1 orang
6. Tehnik pengumpulan data
1. Wawancara
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dalam penelitian ini maka peneliti akan

melakukan wawancara secara langsung dengan responden yang sudah ditentukan untuk

mendapatkan data yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.


2. Observasi
Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara langsung kepada

narapidana korupsi di lapas klas 1A Kupang.


3. Koesioner
Daftar pertanyaan yang digunakan sebagai teknik dalam pengumpulan data yang disusun

secara sistematis.

7. Pengolahan data dan Analisis data

Pengolahan Data yaitu semua data yang diperoleh akan diolah sebagai berikut:

1. Editing : memeriksa atau mengecek kembali kelengkapan data yang diperoleh.


2. Tabulasi : memasukan data kedalam table distribusi frekuensi.

Analisis data yaitu: data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kulitatif dengan

berpatokan kepada pada aspek penelitian ini.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak pidana
1.1. Pengertian tindak pidana menurut para ahli

Tindak pidana atau dikenal dengan istilah strafbaarfeit dalam bahasa belanda walaupun

secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaarfeit. Terjemahan strafbaarfeit ke dalam bahasa

Indonesia diterjamahkan dengan istilah misalnya tindak pidana, delik, peristiwa pidana,

perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana dan sebagainya8.

Pendapat para ahli mengenai tindak pidana adalah :9

1. Menurut Pompe strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu

pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun

dengan tidak sengaja tidak telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perluh demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan hukum.


2. Moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan

dianacam dengang pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut.

Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata

pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.

8
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, refika Aditama, 2011, Bandung hlm 96-97
9
PAF. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Banddung, 1997, hlm. 182
1.2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :10

1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manuisia;


2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
3. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum)
4. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan;
5. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat

Sementara itu menurut Leobby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana

meliputi :11

1. Perbutan manusia baik aktif maupun pasif;


2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang;
3. Perbuatan itu diangap melawan hukum;
4. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan;
5. Pelakunya dapat dipertanggung jawabkan;

1.3. Jenis-jenis tindak pidana

Tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Kejahatan dan pelanggaran.

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebut oleh Undang-undang. KUHP dalam

buku II memuat delik-delik yang disebut kejahatan dan dalam buku III delik-delik yang disebut

pelanggaran. Secara ilmu pengetahuan, kedua jenis tersebut dibedakan dalam dua pendapat

yaitu:12

1. Perbedaan yang bersifat kualitatif


2. Perbedaan yang bersifat kuantitatif

1. Perbedaan yang bersifat kualitatif

10
Erdianto Effendi, Ibid, hlm 98
11
Ibid, 99
12
http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/15/jhptump-a-wahyuoktri-711-2-babii.pdf
Menurut perbedaan yang bersifat kualitatif didapati 2 (dua) jenis delik, ialah:

a. Rechtsdelicten
b. Wetdelicten
a) Rechtsdelicten

Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan. Misalnya

pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan.

b) Wetdelicten

Wetdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru didasari sebagai suatu tindak pidana,

karena Undang-Undang menyebutnya sebagai delik jadi karena ada Undang-undang

mengancamnya dengan pidana. Misalnya memparkir mobil disebelah kanan jalan. Delik-delik

semacam ini disebut pelanggaran. Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada

kejahatan yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam Undang-undang Pidana, jadi

sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan dan

sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa

keadilan.

2. Perbedaan yang bersifat kuantitatif

Pendapat ini hanya meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi,
ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan.

1.4. Tujuan Pemidanaan


Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori
tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide
dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan
bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang
berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian
(utilitarian view). Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif
terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini
melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar
tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat kebelakang
(backward-looking). Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan
dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau
tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah
orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan
berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan
(detterence)13.

1.5. Teori pemidanaan

Teori pemidanaan dibagi dalam tiga teori yaitu : Teori Pembalasan, Teori Tujuan, Teori

Gabungan.
1. Teori Pembalasan
Teori ini dikenal sejak akhir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh ahli-ahli filsafat

Jerman. Pokoknya, yang dianggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah pembalasan

(Belanda: vergelding, Jerman: vergeltung). Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap

perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Akan tetapi tentang maksud dari pembalasan itu

para ahli dari teori ini tidak pula sepaham, yang dapat pula diperinci atas 4 teori:14
a. Teori Immanuel Kant.

13
http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf
14
H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, 2015: Malang hlm.53-54
Menurut kant kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan. Ia mencontohkan apabila

seseorang melakukan tindak pidana, maka pidana akan merupakan tuntutan mutlak

dari hukum dan kesusilaan. Oleh karena Kant mendasarkan teorinya atas kesusilaan

(zedelijkheid), maka teorinya dinamakan: Teori pembalasan bersifat etis (de ethise

vergeldingstheorie).
b. Teori Hegel
Hegel berpendapat bahwa hukum (keadilan) itu merupakan kenyataan yang dalam

istilah hegel disbut “these”, sedangkan ketidakadilan (kejahatan) berarti menyangkal

keadilan yang dalam istilah Hegel disebut “anti these”. Ketidak adilan itu bersifat

nyata, karena itu harus ditiadakan, dan ini hanya dapat dilaksanakan dengan

melkukan ketidak adilan pula, yaitu dengan menjatuhkan tindak pidana, karena

pidana pun merupakan ketidakadilan. Cara berpikir Hegel ini dalam dunia filsfat ini

disebut berpikir secara dealektis (de dealectise vergeldingstheorie).


c. Teori Herbart
Menurut Herbart kejahatan menimbulkan rasa ketidakpuasan dalam masyarakat.

Maka agar masyarakat puas, si pelanggar itu harus dipidana. Mempidana masyarakat

adalah suatu keharusan menurut estetika. Oleh karena Herbart mendasarkan

pikirannya kepada estetika, maka disebut: Teori pembalasan berdasarkan estetika (de

aesthetise vergeldingstheorie). Teori ini sebetulnya berasal dari Aristoteles dan

kemudian dipertahankan oleh Thomas Aquinas.


d. Teori Julius Stahl
Stahl berdasarkan atas pikiran ketuhanan (theologis). Menurut Stahl Negara adalah

wakil Tuhan di dunia. Bila seseorang melakukan kejahatan bararti dia melanggar

ketertiban tuhan yang ada dalam masyarakat. Maka agar ketertiban itu dapat

dipertahankan kembali, si penjahat itu mesti dipidana yang setimpal. Teori ini
dinamakan: Teori pembalasan ke- Tuhanan (Theologis/religious vergeldingstheorie)

pengikutnya antara lain Gewin dan Rambonnet.


2. Teori tujuan

Teori Tujuan atau Teori Relatif mendasarkan pandangan kepada maksud dari pemidanaan,

yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Artinya,

dipertimbangkan juga pencegahan mendatang.

Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori absolut (mutlak), dalam teori

absolut tindak pidana dihubungkan dengan kejahataan, maka pada teori relatif ditujuhkan kepada

hari-hari yang akan datang yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat, agar

menjadi lebih baik.

Teori relatif atau teori atau teori tujuan yang tertua adalah teori pencegahan umum. Diantara

teori pencegahan umum ini yang tertua adalah yang bersifat menakut-nakuti. Menurut teori ini

bahwa untuk melindungi ketertiban umum (masyarakat) terhadap suatu tindak pidana maka

pelaku yang tertangkap harus dijadikan contoh dengan pidana yang sedemikian rupa sehingga

orang menjadi taubat.

Sedangkan teori relatif yang lebih modern dengan teori pencegahan khusus. Teori ini

berpandangan bahwa tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari pelaku tindak

pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi15.

3. Teori gabungan

Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori tujuan, penganut teori

gabungan antara lain adalah Binding. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan

15
Erdianto Effendi , ibid, hlm.142
bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan mendatang, karena pemidanaan

harus dapat memberi kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun pada masyarakat16.

1.6. Bentuk-bentuk Pidana

Secara keilmuan, bentuk pidana bentuk pidana dapat dibedakan berdasarkan objek yang

dapat dipidana. SR. Sianturi membagi bentuk-bentuk pidana kedalam beberapa bentuk, yaitu :17

1. Pidana jiwa; pidana mati


2. Pidana badan pelaku; pencambukan dengan rotan, pemotongan bagian badan (misalkan

jari tangan), dicap bara dan lain sebagainya


3. Pidana kemerdekaan pelaku; pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan,

pembuangan, pengusiran, penginterniran, penawanan, dan sebagainya.


4. Pidana kehormatan pelaku misalnya pencabutan hak tertentu, pencabutan Surat Izin

Mengemudi, pengunguman putusan hakim, teguran dan lain sebagainya.


5. Pidana atas harta benda/kekayaan; pidana denda, permpasan barang (tertentu), membayar

haraga suatu barang yang tidak belum dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya.

Dalam sistem hukum Islam, pidana badan dan dan pidana jiwa merupakan merupakan pidana

yang paling dikenal. Sedangkan dalam hukum pidana barat pidana penjara menjadi pilihan yang

lebih banyak dimasukan dalam pasal-pasal KUHp maupun ketentuan pidana diluar KUHP.

Dalam sistem huku adat Indonesia, pidana kemerdekaan juga tidak terlalu dikenal.

Selain pidana tersebut, hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang berbentuk perintah,

antara lain :18

1. Perintah untuk menempatkan seeorang sakit/ cacat jiwa dalam rumah sakit jiwa (Pasal 44

KUHP). Dalam pengembangannya juga pengobatan paksa bagi seorang psychoopaat.

16
Ibid, hlm 143
17
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Ahaem-petehaem, Jakarta, 1986,
hlm. hlm. 452
18
Erdianto Effendi, Ibid 146
2. Pendidikan paksa dan pengembalian seorang anak yang belum cukup umur kepada orang

tuanya (Pasal 45 KUHP)

Bentuk pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam pasal 10 terdiri dari pidana pokok dan

pidana tambahan yaitu :19

1. Pidana pokok terdiri dari :


a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda.
2. Pidana tambahan terdiri dari :
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengunguman putusan hakim

Bentuk-bentuk pidana diatas akan diberikan sesuai dengan perbuatan pidana apa yang dilkukan

oleh pelaku.

2. Tindak Pidana Korupsi


2.1. Pengertian Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Coruptio- corruptus, dalam bahasa Belanda disebut

Corruptus, dalam bahasa Inggris disebut Corruption, dan dalam bahasa sansekerta yang tertuang

dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harafia corrupt menunjukan kepada perbuatan yang

rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan uang20.

Secara harafia, tindak pidana korupsi berasal dari kata ‘’tindak pidana’’ dan kata ‘’korupsi’’.

Tindak pidana merupakan istiah teknis-yuridis dari bahasa belanda ‘’stafbaarfei’' atau ‘’delict’’

dengan pengertian sebagai perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja

dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya, dalam pengertian lain menurut Vito

Tanzi, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam
19
KUHP Pasal 10
20
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36079/5/Chapter%20III-V.pdf
pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sector swasta

maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku

Pendapat Vito Tanzi tersebut sejalan dengan pandangan Asean Development Bank yang

menformulasikan korupsi sebagai ‘’penyalahgunaan jabatan publik dan swasta untuk keuntungan

pribadi’’ lebih jauh dikatan bahwa korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sector

publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum , memperkaya diri

mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau mebujuk orang lain untuk

melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka di tempatkan21.

Secara yuridis pengertian korupsi, baik arti maupun jeninya diatur dalam 30 pasal dan telah

dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi. Dalam pengertian yuridis, pengertian

korupsi tidak hanya terbatas pada perbutan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara, tetapi juga meliputi perbuatan-perbuatan yang

memenuhi rumusan delik, yang merugik masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu

ber berdasarkan jenisnya tindak pidana korupsi dapat di kelompokan sebagai berikut

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perokonomian Negara

(sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 jo UU NO.20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidan korupsi)


2. Kelompok delik penyuapan (bribery), baik aktif atau active omkoping ( yang menyuap)

maupu pasif atau passive omkoping (yang disuap) serta gratifikasi (sebagai mana yang diatur

dalam pasal 5 ayat 1dan 2, pasal 6 ayat 1dan 2, pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta

pasal 12B ayat 1 dan 2, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

21
Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasinal Pencegahan Serta Pemberantasannya, Referensi, Jakarta
2013
3. Kelompok delik penggelapan (sebagaimana diatur dalam pasal 8, pasal 10 huruf a UU No.

31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi).
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevvelarij, extortion), (sebagaimana diatur

dalam pasal 12 huruf e dan f UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).


5. Kelompok delik pemalsuan (sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).


6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan (sebagaimana

diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan 2, pasal 12 huruf g dan i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Di samping kelompok delik yang telah diuraikan di atas, dalam ketentuan UU No. 31 Tahun

1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga di atur

mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu :

1 Setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau

tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap

tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi pasal 21.
2 Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, atau pasal 36 yang

dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar

pasal 22.
3 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 (pasal 24).
2.2. Penyebab Terjadinya Korupsi

Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan hasil penelitiannya

mengidentifikasi beberapa asapek penyabab terjadinya perbuatan korupsi sebagai berikut:

2.2.1. Aspek Individu Pelaku Korupsi

Apa bila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa

dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pulah dikatakan sebagai, keinginan, niat, atau kesadaran

untuk melakukan.

Sebab-sebab seseorang terdorong untuk melakukan korupsi antara lain karena :

1. Sifat tamak manusia;


2. Moral yang kurang kuat menghadapi godaan;
3. Penghasilan yang kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar;
4. Kebutuhan hidup yang mendesak;
5. Gaya hidup yang konsumtif;
6. Malas atau tidak mau bekerja keras;
7. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.
2.2.2. Aspek Organisasi
1. Kurang adanya teladan dari pemimpin;
2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar;
3. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai;
4. Kelemahan sistem pengedalian manajemen;
5. Manajemen cendrung menutupi korupsi dalam organisasinya.
2.2.3. Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
1. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi;
2. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap paraktek korupsi

adalah masyarakat sendiri;


3. Masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri terlibat dalam setiap praktek

korupsi
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa tindakan preventif dan pemberantasan korupsi

hanya akan berhasil kalau masyarakat ikut aktif melkukannya;


5. Generasi muda Indonesia dihadapkan dengan praktek korupsi sejak lahir;
6. Penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
2.2.4. Aspek peraturan perundang-undangan
Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan didalam penundang-undangan, yang

mencakup :
1. Adanya perturan perundang-undangan yang monopolistik yang hanya menguntungkan

pihak tertentu;
2. Kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai;
3. Tidak efektifnya Judicial Review oleh Mahkama Agung;
4. Peraturan kurang disosialisasikan;
5. Sanksi terlalu ringan;
6. Penerapan yang tidak konsisten dan pandang bulu;
7. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.

3. Masyarakat

Masyarakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat atau community

dalam bahasa inggris atau juga komunitas. Secara etimologis “ community” berasal dari

kommunitat yang berakar pada comunete atau comman. Community mempunyai dua arti:22

1. Sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan

sejarah yang sama.


2. Sebagai suatu pemuliman yang terkecil di atasnya ada kota kecil, dan di atas kota kecil ada

kota atau kota besar.


Hillery dan lewis telah menyimpulkan banyak literature dan mengusulkan empat komponen

utama untuk mendefinisikan konsep komunitas. Pertama dan terutama bahwa

komunitas melibatkan manusia. Wilayah dan tempat tinggal juga menjadi elemen dalam

pembangunan masyarakat. Tetapi., tidak semua penulis menambahkan wilayah, tanah, atau batas

wilayah dalam definisi komunitas mereka. Wilkinson berpendapat bahwa komunitas adalah

manusia yang hidup bersama dalam ekologi setempat dengan batasan wilayah yang bias. Tetapi

beliau menulis kebiasaan batasan adalah tidak relevan apabila dijadikan salah satu pencaharian
22
http:/file.upi.edu/direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/19111091987031001-
MUSTOFA_KAMIL/pengertian_masyarakat.pdf
karakteristik utama dari suatu komunitas atau lingkungan. Thomas Hobber mengemukakan

bahwa komunitas adalah sebuah proses alamiah dimana orang-orang yang hidup bersama untuk

memaksimalkan kepentingan mereka, Hobbes merasa bahwa kepentingan diri sendiri dapat

ditemukan dalam kelompok.

Pendapat lain mendengar bahwa komunitas di identikan sebagai pemukiman kecil penduduk,

bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan lainnya :23

1. Komunitas memiliki kesadaran kelompok (group consciousness) yang kuat.


2. Komunitas tidak terlalu besar sehingga dapat saling mengenal pribadi tetapi tidak terlalu

kecil sehingga dapat berusaha bersama secara efisien.


3. Komunitas bersifat homogeny.
4. Komunitas hidup mandiri (self sufficient).

Menurut ensiklopedi Indonesia, istilah “masyarakat” sekurang-kurangnya mengandung tiga

pengertian :

1. Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,
yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara

kelompok social lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut

gemain-schaft atau masyarakat paguyuban.


2. Merupakan keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehudupan bersama. Istila

ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini

sangant dirasakan.
3. Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu

autonomi (relative), seperti masyarakat barat, masyarakat primitive yang merupakan

kelompok suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.

Bedasarkan pengertian diatas dapatlah disebutkan kelompok masyarakat yang dicirikan menurut

hubungan manusianya serta nilai social yang berlaku sebagai berikut:24


23
Ibid
24
Ibid
1. Menurut mata pencaharian, seperti masyarakat petani, nelayan, buruh, pedagang, dan lain-

lain.
2. Menurut lingkungan tempat tinggalnya seperti masyarakat hutan, pantai/pesisir.
3. Menurut tingkat kehidupan ekonomi seperti masyarakat miskin yang dibedakan dengan
masyarakat kaya.
4. Menurut tingkat pendidikan seperti masyarakat terpelajar, intelek/ berpengetahuan yang
dibedakan dengan masyarakat awam.
5. Menurut penataan lingkuangan /pemukiman masyarakat seperti masyarakat desa, kota ,
metropolitan.
6. Menurut lingkungan pergaulan agama seperti ulama, santri, gereja.
7. Menurut tingkat kehidupan social seperti masyarakat maju, tertinggal dan sebagainya.
8. Menurut jenis kelamin yang dibedakan antara perempuan dengan laki-laki.

Dari contoh pengelompokan masyarakat seperti di atas dalam konteks pemberdayaan masyarakat

maka focus perhatian lebih ditujukan kepada kelompok masyarakat yang masih

perlu diberdayakan mengingat kondisi masyarakat tidak berdaya. Konsep komunitas masyarakat

yang baik (good community) mengandung Sembilan nilai (the competent community):25

1. Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu dengan yang lain berdasar hubungan pribadi.
2. Komunitas memiliki otonomi, kewenangaan,dan kemampuan mengurus kepentingan
sendiri.
3. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri.
4. Distribusi kekayaan yag merata, setiap orang berkesempatan yang sama dan bebas
nenyatakan kehendaknya.
5. Kesempatan setiap anggota untuk berpatisipasi aktif dalam mengurus kepentingan bersama.
6. Komunitas member makna kepada anggotanya sejauh manakah pentingnya komunitas bagi

seorang anggota.
7. Di dalam komunitas dimungkinkan adanya heterogenitas dan perbedaan pendapat.
8. Di dalam komunitas, pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin pada

yang berkepentingan.
9. Di dalam komunitas bisa terjadi konflik, namun komunitas memiliki kemampuan untuk
managing conflict.

H.Roesmidi dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kumpulan

individu-individu semata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia

25
Ibid
hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk karena hubungan anggota-

anggotanya. Dengan kata lain, masyarakat adalah suatu sistem yang

terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut dengan sistem kemasyarakatan.

Emile Durkheim menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif

secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Cara yang

baik untuk mengerti tentang masyarakat adalah dengan menelaah ciriciri pokok dari masyarakat

itu sendiri. Sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka

masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu:26

1. Manusia yang hidup bersama Secara teoritis, jumlah manusia yang hidup bersama itu ada dua

orang. Di dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, tidak ada suatu ukuran yang mutlak

atau angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada.
2. Bergaul selama jangka waktu cukup lama.
3. Adanya kesadaran, bahwa setiap manusia merupakan bagian dari satu kesatuan.

4. Remisi

4.1. Pengertian Remisi

Remisi menurut Pasal 1 ayat 6 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana

yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan27.

26
Ibid
27
PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Menurut Pasal 34 ayat 1 PP No.99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.32

Tahun 1999, setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.

Pihak yang berhak memperoleh remisi adalah sebagai berikut:28

1. Narapidana dan Anak Pidana (Pasal 14 ayat 1 huruf i dan Pasal 22 ayat 1 UU No. 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan), dan

2. Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil

menjalankan pidananya serta Narapidana dan Anak Pidana Asing (Pasal 11 Keputusan

Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi).

Persyaratan agar dapat mengajukan Remisi adalah sebagai berikut :

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999,

setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi

1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.


2. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak

Pidana

yang telah memenuhi syarat:

a. berkelakuan baik; dan


b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan

dengan:

a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,

terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan

28
Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Remisi.
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat

baik.

Pasal 34A Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999

tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan ;

1. Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap

keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 juga harus memenuhi persyaratan:


a. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara

tindak pidana yang dilakukannya;


b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;

danwww.hukumonline.com
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:


1. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Indonesia, atau


2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme.
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor

narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap

Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan

secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.
4.2. Jenis-jenis remis
Jenis-ienis remisi menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999

Tentang Remisi yaitu:

1. Dalam Pasal 2
a. remisi umum, yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia tanggal 17 Agustus; dan


b. remisi khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh

Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu

agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang

dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang

bersangkutan.

2. Pasal 3 ayat 1 yaitu: Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambah

dengan remisi tambahan apabila Narapidana atau Anak Pidana yang bersangkutan

selama menjalani pidana:


a. berbuat jasa kepada negara;
b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau

melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dampak Pemberian Remisi Kepada Narapidana Kasus Korupsi Dalam Kaitannya

Dengan Upaya Untuk Membrentas Korupsi

Remisi dalam Sistem Pemasyarakatan diartikan sebagai potongan hukuman bagi

narapidana setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan. Pengertian remisi dalam

Kamus Besar Bahasa Indoesia diartikan sebagai pengampunan hukuman yang diberikan kepada

orang yang terhukum. Menurut Andi Hamzah, remisi adalah sebagai pembebasan hukuman

untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup menjadi hukuman terbatas yang di

berikan setiap tanggal 17 Agustus29.

Pengertian Remisi Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan; “Remisi

adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana

yang memenuhi syarat- syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan”.

1. Dampak Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Kasus Korupsi

Remisi merupakan hak dari narapidana yang dijelaskan dalam pasal 14. UU No. 12 Tahun

1995 tentang Pemsyarakatan yaitu :

29
Andi Hamzah, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Rafika Aditama,
Bandung, hlm 136
(1) Narapidana berhak :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;


b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. .mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak

dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Supaya dapat mengetahui tentang dampak remisi terhadap narapidana kasus korupsi

peneliti melakukan penelitan di LAPAS KLAS II A KUPANG adapun jumlah narapidana kasus

korupsi dan yang mendapatkan remisi atau tidak mendapatkan remisi serta keteranganya akan

dijelaskan dalam table berikut.

Tabel 1

Jumlah narapidana Narapidana yang Narapidana yang

kasus korupsi mendapatkan tidak mendapatkan Keterangan

remisi remisi
PP No.28/2006

60 orang 40 orang - tentang Syarat dan

Tata Cara

Pelaksanaan Warga

Binaan

Pemasyarakatan
- 20 orang PP No.99/2012

perubahan kedua

atas PP No.32 Tahun

1999
Sumber: LAPAS KLAS II A KUPANG

Sesuai dangan tabel 1 remisi diberikan pada Narapidana kasus korupsi pada saat ini yang

terjadi di LAPAS KLAS II A KUPANG sesuai dengan ketentuan PP No.28 Tahun 2006 dan PP

No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan

yang merupakan perubahan pertama dan kedua PP No.32/1999. Menurut Pasal 34 ayat 1 PP

No.99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.32 Tahun 1999, setiap narapidana dan

anak pidana berhak mendapatkan remisi.

Pihak yang berhak memperoleh remisi adalah sebagai berikut:

1. Narapidana dan Anak Pidana (Pasal 14 ayat 1 huruf i dan Pasal 22 ayat 1 UU No. 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan), dan

2. Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil

menjalankan pidananya serta Narapidana dan Anak Pidana Asing (Pasal 11

Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi).


Persyaratan agar dapat mengajukan Remisi adalah sebagai berikut : Pasal 34 Peraturan

Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999, setiap narapidana

dan anak pidana berhak mendapatkan remisi

1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.


2. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan

Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:

c. berkelakuan baik; dan

d. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan

dengan:

c. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan

terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan

d. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan

predikat baik.

Pasal 34A Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP

32/1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan ;

1. Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap

keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:


a. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara

tindak pidana yang dilakukannya;


b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:


1. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Indonesia, atau


2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme.
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor

narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap

Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus

dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melihat perubahan peraturan tentang ketentuan pemberian remisi terhadap narapidana

korupsi yang semakin diperketat dengan tamabahnya satu point yaitu: “dengan membayar lunas

denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana

karena melakukan tindak pidana korupsi’’ dengan ketetuan yang ditambah ini, menunjukan

keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi, untuk mengetahui dampak yang timbul

akibat pemberian remisi terhadap narapidana korupsi penelitih melakukan wawancara terhadap 2

orang narapidana kasus korupsi LAPAS KLAS II A KUPANG yaitu Syamsudin H Abdullah dan

Allan D. Modjo.

Syamsudin H. Abdullah narapidana korupsi yang masuk LAPAS pada tanggal 05-05-2011

dan telah mendapatkan remisi, sesuaidengan ketentuan PP No. 28 Tahun 2006, berikut adalah

tabel keterangan yang menjelakan tentang remisi yg telah ia dapat :


Tabel 2

Jenis-jeni remisi
Hari raya 17
Nama Jenis Masa Jumlah
keagamaan Agusutus Dasawarsa
kelamin penahanan remisi
1945
Syamsudin 3 kali 2 kali 1 kali

H. L 8 Tahun (6bulan) (3bulan) (2bulan) 11 bulan

Abdullah
Sumber : LAPAS KLAS II A KUPANG

Sedangkan Allan D. Modjo adalah narapidana yang masuk LAPAS pada tanggal 10-06-2013

dengan lama pidana 3 tahun dan tidak mendapakan remisi akibat ketentuan tambahan yang

terdapat dalam PP No 99 Tahun 2012 yaitu membayar denda dan uang ganti rugi yang

diputuskan pengadilan, berikut adalah hasil wawancara dengan Syamsudin HA. dan Allan D

modjo yaitu:
d. Hasil wawancara dengan Syamsudin HA.

Adapun hasil wawancara dengan dengan beberapa pertanyaan yaitu menanyankan


pendapat tentang remisi, bagaimana perasaannya setelah mendapatkan remisi, alasannya
sehinga narapidana korupsi layak mendapatkan remisi dan tentang program pembinaan yang
dijalani di LAPAS. Syamsudin menyatakan pendapatnya tentang remisi adalah hak setiap
narapidana yang sudah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal
yang dirasakanya setelah mendapatkan remisi adalah sangat senang karena haknya sebagai
narapidana untuk mendapatkan remisi dapat diterapkan dan terpenuhi.
Pendapat Syamsudin mengapa narapidan korupsi layak mendapatkan remisi karena telah
menjalani proses pemasyarakatan yang ada di LAPAS KLAS II A KUPANG sesuai dengan
Undang-undang Pemasyarakatan dan telah memenuhi ketentuan dalam PP No. 28 Tahun
2006 dan tentang program pembinaan yang diberikan LAPAS menurutnya sangangat
bermaanfaat bagi warga binaan di LAPAS karena sangat mebantu untuk narapidana ketika
kembali atau keluar untuk menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat
Sesuai dengan hasil wawancara yang diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa remisi
berdampak positif bagi narapidana karena narapidana merasa senang dan disatu sisi itu
menunjukan bahwa telah tercapainya tujuan pemasyarakatan dimana tujuan pemasyarakatan
dalam pasal 1 UU No.12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu :
1) Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
2) sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan

secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan

kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,

dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar

sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

e. Hasil wawancara dengan Allan D. Modjo


Wawancara dengan Allan D. Modjo meluputi beberapa pertanyan yang tentang

pendapatnya tentang remisi, dan apa alasan sehingga narapidana kasus korupsi layak untuk

mendapatkan remisi. Allan D Modjo berpendapat tentang remisi adalah hak setiap waraga

binaan termaksud narapidana kasus korupsi yang telah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995

dan mengenai alasan mengenai mengapa ia merasa layak untuk mendapatkan remisi yaitu

pembatasan remisi yang dilakukan pemerintah melalui PP No. 99 Tahun 2012 tentu

bertantangan dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Secara hierarki

Undang-undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah, hal ini diperkuat dengan asas lex

superior derogat lex inferiori (Undang-undang yang lebih tinggi dapat mengesampingkan

Undang-undang yang berada dibawahnya).

Mengenai hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu :

(1) Jenis-jenis hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi ; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Hierarki perturan perundang-undangan dan diperkuat dengan asas lex superior derogat lex

inferiori, alasan tersebutlah yang membuat Allan D Modjo menolak pembatasan pemberian

remisi melalui PP 99 Tahun 2012.


Untuk menyimpulkan bahwa PP 99 Tahun 2012 bertentangan dengan Undang-Undang

Pemasyarakatan, yang perlu diperhatikan adalah isi dari ketentuan dalam tersebut. PP 99

Tahun 2012 tidak diuraikan tentang menghilangkan remisi untuk narapidana kasus korupsi

melainkan hanya menambah syarat-syarat bagaimana narapidana kasus korupsi

mendapatkan remisi dengan demikian PP 99 Tahun 2012 tidak bertentangan dengan UU

pemasyrakat.

Adapun alasan lain sehingga ia layak mendapatkan remisi adalah karena telah menyadari

kesalahan yang diperbuat.

Uraian tentang hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan dampak yang timbul bila
narapidana korupsi tidak mendapatkan korupsi adalah dampak negatif karena apabila narapidana
telah menyadari kesalahannya dan telah mengikuti semua proses pembinaan di LAPAS namun
tak kunjung mendapatkan remisi melainkan narapidana lain mendapatkan remisi bisa timbulnya
rasa kecewa terhadap aturan yang berlaku, hal ini tentu akan berpengaruh tehadap proses
pemsyarakatan.
Hasil wawancara lain dilakukan dengan salah satu petugas lapas Jefri Sine dengan beberapa
pertanyaan, tentang mengapa narapidana kasus korupsi yang masuk LAPAS KLAS II A
KUPANG setelah diberlakukan PP No. 99 Tahun 2012 serta bagaimana respon dan sikap
narapidana korupsi setelah mendapatkan remisi, serta mengapa narapidana kasus korupsi di
LAPAS KLAS II A KUPANG tidak mendapatkan remisi. Mengenai respon dan sikap narapidana
kasus korupsi setelah mendapatkan remisi, mereka merasa senang karena mendapatkan remisi
dengan alasan sudah menyadari kesalahan yang dilakukan mereka, dan alasan lainnya adalah
rindu untuk kembali berkumpul bersama keluarga dan menjadi lebih senang menjalani semua
program binaan yang diberikan oleh pihak LAPAS. Mengenai narapidana yang tidak
mendapatkan remisi ada 20 orang warga binaan yang tidak mendapatkan remisi karena tidak
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan, ketentuan ini
terdapat dalam PP No.99 Tahun 2012.
Sesuai dengan hasil wawancara dengan petugas LAPAS yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat kita simpulkan bahwa dampak remisi kepada narapidana kasus korupsi di LAPAS KLAS
II A KUPANG yaitu berdampak positif bagi narapidana yang mendapatkan remisi dan dampak
negatif bagi narapidana yang tidak mendapatkan remisi. Hal ini dapat kita lihat dengan lebih
jelas dalam tabel berikut:
Tabel 3

Narapidana kasus korupsi yang Narapidana kasus korupsi yang tidak

mendapatkan remisi mendapatkan remisi


 Merasa haknya sebagai narapidana telah  Merasa haknya tidak terpenuhi sebagai

terpenuhi. narapidana.
 Mereka menjadi lebih antusias untuk  Bisa timbulnya rasa cemburu karena

mengikuti program warga binaan yang mereka dijerat dengan tindak pidana

ada di LAPAS KLAS II A KUPANG yang sama dan telah menjalani

karena remisi dianggap sebagai hadia keseluruhan proses pembinaan di

untuk narapidana dari tercapainya tujuan LAPAS tapi mendapat pemberlakuan

pemasyarakatan sesuai program binaan yang berbeda mengenai remisi, akibat

yang merka jalani. dari ketentuan PP 99/2012, tentu saja

ini sangat mengganggu psikologi

narapidana dalam menjalani proses

pemasyarakatan.

2. Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Kasus Korupsi Dalam kaitannya Dengan

Upaya Untuk Memberantas Korupsi

Pembatasan pemeberian remisi terhadap narapidana korupsi yang dilakukan pemerintah

dengan mengeluarkan PP No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, hal ini menunjukan bahwa pemeritah serius untuk memberantas

korupsi dengan menambah ketentuan pemberian remisi.

Berbicara tentang remisi berarti berkaitan juga dengan pemidanan dalam hal ini dengan

tujuan pemidanaan yaitu dengan toeri-teori sebagai berikut:

1. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan

atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada

pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi

pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi

keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revenge)30.

2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar

pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai

tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi,

dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.

Teori ini memunculkan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan

khusus (speciale preventif) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general

preventif) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama

pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk

melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan
30
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,, 2007, hlm. 11.
menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual

pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang.

Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan

dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan

kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di

masyarakat31.

3. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,

karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai

satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan

sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.

Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu

reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari32.

Melihat uraian sebelumnya tentang ketentuan pemberian remisi kepada narapidana korupsi

yaitu melalui PP No. 99 Tahun 2012, ini membuktikan bahwa pemerintah sangat serius untuk

memberikan sanksi pidana terhadap narapidana korupsi agar tidak mengulangi perbuatannya

setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Melihat ketentuan tersebut juga berkaitan dengan

teori pemidanaan yaitu teori relatif atau tujuan (Doel Theorien). Teori relatif ini berasas pada tiga

tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Hal ini yang mebuat remisi

yang diberikan kepada narapidana kasus korupsi sangat berkaitan dengan upaya pemerintah

dalam memberantasan korupsi di Indonesia.

31
Zainal Abidin, Ibid, hlm. 11
32
http://diglib.unila.ac.id/2287/8/BAB%2011.pdf
B. Dampak yang Timbul Dalam Masyarakat Karena Pemberian Remisi Terhadap

Narapidana Kasus Korupsi.

Remisi yang diberikan kepada narapidana kasus korupsi dapat menimbulkan berbagai

pandangan masyarakat dimana korupsi merupakan kejahatan luar biasa hal ini menibulkan

perhatian besar oleh masyrakat untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang remisi yang

diberikan kepada narapidana kasus korupsi peneliti melakukan wawan cara terhadap beberapa

golongan masyarakat yang dibuat dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 4

Nama Jenis Pekerjaan Setuju Tidak Keterangan

kelamin terhadap setuju

remisi terhadap

remisi
Hery L Masiswa remisi yang diberikan
kepada narapidana korupsi
seharusnya ditiadakan
mengingat korupsi
merupakan tindak pidana
luar biasa. Hal ini juga untuk
memberi efek jera kepada
narapidana
Narapidana korupsi tetap
mendapatkan remisi karena
Jemris L Mahasiswa
itu merupakan hak setiap
warga binaan, apalagi
mereka kalau mereka sudah
menyadari kasalahan yang
mereka perbuat
Remisi seharusnya tetap
diberikan karena tidak baik
Sarvulus L PNS
juga seorang narapidana
terlalu lama dalam penjara,
bisa saja dia merasa tertekan
berada dalam penjara dan
remisi merupkan hak setiap
Narapidana
Remisi kepada narapidana
korupsi tidak perlu diberikan
Agus L Wiraswasta
karena perbuatan tersebut
sangat merugikan Negara
Adi L Tukang ojek Terserah pemerintah mau
Linda P Ibu diberikan atau tidak remisi
rumahtangga tersebut intinya penjatuhan
Jovi L Sopir Angkot pidananya yang berat,
jangan hanya satu atau dua
tahun saja.
Sumber : Hasil wawancara dengan masyrakat di kota Kupang

Selain dari hasil wawancara yang di jelaskan dalam tabel kita juaga dapat melihat

salasatu kutipan dari media online yaitu sebagai berikut :

Remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi medapat penolakan dari ICW ( Idonesia

Corruption Watch ) dengan statement “terhadap tindak pidana khusus sepertinarkoba, dan

kemudian khususnya tindak pidana korupsi pemerintah tidak memberikan obral kepada

mereka-mereka dengan tndak pidana khusus tersebut. Latar belakangnya tentu disebabkan

tindak pidana ini serius dan memberi dampak yang luas kepada masyarakat, sehingga

kemudian alasan perintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan Ham, melakukan opera

remisi dengan logika over capacity terhadap Lembaga Pemasyarakatan itu tidak tepat,”

ucap koordinator korupsi politik ICW Donald Faris dan ada pula pendapat seorang
mahasiswa yang dimuat media online “kalau pengobralan remisi itu dalam artian karena

ada kepentingan khusus, itu tidak setuju,” pendapat lain pun muncul dari seorang

wiraswasta “tidak setuju, karena koruptor itu menyengsarakan rakyat Indonesia, makan

uang rakyat, jadi harus dihukum seberat-beratnya33.”

Uraian dalam tabel dan hasil kutipan dari media online diatas menjelaskan bahwa dampak

yang timbul dalam masyarakat adalah timbulnya pro dan kontra terhadap remisi yang diberikan

terhadap narapidana kasus korupsi. Hal ini tentu harus sangat diperhatikan oleh pemerintah

dengan meberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya remisi dalam proses

pemsyarakatan.

33
Kompas.com,icw kritik pemberian remisi bagi koruptor pada peringatan HUT RI, 12 Agustus 2015
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuaraikan. Maka disimpulkan bahwa dampak

pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi yaitu :

1. Remisi yang diberikan terhadap narapidana kasus korupsi berdampak positif bagi

narapidana itu sendiri karena dengan remisi mebuat narapidana senang, hal itu juga

membantu narapidana dalam proses menjalani masa pemasyrakatan dan dengan melihat

upaya pemerintah dalam memperketat ketentuan dalam PP No.99 Tahun 2012 untuk

memberikan terhadap narapidana kasus korupsi, hal ini berkaitan juga dengan tujuan

pemidanaan yaitu dalam teori tujuan (relatif), teori ini memunculkan tujuan pemidanaan

sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventif) yang ditujukan

kepada pelaku yang dimaksudkan agar narapidana sadar atas kesalahan yang dilakukan

adupun pencegahan umum (general preventif) yang ditujukan ke masyarakat agar

masyarakat atau orang lain takut dan tidak mencoba melakukan tindak pidana tersebut.

Melihat upaya tersebut membuktikan pemerintah serius untuk menidak para narapidana

korupsi. Sebagai contoh di LAPAS KLAS II A KUPANG narapidana korupsi yang masuk

setelah diberlakukan PP No.99 Tahun 2012 tidak mendapatkan remisi karena tidak

memenuhi ketentuan sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, sedangkan narapidana

kasus korupsi yang masuk sebelum berlakunya PP No.99 Tahun 2012 tetap mendapatkan

remisi sesuai ketentuan PP No.28 Tahun 2006 tentang Pemasyaraktan, berkaitan dengan

itu juga secara umum narapidana kasus korupsi yang tidak mendapatkan remisi di
LAPAS KLAS II A KUPANG akibat tidak membayar denda dan uang pengganti sesuai

dengan putusan pengadilan seperti yang tercantum dalam pasal 34A PP No.99 tahun

2012 tentu hal ini berdampak negatif bagi narapidana korupsi yang tidak mendapatkan

remisi karena dapat menimbulkan kecemburuan karena meraka dipidana dengan tindak

kejahatan yang sama namun mendapatkan pemberlakuan yang berbeda.

2. Dampak yang timbul dalam masyarakat akibat remisi yang diberikan kepada narapidana

kasus korupsi adalah timbulnya penolakan dan penerimaan dari masyarakat. Sebagian

masyarakat menolak remisi yang diberikan terhadap narapidana korupsi karena korupsi

merupakan kejahatan luarbiasa, masyarakat lain menyetujui remisi diberikan kepada

narapidana korupsi karena remisi merupakan hak dari setiap warga binaan, dan sebagian

masyarakat tidak peduli dengan pemberian remis terhadap narapidana korupsi akann

tetapi tetap memperhatikan penjatuhan sanksi pidananya.

B. SARAN

1. Sesuai dengan yang terjadi di LAPAS KLAS II A KUPANG sebagian narapidana kasus

korupsi tidak mendapatkan remisi karena ketentuan mebayar lunas denda dan uang

pengganti yang dijelaskan dalam pasal 34 PP No.99 Tahun 2012 hal ini tentu akan

menggangu prose pembinaan yang diberikan pihak LAPAS yang jelaskan dalam tabel 4.

Remisi tetap perlu diberikan terhadap narapidana kasus korupsi selama fungsi dan tujuan

pemasyarakatan itu terpenuhi setelah fungsi dan tujuan pemasyarakatan tercapai maka

narapidana berhak mendapatkan remisi, dan karena korupsi merupakan kejahatan luar

biasa maka yang perlu dibatasi adalah jumlah remisi yang diberikan, dalam kaitannya

dengan upaya pemberentasan korupsi seharusnya pemerintah juga harus menjatuhi


hukuman yang berat terhadap pelaku tindak pidana korupsi dangan menjatuhkan masa

tahanan yang lebih lama dari pada tindak pidana yang lain.
2. Dampak yang terjadi dalam masyarakat karena remisi yang diberikan kepada narapidana

kasus korupsi yaitu timbunya penolakan dengan alasan korupsi merupakan kejahatan luar

biasa, supaya memberikan efek jera, dan karena korupsi menyengsarakan rakyat.

Penolakan yang timbul ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena itu perlunya

sosialisasi yang harus diberikan kepada masyarakat tentang tugas Lembaga

pemasyarakatan, pengertian pemasyaraktan, tujuan pemasyarakatan dan tentang remisi

agar masyarakat dapat lebih mengerti dan memahami kenapa remisi perluh tetap

diberikan kepada narapidana korupsi

Anda mungkin juga menyukai