Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENGATURAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI


DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Kelompok :

ABD Basith Algadri ( Ketua )

Annaastasya Priscilla Rissi ( Wakil Ketua )

Alberts Yunander Tulle ( Sekretaris )

Anna Maria Adam ( Anggota )

Anisa Dos Reis Mana ( Anggota )

Anselmus Wesa Mesi ( Anggota )

PROGRAM MAGISTER MANAGEMENT


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS KATHOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG
2019

1
Judul : PENGATURAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA PEMBAYARAN UANG
PENGGANTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pada era modern ini, kata korupsi sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia. Bahkan ada slogan, “Tiada hari tanpa adanya berita tentang kasus
korupsi.” Pemberitaan tentang kasus korupsi yang terjadi di negeri ini bukan menjadi
hal yang aneh lagi banyaknya para pejabat pemegang kekuasaan di negeri ini yang
silih berganti melakukan Tindak pidana korupsi dari pejabat rendahan sampai pejabat
yang tertinggi sekalipun. Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam
posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan.
Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari
kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang
semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak
pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan
bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan
tindak pidana korupsi, baik di sektor public maupun privat, tetapi tindak pidana
korupsi sudah menjadi suatu fenomena.
Pidana pembayaran uang pengganti pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Instrumen ini
kemudian diteruskan dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 (UU 3/1971) dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 (UU 31/1999) tentang Pemberantasan Tipikor jo.

2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 (UU
20/2001) yang menyebutkan bahwa pidana pembayaran uang pengganti merupakan
salah satu pidana tambahan dalam perkara korupsi selain pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Meski telah diakui lama dalam hukum pidana Indonesia, namun eksekusi pembayaran
uang pengganti masih tersendat-sendat. Merujuk pada data Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tingkat penyelesaian uang pengganti hanya
berkisar 31.38% dari keseluruhan uang pengganti yang diputus pengadilan. Di tahun
2005 misalnya, tunggakan pembayaran uang pengganti di seluruh Indonesia mencapai
Rp.5 trilyun. Jumlah ini semakin meningkat di tahun 2009, menjadi 8,15 triliun
rupiah.
Tersendatnya eksekusi pembayaran uang pengganti terjadi karena berbagai sebab.
Salah satunya karena minimnya aturan mengenai pembayaran uang pengganti.
Sehingga menimbulkan kerancuan dan inkonsistensi pada implementasinya. 
Sebagaimana diketahui UU 31/1999 jo. UU 20/2001 hanya mengatur pidana
tambahan pembayaran uang pengganti dalam satu pasal, yaitu Pasal 18.
Tulisan ini mengupas permasalahan terkait dengan pembayaran uang pengganti, yaitu
keefektivan Pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
pengganti ditinjau dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. RUMUSAN MASALAH
2.1 Bagaimanakah Pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
dalam kasus tindak pidana korupsi ditinjau dari UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

3
3. TUJUAN DAN MANFAAT
3.1. Tujuan
3.1.1 Untuk menjelaskan Pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi ditinjau dari UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
3.2. Manfaat
3.1.2 Diharapkan hasil penelitian bisa lebih memperjelas tentang Pengaturan
pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam kasus tindak
pidana korupsi ditinjau dari UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA


1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PARA AHLI
HUKUM
Pengertian korupsi secara luas adalah perbuatan yang buruk atau penyelewengan
uang negara atau perusahaan dari tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi
atau orang lain. Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli
bahasa, corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin
yang lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, corrups
(Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan korupsi
(Indonesia).Dalam kamus hukum “Black’s Law Dictionary” Henry Campbell Black
menjelaskan pengertian korupsi (terjemahan bebas): “Suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan
kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan

4
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri atau untuk orang lain bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain” Dalam kamus istilah hukum Latin Indonesia (Adiwinata, 1997:30) bahwa
korupsi berasal dari perkataan corruptio yang berarti kerusakan atau dapat juga
diartikan sebagai bentuk penyogokan.
Menurut A. Hamzah (1984:19) bahwa pengertian korupsi secara harfiah yaitu :
Sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas pengertiannya,
dengan demikian pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi
bermacam ragam pula. Lebih lanjut menurut A. Hamzah (2005:4-5) pengertian tindak
pidana korupsi jika diartikan secara harfiah yaitu: Kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan menghina atau memfitnah. Dari pengertian di atas, maka tindak pidana
korupsi tidak terbatas pada suatu tindakan seorang pejabat tetapi juga mencakup
persoalan moral serta masalah ucapan seseorang. Menurut Leden Marpaung
(1992:149) pengertian tindak pidana korupsi dalam arti luas yaitu: Perbuatan
seseorang yang merugikan keuangan negara dan yang membuat aparat pemerintah
tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa. Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga
dapat ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976), :
“Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya”.
2. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA YURIDIS FORMAL
ATAU YANG TERTUANG DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Pengertian Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 khususnya yang tercantum dalam Pasal 1 :
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui
atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.

5
b. Barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan wewenang kesempatan-kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal
388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425
dan Pasal 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud
dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang
melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut
pada Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau
janji tersebut kepada yang berwajib.  

Jika melihat redaksi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka terdapat perubahan dari ketentuan yang
ada sebelumnya karena dianggap bahwa semakin canggihnya dan rumit kejahatan ini,
sehingga diperlukan pengaturan lebih khusus untuk menjerat pelaku tindak pidana
korupsi. Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengalami perubahan berarti hanya saja
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak lagi mengacu pada ketentuan
KUHP, melainkan langsung menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam undang-
undang Korupsi baru ini.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002,


menyebutkan: “Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

6
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”;

3. PENGERTIAN PIDANA TAMBAHAN


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) hukuman/pidana
dibedakan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pengaturan ini
terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang mengatakan bahwa pidana terdiri atas: 
2.3.1 pidana pokok yaitu:
- pidana mati,
- pidana penjara,
- pidana kurungan,
- pidana denda,
- pidana tutupan.

2.3.2. pidana tambahan yaitu:

- pencabutan beberapa hak tertentu,


- perampasan barang yang tertentu,
- pengumuman putusan hakim.

Pengaturan mengenai pidana tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan


perundang-undangan lainnya. KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa pidana
tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
31/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsimisalnya, diatur juga mengenai
pidana tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti:[1]

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;

7
2.  Pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang
dikorupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun; dan
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah
kepada terpidana.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 36) menjelaskan bahwa
selain hukuman pokok, maka dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-
undang dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman
tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok,
jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian.

Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri
sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari
sesuatu hal yang pokok. Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat
pengecualian.

R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya mengatakan dalam sistem KUHP ini pada dasarnya tidak dikenal
kebolehan penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok (hal
455), akan tetapi dalam perkembangan penerapan hukum pidana dalam praktik
sehari-hari untuk menjatuhkan pidana tidak lagi semata-mata bertitik berat pada dapat
dipidananya suatu tindakan, akan tetapi sudah bergeser kepada meletakkan titik berat
dapat dipidananya terdakwa (hal 456). Hal inilah yang mendasari pengecualian
tersebut.

Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 39 ayat (3) jo. Pasal 45 dan
46, serta Pasal 40. Pasal tersebut intinya mengatur jika terhadap terdakwa dinyatakan
bersalah akan tetapi karena atas dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan

8
di bawah umur atau tidak waras, maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait
dengan tindak pidana yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.

Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP.
Dalam Pasal 38 ayat (5) UU 31/1999 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa
yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan
penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

4. PENGERTIAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK


PIDANA KORUPSI
Berbicara mengenai pengertian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi
sangatlah sulit merumuskannya, karena sangat kurang para ahli hukum yang memberi
pengertian tentang uang pengganti, bahkan dalam Undang-Undang  Nomor 3 tahun
1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang memberikan peristilahan uang pengganti tidak memberikan
defenisi yang jelas tentang apa itu uang pengganti. Dalam Pasal 34 huruf c Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 hanya mengelompokkan uang pengganti ke dalam salah satu
pidana tambahan selain yang dimaksud dalam Pasal 10 sub b KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana).
Hubungannya dengan uang pengganti Pattipeiloh  (1994b:17) menghubungkan
pendapat J.E. Sahetapi dalam bukunya tentang modernisasi dan viktimologi, dengan
berpendapat bahwa: Viktimologi itu secara singkat adalah ilmu atau disiplin yang
membahas korban, dari segala aspek dan fasenya dan bila menghubungkan masalah
korban ini dengan pasal 1365 KUH Perdata, di mana ada pihak karena perbuatannya
orang lain dirugikan, jadi yang menjadikorban adalah orang yang menderita ini
berhak atas suatu ganti rugi. Bila dihubungkan dengan perbuatan korupsi, dimana
negara yang mengalami dan menderita kerugian. Sehingga negara dari sudut
viktimologi adalah korban dan yang menyebabkannya (yaitu terdakwa di depan
sidang pengadilan) dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut
istilah undang-undang Nomor 3 tahun 1971 adalah uang pengganti, nampak negara

9
adalah sebagai korban telah terlebih dahulu diperhatikan kepentingannya dalam suatu
proses pidana. Berdasarkan pemikiran di atas nampak bahwa pengertian uang
pengganti menurut Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal
18 ayat (1) huruf b tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya
adalah suatu pengertian ganti rugi menurut hukum perdata yang dimasukkan dalam
proses pidana yang berupa pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang
dilakukan terpidana atas kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi
yang telah dilakukannya.

III. PEMBAHASAN
1. PENGATURAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA PEMBAYARAN UANG
PENGGANTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN
2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Perkembangannya, prospek pemberantasan korupsi di Indonesia mulai
menemukan rohnya kembali pasca jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998. Kuatnya
tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk serius memerangi korupsi direspons
oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan. Salah satunya dengan mengeluarkan
Undang-undang anti korupsi yang baru (UU No 31 Tahun 1999 jo UU N0 20 Tahun
2001). Alasan pemerintah mengeluarkan undang-undang baru tersebut adalah karena
undang-undang pemberantasan korupsi yang lama dianggap sangat lemah dan ringan,
khususnya dalam hal pidana dan pemidanaan.
Meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan, karena apabila kita melihat ancaman
hukuman berupa pidana penjara maksimum seumur hidup bagi semua delik yang
dikatagorikan sebagai korupsi, baik kecil, sedang maupun besar, ditambah dan/atau
denda maksimum 30 juta rupiah, maka harus kita hargai bahwa dilahirkannya
Undang-undang No 31 Tahun 1999 diwarnai semangat ingin memberantas korupsi
secara lebih baik lagi.

Sebagai contoh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) pada


Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura berwenang memeriksa dan mengadili perkara

10
TPK yang terjadi dalam wilayah hukumnya. Kaitan dengan itu ada beberapa perkara
TPK yang diputus oleh Pengadilan Tipikor yang telah berkekuatan hukum tetap, yang
dijadikan sampel untuk mengungkap dan menganalisis penerapan pidana PUP dalam
perkara TPK. Putusan dimaksud adalah:

- Putusan Nomor 22/Tipikor/2012/PN- JPR tanggal 09 Oktober 2013


Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya, menuntut terdakwa menghukum
terdakwa Yulianus Mnusefer, S.Th, S.Si, M.AP untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp. 13.960.000.000,- (tiga belas milyar sembilan ratus enam puluh juta)
subside 6 (enam) bulan penjara. Sementara di dalam amar putusan majelis hakim
dinyatakan dalam amar ketiga menghukum terdakwa Yulianus Mnusefer, S.Th,
S.Si, M.AP untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 13.960.000.000,- (tiga
belas milyar sembilan ratus enam puluh juta rupiah), dan apabila terdakwa tidak
membayar uang pengganti paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila harta
benda terdakwa tidak mencukupi maka diganti dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun dan 6 (enam) bulan. Di dalam putusan ini ada kesamaan sikap dan
pendapat antara Penuntut Umum dan Majelis Hakim tentang pidana PUP,
berkaitan dengan dikenakan pidana PUP terhadap terdakwa begitu pula dengan
besaran jumlah PUP yakni Rp. 13.960.000.000,- (tiga belas milyar sembilan ratus
enam puluh juta rupiah),, akan tetapi mengenai lamanya pidana subsider terjadi
perbedaan yakni Penuntut Umum menuntut pidana subsider 6 (enam) bulan
penjara, sedangkan pidana subsider PUP yang diputuskan Majelis Hakim adalah
selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan. Kesamaan sikap atau pandangan
Penuntut Umum dan Hakim dalam mengenakan pidana PUP kepada terpidana
dapat ditelusuri dari salah satu dasar pertimbangan hakim yang menyatakan:
Menimbang bahwa salah satu tujuan diaturnya pidana tambahan dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berupa membayar uang pengganti adalah untuk mengembalikan uang negara yang
telah dikorupsi dan dinikmati oleh terdakwa korupsi, disatu sisi pelaksanaan
pidana tambahan berupa membayar uang pengganti hanya terbatas sampai

11
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak
pidana korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b), oleh karena itu hukuman membayar
uang pengganti hanya akan dikenakan kepada terdakwa apabila terdakwa benar-
benar secara nyata telah memperoleh dan menikmati hasil dari tindak pidana
korupsi yang dilakukannya. Pertimbangan hakim yang sedemikian, tentu masih
ditelusuri pertimbangan yang menjadi ukuran bahwa terdakwa telah menikmati
hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Di dalam pertimbangan lebih
lanjut majelis hakim menyatakan: Menimbang bahwa dalam perkara ini
berdasarkan fakta yang telah terungkap di persidangan telah terbukti bahwa
terdakwa telah mencairkan dana sebesar Rp. 13.960.000.000,- (tiga belas milyar
Sembilan ratus enam puluh juta rupiah) sebanyak 22 (dua puluh dua) kali dari
Bank Mandiri Cabang Biak kemudian terdakwa telah membelanjakan dana
tersebut sendiri secara tidak sesuai dengan peruntukannya,sehingga akhirnya
terdakwa tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut, oleh
karena itu menurut Majelis Hakim terdakwa harus bertanggungjawab untuk
menggantikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa tersebut, dimana yang
nyata telah diambil dan dinikmati oleh terdakwa, karena itu menjadi
tanggungjawab terdakwa untuk menggantikannya adalah sejumlah Rp.
13.960.000.000,- (tiga belas milyar sembilan ratus enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan dasar pertimbangan faktual di atas, dapat dipahami bahwa ukuran
menikmati uang hasil korupsi yang menjadi dasar pertimbangan dikenakan pidana
PUP kepada terdakwa adalah (1) terdakwa mencairkan uang negara sebanyak 22
(dua puluh) kali dari Bank Mandiri Cabang Biak sebesar Rp. 13.960.000.000,-
(tiga belas milyar sembilan ratus enam puluh juta rupiah), dan (2) uang tersebut
penggunaannya tidak bisa dipertanggung jawabkan oleh terdakwa, sebab telah
dibelanjakan untuk kepentingan terdakwa sendiri, orang lain atau korporasi
tertentu. Ditinjau dari tujuan folow the suspect dan follow the money, maka dapat
dinyatakan bahwa putusan hakim yang demikian dipandang mendekati kedua
tujuan tersebut. Seperti diketahui bahwa pidana PUP yang dikenakan oleh hakim
sebesar Rp. 13.960.000.000,- (tiga belas milyar sembilan ratus enam puluh juta
rupiah) dalam putusan ini masih dibebankan lagi kepada terpidana dengan pidana

12
denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan subsider pidana
kurungan selama 2 (dua) tahun. Sehingga dilihat dari jumlah uang yang harus
dibayarkan oleh terdakwa adalah sebesar Rp. 14.160.000.000,- (empat belas
miliar seratus enam puluh juta rupiah). Di samping itu terpidana masih harus
menjalani masa pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Pidana Penjara selama 7
(tujuh) tahun ini masih akan ditambahkan manakala pidana denda tidak
dibayarkan oleh terpidana, sehingga pidana penjara yang dijalani terpidana adalah
pidana penjara 7 (tujuh) tahun dan ditambah pidana kurungan 2 (dua) tahun.
Berdasarkan Putusan Nomor 22/Tipikor/2012/PN- JPR tanggal 09 Oktober 2013
tersebut diatas Mempertegas pasal 18 ayat 1b, dalam Pasal 18 ayat 2 dinyatakan
pula bahwa : Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Rumusan pasal Pasal 34 huruf c UU No. 3/1971 hanya menetapkan besarnya uang
pengganti adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari korupsi. Rumusan yang sama persis juga terdapat dalam Pasal 18 UU No.
31/1999. Dari rumusan yang „sangat‟ sederhana tersebut, maka dapat ditafsirkan
besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang
diperoleh dari tipikor yang didakwakan.
Pada prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam
menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah
mana aset yang berasal tipikor dan mana yang bukan. Dalam zaman yang serba
canggih ini, sangat mudah bagi para koruptor untuk melakukan metamorfosa aset-
aset hasil korupsinya (asset tracing) melalui jasa transaksi keuangan dan perbankan.
Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan
informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya
tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga
membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila asset
terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang

13
berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, seperti aset properti,
perhiasan, saham dan sebagainya1.
Ketiga, belum terciptanya kesamaan persepsi dan koordinasi yang terpadu di antara
aparat penegak hukum yang ada dalam usaha untuk mencegah dan menangani tidak
pidana korupsi. Akibatnya dalam beberapa kasus terjadi kebuntuan komunikasi dan
mispersepsi diantara penegak hukum yang ada, sehingga muncullah preseden-
preseden fenomenal yang bisa berakibat buruk bagi iklim pemberantasan korupsi
Diadopsinya pidana uang pengganti ke dalam sistem hukum pidana yang pada
awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi
pidana seberat mungkin agar mereka jera. Romli Atmasasmita, salah seorang team
pakar perumus Undang-undang No 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa: menilik
sistem pemidanaan yang dianut UU korupsi, baik yang lama maupun yang baru,
setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi. Apalagi
ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti sesuai dengan jumlah yang
dikorupsinya. Bagaimana tidak, begitu seseorang masuk dalam dakwaan korupsi
maka mau tidak mau ia harus berhadapan dengan sanksi pidana yang berlapis-lapis.
UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), misalnya,
selain pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, juga mengancam terdakwa
korupsi dengan pidana tambahan Dengan aturan tersebut, orang-orang diharapkan
akan berpikir dua kali untuk korupsi walaupun kenyataannya sekarang mereka
masih kuat membayar. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan
kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dengan melakukan perbuatan
korupsi, sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain (negara) karena
kesalahannya tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan
seperti tersebut di atas.

1
Ibid.

14
Merujuk pada uraian di atas dapat dilihat bahwa sebab utama eksekusi pembayaran
uang pengganti pada kenyataannya disebabkan oleh faktor kebijakan, disamping
komitmen penegak hukum. Untuk mengoptimalkan pembayaran uang pengganti
tersebut diperlukan perubahan dan/atau penyempurnaan kebijakan dalam
penanganan perkara korupsi sebagai berikut:
1) Menyeragamkan tujuan pembayaran uang pengganti dan acuan dalam
menetapkan uang pengganti. Penyeragaman ini perlu ditegaskan dalam UU
Tipikor agar tidak menimbulkan kerancuan dan dualisme dalam penerapannya.
Dalam hal ini penulis lebih condong pada tujuan dan acuan yang didasarkan pada
faktor kerugian negara, dibandingkan harta hasil korupsi yang dinikmati, dengan
pertimbangan menghindari kesulitan dalam pemilahan harta dan kemudahan
dalam penghitungan.
2) Menetapkan acuan dalam menghitung pidana penjara pengganti dalam hal uang
pengganti tidak dibayar atau dibayar sebagian oleh terpidana. Acuan tersebut saat
ini memang tengah digodok oleh Kamar Pidana MA. Salah satu usulan dalam
acuan tersebut adalah dalam hal uang pengganti dibayar sebagian maka pidana
penjara pengganti dihitung dengan rumusan sebagai berikut: total uang pengganti
yang harus dibayar dikurangi uang pengganti yang sudah dibayar, kemudian
dibagi dengan total uang pengganti yang harus dibayar dan dikalikan pidana
penjara pengganti yang telah ditetapkan dalam putusan. Usulan ini cukup
proporsional dan adil untuk dipertimbangkan. Sedangkan dalam hal uang
pengganti tidak dibayar seluruhnya, penulis mengusulkan agar pidana penjara
pengganti ditetapkan sesuai range kelasnya, di mana semakin besar uang
pengganti, maka semakin lama pidana penjara penggantinya;
3) Mengubah ketentuan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 2
UU 31/1999 dari yang semula baru dapat dilaksanakan jika uang pengganti tidak
dibayar menjadi dapat dilaksanakan sejak tahap penyidikan. Hal ini untuk
menjaga agar harta agar tidak dialihkan atau tidak terlacak sehingga
memudahkan jaksa memohon sita jaminan
4) Meluruskan kembali sifat dan makna pidana tambahan yang melekat dalam
pidana pembayaran uang pengganti untuk menghindari misinterpretasi dalam

15
memahami dan menjatuhkan pidana uang pengganti, serta menyebabkan keragu-
raguan dalam mengeksekusi uang pengganti. Pelurusan ini dilakukan melalui
putusan pengadilan yang konsisten dan perbaikan kebijakan internal yang lebih
memperlihatkan komitmen penegak hukum.
5) Menyeramkan sistem administrasi keuangan yang berlaku di Kejaksaan dengan
sistem Akutansi Instansi yang disusun Kementrian Keuangan untuk mencegah
adanya selisih penghitungan kerugian negara oleh masing-masing instansi.
Inisiatif penyeragaman ini tentunya harus dimulai oleh institusi Kejaksaan dan
Kementrian Keuangan melalui mekanisme komunikasi dan koordinasi yang
solid.

IV. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Bahwa auraian yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
penetapan pidana uang pengganti sebagai salah satu bentuk penghukuman dalam
tindak pidana korupsi pada dasarnya ditujukan agar kerugian negara sebagai akibat
perbuatan korupsi bisa diminialisir atau mungkin dihilangkan. Pidana uang pengganti
sebagai sebuah bentuk pemidanaan lahir atas dasar rasionalitas pembentuk undang-
undang untuk meminimalisir kerugian keuangan negara, disamping juga tidak
melupakan substansi pidana itu sendiri, yakni untuk memberi hukuman yang setimpal
terhadap pelaku (dengan harapan berefek preventif)
Salah satu kepentingan hukum yang dipandang penting dan wajib dalam setiap kasus
korupsi adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara. Agar hal ini bisa
dilaksanakan secara baik maka aparat penegak hukum harus bertindak cepat,
profesional dan cermat, khususnya dalam menghitung jumlah kerugian yang
ditimbulkan dalam sebuah kasus korupsi. Disamping itu, penegakan hukum terhadap
kasuskasus korupsi, khususnya menyangkut penerapan dan pelaksanaan pidana uang
pengganti dirasakan masih kurang maksimal dijalankan. Salah satu sebabnya karena
pidana uang pengganti tidak direncanakan secara baik dan matang oleh para
perancang undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa hanya ada
satu aturan yang secara jelas mengatur permasalahan pidana uang pengganti.

16
2. SARAN
Pidana PUP sebagai pidana tambahan hendaknya tetap dilihat dalam karakter
fakultatifnya, sehingga keberadaan Pidana PUP secara tepat menunjang bahkan
memperkuat keberadaan pidana pokok baik pidana pokok penjara maupun pidana
pokok denda. Oleh karena itu disarankan untuk tidak mempersepsikan PUP adalah
pidana bentuk lain dari pidana denda, meskipun keduanya bersumber dari harta benda
terpidana. Motivasi Pidana PUP adalah pemulihan kerugian keuangan negara yang
diakibatkan dari adanya TPK. Oleh karena itu sepatutnya Majelis Hakim yang
mengadili dan memutuskan perkara TPK dengan bijak mempertimbangkan tuntutan
pidana Penuntut Umum yang menuntut Pidana PUP terhadap terdakwa, disertai
alasan-alasan yang memenuhi asas kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan.

17
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Undang Undang

UU Nomor 3 Tahun 1971 (UU 3/1971) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 (UU 31/1999) tentang Pemberantasan Tipikor jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 (UU 20/2001)

Buku-buku:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet.3.

Jakarta : Balai Pustaka.

Lopa, Baharudin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Penerbit Buku

Kompas.

Muladi dan Nawawi, Barda. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Syafruddin. 2002, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan Di Masa Depan Dalam

Penanggulangan Kejahatan Tertentu.

Websitte:

http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=14213&cl=Fokus/pidana uang

pengganti.htm\

18

Anda mungkin juga menyukai