Anda di halaman 1dari 16

JURNAL SELAT

Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. p - 2354-8649 I e - 2579-5767


Open Access at: http://ojs.umrah.ac.id/index.php/selat

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR


TINDAK PIDANA KORUPSI (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI
PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR)
DI INDONESIA

Bambang Arjuno
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Brawijaya, Malang dan Praktisi Advokat
JL.MT. Haryono No. 169, Malang 65145
Email: barjuno68@gmail.com

0DVUXFKLQ 5XED·L
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang

Prija Djatmika
Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang

Abstract
:KLVWOH EORZHU¶V FRUUXSWLRQ FDVH KDV D VLJQLILFDQW UROH LQ ODZ HQIRUFHPHQW ZKHUH WKH\ DUH IDPLOLDUO\
known as whistle-blower assist law enforcement role in exposing acts of corruption, especially if the
person who is the whistle blower participate as suspects. Should the state provide attitude in providing
legal protection in such cases that the person providing the information is also awarded in addition to
legal protection. In this research using normative legal research will be reviewed in the presence of
whistle blower protection laws in order to be opened in a brightly lit cases.
Keywords: Corruption, whistleblowers, Legal Certainty, Fairness

Abstrak
Peniup peluit untuk kasus tindak pidana korupsi mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam
penegakkan hukum, keberadaan mereka yang akrab disebut sebagai whistle blower membantu
peranan penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi khususnya jika orang
yang menjadi whistle blower ikut menjadi tersangka. Negara Hendaknya memberikan sikap dalam
memberikan perlindungan hukum dalam hal demikian agar orang yang memberikan informasi juga
mendapatkan penghargaan selain mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini dengan
menggunakan penelitian hukum normatif akan dikaji keberadaan peniup peluit dalam perlindungan
hukum agar dapat dibuka secara terang benderang kasus yang ada.
Kata Kunci: Korupsi, Peniup Peluit, Kepastian Hukum, Keadilan
145 Bambang Arjuno dkk, Pelapor Tindak Pidana Korupsi Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

I. Pendahuluan Penuntutan, Penunututan dan Pemeriksaan


Tindak pidana korupsi merupakan Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak Benda dan kemudian keluar Peraturan Pemerintah
ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi Pengganti UU No. 24 tahun 1961, selanjutnya
tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa digantikan UU No. 3 tahun 1971 tentang
(ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
luar biasa (extraordinary crimes). Sehingga dalam kemudian diganti lagi dengan UU No. 31 tahun 1999
upaya pemberan- tasannya tidak dapat lagi dilakukan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
³VHFDUD ELDVD´ WHWDSL ³GLWXQWXW FDUD-cara yang luar selanjutnya diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001.
ELDVD´ extra-ordinary enforcement).1 Tindak pidana Selain itu dikeluarkan juga UU No. 30 tahun
korupsi telah merugikan keuangan negara atau 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
perekonomian negara. Korupsi (KPK). Selain beberapa regulasi diatas, juga
Untuk menyelamatkan keuangan negara telah dibentuk beberapa tim atau komisi, seperti Tim
atau perekonomian negara lembaga anti korupsi Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967
sudah dibentuk, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi diketuai Jaksa Agung Sugiharto, Komisi 4 pada tahun
(KPK) melalaui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi (KAK)
2002 (selanjutnya disebut dengan UU No. 30 tahun Juni-Agustus 1970 diketuai Akbar Tanjung, Operasi
2002), disamping pula lembaga konvensional yang Penertiban (Inpres No. 9 tahun 1977) beranggotakan
telah ada sebelumnya seperti Kepolisian dan Menpan, Pangkopkamtib dan Jaksa Agung dibantu
Kejaksaan. Namun tetap saja, kejahatan di bidang pejabat daerah dan Kapolri, Tim Pemberantasan
ekonomi yang merugikan keuangan negara atau Korupsi (tahun 1982) dketuai MA, Mudjono, Tim
perekonomian negara ini tetap saja terjadi. Otonomi Gabungan Pemberantasan Pidana Korupsi (PP No.
daerah sebagai anak kandung reformasi, seolah 19 tahun 2000) diketuai Adi Andoyo dan terakhir
menjadi faktor pelengkap terhadap terjadinya korupsi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
di daerah yang melibatkan banyak pejabat daerah.2 (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir, yang
Berbagai upaya dilakukan dalam usaha semuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi
memberantas tindak pidana korupsi, baik yang penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.
bersifat preventif maupun represif. Peraturan Selain itu rumusan tindak pidana korupsi
penmdang-undangan korupsi sendiri telah yang diatur oleh UU No. 31 tahun 1999, cukup
rnengalami beberapa kali perubahan, sejak banyak memberikan kategori perbuatan korupsi,
diberlakukan Peraturan Penguasa Militer Nomor paling tidak terdapat 30 jenis perbuatan yang
PRT/PM/O11/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, yaitu :
kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Kerugian Negara (Pasa12 dan 3)
Perang Angkatan Darat Nomor
PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan,

1 Ermansjah Djaja. Meredesain Pengadi/an TindakPidana Korupsi, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006. Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 11.
2 Jawa Pos, Artikel : Otonomi Yang Menyebarkan Korupsi, oleh Lukman santoso, Peneliti pada STAIDA Institute, peserta program
Magister Ilmu Hukum UII Jogyakarta, 27 April 2011.
JURNAL SELAT 146
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

Suap menyuap (Pasal 5 ayat 1 huruf a dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 an Pasal 42
h, ayat 2, Pasal 6 ayat 1 huruf a dan b,
dengan jelas dan tegas telah mengatur dengan rinci.
Pasa16 ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 ayat 1
huruf a, b, c, d, Pasal 13). Penggelapan Disamping itu pula, dewasa ini ada kecenderungan
dalam Jabatan (Pasa18, 9, 10 huruf a, b, c)
pelaku tindak pidana korupsi tidak mau memikul
Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, h)
Perbuatan curang (Pasa17 ayat 1 huruf a, b, beban sendiri akibat hukum dari perbuatannya, tetapi
c, d, ayat 2, Pasal 12 huruf h Benturan
pelaku tersebut akan secara sukarela dan beritikad
kepentingan pengadaan (pasal 12 huruf I)
Gratifikasi (Pasal 12 B jo 12 C) baik akan menyeret kawan-kawannya yang lain untuk
Tindak pidana lainnya yang berhubungan
turut di proses secara hukum.
dengan korupsi (mencegah/ menghalangi-
halangi penyidikan Tindak Pidana Korupsi Norma hukum yang mengatur tentang peran
antara lain Pasal-Pasal 21, 22, 23, 24, 28,
serta masyarakat/ whistleblower tersebut seolah
29, 31, 35, 36).3
KDQ\D VHEDJDL ³DQJLQ VXUJD´ PHQJLQJDW GDODP
Fakta menunjukkan bahwa Indonesia praktek dilapangan tidak seindah yang dibayangkan.
merupakan negara di urutan ke-6 (enam) terkorup di Disamping belum optimalnya perlindungan hukum
dunia dari 159 negara berdasarkan survey terhadap whistleblower (Pelapor tindak Pidana
Transparency International.4 Menurut PPATK (Pusat Korupsi) dan justice collaborator (Saksi/ Pelaku Yang
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Laporan ke Bekerja Sama), hal penting yang harus dilakukan
lembaganya selama 2011, trend aduan korupsi oleh pemerintah adalah bahwa pemberantasan
meningkat.5 Berdasarkan pada hal-hal tersebut di tindak pidana korupsi, disamping mengedepankan
atas, efektifitas dan efisiensi pemberantasan tindak penegakan hukum juga harus dipertimbangkan
pidana korupsi seharusnya tidak hanya bersifat top efisiensi anggaran pemberantasan tindak pidana
down (dari atas ke bawah), tetapi seharusnya korupsi tersebut. Seperti yang terjadi pada penyidikan
melibatkan peran masyarakat luas (partisipasi publik) tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan
dalam mengawal pemberantasan tindak pidana Kebudayaan, dimana penyidik Bareskrim Mabes Polri
korupsi. menunda penyidikan, sebab biaya penyididkan tidak
Pemerintah dewasa ini melupakan mencukupi.6 Sebab, salah satu indikator sukses
pentingnya peran masyarakat (dengan status pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diukur
whistleblower/ Pelapor Tindak Pidana Korupsi dan dari jumlah asset recovery atau pengembalian aset
justice collaborator/ Saksi Pelaku Yang Bekerjasama) hasil korupsi ke kas Negara. Sampai sekarang,
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana jumlah anggaran yang dibelanjakan untuk
korupsi, padahal secara normatif, UU No. 31 tahun pemberantasan korupsi masih lebih besar dari
1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang- nominal asset recovery yang berhasil diraih
undang Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut kejaksaan.7
dengan UU No. 20 tahun 2001) Tentang Perubahan Kita sepakat bahwa korupsi menghambat
Atas UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan jalan kemakmuran sebagaimana diamanatkan konsti-

3 Buku Saku Pemberantasan Korupsi, http: www. upsi,kpk .go.id/ modules/ wmpdownloads /singlefile,php?=10&lid=19/.
4 $GQDQ 7RSR +XVRGR ³.RUDQ WHPSR´ 1RSHPEHU
5 Jawa Pos, Berita: Trend Aduan Korupsi Makin naik, (Laporan ke PPATK selama 2011), 24 Desember 2011, hlm. 4.
6 Jawa Pos, Berita : Duit Habis, Penyidikan Dua Kasus Karupsi Stop, 01 Januari 2012, hlm. 3.
7 Jawa Pos, Berita : Dana Berantas Korupsi Tak Sebanding Aset Kembali, 28 Desember 2011, hlm. 2.
147 Bambang Arjuno dkk, ‡Žƒ’‘” ‹•†ƒ• ‹†ƒ•ƒ ‘”—’•‹ Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

tusi, tindak pidana korupsi sangat merugikan dan mendalam sehingga dapat ditarik sebuah
keuangan Negara atau perekonomian Negara dan kesimpulan dari analisa bahan hukum.
menghambat pembangunan nasional, oleh
karenanya segala potensi anak bangsa hams II. Hasil dan Pembahasan
dikerahkan seoptimal mungkin, penegakan hukum 2.1. Bentuk Perlindungan Hukum Saksi Pelapor
pemberantasan hukum harus berbasis efisiensi. (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang
Untuk itu peran mulia whistleblower (Pelapor Tindak Bekerjasama (Justice Collaborator)
Pidana Korupsi) dan justice collaborator (saksi-
pelaku yang bekerja sama) yang dengan sukarela Perlindungan hukum merupakan suatu
dan beritikat baik mengembalikan aset-aset hasil bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh
tindak pidana korupsi haruslah mendapat pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada
perlindungan hukum yang memadai dari Negara, setiap warga negara. Berdasarkan UndangUndang
sebab UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
Saksi dan Korban belum secara spesifik mengatur hal NRI Tahun 1945), negara bertanggung jawab atas
tersebut. Kemudian untuk mengantisipasi dinamika perlindungan Hak Asasi Manusia. Hal ini tercantum
pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air, dalam Pasal 281 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang
sebagai pedoman praktis, Mahkamah Agung EHUEXQ\L ³3HUOLQGXQJDQ SHPDMXDQ SHQHJDNDQ GDQ
Republik Indonesia mengeluarkan SEMA (Surat pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
Edaran Mahkamah Agung) Nomor: 04 Tahun 2011 MDZDE QHJDUD WHUXWDPD SHPHULQWDK ´
Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana Kemudian sebagai dasar perlindungan saksi
(Whistleblower). Dan saksi Pelaku Yang maupun korban tercantum dalam Pasal 28G Ayat (1)
Bekerjasama (justice collaborator) Dalam Perkara \DQJ EHUEXQ\L ´6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV
Tindak Pidana Tertentu. Padahal Surat Edaran perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
Mahkamah Agung bukanlah termasuk tata Urutan martabat, dan harta benda yang dibawah
perundang-undangan seperti diatur dalam UU No. 10 kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
tahun 2004 tentang Pedoman Penyusuan Undang- perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
undang sebagaimana telah dirubah dengan UU atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
Nomor 11 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU DVDVL ´
No. 10 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Perlindungan terhadap saksi dan korban
Undang-undang. Analisa dilakukan dengan secara merupakan jaminan hak yang diberikan oleh Negara
normatif kualitatif dengan menjadikan dan kerangka sehingga memiliki implikasi kewajiban pemerintah
konseptual teori untuk memberi arti dan dalam melindungi hak saksi dan korban, baik dalam
menginterpretasikan setiap bahan hukum yang ada pengatturan substansi hukum juga yang paling
dan diolah kemudian diuraikan secara menyeluruh penting adalah dalam penerapan norma yang telah
JURNAL SELAT 148
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

ditetapkan. Jaminan hak melalui norma hukum kepada penegak hukum mengenai suatu tindak
melahirkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 pidana. Begitu juga dengan perlindungan terhadap
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang justice collaborator, yang dimaksud dengan pelapor
merupakn lex specialis perlindungan saksi dan tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka
korban di Indonesia. dalam kasus yang sama, sebagaimana konsideran
Peran saksi dan korban sangat sentral Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006. Jenis saksi
didalam menemukan kejelasan fakta hukum sebagai ini juga biasa disebut sebagai saksi mahkota, saksi
upaya menurunkan indeks kriminalitas (kejahatan), kolaborator, dan kolaborator hukum. Saksi- pelaku ini
peranan keterangan saksi menjadi sangat penting memang tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan apabila terbukti bersalah, tetapi keterangannya dapat
menjadi extraordinary crime dan sebagai salah satu dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
alat bukti sah yang tercantum pada Pasal 184 Kitab pidana yang akan dijatuhkan.
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam substansi pengaturan UU No.13
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Tahun 2006 pelapor dan saksi pelaku tindak pidana
proses peradilan pidana di Indonesia diatur secara tidak diatur lebih mendalam, hanya disinggung pada
khusus melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Pasal 10, yaitu: Saksi, Korban dan pelapor tidak
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
dan Perubahannya melalui Undang-Undang Nomor perdata atas laporan, itesaksian yang akan, sedang,
31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- atau telah diberikannya.
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Dalam Perubahan melalui Undang-Undang
Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 1 angka 8 Nomor 31 Tahun 2014 pasal 1 angka 2 dan 4
tercantum ketentuan sebagai berikut: mencantumkan pengertian saksi pelaku (justice
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan collaboratir) dan pelapor (wistleblower).
hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
2. Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa,
rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang
atau terpidana yang bekerja sama dengan
wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-
pidana dalam kasus yang sama. 4. Pelapor
Undang ini.
adalah orang yang memberikan laporan,
informasi, atau keterangan kepada penegak
Dari ketentuan diatas peran sentral hukum mengenai tindak pidana yang akan,
sedang, atau telah terjadi.
dipegang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), dimana perlindungan diberikan
Selain memuat pengertian juga muncul
kewajiban kepada LPSK. Pada Undangundang
beberapa substansi pengaturan yang secara khusus
Nomor 13 Tahun 2016 tidak secara khusus
memberikan perlindungan terhadap pelapor tindak
menyebutkan pelapor dengan istilah Whistleblower,
pidana dan saksi korban dengan tercantumnya
tapi yang dimaksud dengan pelapor dalam penjelsan
pengertian pelapor dan beberapa substansi pasal
UU ini adalah orang yang memberikan informasi
yang menjamin hak pelapor dan saksi pelaku yang
149 Bambang Arjuno dkk, Pelapor Tindak P‹†ƒ•ƒ ‘”—’•‹ Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

beritikad baik. Substansi perlindungan tersebut Substansi pasal diatas yang memberikan
dengan penambahan Pasa 15 ayat (3) sebagai hak terhadap pelapor dan saksi pelaku berdasar
berikut: pertimbangan yang dimuat dalam penjelasan umum
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, sebagai
hak yang diberikan dalam kasus tertentu
berikut:
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain
dan ahli, termasuk pula orang yang dapat yang juga memiliki kontribusi besar untuk
memberikan keterangan yang berhubungan mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu
dengan suatu perkara pidana meskipun Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor
tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula
dan tidak ia alami sendiri, sepanjang orang yang dapat memberikan keterangan
keterangan orang itu berhubungan dengan yang berhubungan dengan suatu perkara
WLQGDN SLGDQD ´ pidana meskipun tidak ia dengar sendiri,
tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami
sendiri, sepanjang keterangan orang itu
Hak sebagaimana yang dimaksud pada
berhubungan dengan tindak pidana,
pasal 5 ayat (2) adalah sebagai bentuk perlindungan sehingga terhadap mereka perlu diberikan
Perlindungan. Tindak pidana tertentu
hukum. Hak tersebut adalah:
tersebut di atas yakni tindak pidana
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta tindak pidana korupsi, tindak pidana
bebas dari Ancaman yang berkenaan pencucian uang, tindak pidana terorisme,
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau tindak pidana perdagangan orang, tindak
telah diberikannya; pidana narkotika, tindak pidana psikotropika,
b. ikut serta dalam proses memilih dan tindak pidana seksual terhadap anak, dan
menentukan bentuk perlindungan dan tindak pidana lain yang mengakibatkan
dukungan keamanan; posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan
c. memberikan keterangan tanpa tekanan; pada situasi yang sangat membahayakan
d. mendapat penerjemah; jiwanya.
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan 2014 juga menambahkan substansi pengaturan lain
pengadilan;
terhadap pelapor dan saksi pelaku, yaitu sebagai
h. mendapat informasi dalam hal terpidana
dibebaskan; berikut:
i. dirahasiakan identitasnya;
Pasal 10
j. mendapat identitas baru;
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau
k. mendapat tempat kediaman sementara;
Pelapor tidak dapat dituntut secara
l. mendapat tempat kediaman baru;
hukum, baik pidana maupun perdata
m. memperoleh penggantian biaya transportasi
atas kesaksian dan/atau laporan yang
sesuai dengan kebutuhan;
akan, sedang, atau telah diberikannya,
n. mendapat nasihat hukum;
kecuali kesaksian atau laporan tersebut
o. memperoleh bantuan biaya hidup
diberikan tidak dengan iktikad baik.
sementara sampai batas waktu
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum
Perlindungan berakhir; dan/atau
terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku,
p. mendapat pendampingan.
dan/atau Pelapor atas kesaksian
dan/atau laporan yang akan, sedang,
JURNAL SELAT 150
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

atau telah diberikan, tuntutan hukum tuntutannya kepada hakim.


tersebut wajib ditunda hingga kasus (5) Untuk memperoleh penghargaan
yang ia laporkan atau ia berikan berupa pembebasan bersyarat, remisi
kesaksian telah diputus oleh tambahan, dan hak narapidana lain
pengadilan dan memperoleh kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
KXNXP WHWDS ´ huruf b, LPSK memberikan
rekomendasi secara tertulis kepada
menteri yang menyelenggarakan
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan
XUXVDQ SHPHULQWDKDQ GL ELGDQJ KXNXP ´
1(satu) pasal, yakni Pasal l0A yang berbunyi sebagai Pasal 28
(2) Perlindungan LPSK terhadap Saksi
berikut:
Pelaku diberikan dengan syarat
Pasal l0A sebagai berikut:
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan a. tindak pidana yang akan diungkap
penanganan secara khusus dalam merupakan tindak pidana dalam
proses pemeriksaan dan penghargaan kasus tertentu sesuai dengan
atas kesaksian yang diberikan. keputusan LPSK sebagaimana
(2) Penanganan secara khusus dimaksud dalam Pasa15 ayat (2);
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. sifat pentingnya keterangan yang
berupa: diberikan oleh Saksi Pelaku dalam
a. pemisahan tempat penahanan mengungkap suatu tindak pidana;
atau tempat menjalani pidana c. bukan sebagai pelaku utama dalam
antara Saksi Pelaku dengan tindak pidana yang
tersangka, terdakwa, dan/atau diungkapkannya;
narapidana yang diungkap tindak d. kesediaan mengembalikan aset
pidananya; yang diperoleh dari tindak pidana
b. pemisahan pemberkasan antara yang dilakukan dan dinyatakan
berkas Saksi Pelaku dengan dalam pernyataan tertulis; dan
berkas tersangka dan terdakwa e. adanya Ancaman yang nyata atau
dalam proses penyidikan, dan kekhawatiran akan terjadinya
penuntutan atas tindak pidana Ancaman, tekanan secara fisik atau
yang diungkapkannya; dan/atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau
c. memberikan kesaksian di depan Keluarganya jika tindak pidana
persidangan tanpa berhadapan tersebut diungkap menurut
langsung dengan terdakwa yang keadaan yang sebenarnya.
diungkap tindak pidananya. (3) Perlindungan LPSK terhadap Pelapor
(3) Penghargaan atas kesaksian dan ahli diberikan dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
berupa: a. sifat pentingnya keterangan
a. keringanan penjatuhan pidana; Pelapor dan ahli; dan
atau b. tingkat Ancaman yang
b. pembebasan bersyarat, remisi PHPEDKD\DNDQ 3HODSRU GDQ DKOL ´
tambahan, dan hak narapidana lain
sesuai dengan ketentuan
Dalam pendekatan sosiologis, bentuk
peraturan perundang-undangan
bagi Saksi Pelaku yang berstatus perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh
narapidana.
Negara melalui aparat penegak hukum kepada para
(4) Untuk memperoleh penghargaan
berupa keringanan penjatuhan pidana saksi masih sangat minim. Sehingga hal ini
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menimbulkan phobia masyarakat dalam memberikan
huruf a, LPSK memberikan
rekomendasi secara tertulis kepada keterangan sebagai saksi atau korban. Tidak banyak
penuntut umum untuk dimuat dalam
151 Bambang Arjuno dkk, ‡Žƒ’‘” ‹•†ƒ• ‹†ƒ•ƒ ‘”—’•‹ Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

orang yang bersedia mengambil resiko untuk menentukan dalam proses peradilan pidana.
Keberadaan Saksi dan Korban dalam
melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya,
proses peradilan pidana selama ini kurang
keluarganya, harta bendanya tidak mendapat mendapat perhatian masyarakat dan
penegak hukum. Kasuskasus yang tidak
perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul
terungkap dan tidak terselesaikan banyak
karena laporan yang dilakukan. Perlindungan yang ini disebabkan oleh Saksi dan Korban takut
memberikan kesaksian kepada penegak
minim juga menimbulkan keengganan saksi atau
hukum karena mendapat ancaman dari
korban memberikan keterangan sesuai dengan fakta pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan
partisipasi masyarakat untuk mengungkap
yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang
Selain itu, berbagai bentuk kekerasan, kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada
ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima
setiap orang yang mengetahui atau
korban menjadi alasan utama yang mempengaruhi menemukan suatu hal yang dapat
membantu mengungkap tindak pidana yang
psikologi korban maupun saksi kejahatan dalam
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut
memberikan kesaksiannya atas suatu perbuatan kepada penegak hukum. Pelapor yang
demikian itu harus diberi perlindungan
pidana, bahkan seringkali seorang yang melaporkan
hukum dan keamanan yang memadai atas
suatu perbuatan pidana justru dilaporkan kembali laporannya, sehingga ia tidak merasa
terancam atau terintimidasi baik hak
telah melakukan pencemaran nama baik orang yang
maupun jiwanya. Dengan jaminan
dilaporkan melakukan kejahatan. perlindungan hukum dan keamanan
tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan
Beberapa faktor tersebut berdampak pada
yang memungkinkan masyarakat tidak lagi
banyak kasus yang tidak tersentuh proses hukum merasa takut untuk melaporkan suatu tindak
pidana yang diketahuinya kepada penegak
untuk diproses di persidangan, karena tidak adanya
hukum, karena khawatir atau takut jiwanya
satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani terancam oleh pihak tertentu.
mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti
Berlakunya Undang-Undang Nomor 13
yang didapat oleh penyidik sangat kurang memadai,
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
sehingga penyidikpun tidak bisa memproses lebih
pada tanggal 11 Agustus 2006 yang kemudian
lanjut suatu perkara pidana. Beberapa hal tersebut
dilakukan penambahan (revisi) beberapa pasal
pula yang menjadi pertimbangan pembentuk undang-
melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
undang, hal ini tercermin dalam penjelasan umum
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan:
merupakan suatu kemajuan hukum yang mampu
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana
sangat bergantung pada alat bukti yang menutupi kelemahan-kelemahan sistem peradilan
berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam
pidana Indonesia berkaitan dengan terabaikannya
proses persidangan, terutama yang
berkenaan dengan Saksi, banyak kasus elemen-elemen saksi dan korban dalam sistem
yang tidak terungkap akibat tidak adanya
peradilan pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak
Saksi yang dapat mendukung tugas
penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa saja
Korban merupakan unsur yang sangat
untuk mendapat perlindungan dari berbagai
JURNAL SELAT 152
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi hal, yaitu: Pertama, perlindungan atas keamanan
manusia. Perlindungan Saksi dan Korban dalam pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua,
proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan
secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas.
KUHAP hanya mengatur perlindungan terhadap Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap
tersangka atau terdakwa untuk mendapat muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa
perlindungan dari berbagai kemungkinan pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara.
pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan dalam undang-undang tentang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pemberantasan Korupsi, Pemerintah Indonesia telah
dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam
dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
bagi saksi dan atau korban yang sebelumnya terbagi- kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai
bagi dalam beberapa peraturan, serta peraturan perundangundangan, antara lain dalam
mengamanatkan pembentukan Lembaga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
perubahan dan penambahan pengaturan melalui Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menunjukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU No 28 Tahun
kemauan yang kuat Negara dalam perlindungan 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
pelapor dan saksi pelaku, hal ini menunjukkan respon dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
positif dari pembentuk undang-undang dalam melihat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
penegakan hukum pidana terkait perlindungan bagi Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
saksi dan korban. dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
LPSK memiliki peran yang sangat besar atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
dalam mendorong terwujudnya perlindungan hak-hak Tindak Pidana Korupsi.8
pelapor maupun saksi pelaku. Dalam Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi
mengoptimalkaii tugas dan fungsi LPSK terkait tindak pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pidana korupsi dapat bersinergi dengan lembaga pemeriksaan di pengadilan akan berjalan dengan
atau instansi lain, baik dalam upaya perlindungan lancar apabila ditunjang dengan alat bukti yang sah.
juga memberikan penyuluhan serta penyadaran Sebagaimana diketahui berkaitan dengan alat bukti
hukum kepada masyarakat. Salah satunya adalah dalam perkara pidana telah diatur dalam Undang
bersinergi dengan lembaga kepolisian, hal ini Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
berdasarkan Peraturan KAPOLRI Nomor 17 Tahun Pidana. Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa alat
2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bukti yang sah:
terhadap Pelapor dan Saksi khusus terhadap a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
pelapor, saksi dan keluarganya meliputi beberapa
c. surat;

8 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
153 Bambang Arjuno dkk, Pelapor Tindak Pidana Korupsi Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

d. petunjuk; bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa


e. keterangan terdakwa.
suatu tidak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukan.10
Keberadaan saksi dalam mengungkap
Dapat dipahami begitu pentingnya peran
sebuah tindak pidana, sangat penting, karena dalam
saksi dan pelapor untuk membantu penegak hukum
Pasal 184 KUHAP posisi keterangan saksi ada pada
dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana
posisi yang pertama, sehingga bagi kalangan aparat
korupsi yang berhubungan dengan Gratifikasi,
penegak hukum dalam melakukan penyidikan
karena tanpa adanya saksi yang memberi keterangan
perkara tindak pidana selalu berusaha mendapatkan
dan infomasi yang diperoleh dari pelapor, maka
keterangan saksi sebagai alat bukti yang paling
penyelesaian kasus-kasus korupsi mulai dari tahap
penting, oleh karena itu pentingnya keterangan saksi,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
maka sudah selayaknya seorang saksi mendapat
pemeriksaan di pengadilan tidak akan terlaksana
perlakuan khusus.
sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentunya akan
Pembuktian merupakan masalah yang
sangat merugikan masyarakat dan pemerintah dalam
memegang peranan penting dalam proses
upaya mencegah dan memberantas tindak pidana
pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian
korupsi.
inilah ditentukan nasib terdakwa. Apalagi hasil
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
undang-undang tidak cukup membuktikan keselahan
Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
yang didakwakan kepada terdakwa. Terdakwa
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-
Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan ketentuan
alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP,
khusus terkait saksi pelapor dan saksi pelaku.
terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya
Ketentuan yang dapat ditafsirkan sebagai saksi
akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para
pelapor terdapat pada Bab V tentang Peran
hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan
Masyarakat, ketentuan tersebut sebagai berikut:
mempertimbangkan masalah pembuktian.9 Sistem
Pembuktian Menurut KUHAP. Dari keempat sistem
Pasal 41
pembuktian tadi, temyata KUHAP mengatur sistem (1) Masyarakat dapat berperan serta
membantu upaya pencegahan dan
pembuktian berdasarkan undang-undang secara
pemberantasan tindak pidana korupsi.
negatif (negatief wettelijke). Dasar dari pendapat ini (2) Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan
adalah pasal 183 KUHAP, yang menyatakan: Hakim
dalam bentuk :
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang a. hak mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
9 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, (Editor) Risman F. Sikumbank, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Januari 2004, hlm. 102-103.
10 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peranan Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Mei 1992, hlm. 28
JURNAL SELAT 154
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

dugaan telah terjadi tindak pidana dikemukaan oleh Paul scholten menyatakan bahwa
korupsi;
hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan,
b. hak untuk memperoleh pelayanan
dalam mencari, memperoleh dan menurut Scholten adalah sesuatu yang khayal
memberikan informasi adanya
apabila orang beranggapan bahwa undang-undang
dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum itu telah mengatur segalanya secara tuntas.11
yang menangani perkara tindak
Sedangkan menurut Eikema Holmes penemuan
pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan hukum mengaitkan dengan peraturan dan fakta,
pendapat secara bertanggung
Holmes mengatakan penemuan hukum sebagai
jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
pidana korupsi;
hukum yang bersifat umum dengan mengingat
d. hak untuk memperoleh jawaban
atas pertanyaan tentang laporan- peristiwa konkret tertentu.12
nya yang diberikan kepada
Peraturan perundang-undangan tidak
penegak hukum dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari; lengkap dan tidak jelas, kegiatan kehidupan manusia
e. hak untuk memperoleh perlin-
itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya,
dungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu
sebagaimana dimaksud
peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan
dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses jelas.13 Sehingga adanya penafsiran hukum oleh
penyelidikan, penyidikan, dan
penegak hukum merupakan metode yang telah
di sidang pengadilan sebagai
saksi pelapor, saksi, atau tetapkan oleh hukum itu sendiri, di Indonesia sebagai
saksi ahli, sesuai dengan
Negara hukum yang tercantum jelas didalam
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3),
berlaku;
juga beberapa peraturan perundangan-undangan
3) Masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengaturnya diantara- nya Undang-Undang Nomor
mempunyai hak dan tanggung
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
jawab dalam upaya
pencegahan dan Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
pemberantasan tindak pidana
dengan muculnya fakta baru yang ditafsirkan melalui
korupsi.
undang-undang, maka kedepan didalam revisi
Dari ketentuan pasal diatas memang tidak undangundang tindak pidana korupsi, hal tersebut
ada klausul pasal yang mengatur secara khusus perlu diatur secara khusus didalam ketentuan baru,
PHQJJXQDNDQ NDWD ³SHODSRU´ wistleblower), tetapi hal ini guna menjamin kepastian hukum terhadap
hukum melalui norma tertulis tidak bias mengatur perlindungan pelapor serta saksi pelaku yang
semua hal secara mendetail, sehingga itu merupakan beritikad baik.
ranah metode penemuan hukum, baik itu penafsiran UU No. 31 Tahun 1999 tentang
maupun interpretasi hukum, hal berdsarkan apa yang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur

11 Eddy O.S. Hiariej. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2009, hlm. 55
12 Ibid. hlm. 56
13 Sudikno Mertokusumo, Op., Cit, hlml. 48
155 Bambang Arjuno dkk, Pelapor Tindak Pidana Korupsi Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

mengenai perlindungan terhadap pelapor dan saksi undang-undang perlindungan saksi dan korban serta
pelaku disinggung dalam beberapa pasal yaitu harmonisasi kedalam revisi undang-undang tindak
sebagai berikut: pidana korupsi kedepan untuk lebih menjamin
Pasal 21 kepastian hukum yang memberikan perlindungan,
Setiap orang yang dengan sengaja
mengingat keberadaan saksi dan pelapor sesuai
mencegah, merintangi, atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung dengan pengalaman yang pernah terjadi saksi dan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
pelapor serta keluarganya sangat rentan terhadap
disidang pengadilan terhadap tersangka
atau terdakwa ataupun para saksi dalam ancaman kekerasan fisik maupun psikis dari pihak
perkara korupsi, dipidana dengan pidana
tertentu.
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau Jika dikaji secara lebih cermat, ada
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
beberapa hal penting yang telah dirumuskan oleh
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta revisi Undang-Undang Tindak Pidana korupsi,14 yaitu
rupiah).
sebagai berikut: kesatu, usulan revisi UU Tindak
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan Pidana Korupsi, semula ditujukan agar UU tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,
senantiasa memiliki kemampuan untuk mengan-
dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak tisipasi modus kejahatan korupsi yang terus makin
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
berkembang. Lebih dari itu, dampak dari korupsi juga
rupiah). Pasal 31:
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di tidak hanya berkenaan dengan kerugian keuangan
sidang pengadilan, saksi dan orang lain
Negara saja tetapi juga telah melemahkan lembaga
yang bersangkutan dengan tindak
pidana korupsi dilarang menyebut dan nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta
nama atau alamat Pelopor, atau hal-hal
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan
lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor. supremasi hukum, selain mengancam stabilitas dan
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan,
keamanan masyarakat; kedua, revisi juga
larangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberitahukan kepada dimaksudkan agar UU tersebut dihannonisasi agar
saksi dan orang lain tersebut.
sesuai dengan United Vation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi
Dari ketentuan diatas dapat dipahami saksi
menjadi UU No. 7 Tahun 2006 sehingga dapat
dan pelapor merupakan pihak-pihak yang sangat
digunakan sebagai akses untuk melakukan
penting peranannya dalam membantu proses
kerjasama internasional dengan berbagai Negara
penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana
lainnya, karena tindak korupsi sudah berkembang
korupsi, karena tanpa keterangan dan inoformasi
menjadi kejahatan transnasional.
yang diberikan oleh saksi dan pelapor kepada pihak
Namun de facto, usulan revisi UU Tindak
penegak hukum, maka banyak kasus-kasus korupsi
Pidana Korupsi memiliki beberapa kelemahan
tidak akan terungkap. Oleh karena itu diperlukan
mendasar. Kelemahan yaitu dimaksud belum
pelaksanaan perlindungan hukum yang memadai
sepenuhnya mengakomodasi hal - hal penting yang
memalui LPSK sebagaimana telah diatur oleh

14 Naskah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi


JURNAL SELAT 156
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

tersebut di dalam UNCAC 2003 atau UU No. 7 Tahun menjamin melalui kepastian hukum sebagai bentuk
2006. Salah satu indikasinya, revisi UU tersebut tidak pengakuan terhadap asas legalitas.
mengatur secara komprehensif hal-hal yang Pengaturan Perlindungan hak saksi pelapor
berkaitan dengan perlindungan pelapor dan saksi dan saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi,
pelaku. sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, cukup
Usulan revisi UU Tipikor justru mengatur hal memadai dalam aspek pengaturannya, hal ini
sebaliknya atas rumusan pasal yang sudah diatur dibuktikan melalui perubahan beberapa pengaturan
secara lebih tegas pada UNCAC 2003 atau UU No. 7 dan lahirnya beberapa ketentuan peraturan
Tahun 2007, perlindungan atas para saksi, saksi ahli, perundang-undangan yang menjamin hak saksi
saksi korban dan saksi pelapor kendati sebagiannya pelapor dan saksi pelaku. Undang-undang Nomor 13
sudah diatur di dalam UU Perlindungan Saksi tidak Tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun
cukup diatur di dalam revisi. Revisi UU justru 2014 menjamin hak saksi pelapor dan saksi pelaku
mengatur pasal mengenai orang yang membuat juga beberapa peraturan perundang-undangan lain.
laporan palsu padahal hal tersebut sudah diatur di Tetapi dalam implementasinya
dalam KUHP; dan pengaturan itu justru dapat (penegakkan) tidak mampu memberikan yang
menyurutkan keterlibatan pu maksimal, hal ini dapat diukur masih kurangaya
pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya
2.2. Kebijakan hukum (legal policy) negara serta persepsi keliru masyarakat yang masih kuat
terhadap Pelapor Tindak Pidana Korupsi
terhadap saksi. Untuk itu perlu menggali
(whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama (justice collaborator) permasalahan secara mendalam untuk menemukan
solusi yang tepat guna pertimbangan pembentukan
Dalam pembentukan hukum (making law)
hukum baru.
pertimbangan segala bentuk hukum merupakan
Secara umum hukum pidana berfungsi
pertimbangan nilai-nilai dasar manusia yang telah
mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
ada. Berkaitan dengan itu, sesuai yang disampaikan
masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya
Paton15 bahwa hak merupakan kepentingan induvidu,
ketertiban umum.17 Pembinaan bidang hukum harus
kepentingan tersebut bukan diciptakan oleh negara
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-
karena kepentingan itu telah ada dalam kehidupan
kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum
bermasyarakat dan negara hanya memilihnya mana
rakyat yang berkembang ke arah modernisasi
yang harus dilindungi. Pandangan ini yang diperkuat
menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala
oleh Dworkin16 yang mengatakan bahwa hak bukan
bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
apa dirumuskan melainkan nilai yang mendasari
hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke
perumusan itu. Dengan kata lain hak telah ada
arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa,
sebelum ditetapkan oleh undang-undang, yang
sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang
berarti hak itu bersifat orisinal, Undang-Undang

15 Dalam Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum, Cet Ke-7. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hlm. 151
16 Dalam Peter Mahmud. Ibid. hlm. 154
17 Adam Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 15
157 Bambang Arjuno dkk, Pelapor Tindak Pidana Korupsi Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

perkembangan modernisasi dan pembangunan yang dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan atau
menyeluruh.18
aturan baru yang mereka susun;
Pembangunan bidang hukum dilakukan 2) Struktur hukum (legal structure); merupakan
kerangka, bagian yang tetap bertahan,
dengan jalan:19
bagian yang memberikan semacam bentuk
1. Peningkatan dan penyempurnaan dan batasan terhadap keseluruhan instansi-
pembinaan hukum nasional dengan antara instansi penegak hukum. Di Indonesia yang
lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi merupakan struktur dari sistem hukum
serta unifikasi hukum di bidang-bidang antara lain : institusi atau penegak hukum
tertentu dengan jalan memperhatikan seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim; dan
kesadaran hukum dalam masyarakat. 3) Budaya hukum (legal culture); merupakan
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial
hukum menurut proporsinya masing-masing yang menentukan bagaimana hukum itu
3. Pembangunaan dibidang hukum dalam digunakan, dihindari atau disalahgunakan
negara hukum Indonesia didasarkan atas oleh masyarakat.
landasan sumber tertib hukum seperti
terkandung dalam Pancasila dan Undang
Dari Dari beberapa pandangan diatas maka
Undang Dasar 1945.
4. Pembangunan dan pembinaan bidang pembangunan hukum dalam perlindungan pelapor
hukum diarahkan agar hukum mampu
(wistleblower) dan saksi pelaku (justice collaborator),
memenui kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan pembangunan di segala bidang, mencakup 3 (tiga) hal pokok, yaitu: Pembinaan
sehingga dapatlah diciptakan ketertiban dan
Hukum Melalui Kesadaran Masyarakat, Peningkatan
kepastian hukum dan memperlancar
pelaksanaan pembangunan. Kualitas Struktur Hukum dan Pembaharuan Hukum
5. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan
Melalui Pembentukan Substansi Hukum
penegak hukum.
Perlindungan Pelapor dan Saksi Korban.
Dengan demikian maka pembangunan
hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan III. Kesimpulan dan Saran
hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan Dari urain yang telah penulis telah paparkan
hukum pada hakikatnya berarti usaha-usaha untuk di atas, yang merupakan jawaban dari rumusan
lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, masalah yang telah dirumuskan dapat disimpulkan,
sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat. bahwa Perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak
Pandangan diatas juga sejalan dengan Pidana Korupsi (whistleblower) dan Saksi Pelaku
pemikiran Lawrence M. Friedman, yang Yang Bekerjasama (justice collaborator) di Indonesia
mengemukakan hukum mencakup tiga komponen terdiri atas 2 (dua) aspek, yaitu preventif dan
yaitu:20 perlindungan represif yang telah termuat dalam
1) Substansi hukum (legal substance); instrumen, yaitu: Undang-undang Nomor 13 Tahun
merupakan aturan-aturan, norma-norma
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Juncto
dan pola prilaku nyata manusia yang berada
dalam sistem itu termasuk produk yang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
dihasilkan oleh orang yang bera ada di

18 Soerjono Soekanto. Op.Cit, hlm. 306.


19 Ibid. hlm. 1307.
20 Lihat Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh M.Khozim, Ciet. Ke-4. Bandung: Nusa
Media, 2011, hlm. 15-19.
JURNAL SELAT 158
Volume. 4 Nomor. 2, Mei 2017. Halaman 144-159

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun masih didominasi oleh perlindungan yang bersifat
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, represif, yaitu dilakukan setelah terjadi suatu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pelanggaran. Perlindungan hukum secara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto komprehensif perlu pemahaman masyarakat luas
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang yang menjadi bagian penting dalam sebuah sistem.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun Substansi hukum perlu membaca arah
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana perkembangan masyarakat yang dinamis, sehingga
Korupsi, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 pemaknaan hukum tidak dilakukan secara kaku.
Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi whistleblower Pengaturan yang bersifat parsial juga perlu dilakukan
dan justice collaborator, dan Perlindungan hukum sinkronisasi dan harmonisasi, hal ini penting sebagai
terhadap Pelapor Tindak Pidana Korupsi jaminan pencapaian keadilan, karena ketidakaturan
(whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama norma, ketidakjelasan maupun pertentangan norma
(justice collaborator) Melalui Lembaga Perlindungan menimbulkan sikap dilematis aparat penegak hukum.
Saksi dan Korban. Penguatan substansi hukum merupakan langkah
Adapun sebagai rekomendasi adalah pertama yang harus dilakukan oleh pembentuk
Perlindungan hukum dalam aspek preventif maupun undang-undang, hal ini sekaligus memberikan
represif di Indonesia saat ini tidak mampu pemaknaan hukum guna perubahan sikap
dimanfaatkan dengan optimal, perlindungan hukum masyarakat yang masih phobia terhadap saksi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku Hiariej, Eddy O.S. . Asas Legalitas dan Penemuan


Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta:
Rajawali Pers, 2008. Erlangga, 2009.

Djaja, Ermansjah. Meredesain Pengadi/an Mahmud, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
TindakPidana Korupsi, Implikasi Putusan Prenadamedia Group, 2015.
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- Makarao, Mohammad Taufik, dan Suhasril. Hukum
019/PUU-IV/2006. Jakarta: Sinar Grafika, Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.
2010. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum: Perspektif Waluyo, Bambang. Sistem Pembuktian Dalam
Ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh M.Khozim, Peranan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
Ciet. Ke-4. Bandung: Nusa Media, 2011. 1992.
159 Bambang Arjuno dkk, ‡Žƒ’‘” ‹•†ƒ• ‹†ƒ•ƒ ‘”—’•‹ Š‹•–Ž‡„Ž‘™‡” åää

Koran/Internet Jawa Pos, Berita: Trend Aduan Korupsi Makin naik,


(Laporan ke PPATK selama 2011), 24
$GQDQ 7RSR +XVRGR ³.RUDQ WHPSR´ 1RSHPEHU
Desember 2011.
2005.
Jawa Pos, Berita : Dana Berantas Korupsi Tak
Buku Saku Pemberantasan Korupsi, http: www.
Sebanding Aset Kembali, 28 Desember
upsi,kpk .go.id/ modules/ wmpdownloads
2011.
/singlefile,php?=10&lid=19/.
Naskah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
Jawa Pos, Artikel : Otonomi Yang Menyebarkan
Korupsi
Korupsi, oleh Lukman santoso, Peneliti pada
STAIDA Institute, peserta program Magister Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
Ilmu Hukum UII Jogyakarta, 27 April 2011. 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai