Anda di halaman 1dari 8

JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Pendekatan Restorative Justice Dalam Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi
Rida Ista Sitepu1, Rudi Hermawan2
1
Universitas Nusa Putra, Sukabumi, Jawa Barat - rida.ista@nusaputra.ac.id,
2
Universitas Nusa Putra, Sukabumi, Jawa Barat - rudi.hermawan@nusaputra.ac.id,

Abstrak

Pendekatan retributive justice dalam hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak
relevan dengan tujuan pemberantasan korupsi di Indonesia yakni untuk melindungi aset dan kekayaan
negara. Karena itu muncul gagasan untuk menggunakan pendekatan Restorative Justice dalam upaya
pemberantasan korupsi di masa yang akan datang. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan
jawaban tentang bagaimana pendekatan restorative justice dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini
menyimpulkan bahwa pendekatan restorative justice dalam pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi
dapat dilakuakan diantaranya dengan melakukan penguatan norma-norma pengembalian kerugian
negara yang semula sebagai pidana tambahan menjadi pidana pokok serta pengaturan mekanisme
dalam pemulihan akibat dari tindak pidana korupsi tersebut.

Kata Kunci: restorative justice, pemberantasan, tindak pidana korups

A. PENDAHULUAN menyelamatkan kekayaan negara maupun


memberikan hukuman yang setimpal bagi
Sejak dipublikasikannya panduan pelakunya.
praktis dalam menghadapi korupsi oleh the Upaya pemberantasan korupsi di
Centre for International Crime Prevention Indonesia saat ini dipayungi oleh sebuah
(CICP) pada tahun 1992 yang bekerjasama aturan yakni UU No. 31/1999 yang diubah
dengan Departemen Kehakiman Amerika dengan UU No. 20/2001 tentang
Serikat, terlihat adanya peningkatan kesadaran Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
pemerintah dan lembaga-lembaga dalam UU No. 15/2002 yang diubah dengan
internasional dalam memerangi korupsi yang UU No. 25/2003 tentang Tindak Pidana
belum pernah terjadi sebelumnya. Pencucian Uang. Dalam praktiknya, berbagai
Organisasi-organisasi internasional, penelitian menunjukan bahwa payung hukum
pemerintah, dan sektor swasta, telah tersebut masih belum mencerminkan tujuan
menganggap korupsi sebagai penghalang yang besar pemberantasan korupsi yakni
serius terhadap pemerintahan yang melindungi aset negara dengan cara
demokratis, kualitas pertumbuhan serta pengembalian kerugian negara oleh pelaku
stabilitas nasional dan internasional1. tindak pindana korupsi.
Kesadaran itu menunjukan sikap dan tekad Bila dicermati, payung hukum
kolektif yakni perlu dilakukannya upaya- pemberantasan korupsi Indonesia menitik
upaya pencegahan yang efektif terhadap beratkan konsep retributive justice sebagai
praktik-praktik korupsi baik untuk landasan filosofis pemberantasan korupsi. Hal

1
UN Anti-Corruption Policy, Global Programme Against
Corruption, Draft UN Manual on Anti-Corruption Policy, Vienna,
June 2001, hlm. 2.

11 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

itu tampak dalam kontruksi norma dijatuhkan hakim hanya sebatas pidana denda
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dengan ketentuan maksimum pidana tambahan
pada hakikatnya melegitimasi pemidanaan sepertiga sebagaimana diatur dalam Pasal 20
sebagai sarana pembalasan atas kejahatan ayat (6) dan (7) UU No. 31/1999 yang diubah
yang telah dilakukan seorang pelaku korupsi. dengan UU No. 20/2001 tentang
Kontruksi norma yang demikian memandang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari
bahwa “kejahatan merupakan perbuatan yang dua contoh sederhana di atas dapat diketahui
amoral dan asusila di dalam masyarakat”2, bahwa upaya menyelamatkan keuangan
oleh karena itu pemidanaan pelaku korupsi negara dengan kontruksi hukum yang
harus dilepaskan dari tujuan apapun selain satu berorientasi pada retributive justice sangat sulit
tujuan pembalasan atas perbuatannya. dilakukan karena terdapat kendala baik secara
Pandangan tersebut tentu saja tidak prosedural maupun praktik penegakan
selaras dengan tujuan besar pemberantasan hukumnya. Lebih lanjut, prinsip-prinsip
korupsi. Bahkan dalam konteks yang lebih retributive justice yang mengutamakan
luas justru menghambat upaya pemulihan aset pemidanaan badan bagi pelaku tindak pidana
negara melalui pengembalian kerugian korupsi ketimbang fokus pada pemulihan
keuangan negara dalam tindak pidana korupsi akibat kejahatan tersebut, terlihat dalam norma
di Indonesia. pemberantasan korupsi Indonesia yang
Beberapa hambatan yang timbul sebagai menyatakan bahwa pengembalian kerugian
akibat dari cara berpikir retributif dalam keuangan negara tidak menghapus pidana
pemberantasan korupsi tersebut terjadi kepada seseorang sebagai pelaku dari tindak
misalnya dapat diidentifikasi dari pidana korupsi. Selanjutnya pada Pasal 4 UU
tertinggalnya norma-norma hukum No. 31/1999 yang diubah dengan UU No.
pemberantasan korupsi oleh modus operandi 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebagai Pidana Korupsi, menegaskan bahwa
contoh, suatu tindak pidana korupsi yang mana pengembalian kerugian keuangan negara atau
hasil dari tindak pidana tersebut tidak hanya perekonomian negara tidak menghapuskan
dinikmati oleh terdakwa, melainkan juga dipidananya pelaku tindak pidana
diterima atau dinikmati oleh pihak ketiga yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
tidak menjadi terdakwa maka pengembalian Pasal 3 undang-undang tersebut. Hal ini
kerugian negara akan sangat sulit dilakukan. menunjukan bahwa hukum tindak pidana
Selain itu, dalam persoalan teknis penegakan korupsi Indonesia masih memandang
hukumnya juga terdapat masalah misalnya kesalahan atau dosa pelaku kejahatan hanya
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan dapat ditebus dengan menjalani penderitaan.
oleh korporasi. Undang-undang Menyikapi persoalan pendekatan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia memberikan kelonggaran kepada Indonesia tersebut, perlu kiranya merujuk
para pengurus korporasi dimana mereka dapat konsep hukum internasional yang telah
menunjuk orang lain untuk mewakilinya membuka peluang bagi setiap negara untuk
menghadapi perkara. Sehingga tentu saja melakukan penyelesaian perkara korupsi
penegakan hukum tidak dapat dilakukan atas melalui restorative justice dalam
orang yang betul-betul harus bertanggung pengembalian aset sebagai upaya
jawab atas perbuatan pidana tersebut. Masih pengembalian kerugian keuangan negara
dalam kontek tindak pidana korupsi yang akibat tindak pidana korupsi. Melalui United
dilakukan oleh korporasi, undang-undang Nations Convention Against Corruption
mengatur bahwa pidana pokok yang dapat (UNCAC) yang ditandatangani oleh 133

2
Aleksandar Fatic, Punishment and Restorative Crime – Handling.
USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995, hlm. 9

12 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

negara, PBB mendesak negara-negara tinjau dari aspek kesejahteraan masyarakat,


anggotanya untuk sesegera mungkin merespon korupsi juga memperbesar angka kemiskinan
kehadiran konvensi ini khususnya dalam dikarenakan program-program pemerintah
konteks pengembalian aset negara (asset tidak mencapai sasaran, korupsi juga
recovery).3 mengurangi potensi pendapatan yang
Pendekatan restorative justice mungkin diterima oleh si miskin. Ditinjau dari
sebagaimana diisyaratkan hukum aspek ini, pemidanaan terhadap pelaku korupsi
internasional tersebut mengkehendaki negara jelas tidak lagi bisa dengan mengandalkan
fokus pada pengembalian kerugian negara pendekatan retributif. Perlu upaya yang
oleh pelaku korupsi daripada merampas sistematis dan komprehensif untuk
kemerdekaan pelaku tindak pidana korupsi memulihkan akibat yang ditimbulkan dari
dengan cara memenjarakannya. tindak pidana korupsi.
Upaya penanggulangan kejahatan
B. METODE PENELITIAN dengan menggunakan pranata hukum pidana
dan pemidanaan fisik pelaku kejahatan
Penelitian ini merupakan penelitian merupakan cara yang paling klasik bahkan
hukum normatif yang berusaha menemukan disebut-sebut usianya sudah setua peradaban
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun umat manusia. Dalam konteks filsafat, pidana
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu dan pemidanaan itu bahkan disebut sebagai
hukum yang dihadapi. Adapun pendekatan “older philosophy of crime control”.4
yang digunakan adalah pendekatan Belakangan, kebijakan pemidanaan
Perundang-Undangan (statute tersebut banyak dipersoalkan mengingat
approach), pendekatan konseptual dalam konteks sejarah, pemidanaan atau
(conceptual approach), pendekatan analisis sanksi pidana penuh dengan gambaran
(analysis approach), pendekatan perbandingan gambaran perlakuan yang oleh ukuran-ukuran
(comparative approach), pendekatan sejarah sekarang dipandang kejam dan melampaui
(historical approach), pendekatan filsafat batas.5 Bahkan tak tanggung Smith dan Hogan
(fhilosophical approach), dan pendekatan menyebutnya sebagai “a relic of
kasus (case approach). barbarism”6Pembalasan pidana itu muncul
karena hukum pidana sendiri dibangun atas
C. PEMBAHASAN dasar pemikiran indeterminisme yang pada
pokoknya memandang manusia memiliki
Secara kualitatif, dampak negatif kehendak bebas untuk bertindak. Kehendak
korupsi adalah mengurangi pendapatan dari bebas itulah yang mendasari lahirnya
sektor publik dan meningkatkan pembelanjaan tindakan-tindakan kejahatan. Oleh karena itu,
pemerintah untuk sektor publik. Pada tataran pandangan interdeterminisme menilai
lain, korupsi juga memberikan kontribusi pada kehendak bebas manusia itu yang harus
nilai defisit fiskal yang besar, meningkatkan dibalas dengan sanksi pemidanaan.7 Seiring
income inequality, dikarenakan korupsi perkembangan kehidupan dan peradaban
membedakan kesempatan individu dalam manusia, ternyata implementasi sanksi pidana
posisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan pencabutan kemerdekaan mengandung lebih
dari aktivitas pemerintah pada biaya yang banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-
sesungguhnya ditanggung oleh masyarakat. Di aspek positifnya. Aspek negatif yang timbul

3 5
Budi Suharianto, Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Illinois USA: C.
Pelaku Korupsi demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Thomas Publicher, 1978), hlm. 86.
Keuangan Negara, Jakarta, Kemenkumham, Volume 5, Nomor 3, 6
Smith and Hogan, Criminal Law, London: Butterworths, 1978,
Desember 2016, hlm. 423 hlm. 6.
4 7
Gene Kassebaum, Delinquency and Social Policy, London: Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, FH
Prentice Hlml, Inc, 1974, hlm. 93. UNDIP, 2009, hlm. 146-147.

13 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

dari penjatuhan pidana pencabutan yang dikorupsi oleh korporasi. Pemidanaan


kemerdekaan itu misalnya terjadinya terhadap korporasi Pelaku korupsi baik dari
dehumanisasi, prisonisasi dan stigmatization.8 aspek substansi, struktur maupun kultur
Selain itu, aspek negatif lainnya adalah hukum sudah tidak relevan lagi dengan
habisnya energi para penegak hukum serta menggunakan pendekatan konsep retributif
anggaran negara untuk fokus pada upaya justice.11
penghukuman fisik pelaku kejahatan daripada Kegagalan teori retributif yang
fokus pada pemulihan akibat dari kejahatan berorientasi pada pembalasan dan teori neo
yang dilakukan. Padahal dalam banyak kasus klasik yang berorientasi pada kesetaraan
pidana, kerugian atau akibat negatif yang sanksi pidana dan sanksi tindakan untuk
ditimbulkan oleh suatu kejahatan lebih penting memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat
untuk diperbaiki daripada merampas memicu reaksi munculnya pemikiran untuk
kemerdekaan seorang pelaku kejahatan. menerapkan restorative justice dalam konsep
Dalam konteks tindak pidana korupsi, pemidanaan pada umumnya khususnya
kelihatannya filsafat dan teori pemidanaan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi.
yang banyak dipengaruhi oleh aliran retributif Pemikiran ini memandang bahwa pendekatan
justice ini sudah sangat tidak relevan dengan restorative justice yang menekankan pada
tujuan besar hukum pemberantasan korupsi di perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau
Indonesia yakni fokus pada perlindungan aset terkait dengan tindak pidana sebagai konsep
atau kekayaan negara. Kepentingan hukum yang sesuai dengan tujuan pemberantasan
yang hendak dilindungi adalah keuangan korupsi di Indonesia sebagaimana yang juga
negara.9 Belakangan terungkap, sejumlah telah dilakukan di beberapa negara.
narapidana korupsi yang merugikan uang Di beberapa negara pendekatan ini
negara yang sangat banyak, justru menikmati telah mulai diadopsi dan menunjukan hasil
proses pemidanaan mereka. Bahkan, yang menggembirakan. Belanda misalnya,
keberadaan mereka di dalam sistem negara ini dianggap negara paling berhasil di
pemidanaan malah merusak mental para dunia dalam mengimplementasikan
penegak hukum yang pada gilirannya memicu restorative justice. Buktinya sejak kurun
terjadinya tindak pidana baru. Para terpidana waktu tahun 2013 hingga Januari 2017,
kasus korupsi malah menggunakan hasil Belanda telah berhasil menutup 24 (dua puluh
korupsinya untuk menyuap petugas Lembaga empat) penjara karena minimnya angka
Pemasyarakatan untuk mendapatkan fasilitas krinimalitas yang terjadi di negara
12
mewah selama mereka menjalani masa itu. Begitupun dalam perkara korupsi,
pemidanaan.10 Belanda juga memberlakukan restorative
Selain itu, dalam kejahatan korupsi, justice sebagai salah satu bentuk penyelesaian
pelaku seringkali bukan individu melainkan dalam perkara korupsi. Sehingga pada tahun
korporasi. Dalam konteks ini, paradigma 2016, berdasarkan Corruption Perseption
indeterminisme dan retributif justice dalam Index (CIP) atau indeks persepsi korupsi,
pemidanaan pelaku kurupsi yang dilakukan Belanda menduduki posisi ke-8 (delapan) dari
oleh korporasi jelas tidak relevan. Pada 176 negara.13Hukum pidana yang berlaku di
kenyataannya sejumlah kendala muncul Negeri Belanda, sejak tahun 1921 mengenal
dalam usaha melindungi keuangan negara suatu lembaga penyelesaian perkara pidana di

8 fasilitas-lapas-sukamiskin/ar-BBKXLa5. diakses terakhir pada


Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan
Pidana¸ Bandung: Alumni, 1984, hlm. 77-78. tanggal 13 September 2018.
11
9
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Budi Suharianto, Loc. Cit.
12
Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi antara Asas, Teori, dan Lihat Kekurangan Penjahat, 24 Penjara di Belanda Tutup Sejak
Penerapannya. Jakarta: Kencana, 2015, hlm. 252. 2013,http://internasional.kompas.com/read/2017/06/01/09330651/ke
10 kurangan.penjahat.24.penjara.di.belanda.tutup.sejak.2013, diakses
Lihat Membongkar Jual Beli Fasilitas Lapas Sukamiskin. Artikel.
https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/membongkar-jual-beli terakhir pada tanggal 28 Januari 2018
13
https://www.transparency.org/en/cpi/2016

14 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

luar persidangan pengadilan, yaitu disebut 26 nomor 4 adalah Setiap Negara Pihak wajib
dengan lembaga transaksi (transactie stelsel), mengusahakan agar korporasi dikenakan
yang tidak dikenal dalam hukum pidana yang sanksi pidana atau non-pidana yang efektif,
berlaku di Hindia Belanda atau Indonesia proporsional dan bersifat larangan, termasuk
sekarang.14 Ini menunjukan, bahwa sanksi keuangan. Menurut Budi Suharianto,
pendekatan restorative justice justru lebih kata sambung “atau” menjadi penanda bahwa
mampu menekan angka kejahatan khususnya pilihan penggunaan kebijakan penegakan
dalam tindak pidana korupsi, terlebih lagi okum pidana menjadi bersifat ultimum
mampu memulihkan akibat dari tindak pidana remedium ketika sanksi non pidana dianggap
dimana baik negara, pelaku juga masyarakata tidak dapat diandalkan.17
secara bersama-sama memikirkan cara untuk Dilihat dari sudut pandang itu artinya
memulihkan kerugian akibat tindak pidana konsep restorative justice tidak sama sekali
yang dilakukan. menghilangkan sanksi pidana, melainkan
Selain Belanda, negara-negara maju lebih mengedepankan pemberian sanksi yang
lainnya seperti Amerika Serikat dan China menekankan pada upaya pemulihan akibat
juga sudah mempertimbangkan penerapan kejahatan. Dalam konteks tindak pidana
cara-cara efektif dan efisien dalam menangani korupsi, fokus perhatian hukum seharusnya
perkara tindak pidana korupsi.15Cara-cara diutamakan pada bagaimana agar kerugian
efektif dan efisien yang dilakukan tersebut negara yang ditimbulkan dapat dikembalikan
yakni menjadikan pemulihan akibat tindak lebih diutamakan oleh hukum ketimbang
pidana menjadi primum remedium dan mengedepankan perampasan kemerdekaan
penjatuhan sanksi perampasan kemerdekaan pelaku.
pelaku korupsi sebagai ultimum remedium. Menurut UU No. 31/1999 yang diubah
Oleh karena itu pula, 133 negara dengan UU No. 20/2001 tentang
anggota PBB menyepakati United Nations Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Convention Against Corruption (UNCAC) korupsi merupakan tindak pidana yang sangat
yang pada hakikatnya menginginkan agar merugikan keuangan negara atau
negara-negara lebih fokus pada pengembalian perekonomian negara dan menghambat
okum (asset recovery) dalam pembentukan pembangunan nasional juga menghambat
hukum-hukum pemberantasan korupsi. pertumbuhan serta kelangsungan
Artinya hukum internasional mengindikasikan pembangunan nasional yang menuntut
fokus pemidanaan bukan lagi fokus pada efisiensi tinggi. Lebih lanjut dinyatakan dalam
pelaku kejahatan melainkan pada akibat yang bagian pertimbangan undang-undang tersebut
ditimbulkan. Ini dibuktikan dengan dibukanya bahwa tindak pidana korupsi dikatakan
peluang dalam UNAC tersebut bagi setiap sebagai pelanggaran terhadap hak hak sosial
okum untuk melakukan penyelesaian perkara dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
korupsi melalui restorative justice dalam tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
pengembalian okum sebagai upaya kejahatan yang pemberantasannya harus
pengembalian kerugian keuangan okum akibat dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu,
tindak pidaa korupsi. Hal ini dapat terlihat dari pengaturan pidana uang pengganti dan denda
article 26 Liability of Legal Person yang meurpakan salah satu upaya untuk
membuka pertanggungjawaban korporasi mengembalikan kerugian keuangan negara.
tidak berupa sanksi pidana tetapi dapat Bahkan sebetulnya semua undang-undang
diterapkan sanksi diluar pidana yang efektif korupsi yang ada di Indonesia telah mengatur
dan proporsional.16 Dinyatakan dalam article masalah pidana uang pengganti.

14 16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT. Ibid, hlm. 423.
Rajagrafindo Persada, 2002, hlm. 182-183. 17
Ibid.
15
Budi Suharianto, Op. Cit., hlm.435

15 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam UU No. 3/1971 misalnya, terpidananya yang lamanya tidak melebihi dari
masalah pidana uang pengganti telah diatur pidana pokoknya. Norma ini kembali
dimana jumlah pembayaran uang pengganti menunjukan bahwa pengembalian kerugian
sebanyak-banyaknya sama dengan uang yang negara hanya sebagai pidana tambahan bukan
dikorupsi. Namun dalam undang-undang sebagai pidana pokok. Lagipula, jika sampai
tersebut memiliki kelemahan yakni tidak terpidana tidak dapat mengembalikan kerugian
secara tegas menentukan kapan uang negara tersebut, solusinya adalah dengan
pengganti itu harus dibayarkan, dan apa memasukan terpidana ke dalam penjara selain
sanksinya bila pembayaran itu tidak dia harus menjalani pidana penjara pokoknya.
dilakukan. Undang-undang ini justru Dalam konsep pendekatan restorative
melemahkan keharusan membayar uang justice perlu dipertimbangkan agar
pengganti tersebut. Dalam bagian penjelasan pengembalian kerugian negara menjadi
undang-undang tersebut disebutkan, apabila pidana pokok. Karena apabila penggantian
pembayaran uang pengganti tidak dapat kerugian negara tetap menjadi pidana
dipenuhi, berlakukan ketentuan-ketentuan tambahan, masih ada peluang bagi hakim
tentang pembayaran denda. Demikian halnya untuk memutuskan pidana subsider atau
dengan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 pidana kurungan pengganti apabila terpidana
juga mengatur masalah pidana uang penggati. tidak mampu mengembaliakn kerugian
Pasal 18 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa tersebut. Dalam kacamata keadilan restoratif,
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat bahwa apabila terpidana tidak mampu
dijatuhkan pidana tambahan berupa mengembalikan kerugian tersebut meskipun
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya semua harta kekayaannya telah dilelang, maka
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda ketimbang memenjarakan terpidana lebih baik
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ada negara memberdayaan pelaku korupsi dalam
sedikit kemajuan dalam undang undang ini, bentuk kerja paksa sesuai dengan keahliannya.
dimana ketentuan mengenai uang pengganti Karena pada dasarnya para pelaku korupsi
sudah lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar adalah orang-orang yang memiliki
dalam tempo 1 (satu) bulan, terpidana segera keterampilan yang baik. Hasil dari kerja paksa
dieksekusi dengan memasukannya ke dalam tersebut dirampas oleh negara untuk menutupi
penjara. Hukuman penjara tersebut sudah kerugian negara yang tidak sanggup dibayar
ditentukan dalam putusan hakim, yang oleh terpidana.
lamanya tidak melebihi ancaman maksimum Pengembangan konsep ini dalam
pidana pokoknya. hukum pemberantasan korupsi kiranya
Meski demikian, konsep restorative mampu merestorasi atau memulihkan
justice belum sepenuhnya terimplementasikan kerugian negara akibat korupsi. Disisi lain,
dalam aturan tersebut. Sebab UU No. 31/1999 dengan konsep pemidanaan yang demikian,
jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan banyak manfaat dari sisi tujuan pemidanaan
Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa seorang pelaku kejahatan. Dengan kewajiban
perkara yang diputus, sudah ada pembatasan harus mengembalikan uang pengganti yang
waktu pembayaran selama satu bulan, apabila tidak bisa ditawar-tawar lagi, seorang
tidak membayar uang pengganti maka harta terpidana akan bekerja dibawah pengampuan
benda dapat disita oleh Jaksa dan harta benda negara untuk menghasilkan uang guna
yang disita dapat dilelang untuk menutupi menutup kerugian yang ditimbulkan akibat
uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan perbuatannya.
vonis pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, dan jika terpidana tidak
mempunyai harta benda yang cukup untuk
membayar uang pengganti, maka dipidana D. PENUTUP
berupa pidana penjara yang dijalani

16 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Teori pemidanaan Pendekatan Retributif Eva Achjani Zulfa. 2009. Keadilan Restoratif.
justice Dalam konteks tindak pidana korupsi Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
yang saat ini dijalankan didalam sistem Hukum Universitas Indonesia.
pemidanaan di indonesia sudah sangat tidak Gene Kassebaum. 1974. Delinquency and
relevan dengan tujuan besar hukum Social Policy, London: Prentice Hall, Inc.
pemberantasan korupsi di Indonesia yakni Hernold Ferry. 2014. Kerugian Keuangan
fokus pada perlindungan aset atau kekayaan Negara dalam Tindak Pidana
negara. Karena kepentingan hukum yang Korupsi. Yogyakarta: Thafa Media.
hendak dilindungi adalah keuangan negara. Howard Zehr. 1990. Changing lenses : A New
Pendekatan restorative justice dalam Focus for Crime and justice.
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat Waterloo: Herald Press.
diwujudkan dalam bentuk penguatan norma Jan Remmelink. 1993. Hukum Pidana,
norma pengembalian kerugian negara dari Komentar atas Pasal-Pasal
sebagai pidana tambahan menjadi pidana Terpenting dari KUHP Belanda dan
pokok. Adapun untuk mengantisipasi pelaku Padanannya dalam KUHP
tidak mampu membayar kerugian tersebut, Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
maka konsep kerja paksa dapat terapkan Pustaka Utama.
ketimbang daripada hanya memenjarakan M. Cherif Bassiouni. 1978. Substantive
pelaku tindak pidana korupsi. Criminal Law. Illinois USA: C.
Upaya pembaharuan atas hukum Thomas Publicher.
pemberantasan tindak pidana korupsi sangat Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan
mendesak untuk segera dilakukan agar Restorative justice dalam Hukum
pendekatan restorative justice bisa Pidana. USU Press. Medan.
diwujudkan ke dalam norma-norma hukum Miriam Liebman. 2007. Restorative justice:
yang baru. Oleh karena itu, penelitian lanjutan How It Works. London: Jessica
yang lebih mendalam atas topik penelitian ini Kingsley Publishers.
perlu dilakukan secara bersinergi oleh para Muhammad Djafar Saidi. 2013. Hukum
pihak yang berkepentingan, baik kalangan Keuangan Negara. Jakarta: Raja
akademisi maupun para pengambil kebijakan Grafindo Persada.
dan para otoritas pembentuk hukum. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-
Teori Dan Kebijakan Pidana.
DAFTAR PUSTAKA Bandung: Alumni.
Buku Smith and Hogan. 1978. Criminal Law.
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum London: Butterworths.
Pidana 2. Jakarta: PT. Rajagrafindo Sudarto. 2009. Hukum Pidana I. Semarang:
Persada. Yayasan Sudarto, FH UNDIP.
Agus Rusianto. 2015. Tindak Pidana & Wirjono Prodjodikoro. 2008. Asas-Asas
Pertanggungjawaban Pidana: Hukum Pidana di Indonesia.
Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Bandung: PT. Refika Aditama.
antara Asas, Teori, dan Penerapannya.
Jakarta: Kencana. Jurnal / Majalah / Internet / Laporan
Aleksandar Fatic. 1995. Punishment and Penelitian
Restorative Crime – Handling. USA: Budi Suharianto, Restorative Justice dalam
Avebury Ashagate Publishing Limited. Pemidanaan Korporasi Pelaku
Andi Hamzah. 1985 Sistem Pidana dan Korupsi demi Optimalisasi
Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke Pengembalian Kerugian Keuangan
reformasi. Jakarta : Pradnya Paramita. Negara, Jakarta, Kemenkumham,
Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Volume 5, Nomor 3, Desember 2016.
Indonesia. Yogyakarta: Liberty. MSN. Membongkar Jual Beli Fasilitas Lapas

17 | Vol. 1| No. 3| 2019


JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Sukamiskin. Artikel.
https://www.msn.com/id
id/berita/nasional/membongkar-jual-beli
fasilitas-lapas-sukamiskin/ar-
BBKXLa5. diakses terakhir pada
tanggal 13 September 2018.
Kompas. Kekurangan Penjahat, 24 Penjara di
Belanda Tutup Sejak
2013,http://internasional.kompas.com
/read/20
17/06/01/09330651/kekurangan.penja
hat.24.p
enjara.di.belanda.tutup.sejak.2013,
diakses terakhir pada tanggal 28
Januari 2018.
https://www.transparency.org/en/cpi/2016

18 | Vol. 1| No. 3| 2019

Anda mungkin juga menyukai