Anda di halaman 1dari 18

Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

RESTORATIF JUSTICE DALAM PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU KORUPSI


DEMI OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

HN
(Restorative Justice in Sentencing Corporate Business Optimization of Corruption
by Country Returns Losses)

Budi Suhariyanto

BP
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI
Jl. Jend. A. Yani Kav.58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat Indonesia
Email: penelitihukumma@gmail.com

Naskah diterima: 15 September 2016; revisi: 22 November 2016; disetujui: 25 November 2016

ing
Abstrak
Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan salah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi,
termasuk pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi. Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang bersifat primum remedium dan menggunakan pendekatan retributif justice, dalam praktiknya
ind
tidak berhasil secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah
eksistensi sistem pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi dan kendala dalam praktik pemidanaan korporasi Pelaku
korupsi. Lebih jauh lagi, tulisan ini hendak menggali landasan pertimbangan penerapan restoratif justice dalam pemidanaan
korporasi Pelaku korupsi sebagai upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Dengan menggunakan metode
penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan berdasarkan efektivitas dan efisiensi pengembalian kerugian keuangan
negara serta menghindarkan dampak pemidanaan korporasi bagi buruh, stabilitas perekonomian dan perlindungan serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pembaruan kebijakan pemidanaan dengan mengembalikan sifat ultimum
V
remedium dan menggunakan pendekatan restoratif justice adalah pilihan yang tepat. Berdasarkan artikel 26 UNCAC dan
Pasal 52 RUU KUHP maka secara normatif penerapan restoratif justice pemidanaan korporasi memiliki landasan yang kuat
hts

dalam konteks efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi.


Kata Kunci: restorative justice, korporasi, korupsi

Abstract
Return of financial loss to the state and criminal prosecution ot corporate that do corruption is one of the basic objectives
of corruption eradication. Indonesia Criminal system in the Corruption Eradication Act which is set as primum remedium
ec

and use retributive justice approach has not optimally restore the country’s financial loss in practice. This paper intends to
examine the existence of the criminal system towards corporate that do corruption and constraints faced in implementing
penalty towards it. Moreover, this paper will examine the consideration to apply restorative justice on corporate corruption
case as an effort to optimize the return of the country’s financial loss. By using normative legal research method, the
lR

conclusion shows that based on the effectiveness and efficiency of the return financial loss to the state and to avoid negative
impact for the corporate workers, the stability, protection and development of public welfare, the reform of penal policy
by returning it’s ultimum remedium character and the use restorative justice approach is the best choice. Based on article
26 of UNCAC and Article 52 of the Criminal Code Draft, the implementation of restorative justice in sentencing corporation
has a strong ground in the context of the effectiveness and efficiency of corruption eradication effort.
na

Keywords: state financial loss, restorative justice, corporations, corruption


Jur

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 421
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

A. Pendahuluan yang Pelakunya korporasi adalah pendekatan


restoratif justice. Adanya pendekatan restoratif

HN
Salah satu tujuan pemberantasan
justice ditandai dengan perubahan prinsip
tindak pidana korupsi di Indonesia adalah
pemberantasan korupsi dari primum remedium
pengembalian kerugian keuangan negara1 demi
menjadi ultimum remedium. Sarana sanksi
kepentingan masyarakat dan mengantisipasi
pidana digunakan setelah sanksi lain berupa
terjadinya berbagai krisis di berbagai bidang.

BP
administrasi atau perdata tidak mampu secara
Optimalisasi pengembalian kerugian keuangan
efektif dan efisien menanggulangi kejahatan
negara juga menjadi dasar dirumuskannya
korporasi beserta pemulihan kerugian keuangan
pemidanaan terhadap korporasi2 Pelaku korupsi.
negara yang diakibatkannya.
Namun dalam praktiknya terdapat kendala
Melalui restoratif justice diharapkan

ing
dalam usaha pengembalian kerugian keuangan
korporasi menjadi kooperatif mengembalikan
negara melalui pemidanaan terhadap korporasi
kerugian keuangan negara yang dikorupsinya
Pelaku korupsi baik dari aspek substansi,
tanpa harus menghadapi penuntutan di hadapan
struktur maupun kultur hukum.
persidangan. Apresiasi penerapan restoratif
Padahal tidak sedikit perkara korupsi
yang diinisiasi oleh pengurus korporasi yang
ind justice memiliki kompensasi pengalihan
atau penghapusan pertanggungjawaban
melakukan kegiatan koruptif merugikan
pidana. Pertimbangan depenalisasi didukung
keuangan negara untuk dan atas nama serta
dengan alasan rasional terkait stabilitas
demi keuntungan korporasinya. Ironisnya
ekonomi nasional, implikasi terhadap nasib
V
penegak hukum tidak sepenuhnya mampu
buruh korporasi, dan dampak sosial akibat
dan berhasil melakukan pemulihan kerugian
pemidanaan korporasi yang justru lebih
hts

keuangan negara tersebut disebabkan adanya


tinggi dan fundamental konsekuensinyadapat
berbagai modus penghilangan jejak dan
memantik munculnya krisis di berbagai bidang.
penyembunyian aset hasil korupsi yang cukup
Pada dasarnya pendekatan restoratif
susah untuk pembuktian berikut masalah
justice sudah dianut oleh instrumen hukum
pembuktian dan eksekusinya.
ec

internasional dan dijadikan salah satu solusi


Salah satu solusi dan mulai dipertimbangkan
mengatasi kelemahan dari pendekatan
penerapannya untuk optimalisasi pengembalian
retributif justice.3 Khusus untuk konvensi
kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi
lR


1
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kepentingan hukum yang hendak dilindungi
adalah keuangan negara. Maksud dibentuknya norma hukum dalam tindak pidana korupsi adalah korporasi
na

mempunyai pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana korupsi, agar uang negara yang telah dikorupsi dan
disimpan dalam bentuk apapun, baik yang disimpan dalam bentuk kekayaan korproasi dapat kembali kepada
negara. Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi antara
Asas, Teori, dan Penerapannya. (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 252.

2
Korporasi merupakan subyek hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang
Jur

korporasi. Individulah yang memiliki kekuatan untuk membentuk, mengoperasikan, dan membubarkan sebuah
korporasi. Hifdzil Alim Dkk, Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Laporan Penelitian.
(Yogyakarta: Pusat Kajian anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2013), hlm. 4.

3
Dalam United Nation Officer for Drug Control and Crime Prevention dalam Hendbook on Justice for Victim
menjelaskan bahwa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam konsep dan penerapan pendekatan retributif
telah memberikan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice. Pendekatan restoratif justice

422 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

internasionalpemberantasan korupsi yaitu pengembalian kerugian negara akibat korupsi


United Nations Covention Against Corruption tidak dapat menghapuskan pemidanaan.

HN
(UNCAC) tahun 2003 sudah mencantumkan Bukan tidak mungkin pendekatan restoratif
secara implisit dalam article 26 Liability of justice dapat dipertimbangkan keberlakuannya
Legal Persons yang membuka kemungkinan untuk perkara korupsi di kemudian hari.
pertanggungjawaban korporasi tidak berupa Mengingat persoalan penegakan hukum

BP
sanksi pidana tetapi juga dapat diterapkan pemberantasan korupsi terhadap korporasi
sanksi di luar pidana yang efektif dan selalu mengalami kendala dan kesulitan sehingga
proporsional. Dinyatakan bahwa negara alternatif solusi penerapan restoratif justice demi
Pihak wajib mengusahakan agar korporasi optimalisasi pengembalian kerugian keuangan
yang bertanggungjawab tersebut dikenakan negara dapat diakomodasi. Olehnya menarik

ing
sanksi pidana atau non-pidana yang efektif, untuk dikaji dengan mengetengahkan beberapa
proporsional dan bersifat larangan, termasuk permasalahan yaitu:Bagaimanakah eksistensi
sanksi keuangan. Kata sambung “atau” menjadi sistem pemidanaan terhadap korporasi pelaku
penanda bahwa pilihan penggunaan kebijakan ind tindak pidana korupsidi Indonesia? Apa saja
penegakan hukum pidana jadi bersifat ultimum kendala dalam praktik pemidanaan korporasi
remedium ketika sanksi non pidana dianggap Pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia? dan
tidak dapat diandalkan. Dalam konteks ini Bagaimana landasan pertimbangan penerapan
dapat diartikan UNCAC mengarahkan negara restoratif justice dalam pemidanaan korporasi
pihak untuk mendahulukan upaya penyelesaian Pelaku korupsi sebagai upaya optimalisasi
V
denganpendekatan restoratif justice dari pada pengembalian kerugian keuangan negara
retributif justice dalam menangani perkara Indonesia?
hts

korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi.


Bagi Indonesia, sesungguhnya pendekatan B. Metode Penelitian
restoratif justice dalam perkara pidana sudah Metode yuridis normatif digunakan dalam
mulai diakomodasi. Secara paradigmatik telah melakukan pengkajian tentang menimbang
ec

terjadi pergeseran dari penegakan hukum pidana restoratif justice dalam pemidanaan korporasi
yang berlandaskan retributif justice menuju korupsi demi optimalisasi pengembalian
kepada restoratif justice. Akan tetapi pergeseran kerugian negara. Terdapat 3 (tiga) pendekatan
lR

paradigmatik dari retributif justice menuju untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan
kepada restoratif justice ini tidak mengenai perundang-undangan, pendekatan kasus
dan berlaku pada semuajenis perkara pidana. serta pendekatan konseptual. Pendekatan
Baru perkara pidana anak, sistem peradilannya perundang-undangan digunakan untuk mengkaji
na

sudah menganut dan mengedepankan masalah secara normatif baik dari perspektif
pendekatan restoratif justice. Terhadap perkara ius constitutum maupun ius constituendum.
korupsi masih mengacu pada ketentuan bahwa Pendekatan kasus digunakan untuk mengkaji
Jur


ini terselenggara dalam kerangka kerja yang melibatkan Pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat dalam
upaya untuk menciptakan keseimbangan, yakni keseimbangan hak dan kepentingan pelaku tidnak pidana dan
korban.

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 423
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

masalah dari segi praktek penegakan hukum dan implementasi yang ditempuh, alternatif
peradilan yang berkembang dalam merespon pemecahannya dan lain sebagainya. Data yang

HN
dan mengaktualisasikan hukum secara in telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan
concreto. Pendekatan konseptual digunakan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan
untuk mengkaji masalah pemidanaan korporasi selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan
dalam pertimbangan hukum yang tercantum diberikan argumentasi. Metode analisis yang

BP
pada putusan pengadilan dihubungkan dengan diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan
pandangan dan doktrin-doktrin ahli hukum. atas permasalahan yang dibahas adalah melalui
Adapun sumber data yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif.
data sekunder yang terdiri atas bahan hukum
primer berupa peraturan perundang-undangan, C. Pembahasan

ing
konvensi hukum internasional dan putusan 1. Eksistensi Sistem Pemidanaan Terha­
pengadilan serta bahan hukum sekunder dap Korporasi Pelaku Korupsi di
berupa literatur dan hasil penelitian. Peraturan Indonesia
perundang-undangan yang digunakan antara Secara teoritis, korporasi telah lama dianggap
lain yang berkaitan dengan pengaturan tentang
ind patut dan layak dijadikan sebagai subjek hukum
korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pidana yang dipandang dapat melakukan suatu
tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang perbuatan pidana yang mengakibatkan dapat
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang dituntut pertanggungjawaban dan diproses
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
V
pemidanaannya. Sebagaimana orang, korporasi
Tindak Pidana Korupsi dan konvensi diyakini dan diprediksi memiliki potensi
internasional terkait pemberantasan korupsi.
hts

melakukan tindak pidana.4 Suatu korporasi


Adapun putusan pengadilan yang dikaji terkait telah melakukan tindak pidana adalah apabila
dengan perkara korporasi Pelaku tindak pidana tindak pidana itu dilakukan oleh pengurus atau
korupsi yaitu putusan No.812/Pid .Sus /2010 / pegawai korporasi yang masih dalam ruang
PN.Bjm dan putusan No. 04/PID.SUS/201 1/ lingkup kewenangannya, dan intravires, dalam
ec

PT.BJM. artian masih dalam bagian maksud dan tujuan


Adapun literatur yang digunakan dalam korporasi itu, serta perbuatan itu dilakukannya
kajian agar terhindar dari kekeliruan pandangan untuk kepentingan korporasinya.5
lR

adalah yang berkaitan dengan pemidanaan, Terdapat beberapa teori dan banyak
korporasi, tindak pidana korupsi, dan teori diadopsi sebagai teori yang digunakan untuk
restoratif justice. Bahan-bahan hukum dan menilai pertanggungjawaban pidana korporasi,
literatur tersebut dikumpulkan melalui metode diantaranya menurut Hiariej yaitu pertama,
na

sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat
permasalahannya, asas-asas, argumentasi, menurut undang-undang (strict liability), jadi
Jur


4
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
110.

5
Hasbullah F Sjawie, Petanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Kencana, 2015),
hlm. 66.

424 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

pertanggungjawaban korporasi semata-mata memfokuskan pada kebijakan badan hukum


berdasarkan bunyi undang-undang dengan yang tersurat dan tersirat mempengaruhi cara

HN
tanpa memandang siapa yang melakukan kerja badan hukum tersebut. Badan hukum
kesalahan. Kedua, doktrin pertanggungjawaban dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
pengganti (vicarious liability), yang lebih apabila tindakan seseorang memiliki dasar
menekankan pada pertanggungjawaban oleh yang rasional bahwa badan hukum tersebut

BP
pengurus korporasi sebagai ”agen” perbuatan memberikan wewenang atau mengizinkan
dari korporasi tersebut. Ketiga, teori identifikasi perbuatan tersebut dilakukan.6
(direct corporate criminal liability) atau doktrin Secara normatif, peraturan perundang-
pertanggungjawaban pidana secara langsung undangan di Indonesia telah banyak mengatur
yaitu perusahaan dapat melakukan sejumlah tentang korporasi sebagai subjek tindak

ing
delik secara langsung melalui orang-orang pidana.7 Khusus untuk tindak pidana korupsi,
yang berhubungan erat dengan perusahaan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum
dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Keempat, teori agregasi yang menyatakan bahwa ind 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
kepada badan hukum jika perbuatan tersebut merupakan kebijakan hukum pidana yang tepat.
dilakukan oleh sejumlah orang yang memenuhi Jika sebelumnya subyek hukum tindak pidana
unsur delik yang mana antara satu dengan yang korupsi hanya terkait dengan orang yang mana
lain saling terkait dan bukan berdiri sendiri- lebih khusus lagi terkait dengan pegawai negeri
V
sendiri. Kelima, ajaran corporate culture model (vide Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
atau model budaya kerja yaitu ajaran yang 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
hts

6
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm.165-166.
7
Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya menurut Priyatno dapat digolongkan dalam
ec

dua kategori pengaturan, yaitu: Pertama, yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, akan tetapi
pertanggungjawaban pidananya dibebankan terhadap anggota atau pengurus korporasi dimana ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan menurut kategori pertama antara lain terdapat dalam Pasal 19
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948
Nomor 12 dari RI untuk seluruh Indonesia; Pasal 30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan
lR

Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan 1947 Nomor 43 RI untuk seluruh Indonesia; Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948
Nomor 23 dari RI untuk seluruh Indonesia; Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata
Api; Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotik; Pasal 34
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982
na

Wajib Daftar Perusahaan; dan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Adapun jenis kedua, yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak
pidana dan secara tegas dapat dipertanggungjawabkan pidana secara langsung. Peraturan perundang-undangan
yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana, antara lain diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Jur

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; Pasal 1angka 13, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos; Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
dan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia. (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 163-166.

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 425
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

Korupsi), saat ini pengertian orang tersebut pemeriksaan disidang pengadilan dan dapat
tidak semata diartikan sebagai manusia tetapi pula hakim memerintahkan agar pengurus

HN
juga meliputi korporasi (vide Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dibawa ke sidang pengadilan
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. (vide Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang tentang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi). Dalam hal tuntutan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU pidana dilakukan terhadap korporasi, maka

BP
PTPK)). panggilan untuk menghadap dan penyerahan
Mekanisme pertanggungjawaban dan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
sistem pemidanaannya diatur secara rinci yaitu pengurus di tempat tinggal pengurus atau di
dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh tempat pengurus berkantor. Pidana pokok yang
atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya

ing
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan pidana denda, dengan ketentuan maksimum
terhadap korporasi dan atau pengurusnya pidana ditambah sepertiga (vide Pasal 20
(vide Pasal 20 ayat (1)Undang-Undang tentang ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang tentang
Pemberantasan Korupsi). Artinya secara Pemberantasan Korupsi).
ind
komulatif-alternatif dapat dituntut dan diputus
pemidanaannya bilamana dilakukan oleh atau 2. Kendala Dalam Praktik Pemidanaan
atas nama suatu korporasi sehingga dapat Korporasi Pelaku Korupsi di Indonesia
dilakukan terhadap “korporasi dan pengurus” Sudah 17 (tujuh belas) tahun lamanya
atau terhadap “korporasi” saja atau “pengurus” korporasi dijadikan subjek hukum tindak pidana
V
saja. Selanjutnya untuk mengidentifikasi bahwa korupsi dan dirumuskan sistem pemidanaannya
tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi tetapi sampai saat ini baru satu perkara
hts

adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan korporasi sebagai Pelaku korupsi berhasil
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan dipidana hingga berkekuatan hukum tetap
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, yaitu perkara PT. Giri Jaladhi Wana (GJW) di
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut Banjarmasin. Adapun yang melakukan proses
ec

baik sendiri maupun bersama-sama (vide penuntutan ke persidangan adalah Kejaksaan


Pasal 20 ayat (2) UU Undang-Undang tentang Tinggi Banjarmasin. Sementara dari aparat
Pemberantasan Korupsi). penegak hukum dari Kejaksaan dan Kepolisian
lR

Secara teknis dalam hal tuntutan baik tingkat pusat maupun daerah lainnya
pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, tak kunjung melakukan proses pemidanaan
maka korporasi tersebut diwakili oleh terhadap korporasi Pelaku korupsi. Padahal
pengurus. Pengurus yang mewakili korporasi pada beberapa perkara korupsi yang ditangani
na

dapatdiwakili oleh orang lain (vide Pasal 20 ayat institusi penegak hukum tersebut secara terang
(3) jo Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang tentang benderang, baik dalam fakta persidangan
Pemberantasan Korupsi). Meskipun demikian maupun dalam uraian pertimbangan putusan
Hakim dapat memerintahkan agar pengurus
Jur

hakim terhadap persoon pengurus korporasi


korporasi tersebut menghadap sendiri pada

426 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

mengindikasikan korporasinya terlibat sehingga tidak dapat berjalan dengan baik. Sebagai
sudah mengarah pada tindak pidana korporasi.8 contoh adanya kelemahan dalam kebijakan

HN
Bahkan selevel Komisi Pemberantasan legislasi terhadap sanksi pidana korporasi,
Korupsi (KPK) yang memiliki beberapa yaitu tidak adanya ketentuan khusus mengenai
kewenangan khusus9 dalam pemberantasan sanksi pidana bagi korporasi untuk delik yang
tindak pidana korupsi, sampai saat ini juga belum hanya diancamkan dengan pidana penjara,

BP
pernah melakukan penyidikan dan penuntutan dan tidak adanya aturan tentang pidana
terhadap subyek hukum korporasi.Khususnya pengganti apabila denda tidak dibayarkan oleh
terhadap tindak pidana suap, untuk tindak korporasi. Kelemahan-kelemahan tersebut
pidana tersebut menurut Budianto, KPK hanya dalam rangka pembaruan hukum pidana, harus
melakukan penyidikan dan penuntutan sebatas diperbaharui.”11

ing
pada tindak pidana suap yang tertangkap Proses penegakan hukum terhadap tindak
tangan. Meskipun jika melihat kasus-kasus yang pidana yang dilakukan oleh korporasi, menurut
ditangani KPK, terdapat korporasi yang turut Marwan akan dihadapkan pada dua masalah
bagian dalam tindak pidana suap tersebut. Baik ind pokok yaitu:12 “masalah pertanggungjawaban
dalam sistem peradilan pidana konvensional dan pidana dari lembaga sebagai korporasi dan
sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi, sistem pemidanaan terhadap lembaga sebagai
masih mengalami kendala dalam menuntut korporasi. Kedua masalah inibelum diatur secara
korporasi sebagai subjek hukum.10 Dalam konteks eksplisit dalam perundang-undangan, namun
ini Priyatno menjelaskan akar masalahnya karena secara fisik kegiatan korporasi diwakili
V
bahwa: “Penempatan korporasi sebagai subjek oleh satu atau beberapa eksekutif korporasi
tindak pidana semata tanpa diatur mengenai maka secara teoritis bila korporasi melakukan
hts

kapan dikatakan korporasi melakukan tindak kegiatan kejahatan adalah manifestasi dari
pidana dan dalam hal bagaimana korporasi para eksekutifnya. Demikian pula sistem
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, pemidanaannya, sulit untuk menentukan sanksi
secara teoritis dan praktis dalam penegakan pidana yang tepat untuk korporasi”.
ec

hukumnya tidak dapat dilaksanakan. Sehingga Pada dasarnya kejahatan korporasi menurut
usaha penanggulangan dengan hukum pidana Muladi dan Sulistyani sangat kompleks, di
lR

8
Padahal dalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan korporasi sebagai sarana merugikan negara, diantaranya
secara jelas mengemukakan keterkaitan pendirian atau pengelolaan korporasi yang bertujuan dan dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan dari proyek-proyek pemerintahan yang sengaja dimanipulasi dan dikorupsi
dengan berbagai modus operandi. Sayangnya meskipun telah diputus pemidanaan terhadap pengurusnya
na

yang terbukti telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara dan bahkan sampai putusan tersebut
berkekuatan hukum tetap, tak kunjung dilakukan proses penuntutan dan pemidanaan terhadap korporasinya.
Budi Suhariyanto, “Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi”.
Jurnal De Jure Vol. 16 No. 2 Juni (2016). hlm. 211.
9
KPK telah diberikan kewenangan yang begitu besar dan luas (super body) yang tidak pernah dijumpai dalam
Jur

lembaga-lembaga lain yang dibentuk oleh Pemerintah. Edi Yunara, Korupsi & Pertanggungjawabagn Pidana
Korporasi. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 139.
10
Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia. (Bandung: Karya Putra Darwati 2012), hlm. 184.
11
Dwija Priyatno. Op Cit. Hlm.152-153.
12
Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum. (Jakarta:
Referensi, 2012), hlm. 110.

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 427
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

samping karakternya sebagai crime by powerful korupsi sehingga dapat menjadi obat mujarab
sehingga para penegak hukum harus memiliki menghapus kegamangan penegak hukum

HN
kemampuan ekstra dan mental yang tangguh. dalam melakukan penyidikan dan penuntutan
Kendala yang diidentifikasi dalam proses di persidangan serta berguna bagi hakim saat
penyidikan dan penuntutan antara lain sebagai memutuskan pemidanaan korporasi Pelaku
berikut:13 korupsi.

BP
a) Pelaku memiliki kekuatan baik finansial
maupun politik; 3. Menimbang Penerapan Restoratif
b) Kuantitas dan kualitas profesionalisme/ Justice Dalam Pemidanaan Korporasi
spesialisasi penegak hukum termasuk PPNS
Pelaku Korupsi Sebagai Upaya
Optimalisasi Pengembalian Kerugian
lemah sehingga perlu dipikirkan gugus tugas

ing
Keuangan Negara di Indonesia
khusus;
c) Korban kurang sensitif dan bersifat pasif Pembaruan pengaturan baku dalam
(corporate crime is untold story or quiet act); menangani kejahatan korporasi (pada
d) Kompleksnya sistem pembuktian; umumnya) di masa depan menurut Muladi dan
e) Koordinasi antar lembaga lemah; dan
ind Sulistyani perlu dimantapkan dan mencakup
f) Partisipasi masyarakat tidak memadai hal-hal sebagai berikut:14
(contoh Neighborhood Watch Committee to a) Secara nasional pengaturan dan perumusan
monitor Corporate Crime) harus memiliki pola yang seragam dan
konsisten;
V
Sangat ironis, berdasarkan kendala-kendala
b) Ruang lingkup dan pemahaman tentang
umum yang dihadapi dalam pemidanaan
pengertian korporasi harus jelas;
hts

kejahatan korproasi di atas maka proses


c) Pengertian setiap orang dalam tindak pidana
pemidanaan banyak yang berhenti terhadap
harus tegas-tegas dinyatakan termasuk
pengurusnya saja dan tidak ada tindak lanjut
korporasi;
untuk menjerat dan melakukan proses
d) Harus ditegaskan apakah fungsi hukum
pemidanaan terhadap korporasinya. Dengan
ec

pidana bersifat “ultimum remedium”


demikian korporasi bisa leluasa terlepas
ataukah “primum remedium”;
dari pemidanaan sehingga dapat menikmati
e) Harus diperinci secara jelas perbedaan
keuntungan dari kerugian keuangan negara
antara sanksi hukum pidana berupa
lR

hasil upaya perbantuan tindak pidana korupsi.


pidana dan tindakan dengan sanksi hukum
Kendala penegakan hukum pidana korupsi
administrasi;
korporasi di negeri ini harus segera diatasi
f) Hukum acara menangani kejahatan korporasi
dan dicarikan solusinya. Hal utama melalui
na

harus jelas, termasuk standar pembuktian;


pembaruan regulasi yang komprehensif akan
g) Syarat-syarat sampai seberapa jauh
menjadi pengokoh pijakan hukum acara
korporasi dapat dipertanggungjawabkan
dan teknis pemidanaan korporasi Pelaku
Jur

13
Muladi dan Diah Sulistyani, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility).
(Bandung: Alumni. 2013), hlm. 94.
14
Ibid. Hlm. 95.

428 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

harus dirumuskan dengan baik untuk pengurusnyadipisahkan atau tidak, serta syarat
dijadikan pedoman penegakan hukum; pertanggungjawaban berikut pembuktiannya di

HN
h) Ruang lingkup pertanggungjawaban pidana persidangan.
dalam kaitannya dengan jenis tindak pidana Sementara terkait dengan point huruf d,
yang dikecualikan, penyertaan dalam tindak undang-undang pemberantasan tindak pidana
pidana yang dikecualikan dan hal-hal yang korupsi secara implisit mengarahkan fungsi

BP
memberatkan serta meringankan harus hukum pidana dalam penanganan perkara
ditegaskan; dan korupsi bersifat “primum remedium”. Hal ini
i) Perhatian terhadap korban (restitusi) dan dapat ditengarai dengan adanya perluasan
whistleblowers. beberapa hal diantaranya pengaturan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

ing
Beberapa hal solusi dalam pengaturan baku
yang diuraikan diatas, untuk penganggulangan suatu korporasi secara “melawan hukum”
tindak pidana korporasi terkait perkara korupsi diartikan formil dan materiil. Pengertian
sudah ada dan diberlakukansejak mulai melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
diundangkannya Undang-Undang Nomor 31
ind mencakup juga perbuatan-perbuatan tercela
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 yang menurut perasaan keadilan masyarakat
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak harus dituntut dan dipidana. Dalam undang-
Pidana Korupsi. Misalnya terkait dengan point undang juga ditegaskan bahwa tindak pidana
huruf b dan huruf c. Beberapa ketentuan korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana
formil yang notabenesangat penting untuk
V
telah merumuskan ruang lingkup pengertian
korporasi yang ditegaskan sebagai kumpulan pembuktian. Dengan rumusan secara formil
tersebut maka meskipun hasil korupsi telah
hts

orang dan atau kekayaan yang terorganisasi


baik merupakan badan hukum maupun bukan dikembalikan kepada negara, pelaku tindak
badan hukum (vide Pasal 1 angka 1). Berikut pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan
juga penegasan tentang pengertian setiap dan tetap dipidana.Selain itu hal yang semakin
orang sudah termasuk korporasi didalamnya mengindikasikan sifat “primum remedium”
ec

(vide Pasal 1 angka 3). dalam penanggulangan tindak pidana korupsi


Adapun yang terkait dengan point huruf f, huruf oleh undang-undang ini yaitu ditentukannya
g dan huruf h di atas, meskipun sudah dijelaskan ancaman pidana minimum khusus, pidana
lR

terkait hukum acara menangani korporasi denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana
Pelaku korupsi dan syarat sampai seberapa mati yang merupakan pemberatan pidana.
jauh korporasi dapat dipertanggungjawabkan Demikian halnya pidana penjara bagi pelaku
serta ruang lingkup pertanggungjawaban telah tindak pidana korupsi yang tidak dapat
na

dirumuskan oleh undang-undang. Namun membayar pidana tambahan berupa uang


secara fungsionalisasinya oleh penegak pengganti kerugian negara.
hukum dianggap kurang jelas yang kemudian Beberapa indikasi yang mengarah pada sifat
Jur

menimbulkan kegamangan. Misalnya terkait penggunaan hukum pidana secara “primum


dengan bagaimana pengisian surat dakwaan remedium” di atas secara nyata mempertegas
khususnya terkait dengan identitas, dan masalah paradigma yang dianutnya adalahretributif
penyertaan antara korporasi dengan orang justice. Pada perkembangannya, baik dari sisi

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 429
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

terkabulkannya judicial review terkait sifat perluasan sifat melawan hukum materiil yang
melawan hukum materiil oleh Mahkamah merupakan salah satu “ikon istimewa”retributif

HN
Konstitusi dan praktik penegakan hukumyang justice dalam pemberantasan korupsi
kurang mengindahkan ketentuan ancaman digugurkan.
pidana minimum khusus serta penambahan Adapun terkait penerapan ketentuan
regulasi terbaru berupa rativikasi UNCAC, ancaman pidana minimum khusus, dalam

BP
senyatanya telah menggeser sendi-sendi praktiknya sebagian para hakim di pengadilan
penting hingga menggugat konstruksi sifat (termasuk di Mahkamah Agung) dalam
primum remedium berikut paradigma retributif putusan pemidanaanya menerobos dan tidak
justice yang ada dalam undang-undang mengindahkan batasan pidana minimum
pemberantasan tindak pidana korupsi. khusus ini. Alasan keadilan khususnya social-

ing
Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/ justice danmoral-justice dalam menjatuhkan
PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tentang putusan di bawah batas ancaman pidana
judicial review terhadap penjelasan Pasal 2 minimum khusus menjadi dasar pertimbangan
ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. hukum dari hakim dalam putusannya.
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
ind Kriteria yang paling mendasar dalam putusan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi penerobosan tersebut terkait adanya unsur
memutuskan bahwa “yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian
secara melawan hukum dalam arti formil negara sebagai akibat perbuatan tindak pidana
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun korupsi tersebut.16 Memang korupsi terdapat
V
perbuatan tersebut tidak diatur dalam pada semua level, namun konteks yang harus
peraturan perundang-undangan, namun apabila dipahami adalah korupsi dalam skala yang kecil,
hts

perbuatan tersebut dianggap tercela karena yang pelakunya sendiri bahkan tidak menyadari
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- bahwa yang diperbuat itu adalah suatu bentuk
norma kehidupan masyarakat, maka perbuatan tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak
tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan pidana yang extra ordinary crime, oleh karena
ec

Undang-Undang Dasar Negara Republik itu sebaiknya hakim yang diperhadapkan pada
Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak tindak pidana korupsi yang berskala kecil yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya nilai nominal korupsinya di bawah 5 juta rupiah,
lR

pengertian melawan hukum yang seharusnya sebaiknya ketentuan formal tentang pidana
dipergunakan didalam pembuktian tindak minimum atau bisa diterobos, dan menjatuhkan
pidana korupsi adalah hanya terbatas kepada putusan atau sanksi pidana dalam bentuk yang
pengertian melawan hukum formil.15 Dalam lain yang berorientasi pada tujuan pemidanaan
na

konteks konstitusionalitas norma, ketentuan yang bersifat integratif yang mengandung


Jur

15
Budi Suhariyanto, “Eksistensi Pembentukan Hukum Oleh Hakim Dalam Dinamika Politik Legislasi Di
Indonesia”. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember (2015). hlm. 424.
16
Ismail Rumadan. Dkk, Penafsiran Hakim terhadap Pidana Minimum Khusus Dalam Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung. 2013), hlm.183.

430 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

unsur-unsur kemanusian, edukatif dan proporsional dan bersifat larangan, termasuk


keadilan.17 Dalam konteks ini secara praktikal sanksi keuangan. Kata “wajib mengusahakan”

HN
para hakim secara tidak langsung memberikan menjadi sebuah dorongan politik hukum
evaluasi terhadap paradigma retributif justice kepada negara Indonesia untuk melakukan
yang terkandung dalam semangat penentuan perubahan agar korporasi Pelaku korupsi dapat
ancaman pidana minimum khusus dalam dikenakan sanksi pidana atau non-pidana secara

BP
undang-undang pemberantasan korupsi. alternatif. Kata sambung “atau” dalam sebuah
Sementara terkait dengan pembaruan pilihan sanksi antara pidana dengan non-pidana
regulasi pemberantasan korupsi yang menunjukkan pembaruan sifat hukum pidana
mengindikasikan pembaruan pendekatan sifat yang tadinya primum remedium mengarah
hukum pidana perkara korupsi yang terkait menjadi ultimum remedium.

ing
dengan korporasi sebagai Pelakunya, bertitik Jika sanksi non-pidana secara efektif
pangkal dari dirativikasinya UNCAC oleh dan proporsional dianggap lebih berdaya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pada guna menurut penegak hukum dan hakim
Pasal 4 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 ind maka penggunaan hukum pidana dapat
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dipertimbangkan untuk dikesampingkan.
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif pengalihan sanksi pidana kepada
ditegaskan bahwa pengembalian kerugian non-pidana atau pengutamaan sanksi non-
keuangan negara atau perekonomian negara pidana terlebih dahulu digunakan, secara serta
tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak merta juga (berpotensi) akan diikuti dengan
V
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan terlepasnya pertanggungjawaban pidana.
Pasal 3. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan bahwa Proses penyelesaian yang demikian merupakan
hts

pengembalian kerugian keuangan negara atau pendekatan restoratif justice.


perekonomian negara hanya merupakan salah Pendekatan restoratif justice dalam
satu faktor yang meringankan. Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi masih
ini sifat hukum pidana yaitu primum remedium disikapi secara kontroversial karena dianggap
ec

dianut sehingga tidak memungkinkan sanksi bahwa restoratif justice hanya berlaku untuk
selain hukum pidana dapat digunakan untuk korban yang nyata (individu) atau sekelompok
menggantikan sanksi pidana terhadap korporasi masyarakat dan tidak dapat diberlakukan
lR

Pelaku korupsi. terhadap tindak pidana yang korbannya negara


Berbeda halnya dengan ketentuan dalam atau kepentingan pembangunan nasional
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang sehingga untuk bisa dimediasikan adalah hal
merupakan rativikasi UNCAC dimana pada yang mustahil. Menurut Alkostar, dari standar
na

artikel 26 ayat (4) menyatakan bahwaNegara umum restorative justice tersebut, terhadap
Pihak juga wajib mengusahakan agar korporasi kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan
yang bertanggungjawab tersebut dikenakan mediasi penal karena korban kejahatan korupsi
Jur

sanksi pidana atau non-pidana yang efektif, menyebar dalam kehidupan rakyat banyak yang

Ibid. hlm.185.
17

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 431
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

hak sosial ekonominya dirampas oleh koruptor.18 optimalisasi pengembalian kerugian negara
Berbeda dengan Alkostar, Marwan berpendapat melalui pemidanaan korporasi.

HN
bahwa restoratif justice dapat digunakan dalam Penerapan restoratif justiceperlu
tindak pidana korupsi, tidak seperti restoratif diakomodasi untuk mengevaluasi kelemahan
justice pada tindak pidana umum yang harus dari pendekatan retributif justice sebagaimana
melibatkan keterlibatan para pihak korban, yang selama ini ada dan berlaku. Pasal 4 Undang-

BP
pelaku dan masyarakat, terkait masalah korupsi Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
bertitik berat kepada pengembalian kerugian No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Negara.19 Tindak Pidana Korupsisecara implisit terevaluasi
Pendapat yang tidak sependapat dengan karena mengingat pendekatan yang digunakan
pendekatan restoratif justice dalam tindak adalah retributif justice yang notabene tidak

ing
pidana korupsi dapat dibenarkan jika restoratif menghendaki penyelesaian diluar penggunaan
justicediartikan sebagai peradilan restoratif20 sanksi hukum pidana secara alternatif. Apalagi
yang berorientasi pada bentuk penyelesaian mengingat perspektif ius constituendum
dengan keterlibatan para pihak korban, yang senyatanya segaris dan sebangun
pelaku dan masyarakat. Namun jika mengacu
ind dengan pendekatan restoratif justice dalam
pada arti lain pendekatan restoratif justice pertanggungjawaban pidana korporasi yang
yang dimaksudkan sebagai sebuah konsep ada dalam Rancangan Undang-Undang Kitab
pemidanaan yang tidak sebatas pada ketentuan Hukum Pidana (RUU KUHP).
hukum pidana atau sekurang-kurangnya tidak Pasal 52 RUU KUHP (Konsep 2013) me­nye­
V
sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana21 butkan bahwa:
maka pendekatan restoratif justicetidak (1) dalam mempertimbangkan apakah bagian
hts

masalah digunakan untuk menjadi solusi hukum lain telah memberikan perlindungan

18
ICW, Keadilan Restoratif Justice, http://www.antikorupsi.org/id/content/keadilan-restoratif, (diakses 3
ec

September 2016)
19
AAI. Kebijakan Restoratif Justice Masalah Tindak Pidana Korupsi, dalam http://aai.or.id/v3/index.
php?option=com_content&view=article&id=186:kebijakan-restorative-justice-masalah-tindak-pidana-korupsi
&catid=87&Itemid=550&showall=1&limitstart. (diakses 3 September 2016)
20
Andi Hamzah menerjemahkannya dengan peradilan restoratif. (Andi Hamzah, “Restoratif Justice dan Hukum
lR

Pidana Indonesia”, (Makalah yang disampaikan pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, hlm.5). Sementara
Eva Achjani Zulfa menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada
saat ini. Eva Achjani Zulva, “Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan
na

Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”, (Disertasi. Jakarta: Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UI, 2009), hlm. 118.
21
Berpedoman pada pendapat Bagir Manan yang menyatakan: tidak sependapat dengan para ahli hukum yang
mendefinisikan restoratif justice sebagai peradilan restoratif, karena konsep restoratif justice adalah cara
menyelesaikan perbuatan (tindak) pidana di luar proses peradilan (out of criminal judicial procedure) atau
Jur

sekurang-kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana. Pengertian restorative justice diartikan
sebagai sebuah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan
hukum pidana (formal dan materiil). Manan, Bagir. 2008. Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Rudy Rizky
(eds), Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir(Analisis Komprehensif tentang
Hukum oleh Akademisi & Praktisi Hukum), In Memoriam Prof. DR. Komar Kantaamadja, S.H.,LL.M. (Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2014), hlm. 4.

432 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana yaitu optimalisasi kerugian keuangan
pidana terhadap korporasi. negara. Adalah hal yang percuma jika dengan

HN
(2) pertimbangan tersebut harus dinyatakan upaya penjeraan tetapi justru korporasi tidak
dalam pertimbangan hukum hakim. kooperatif dan berusaha menyembunyikan
Adapun dalam penjelasan pasal 52 RUU atau menghilangkan jejak hasil korupsi karena
KUHP ini dinyatakan bahwa: dipandang bahwa meskipun korporasi telah

BP
“dalam hukum pidana selalu harus mengembalikan kerugian keungan negara
dipandang sebagai ultimum remedium. tetapi dirinya juga akan tetap dipidana maka
Oleh karena itu, dalam menuntut korproasi pemikiran logis yang demikian secara ekonomi
harus dipertimbangkan apakah bagian
kriminal dibenarkan.
hukum lain telah memberikan perlindungan
Tidak jarang timbul pemikiran atau aksi

ing
yang lebih berguna dibandingkan dengan
tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika para Pelaku tindak pidana korupsi (khususnya
memang telah ada bagian hukum lain yang perorangan) lebih memilih dipidana daripada
mampu memberikan perlindungan yang
lebih berguna, maka tuntutan pidana atas harus mengembalikan kerugian keuangan
korporasi tersebut dapat dikesampingkan. ind negara karena jika dihitung-hitung bisa jadi
Pengenyampingan tuntutan pidana atas kemanfaatan dari aset hasil korupsi yang
korporasi harus didasarkan pada motif atau
disembunyikan ini akan menjadi tumpuan hidup
alasan yang jelas.”
dirinya saat keluar dari penjara. Termasuk juga
Pada intinya pasal ini memerintahkan perhitungan penghidupan keluarga atau kolega
kepada penuntut umum untuk menjelaskan maupun keuntungan korporasi jika hasil korupsi
V
dalam tuntutan pidananya kepada suatu tersebut dikelola dan dikembangkan selama
korproasi bahwa penuntut umum berpendapat Pelaku menjalani pidana penjara maka kalkulasi
hts

tidak ada bagian hukum lain yang memberikan untung dan rugi untuk mengembalikan kerugian
perlindungan yang lebih berguna bagi keuangan negara ini menjadi alasan mendasar
korporasi yang bersangkutan selain daripada akibat adanya ketentuan bahwa pengembalian
menjatuhkan pidana kepada korporasi itu. kerugian keuangan negara akibat korupsi
ec

Perintah yang senada juga diberikan kepada tidak menghapuskan pidananya. Berdasarkan
majelis hakim untuk mencantumkan pada pemikiran yang demikian maka tidak
bagian pertimbangan dalam putusan yang mengejutkan jika secara faktual Jaksa sebagai
dijatuhkannya kepada korproasi yang dituntut
lR

eksekutor uang pengganti yang dibebankan


di persidangan.22 pada Terpidana secara subsidairitas dengan
Ditinjau dari perspektif filsafat pemidanaan pidana penjara mendapatkan hasil yang kurang
korporasi Pelaku korupsi dalam perubahan memuaskan. Dalam konteks ini keberadaan
na

regulasi ini, poros utama terletak pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
penerapan restoratif justice yang berorientasi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
pada penyelesaian perkara pidana tidak tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
semata ditujukan untuk penjeraan tetapi
Jur

ini bisa menjadi faktor kriminogen.


lebih kepada upaya pemulihan akibat tindak

Hasbullah F. Sjawie, Op Cit. hlm.119


22

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 433
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

Sama halnya dengan Pelaku perorangan korporasi, hendaknya dipikirkan untuk


yang menggunakan paradigma ekonomi mengasuransikan para buruh/pekerja dan

HN
kriminal juga dapat dianut oleh korporosi Pelaku pemegang saham. Sehingga efek pemidanaan
korupsi. Sikap kooperatif tidak akan kunjung terhadap korporasi yang mempunyai dampak
ditunjukkan jika instrumen yang ada tidak negatif dapat dihindarkan.”23
memberikan bargaining position kepadanya Pengenaan sanksi denda kepada korporasi

BP
untuk mengembalikan kerugian keuangan memerlukan pertimbangan dari berbagai
negara dan justru sekuat dan secepat mungkin aspeknya. Umumnya pengadilan di negara-
melarikan atau mengaburkan hasil korupsi yang negara common law sebelum menjatuhkan
telah menjadi aset korporasi. Sikap dan tindakan pidana denda kepada korporasi, akan
ini bisa jadi diambil khusus untuk korporasi yang mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan

ing
tidak terlalu besar dan keberadaannya tidak size dan public profile dari korporasi; tingkat
begitu menentukan hajat perekonomian dan kekuatan korporasi itu dalam pasar (market
kesejahteraan masyarakat umum. power); ada atau tidak pertentangan yang
Berbeda dengan korporasi yang memiliki merugikan yang timbul di masyarakat; apakah
aset dan reputasi nasional bahkan internasional
ind budaya hukum dari korporasi yang bersangkutan
dimana jika pun menjadi dan terlibat dalam menunjukkan kepatuhannya pada hukum; dan
sebuah skandal tindak pidana korupsi adanya pencegahan untuk meminimalisasi
maka perhitungannya tidak lagi bagaimana akibat penjatuhan hukumannya.24
melarikan aset (sebagaimana korporasi yang Bahkan sesaat proses peradilan dengan
V
tidak besar) karena perhitungan antara hasil dimulainya penyidikan dan diketahui oleh
korupsi dengan aset perusahaan sangat jauh. publik maka saat itu juga meskipun korporasi
hts

Persoalan mendasar terkait eksistensinya itu belum diputuskan bersalah dan dipidana,
dengan hajat hidup buruh dan kelangsungan korporasi akan mendapatkan sanksi reputasi
ekonomi masyarakat serta akibat lain berupa berupa kepercayaan investor yang akan
krisis di bidang lain senyatanya harus menjadi menarik sahamnya sehingga berpengaruh pada
ec

pertimbangan dalam pemidanaan korporasi. pengelolaan serta stabilitas perekonomian


Dalam konteks ini Suzuki mengingatkan: “Agar perusahaan yang berimplikasi juga kepada
dalam menjatuhkan pidana pada korporasi, hajat hidup dari buruh korporasi tersebut.
lR

misalnya dalam bentuk penutupan seluruh Dalam konteks ini tanggungjawab fungsional
atau sebagian usaha, dilakukan secara hati- dibebankan pula kepada Pemerintah/negara
hati. Hal ini disebabkan karena dampak putusan selain tanggungjawab kepada Pelaku tindak
tersebut sangat luas. Yang akan menderita pidana korporasi. Bentuk tanggungjawabnya
na

tidak hanya yang berbuat salah, tetapi juga sesuai dengan analisis/kajian dari pemahaman
orang-orang yang tidak berdosa seperti buruh. masalah korban, penimbul korban, serta akibat-
Untuk mencegah dampak negatif pemidanaan akibat yang menimbulkan masalah korban yang
Jur

23
Suzuki, Yoshio. The Role of Criminal Law in the Control of Social and Economic Offences. Hlm.202. dalam Muladi
dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.143.
24
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2013), hlm. 33.

434 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

merupakan masalah manusia sebagai kenyataan corporate crimes and how to effectivelly punish
sosial. Permasalahan korban dan Pelaku tindak white-collor criminal.”

HN
pidana korproasi ditanggulangi berdasarkan Pendekatan ekonomis yang berporos
kerugian-kerugian yang menimbulkan korban, pada perhitungan efektivitas dan efisiensi
baik fisik, sosial maupun ekonomi dari tindak penegakan hukum perlu dipertimbangkan
pidana korproasi. Berlandasakan atas kerugian- dalam pemidanaan korporasi Pelaku korupsi

BP
kerugian yang terjadi maka sangat beralasan sebagaimana key messages dari UNCAC.27
untuk mengorganisasikan secara sistematis Pendekatan ekonomis disini tidak hanya
kebijakan kriminal guna penanggulangan tindak dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara
pidana korporasi.25 biaya atau beban yang ditanggung masyarakat
Secara perbandingan hukum, negara maju (dengan dibuat dan digunakannya hukum

ing
seperti Amerika Serikat dan China sudah pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi
mempertimbangkan penerapan cara-cara juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas
efektif dan efisien dalam menangani perkara dari sanksi pidana itu sendiri. Sehubungan
tindak pidana korupsi. Ling Zhang dan Lin Zhao ind dengan hal ini Ted Honderich berpendapat
menjelaskan:26 “Therefore, more and more bahwa:28 “Suatu pidana dapat disebut sebagai
nations and global communities (e.g., The alat pencegah yang ekonomis (economical
United Nations) now consider corporate crime detterents) apabila dipenuhi syarat-syarat
more of a priority because of its tremendous sebagai berikut:pidana itu sungguh-sungguh
global effects. The United States in particular mencegah; dan pidana itu tidak menyebabkan
V
is actively seeking new ways to prevent timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/
corporate crimes and is prosecuting white-collar merugikan daripada yang akan terjadi apabila
hts

criminals aggressively to offset the damage pidana itu tidak dikenakan; serta tidak ada
to its economic done by the recent waves of sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif
corporate crimes. This international trend has dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.”
acted as strong encouragement for study and Penerapan retributif justice dan sifat
ec

researce regarding white-collor crimes in China, penggunaan hukum pidana yang primum
especially concerning how to deal with its remedium sudah kurang tepat digunakan dalam
lR

25
Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi : Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan
Perlindungan Abuse of Power. (Bogor: Ghalia Indonesia.2011), hlm. 125.
26
Ling Zhang and Lin Zhao. The Punishment of Corporate Crime in China. International Handbook of White-Collar
na

and Corporate Crime. (Springer US 2007). Henry N. Pontell and Gilbert Gels (Ed.).,(http://link.springer.com).
Page 663.
27
Dalam preamble alinea 8 ditegaskan bahwa “determined to prevent, detect and deter in a more effectife manner”
suatu tindak pidana korupsi dan dalam general provision Pasal 1 butir a ketika menjelaskan tujuan dari konvensi
ditegaskan bahwa “to promote and strengthen measures to prevent and combat corruption more effficiently and
Jur

effectively”. Frase metode “in a more effective manner” dan memberantas dengan “more efficiently and affectively”
merupakan key messages dalam konvensi itu dalam menghadapi pemberantasan korupsi.Luhut M.P. Pangaribuan,
Hukum Pidana Khusus: Tindak Pdiana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional. (Jakarta:
Pustaka Kemang. 2016), hlm.165-166.
28
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru.(
Jakarta: Kencana, 2008), hlm.32

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 435
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

penanggulangan tindak pidana korporasi. melalui pemidanaan terhadap korporasi Pelaku


Sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia mulai korupsi baik dari aspek substansi, struktur

HN
melakukan evaluasi khusus terhadap Pasal 4 maupun kultur hukum. Salah satu solusi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. dan mulai dipertimbangkan penerapannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang untuk mengatasi kendala demi optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pengembalian kerugian negara adalah dengan

BP
cara mengharmonisasikannya dengan prinsip- pendekatan restoratif justice. Prinsip primum
prinsip yang ada pada UNCAC yang notabene remedium dievaluasi menjadi ultimum
telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor remedium dan diharapkan korporasi menjadi
7 Tahun 2006 sehingga restoratif justice dapat kooperatif mengembalikan kerugian keuangan
diterapkan. negara yang dikorupsinya dengan pilihan

ing
Berdasarkan pada salah satu tujuan penggunaan sanksi non-pidana dan tidak
utama pemberantasan korupsi adalah diprosesnya peradilan pidana.
pengembalian kerugian keuangan negara Bagi Indonesia, pendekatan restoratif justice
dan menyelamatkan aset negara. Aset- dalam perkara pidana sudah diakomodasi
aset tersebut selanjutnya dapat digunakan
ind (dalam hal sistem peradilan pidana anak)
modal oleh Pemerintah untuk meningkatkan tetapi untuk perkara korupsi tidak dapat
pembangunan nasional. Pembangunan yang digunakan pendekatan restoratif justice
dilaksanakan Pemerintah terutama pada sektor karena korbannya yang massif (rakyat) dan
padat karya akan menciptakan lapangan kerja berbentuk kepentingan negara. Selain itu Pasal
V
bagi masyarakat. Hal ini secara tidak langsung 4 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
juga dapat dikatakan bahwa penyelamatan juga tidak memungkinkan restoratif justice
hts

aset negara juga mempunyai kontribusi dalam karenapengembalian kerugian akibat tindak
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.29 pidana ditegaskan tidak dapat menghapus
Di samping itu juga bertujuan mewujudkan dipidananya Pelaku (menganut retributif
stabilitas ekonomi dan mengantisipasi krisis justice).
ec

berbagai bidang akibat penyelesaian tindak Jika mengacu pada article 26 UNCAC 2003
pidana korporasi yang notabene adalah tidak yang telah dirativikasi oleh Undang-Undang
sebanding akibat sanksi pidananya dengan Nomor 7 Tahun 2006 dan Pasal 52 RUU KUHP
lR

resiko stabilitas perekonomian negara dan hajat (konsep 2013) yang dengan tegas mengatur
hidup buruh serta kehidupan sosial masyarakat mengenai pilihan penggunaan sanksi pidana
yang bergantung pada korporasi tersebut. atau non-pidana secara proporsional terhadap
korporasi Pelaku korupsi demi efektifitas dan
na

D. Penutup efisiensi dan mendorong penegak hukum dan


Pada praktiknya terdapat kendala dalam hakim melakukan usaha penyelesaian tidak
usaha pengembalian kerugian keuangan negara sebatas melalui pemidanaan maka penerapan
Jur

Waluyo, Bambang. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi dan Optimalisasinya). (Jakarta: Sinar
29

Grafika, 2015), hlm.94

436 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438


Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

restoratif justice sangat relevan untuk Rusianto, Agus. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban
diterapkan di Indonesia. Kebijakan hukum Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi

HN
antara Asas, Teori, dan Penerapannya. (Jakarta:
pidana melalui pendekatan restoratif justice ini Kencana, 2015)
akan menghindarkan dampak kerugian yang Sjawie, Hasbullah. F, Direksi Perseroan Terbatas
lebih besar dan meniadakan efek krisis yang serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013)
bisa timbul akibat pemidanaan korporasi serta
Sjawie, Hasbullah F, Petanggungjawaban Pidana

BP
bisa menjadi sarana efektif dan efisien untuk Korporasi Pada tindak Pidana Korupsi. (Jakarta:
optimalisasi pengembalian kerugian keuangan Kencana, 2015)
negara. Waluyo, Bambang, Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Strategi dan Optimalisasinya), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2015)
Daftar Pustaka Yunara, Edi, Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana

ing
Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012)
Buku
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Makalah/Artikel/Laporan/Hasil Penelitian
Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru. (Jakarta: Kencana, 2008) Alim, Hifdzil. Dkk, “Pemidanaan Korporasi Atas
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Laporan
(Bandung: Karya Putra Darwati 2012)
ind
Budianto, Agus, Delik Suap Korporasi Di Indonesia.
Penelitian. (Yogyakarta: Pusat Kajian anti Korupsi
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2013)
Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan
Pemberantasannya. (Jakarta: RajaGrafindo Hamzah, Andi, “Restoratif Justice dan Hukum Pidana
Persada, 2012) Indonesia”, (Makalah yang disampaikan pada
Effendy, Marwan, Diskresi, Penemuan Hukum, Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012)
Ling Zhang and Lin Zhao, “The Punishment of
V
Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan
Hukum. (Jakarta: Referensi, 2012) Corporate Crime in China. International
Hiariej, Eddy O.S., Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Handbook of White-Collar and Corporate
hts

(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014) Crime”. (Springer US 2007). Henry N. Pontell and
Koesoemahatmadja, Etty Utju R., Hukum Korporasi Gilbert Gels (Ed.).,http://link.springer.com.
: Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Rumadan, Ismail. Dkk, “Penafsiran Hakim terhadap
Crimes dan Perlindungan Abuse of Power. Pidana Minimum Khusus Dalam Undang-Undang
(Bogor: Ghalia Indonesia.2011) No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi”.
ec

Muladi dan Priyatno, Dwidja, Pertanggungjawaban


Pidana Korporasi. (Jakarta: Kencana, 2010) (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Muladi dan Sulistyani, Diah. Pertanggungjawaban Litbang Diklat Mahkamah Agung. 2013).
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Suhariyanto, Budi, “Eksistensi Pembentukan Hukum
Responsibility) (Bandung: Alumni. 2013) Oleh Hakim Dalam Dinamika Politik Legislasi Di
lR

Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Pidana Khusus: Indonesia”. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3,
Tindak Pdiana Ekonomi, Pencucian Uang, Desember (2015)
Korupsi dan Kerjasama Internasional, (Jakarta: Suhariyanto, Budi. 2016. Progresivitas Putusan
Pustaka Kemang. 2016) Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak
Pidana Korupsi. Jurnal De Jure Vol. 16 No. 2 Juni
na

Priyatno, Dwidja.Kebijakan Legislasi Tentang Sistem


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di 2016.
Indonesia. (Bandung: Utomo, 2004) Zulva, Eva Achjani. 2009. “Keadilan Restoratif
Rizky, Rudy, (ed) Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan
Pemikiran dalam Dekade Terakhir( Analisis Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif
Jur

Komprehensif tentang Hukum oleh Akademisi Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”,
& Praktisi Hukum), In Memoriam Prof. DR. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Komar Kantaamadja, S.H.,LL.M. (Jakarta: Perum Hukum UI, Jakarta.
Percetakan Negara RI, 2008)

Restoratif Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi ... (Budi Suhariyanto) 437
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

Peraturan United Nations Covention Against Corruption 2003


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang

HN
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Rativikasi United Nations Covention
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Against Corruption 2003
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Sistem Peradilan Pidana Anak
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana
Korupsi
(Konsep Tahun 2013)

BP
ing
V ind
hts
ec
lR
na
Jur

438 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 3, Desember 2016, hlm. 421–438

Anda mungkin juga menyukai